Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Jumat, 21 November 2014

Jalan Nyasar (Kesasar?) di Rote

Berhubung gak moto waktu jalan malem2 jadi diwakili lewat gambar (all by photoshop)
Seminggu yang begitu-begitu... ya begitu-begitu itu, bangun tidur - kerja - molor - kerja - molor... mandi sekali sehari plus makan 3 kali sehari satu sendok kuda nil. Itulah kira-kira yang aku kerjain seminggu di Rote. Cuaca panas, itu alasan pokok kenapa males banget mau keluar. Ini bulan awal November memang bulan paling pas buat orang-orang tanning (menggelapkan kulit) dengan segera. Tak perlu berjemur dua jam, cukup lima menit langsung mateng setengah gosong. Itu juga kalau gak mati dehidrasi. Alasan kedua ya tidak ada kendaraan. Yah kalaupun ada juga belum tentu jalan sih.
Tapi asli, bulan-bulan ini memang panas ngaudzubilah..... gak kira-kira, itu sehari jemur pakaian juga bisa sampai 5 shift kali (kayak pernah jemur pakaian aja)..
Betewe baidewe, akhirnya ada satu hari terakhir yang sayang kalau gak acara jalan-jalan. Padahal aku lagi satu tim sama Imam yang emang doyan jalan dan yang paling utama gak perlu tanning lagi karena udah gak mempan tanningnya (piss Mam...).

Salah satu pantai dari perjalanan menuju pantai Tiang Bendera.
Cuma berhubung Imam juga lagi takut hitam (mungkin tanning sebelumnya sudah pas) jadi akhirnya aku dan Imam memutuskan jalan sore saja. Arah tujuannya tetep sama seperti perjalananku sebelumnya ke arah pantai Tiang Bendera yang langsung bisa kelihatan dari beranda belakang hotel Grace.
Jarak terdekat ya tetap dengan jalan menyusuri pantai. Agak kesorean sebenarnya tapi perhitunganku biasanya gak nyampai setengah jam sudah bisa sampai ke pantai Tiang Bendera. Kalau mau tau ceritaku waktu mengunjungi pantai Tiang Bendera sendiri baca tulisan ini ya: http://awalnya.blogspot.com/2011/10/rote-ndao-tiang-bendera-bagian-3.html

Perjalanan menyusuri pantai lancar awalnya. Biasanya tiap sore banyak aktivitas anak-anak yang bermain di pantai seberang kali, begitu pula di pantai Mokdale juga tampak sepi. Salah satu yang aku sukai nongkrong di tempat ini salah satunya melihat aktivitas anak-anak di pantai dari yang mandi, ngumpulin batu sampai cari ikan di tempat-tempat surut. Selepas pantai Mokdale hanya ada jalan dengan menaiki bukit karena ada pagar penghalang yang dibangun masyarakat setempat supaya binatang ternak tidak keluar. Pagar seperti hal lumrah di daerah NTT, jangan heran lihat pinggir pantai atau jalan ada dibuatkan pagar. Itu bukan untuk menandai sebagai daerah daerah privat tetapi untuk menjaga agar ternak mereka tidak hilang. 
Saat naik ke atas bukit ternyata aku melihat seekor sapi yang terjepit diantara pagar dengan kepala terkulai. Bingung juga lihat sapinya tidak bergerak sama sekali sehingga aku kira mati. Saat mulai naik bukit aku lihat ke belakang ternyata sapinya mengerakkan kepala. Duh, ternyata masih hidup. Lihat sekeliling kosong tidak ada orang, tapi karena aku juga tidak mungkin membiarkan sapi itu sendiri jadi aku mencoba kembali ke arah rumah terakhir yang ada di pinggir pantai berharap ada orang.
Untungnya ada 2 orang dewasa sedang berdiri ngobrol di samping rumah, aku melambai-lambaikan tangan ke arah mereka memberikan isyarat. Sesampainya disana aku beritahu kalau ada sapi berwarna putih terjerat pagar. Ternyata benar itu milik mereka karena mereka langsung tahu sapinya. Ternyata di pagar ada pengikat dari tali yang menyebabkan sapi itu terjerat. Untungnya, akhirnya sapinya bisa terlepas dan tidak jadi mati. Mungkin jika dia begitu terus semalaman pasti modar juga.
Acara ini bikin matahari sudah hilang, bahkan warna kuning di langit sudah memudar mulai berubah jadi biru. Setelah melewati dua perbukitan akhirnya sampai di titik yang benar-benar terjal. Just info seperti yang aku tulis sebelumnya, pantai Tiang Bendera memang dikelilingi bukit yang sangat terjal juga kondisi karangnya yang sangat tajam. Tapi sayangnya sudah bisa dibilang malam. Dengan berbekal cahaya bulan yang saat itu purnama dan sebuah senter, aku dan Imam mencoba mencari jalan menaiki bukit ini. Ternyata naik ke atas bukit karang yang sudah dipenuhi semak tidak mudah, beberapa kali jalan yang tampak ada ternyata terhalangi semak kering yang kadang banyak durinya. Sampai di pertengahan akhirnya aku dan Imam menyerah karena semua jalan yang aku ingat pernah melewatinya mentok dengan tumbuhnya semak belukar yang tidak jelas terlihat saat malam begini. Akhirnya aku turun dari sisi pinggir bukit yang langsung berhadapan dengan laut, karena lewat jalan awal jelas lebih sulit. Sesampainya di bawah kami beristirahat sebentar menarik nafas. Gobloknya saat itu kita tidak membawa minuman sama sekali, karena berharap bisa minum saat kembali dari pantai Tiang Bendera.
Sekarang kami harus kembali, tapi tidak mungkin melewati menyusuri pantai, karena waktu di daerah bakau di pantai Mokdale, kami harus berjalan meloncati beberapa genangan air. Jadi pasti lebih sulit untuk dilewati kondisi malam. Apalagi lihat posisi bulan sepertinya air mulai terus naik. 
Salah satu kesukaan saya nongkrong di pantai melihat mereka main bola seperti ini (Pantai Mokdale)
Karena sama-sama tidak tahu jalan, aku hanya berpatokan pada satu buah lampu yang tampak dari atas bukit. Lampu rumah itu penanda kalo ada aliran listrik yang artinya di dekat situ pasti ada jalan. Untung ada cahaya bulan yang bantu lihat jalan jadi gak perlu pake senter. Sampai akhirnya ketemu rumah tetep aja bingung cara untuk sampai jalan, karena ternyata kita di pekarangan belakang rumah dan semua jalan telah dipagari. Nah lho, setelah tanya-tanya ternyata harus melewati pagar belakang rumah orang sampai tembus depan baru ketemu jalan. Baru ketemu jalan eh lampu mati. Syukur, coba kalo lampu mati sebelum ketemu jangan bisa bingung kita cari jalannya.
Ada kejadian, gara-garanya kita mau lewat jalan lain setelah ketemu perempatan. Harusnya emang lurus ke arah kuburan umum tapi iseng pilih lewat jalan ke kiri yang hasilnya mentok ketemu pantai lagi. Coba nanya-nanya, di kasih tau jalannya lewat sebelah rumah eh mondar-mandir cari jalan gak nemu-nemu yang ada cuma pager, eh ternyata ditunjukin caranya yaitu naikin pagar. Ternyata di ujung pagar itu ada kayu yang disusun berjajar melintang bertingkat jadi kayak tangga. Ternyata itu untuk menghalangi binatang biar tidak bisa keluar, gak tahu juga kenapa bukan dibikin pintu pagar ya. Salah satu keunikan di NTT, binatang punya kandang besar karena kebun yang dipagari keliling. Pantesan ya, kualitas ternaknya pasti lebih mantap karena binatangnya lebih bahagia. Gimana gak, tempat main sama cari makannya luas gak kayak di Jawa di kandangin makanannya itu-itu aja... 

Tapi ternyata setelah melewati pagar masih bingung juga karena mentok di saluran irigasi mau kemana-mana kena pagar, mau lewat takut salah, mau jalan menyusuri saluran irigasi takutnya ada ular hijau. Untung ada rombongan orang jalan ke pematang, dan olala ternyata jalannya sama seperti pertama naik ke pagar lain lagi baru ketemu jalan... Kata mereka jangan lewat sawah karena kalau malam banyak ular hijau di sekitar sawah. Pelajarannya: kalau jalan di Rote jangan coba-coba nyasar kalau gak mau muter bingung sendiri gak nemu jalan.
Pagi hari dapat kabar dari pak Herson kalau gak masuk kantor hari ini karena salah satu keponakannya meninggal kena gigit ular hijau. Wiih, merinding dengernya.. untung gak lewat sawah tadi malam. Kasian Imam kalo mati kena ular hijau, padahal belum merasakan indahnya malam pertama hahahaha.... (kawiiiiiinnn Mammm!!)

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 28 Oktober 2014

Logo Pemda NTT (1)

Agak keluar dari jalur, kali ini aku bukan mau menulis tentang foto atau perjalanan tapi mau sharing hasil iseng otak atik photoshop buat logo-logo pemda, udah jadi empat tapi yang satu masih belum puas karena masih ada gambar yang belum pas.
Ini gegaranya sih karena waktu cari2 di internet logo/lambang pemda di NTT gak dapet yang ukuran bagus jadi akhirnya iseng bikin sendiri. Format logo ini png, mungkin beberapa ukurannya besar jadi mungkin bikin lemot. Kenapa aku tampilkan di sini, karena kalo lewat pesbuk lagi-lagi harus puas dikonversi ke JPG dalam ukuran maksimal 900px, kalo gambar ini tidak akan pecah walau untuk foto baliho.
Logo ini asli bebas download dan digunakan tanpa harus permisi ke saya, mohon jika ada kesalahan gambar bisa beritahukan ke saya untuk diperbaiki.


Baca keseluruhan artikel...

Senin, 26 Mei 2014

Air Terjun Bekor, Nangahale

Air terjun Bekor, Nangahale
Air terjun yang keluar dari balik bebatuan
Perahu melaju pelan membelah perairan Pangabatang menuju ke Tanjung Darat. Inilah daratan terdekat yang paling mungkin kucapai dengan perahu nelayan kecil seperti ini. Pak Sartono sengaja memutar perahunya supaya memudahkan aku mengambil gambar kondisi perairan yang bening dan dipenuhi koral dan ikan warna-warni. Tak berapa lama perahu kami memasuki kawasan bakau dan mendarat di sebuah cerukan dalam di antara bakau. Saat di laut aku sendiri tidak bisa mengenali dimana kita bisa mendarat karena sepanjang pantai yang tampak adalah bakau saja. Selepas di darat, aku memutuskan naik ojek ke arah Likong.
Air terjun Bekor, Nangahale
Air terjunnya mengalir kecil di musim panas
Sesuai dengan informasi yang aku terima dari salah seorang kerabat pak Sartono yang sekarang bekerja di Dinas Pendidikan di daerah Nangahale terdapat satu air terjun yang menurut mereka menarik. Mereka sendiri tidak tahu nama air terjun itu namun mereka menyebut nama pak Blasius yang biasa menjadi pengantar tamu jika ingin ke air terjun itu. Dan sekarang nama pak Blasius di dusun Likong menjadi arah tujuanku.
Sekitar sepuluh jam di atas motor melintasi jalur jalan yang lebih banyak berupa tanah, akhirnya ojek bisa mencapai jalan raya. Sepuluh menit berikutnya ojek yang aku tumpangin sampai ke daerah Likong. Ingat ya bacangnya Likong bukan Lekong, beda banget gitchuu... *keselek biji duren*.. Berbekal informasi nama Blasius, aku diantar seorang anak kecil masuk ke gang kecil hingga ke sebuah rumah sederhana. Saat menyebutkan namaku, pak Blasius masih tampak kebingungan namun menjadi jelas saat aku menyebutkan nama pak Aswadi yang pernah bekerja menjadi guru di sini. Sayangnya hari Minggu ini beliau sedang ada keperluan keluarga sehingga tidak mungkin mengantarku. Saat aku minta dia menunjukkan arahnya saja, dia katakan kalau jalurnya baru saja dibuka dan tidak mudah untuk dilalui. Dia takut aku tersesat karena belum ada jalan ke sana, baru saja ada jalan dibuka tapi sebatas untuk pekerjaan pembangunan reservoir oleh PDAM yang akan menggunakan air terjun di situ. Untungnya pak Blasius menawarkan agar anaknya Rikardus yang akan membantu mengantarku ke air terjun. Aku setuju karena anaknya juga yang membantu saat ada obeservasi lapangan oleh sebuah tim beberapa kali. Aku sempatkan membeli pisang molen goreng dan minuman karena memang aku belum makan dari pagi selain kue-kue kering saat di Pangabatang.
Air terjun Bekor, Nangahale
Trap-trap air terjunnya cantik apalagi jika pas airnya banyak
Sambil berjalan, aku mendengarkan cerita Rikardus tentang awal mula air terjun ini ditemukan dan kondisi asli ke lokasi itu. Katanya, air terjun ini ditemukan oleh orang kampung Likong Gethe yang sedang gila. Dia lah yang memberitahu penduduk kalau ada air terjun disana. Katanya pulau, orang gila itu akhirnya sembuh. Mereka menamai air terjun ini Bekor (ingat Bekor, jangan salah lagi mengeja Boker... beda bangeetttt). Rikardus sendiri beberapa kali menemani orang-orang yang melakukan survei ke air terjun ini yang katanya mau dibuat sebagai sumber air bersih. Dia juga sering menemani rombongan tamu yang ingin ke air terjun. Dulu katanya hampir tiap minggu dia bisa bolak balik mengantar tamu ke air terjun, namun entah kenapa tahun ini belum ada lagi orang yang mau mengunjungi air terjun ini.
Jalur sungai dengan tebing curam
Dari Likong, Rikardus memilih mengajakku mengunakan jalan potong melalui kebun jagung dan kelapa milik penduduk. Menurutnya jarak dari Likong Gethe (itu nama lengkap kampungnya) ke air terjun Bekor sekitar 4,5 km. Entah apakah itu jarak betul atau kira-kira. Di sini kalau orang sudah mengatakan 1 km kadang-kadang kalau ditempuh 3 km juga belum sampai hahaha jadi jangan senang dulu kalau mendengar jaraknya dekat kecuali sudah mengalaminya sendiri.
Perjalanan sendiri seperti yang aku duga tidak mulus karena harus melewati sungai. Artinya jika musim hujan, air terjun ini sangat sulit dilalui. Di beberapa tempat aku melihat pipa-pipa yang terpasang di sepanjang pinggir sungai tapi masih belum terhubung semuanya. Pemasangan pipa ini juga menguntungkanku karena beberapa jalan jadi tidak terlalu menanjak. Menurut Rikardus, sebelum dibuat jalan ini, kondisi menuju air terjun tergolong jauh lebih sulit. Bahkan ada beberapa titik yang kita harus melewati bukit sambil berjalan merambat karena tidak ada jalan hanya berupa bekas jalan yang kondisinya tanahnya miring. Tak terhitung berapa kali aku dan Rikardus melewati sungai. Untung aliran airnya kecil jadi mudah kami lewati. Namun dari aliran airnya aku justru curiga kalau air terjun Bekor ini seperti air terjunnya umumnya di NTT yang debitnya di waktu musim hujan dan musim kering sangat jauh.
Aliran air terjun yang turun banyak di musim kemarau
Entah berapa jam aku berjalan aku sendiri sudah lupa, bahkan aku tak pernah menengok jam tanganku. Perjalanan yang harus menembus hutan ini melenakanku. Beberapa kali aku harus masuk ke dalam hutan yang katanya merupakan hutan yang hampir tidak pernah dijamah masyarakat. Jalan menuju air terjun memang naik turun bukit, namun arahnya makin menanjak. Di kilometer terakhir kami tidak bisa lagi melewati sungai karena sungai lebih dipenuhi batu-batu besar yang akan sulit untuk dilewati. Untungnya jalan terakhir yang dulunya paling sulit berupa jalan miring dengan bergerak merayapi bukit sudah tidak ada menjadi jalan tanah yang baru dibuat. Tapi kondisi jalan ini hanya bisa dilalui dengan jalan kaki, jika dengan motor trail mungkin masih bisa walau juga tidak mungkin sampai ke air terjun juga.

Sebenarnya sebelum sampai di air terjun kami juga melewati sungai yang mengalir sumber air panas. Sumber air panas ini tidak besar hanya berupa 2 pipa bambu yang menancap di dinding. Air dari bambu ini mengalirkan air panas. Di titik kelokan terakhir juga ada tebing batu kering yang katanya juga kalau musim hujan berubah menjadi air terjun. Artinya jika musim hujan banyak air terjun di daerah ini walau aku gak membayangkan bagaimana bisa kesana jika musim hujan.
Air terjun Bekor, Nangahale
Rikardus duduk di bawah pohon yang tumbang
Dari pinggir sungai tak tampak air terjun hanya terlihat trap-trap air mengalir karena air terjunnya sendiri terhalang oleh pepohonan. Setelah turun melewati sungai dan naik ke atas trap-trap air mengalirnya barulah tampak pemandangan air terjun yang tingginya mungkin sekitar 30 meteran. Dari dinding batu kapur yang ada tampaknya air terjun di sini pada waktu musim hujan cukup lebar, namun saat ini hanya ada 2 titik air terjun itu pun air terjunnya tidak deras sedangkan tiga dinding batu di sekitarnya sudah mengering.
Suasana sekitar air terjun terasa sejuk apalagi pepohonan rindang disekelilingnya. Aku sempat mampir mandi disumber air panasnya. Sekitar jam 2 siang aku sudah kembali ke dusun Likong. Aku hanya berhenti sebentar di batas terakhir hutan untuk sejenak minum dan makan gorengan walaupun sebenarnya kaki sudah terasa kebal.
Dari Likong aku naik ojek dengan biaya 50rebu walaupun setelah sampai tukang ojeknya minta tambah untuk uang bensin karena setelah sampai kota baru sadar kalau ternyata jauh... hahaha ada-ada saja, mereka yang orang asli masak gak tau jarak dari Likong ke kota Maumere. Akhirnya aku tambah uang 7rebu karena cuma itu uang kecil yang tersisa di kantongku.
Sebenarnya pada waktu yang sama, teman-teman dari Mofers Photography juga sedang melakukan perjalanan ke air terjun Murusobe yang jauh lebih besar debitnya dan lebih tinggi. Namun sayang aku memang ingin ke Pangabatang sehingga ajakan ke Murusobe terlewatkan. Tak apalah, yang penting suatu ketika nanti aku juga bisa mampir ke Murusobe.

Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya