Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Jumat, 04 Mei 2018

Kelor Onrust Cipir, Sekali Dayung Tiga Pulau Terlampaui

Benteng Mortelo Pulau Kelor
Mau week end kemana? Ingin piknik seharian tetapi tidak mau jauh dari Jakarta? Baiklah, pilihanku pergi ke Kepulauan Seribu. Melihat laut, mencium udara pantai, bermain air. Refreshing. 

Pagi-pagi aku pergi ke Pelabuhan Muara Kamal, Jakarta Utara. Dari Muara Kamal sudah ada perahu yang siap menyeberangkan ke Pulau Kelor. Aku pun harus berjalan hati-hati meniti bilah-bilah bambu yang menjadi dermaga kecil tempat perahu bersandar. Sekitar pukul 9 pagi kapal pun berangkat. Perahu kayu dikemudikan dengan mesin tempel berbahan bakar solar. Ongkos Pergi Pulang sekitar Rp40.000-50.000 saja. Kebetulan aku mengambil trip perjalanan tiga pulau (Kelor, Onrust, Cipir) jadi biayanya lebih murah. Sekitar 80-ribuan saja sudah termasuk makan siang. Hemat banget.

Saat berada di perahu, angin laut menerpa wajah, aahh segarrr. Dalam perjalanan ini kami melewati pancang-pancang bambu yang biasa digunakan sebagai tempat untuk memancing. Dibawahnya dibuat keramba untuk memelihara ikan hasil tangkapan nelayan. Jantungku berdesir karena khawatir perahunya tersangkut pancang bambu yang lapuk. Well, biarpun sudah menyeberangi laut tetap saja kita masih di Jakarta, karena Kepulauan Seribu masuk wilayah Provinsi DKI Jakarta.  

Pulau Kelor
Dunia memang tidak selebar Pulau Kelor. Tidak sampai setengah jam perahu sudah tiba di dermaga Pulau Kelor, pulau pertama yang aku kunjungi. Dari dermaga pulau terlihat para pengunjung yang memadati pulau kecil ini. Perahu datang dan pergi membawa para turis lokal. Ohh ternyata pulau ini sedang dalam tahap renovasi. Para pekerja sibuk mengerjakan bangunan panggung terbuka, gazebo, dan fasilitas umum seperti toilet dan musholla.

Walaupun hanya satu dan ditopang dengan bambu agar tak runtuh, Menara Pandang atau lebih dikenal sebagai Benteng Mortelo tetap menjadi spot favorite yang wajib dikunjungi wisatawan di pulau Kelor ini. Di kawasan Kepulauan Seribu ada 3 benteng Mortelo yaitu di Pulau Kelor, Pulau Onrust dan Pulau Bidadari. Setelah melepas lelah, bermain air dan berfoto, kami melanjutkan ke Pulau Onrust.

Pulau Onrust
Perahu kami pun telah tertambat di dermaga Pulau Onrust. Pandanganku tertuju pada Kincir Angin Mini yang sebenarnya dibangun sebagai pengingat bahwa dahulu pernah dibangun Kincir Angin Besar untuk menggerakkan galangan kapal. Disebelah kiri terlihat ada prasasti berupa tulisan yang dipahat pada batu besar. Dalam prasasti  mengurai sekilas sejarah Pulau Onrust. 

Aku menyusuri jalan setapak menuju rumah yang berfungsi sebagai Museum. Disini temuan artefak dipajang berikut maket yang menjelaskan peta dan posisi bangunan pada masa itu. Miniatur kapal pun ditampilkan juga. Temuan artefak Pulau Onrust yang menjadi Masterpiece berupa sepasang sepatu besi/sepatu selam. Artefak lain yang ditemukan pipa Gouda (pipa cangklong a la Belanda), pecahan keramik, pecahan meriam, peluru, pecahan botol, umpak batu, ubin batu dan sejumlah koin VOC tahun 1814.

Setelah dari Museum Onrust aku pun berjalan mengelilingi pulau. Menyusuri jalan setapak, melewati bekas bangunan yang tak terpakai dan komplek makam. Makam pribumi dan non pribumi yang dikebumikan. Rata-rata meninggal akibat terjangkiti wabah kolera. Aku pun mempercepat langkahku. 

Pulau Onrust dan Pulau Cipir masuk dalam Taman Arkeologi. Tahun 1615 Belanda mendirikan Galangan VOC di onrust. Pada tahun 1658 dibangun benteng kecil kemudian diperluas tahun 1671 berbentuk segilima, bersamaan juga dibangun Gudang Dok dan Kincir Angin. Pulau Ini sempat diserang oleh armada Inggris tahun 1800-1801. Sepeninggal Inggris, Belanda membangunnya kembali. Sempat menjadi Karantina Haji pada tahun 1911.

Bangunan yang dikawasan Pulau Onrust baik yang terpendam maupun di permukaan tanah dapat diketahui asal waktunya melalui bahan penyusunnya, yakni bata dan material perekatnya. Struktur bangunan dari periode awal (abad ke- 17 sampai abad ke-18)umumnya terdiri dari bata-bata berukuran besar berwarna merah dengan bahan perekat semen bercampur pasir dan kerang. Bata-bata bangunan abad ke-19 berukuran lebih kecil, meski berwarna dan berbahan perekat yang sama. Contohnya pada benteng-benteng berbentuk bundar di Pulau Kelor dan Pulau Bidadari. Sementara itu bata-bata abad ke-20 berukuran lebih kecil lagi berwarna kekuningan dan berbahan perekat campuran pasir dan semen saja.

Peran Onrust di abad 17 sebagai tempat persingggahan kapal-kapal pengangkut komoditi Asia sebelum dibawa ke Eropa. Benteng Mortello dibangun pertamakali di Pulau Onrust pada abad ke 19. benteng ini hancur pada serangan Pasukan Inggris dan akibat Letusan Gunung Krakatau tahun 1883. Tetapi kerusakan fatal terjadi ditahun 1958 karena perusakan besar-besaran. Berdasar struktur fondasi yang terdapat di Onrust dan Cipir , diperkirakan benteng Mortello Onrust berbentuk bundar seperti yang ada di Kelor dan Bidadari berupa Menara Pandang /Menara Mortello.

Setelah makan siang dan melepas lelah, rombongan kami melanjutkan menyeberang ke Pulau Cipir yang tak jauh dari Pulau Onrust. Ini adalah pulau ketiga dan terakhir yang kami kunjungi.

Pulau Cipir
Cipir (Kuyper) Pulau di Selatan Pulau Onrust. Pulau Cipir pastinya memiliki keterikatan dengan Onrust. Bukti terkuat dengan dibangunnya dermaga jembatan penghubung antar pulau yang sekarang hanya tinggal reruntuhannya saja.  Namun sekarang dermaganya tampak jauh lebih bagus. Sekilas mirip sebuah resort atau tempat peristirahatan.

Disini banyak anak-anak dan remaja berenang di pantainya. Gazebo disepanjang pantai berikut toilet merangkap tempat bilas setelah berenang. Di pantai yang dekat dengan bekas jembatan terlihat beberapa tenda kemping, tempat mereka berkemah. Sebenarnya berbanding terbalik dengan keadaan di dalam pulau ini. Bekas bangunan karantina berupa bangsal yang dilengkapi toilet dan rumah sakit tampak spooky alias menyeramkan.

Sedikit sejarah Pulau Cipir, saat itu tahun 1668 dibangun dermaga bongkar muat, galangan kapal kecil, dan dermaga penghubung. Pada tahun 1675 dibangun gudang tempat penyimpanan barang-barang. Kemudian tahun 1905 mulai dibangun lagi sebagai Stasiun Pengamat Cuaca. Namun tahun 1911 hingga tahun 1933 Pulau Cipir berubah menjadi Karantina Haji dengan dibangun rumah sakit bagi yang baru kembali dari Mekah.

Cukup banyak kegiatan yang kami lakukan disini. Bermain air di pantai dan menikmati minuman air kelapa muda yang menyegarkan disaat panas terik. Pastinya berfoto-foto mengisi waktu luang sambil menunggu perahu untuk membawa kami kembali ke Muara Kamal.

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 17 April 2018

Fatubraun, Melihat Pantai Selatan dari Atas


Pemandangan dari Puncak Fatuberoun

Wiii... wwiiii... celetukan Al disepanjang jalan naik ke arah bukit terdengar sama kerasnya dengan bunyi motor yang menggerung keras. Jalan dari tanah liat ini sebagian terbelah membentuk rengkahan panjang seperti parit yang dalam menyisakan sepotong jalan tak lebih lebar dari setengah meter. Rengkahan ini sepertinya terbentuk oleh aliran air ini hujan keras beberapa minggu lalu. Jalan menanjak dengan kondisi itu, karuan saja membuat Al sukses tegang merasakan kengerian jika motorku sampai terperosok ke dalam rengkahan itu. Untungnya jalanan dari tanah liat yang sedang kering bukan pasir atau bebatuan yang pasti akan lebih susah.

Jalan yang Bukan Rekomendasi Mbah Gugel
Selepas menuruni sungai tadi kami memang diarahkan sama pemilik warung untuk belok ke kanan. Saat ini kami memang mengandalkan informasi penduduk yang kami temui karena mbah Gugel sudah gak sepakat, jadi kami putus sementara. Iya lah putus wong sinyal udah megap-megap gak jelas. Bisa dibilang jalan ini sedikit nekad karena kami anggap arahnya menuju arah balik ke Kupang jadi sayang kalau dilewatkan.

Pemandangan Fatubraun
Jalan yang kami lewati jelas tak ada dalam jalur yang direkomendasikan Google Maps karena jalur dari pantai Teres langsung naik ke atas bukit sudah lama dihapuskan dari petunjuk jalan. Jalur ini jelas susah untuk dilewati saat hujan. Itulah kenapa aku menyebutnya "kami beruntung", karena jika tidak ada jalur ini mungkin Fatubraun sudah aku coret dari daftar. Google Maps saja menawarkan jalur dari Teres ke Fatubraun memutar balik dengan jarak dua kali lebih jauh dari jalur yang sekarang aku lewati.

Kami sempat berhenti sebentar di salah satu bukit untuk sekedar melepas rasa pegal di tangan. Berjibaku melewati jalan seperti ini memang bikin tangan cepat kram. Untungnya jarak ke bukit Fatubraun tidak jauh lagi. Untungnya bulan-bulan ini rerumputan dan pepohonan masih hijau dapat kami gunakan untuk berteduh. Gak terbayang panasnya jika kami datang saat bulan Oktober atau November.

Pemandangan dari puncak pertama Fatuberoun
Mungkin karena hari Minggu, sampai di lokasi tempat kita parkir motor hanya tampak dua motor saja. Suasana tempat parkir bisa dibilang adem karena dipenuhi pepohonan. Aku berempat bareng Imam, Trysu dan Al naik mengikuti jalur jalan yang ditandai dengan batang kayu yang diikat antar pepohonan yang juga berfungsi sebagai pegangan. Sekitar sepuluh menit kami sampai di puncak pertama. Pemandangan dari tempat ini adalah view pantai Buraen ke arah Timur. Seandainya saja aku di tempat ini saat pagi hari tentu akan mendapatkan pemandangan pagi yang keren sekali. Ada beberapa titik yang punya spot view menarik, semuanya ke arah matahari terbit.

Dari titik spot pertama ke puncak Fatuleu tak lebih dari sepuluh menit. Jika disepanjang jalan kondisinya jalan tanah, maka beberapa meter menuju puncak barulah benar-benar memanjat dinding batu. Tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu sulit.

Yang pasti pemandangan dari Puncak ini jauh lebih lapang. Jika di titik spot pertama yang tampak adalah pantai Selatan ke arah Timur maka di puncak bukit bisa puas memandang Laut Selatan yang membentang dari Timur ke Barat. Tapi di Puncak ini tidak bisa dinaiki banyak orang karena memang tidak terlalu luas.

"Mas Beki, ikutan difoto dong biar ada buktinya".. Bah kalimat itu memang paling sering keluar dari mulutnya Imam. Padahal dari dulu aku memang males kalau ikut masuk frame, cukuplah aku yang memotret orang. Biar mulutnya mereka gak bawel bolehlah sekali-kali masuk frame biar bisa dianggap eksis. Terpaksalah aku harus memasang kamera di tripod yang sudah rapi-rapi aku packing. Huaassuuu, nih anak sekarang demen nongol di kamera. Untungnya pemandangan dari Puncak apik jadi muka-muka kita gak terlalu jadi gangguan.

Fatubraun VS Fatuleu
Pemandangan dari spot pertama Fatuberoun
Fatubraun, bukit batu karang itu sukses kemasukkan ke dalam daftar wishlist-ku. Beberapa orang yang pernah kesana cenderung membandingkan antara bukit Fatubraun dengan bukit Fatuleu. Keberadaan Fatubraun memang mulai dikenal setelah Fatuleu mulai diakrabi traveller. Menawarkan pemandangan serupa: bukit terjal dari batuan karang. Lalu apa perbedaan antara Fatuleu dan Fatubraun?
  1. Fatuleu berada di ketinggian, dari titik masuknya saja memiliki ketinggian 800 mdpl. Bandingkan dengan Fatubraun yang pada tinggi puncaknya saja tidak sampai 400 mdpl. Itulah kenapa saat pagi atau sore Fatuleu kadang masih sering diselimuti kabut.
  2. Walau dari puncak sama-sama dapat melihat laut, Fatuleu hanya bisa melihat laut sisi Barat. Jadi di atas puncak Fatuleu, di sisi barat yang kita lihat adalah pemandangan teluk Kupang. Sedangkan Fatubraun bisa melihat laut dari sisi Timur. Karena memang berada di dekat pantai Selatan Kupang, kita lebih mudah melihat pantai Selatan yang memanjang dari timur ke barat.
  3. Tingkat pendakian jelas lebih sulit di di Fatuleu dibanding Fatubraun. Walaupun jalan masuk ke Fatuleu telah dibangun tangga namun tetap waktu tempuh sampai ke puncak rata-rata satu setengah jam. Jika fisiknya anak-anak muda yang biasa naik paling cepat juga sekitar satu jam. Bandingkan dengan Fatubraun yang bisa ditempuh santai tak lebih dari setengah jam dari kami memarkir motor.
  4. Jalur jalan naik ke Fatubraun lebih didominasi tanah berbeda dengan Fatuleu yang kondisinya penuh bebatuan walaupun di dalam hutan sekalipun. Karena hal itu, di bagian atas Fatubraun masih banyak lokasi yang rata dengan pepohonan yang rindang. Jadi bisa digunakan untuk berkemah. Lain dengan Fatuleu, nyaris tidak ada satupun tempat yang rata jadi tidak mungkin membangun tenda di atas gunung Fatuleu. Bahkan menemukan tempat yang bisa menyelonjorkan kaki adalah keberuntungan di Fatuleu.
Apa Yang Dilakukan Disana?
Ngeksis di Puncak Fatuberoun
Dengan beberapa kondisi yang aku jelaskan di atas, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan di bukit Fatubraun:
  1. Kemping di atas bukit. Di dekat parkiran adalah salah satu tempat yang enak buat kemping, selain suasananya yang rindang, banyaknya pepohonan juga membuat kita lebih aman pada saat hujan plus pohon-pohon besar untuk memasang hammock. Tapi aku sendiri lebih memilih spot puncak pertama karena selain memiliki tempat yang landai juga adanya area yang lapang. Tempat strategis untuk menikmati indahnya bintang saat malam.
  2. Spot untuk melihat matahari terbit. Karena di puncak pertama adalah dinding tebing tegak lurus menghadap ke Timur maka jika spot matahari terbit dari tempat ini adalah salat satu yang sayang jika terlewatkan. Dan satu lagi, matahari terbit itu tidak muncul dari bukit tapi dari ufuk pantai.
  3. Spot untuk melihat galaksi Milkyway. Seperti kubilang, dengan adanya puncak yang landai dan terbuka menghadap ke Timur dan Selatan tentu penampakan galaksi Milyway akan lebih mudah terlihat. Tanpa polusi cahaya, kondisi langit yang cenderung lebih cerah dan kecil kemungkinan ada gangguan kabut.. apa lagi yang kurang untuk melengkapi daftar agar galaksi Milkyway bisa tertangkap indah di kamera?
 

Temen-temen gokil yang jalan kali ini:
  1. Boncel "Imam Arif Wicaksono": facebook; instagram
  2. Trisu "Lae Sianipar": facebook; instagram
  3. Al "Al-Buchori": facebook; instagram kesian dia gak punye...
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 19 Maret 2018

Huta Siallagan, Tradisi Kanibal yang telah punah

Huta Siallagan

"Orang Batak suaranya keras tetapi hatinya lembut", tutur Pak Roy Siallagan, guna mencairkan suasana ketika aku baru datang. Beliau adalah Pemandu Wisata yang menyambut dan mengawalku dari pintu masuk Huta. Aku tersenyum mendengarnya. Beliau bermarga Siallagan, penanda masih keturunan para Raja Siallagan. 

Rumah adat Huta Siallagan
Begitu memasuki Huta disebelah kiri disambut dengan Rumah Bolon (rumah raja) dan Sopo (lumbung padi).  Terlihat ramai turis Oma dan Opa dari Belanda telah lebih dahulu memasuki huta. Rumah Bolon, rumah contoh Adat Batak. Di dalamnya ada tungku api batu, perkakas memasak yang terbuat dari tanah liat, alat pemintal benang, alat menenun Kain Ulos, beberapa lembaran Kain Ulos yang digantung.

Tempat duduk Huta Siallagan
Batu Parsidangan berada di Pusat Huta dibawah Pohon Hariara, dianggap sebagai pohon suci Suku Batak. Akar-akar pohon Hariara yang besar dan kuat seperti menopang Batu Parsidangan yang diperkirakan berumur 200 tahun lebih.  Pak Roy bergegas mempersilahkan aku ke situs batu parsidangan set pertama. Akupun duduk di kursi yang terlihat lebih besar, ternyata itu kursi untuk raja. Aku pun duduk di singgasana layaknya seorang raja dan mendengarkan penjelasan panglimanya hehehe.

Batu Parsidangan Set yang pertama berupa kursi untuk Raja, Ratu, Tetua Adat, Pemimpin Huta, Tetangga, Tamu Undangan, Pemimpin Spiritual/Dukun. Persidangan akan digelar Raja bila ada kasus yang besar dan berat hukumannya. Terdakwa biasanya seorang musuh, pengkhianat, pembunuh, perampok dan pemerkosa.

Tempat memancung di Huta Siallagan
Batu Parsidangan Set yang kedua berupa kursi untuk Raja, Meja Batu, Tempat Eksekusi. Setelah ditetapkan hukuman kepada terdakwa berupa hukuman mati. Terdakwa akan digeledah di atas meja batu sebelum digiring ke tempat eksekusi. Dukun/pemimpin spiritual akan memeriksa bilamana terdakwa memiliki jimat-jimat atau ilmu kekebalan yang harus dimusnahkan. Kemudian rekontruksi pelaksanaan eksekusi dimulai, mata terdakwa ditutup kain dan Sang Algojo membawa parang yang sangat tajam akan memancung kepala terdakwa dengan sekali tebasan. Jasad terdakwa pun diambil jantungnya dan dimakan oleh Raja untuk menambah energi kesaktian Sang Raja. Agak ngeri mendengarnya.

Narsis di Huta Siallagan
Huta Siallagan berlokasi di Ambarita, Desa Siallagan-Pindaraya, Simanindo, Samosir, Sumatera Utara. Huta berarti Perkampungan sebagai rumah dari suku bangsa Siallagan. Marga Siallagan keturunan dari Raja Naiambaton garis keturunan dari Isumbaon anak kedua Raja Batak. Raja Pertama Raja Laga Siallagan. Raja Hendrik Siallagan mempunyai keturunan Raja Ompu Batu Ginjang Siallagan. Keturunan Raja Siallagan masih tinggal di kampung Ambarita dekat dengan Makam leluhur. Huta Siallagan dengan total area 2,400 dengan batu yang mengelilinginya sebagai benteng sekitar 1,5 - 2 ton beratnya. Pepohonan bambu yang mengelilinginya sebagai pertahanan dari binatang buas dan musuh yang menyerang.

Danau Toba
Dalam perjalananku menuju Huta Siallagan ini, langkahku sempat terhenti di sebuah sisi danau. Merasakan angin semilir menerpa wajah. Menghirup udara pagi yang segar dengan bau rumput dan tanaman hijau yang khas menyegarkan. Terlihat Kapal yang berasal dari Dermaga Ajibata mengarungi danau menuju Dermaga Tomok. Langit biru dengan selaput awan tipis menaungi Danau Toba, berpadu perbukitan hijau yang mengelilinginya tampak begitu cantik.  

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 02 Februari 2018

Sam Poo Kong, Persinggahan Sang Laksamana

Kelenteng Sam Poo Kong
Pose dulu di depan kelenteng Sam Poo Kong
Mau jalan-jalan ke China tapi belum punya waktu dan biaya? Ngga usah galau. Datang saja ke Semarang, Jawa Tengah. Tepatnya ke Kelenteng Agung Sam Poo Kong. Apalagi jika kita berfoto dengan memakai baju tradisionalnya, pasti teman-temanmu yakin kamu sudah di China.

Perjalananku ke Semarang sebenarnya untuk mengisi waktu luang saat berada di Batang. Waktu itu sedang ada Pemilukada Bupati Batang. Kebetulan dari kakakku, aku mengenal dan mengunjungi salah seorang pasangan kandidat calon Bupati Batang tersebut. Dari depan hotel tempat aku menginap banyak lewat bus arah Semarang. Jarak tempuh Batang ke Semarang  sekitar 2 jam. Setelah sampai di Terminal Bus Terboyo lanjut dengan angkutan umum menuju Sam Poo Kong. Lokasi berada di Jalan Raya Simongan, Bongsari. Mudah menemukannya karena dilewati jalur angkutan umum.

Kelenteng Sam Poo Kong
Patung Laksamana Cheng Ho
Patung Laksamana Zheng He yang tinggi dan besar menyambut dikejauhan saat masuk gerbang Sam Poo Kong. Nuansa merah-merah mendominasi sebagaimana warna klenteng pada umumnya. Warna merah adalah warna kebahagiaan. Dijajaran sebelah kanan tiga buah bangunan yaitu Kelenteng Besar dan Gua Sam Poo Kong, Kelenteng Tho Tee Kong tempat pemujaan kepada Dewa Bumi dan empat tempat pemujaan. Berhadapan dengan tiga bangunan utama adalah panggung terbuka yang biasanya menampilkan pertunjukan drama kolosal cerita Laksamana Zheng He/ Cheng Ho dan cerita rakyat lainnya.

Disebelah kiri tempat persewaan pakaian tradisional khas China berikut penata rias dan juru fotonya disediakan bagi pengunjung yang ingin berfoto dengan latar belakang kelenteng. Sebenarnya aku ingin memakai baju tradisonal tersebut tetapi mengingat harus segera pergi ke tempat lain, akhirnya aku mengurungkan niatku. Aku cukup puas berfoto di depan patung tinggi besar Sang Laksamana. So little time so much to do, mengutip lagunya Arkarna, Grup band asal Inggris.

Kelenteng Sam Poo Kong adalah petilasan atau bekas persinggahan. Pendaratan pertama Laksamana Zheng He  di Pulau Jawa pada tahun 1406. Pada persinggahan kelima tahun 1416 menurut cerita Laksamana Zheng He sedang berlayar melewati laut Jawa, namun saat melintasi Laut Jawa awak kapalnya banyak yang jatuh sakit termasuk Juru Mudinya yang bernama Wang Jing Hong, kemudian ia memerintahkan membuang sauh kemudian merapat ke Pantai Utara Semarang dan berlindung di sebuah goa di sebuah bukit batu/gunung batu. 
Kelenteng Sam Poo Kong
Sementara  Juru Mudi-nya menyembuhkan diri, Zheng He melanjutkan perjalanan ke Timur. Selama di Simongan wang Jing Hong Juru Mudinya menggarap lahan, membangun rumah dan mendirikan masjid dan tahun 1417 Wang  Jing Hong mendirikan patung Zheng He di Gua tersebut untuk dihormati dan dikenang masyarakat sekitar di tepi pantai yang sekarang telah berubah fungsi menjadi kelenteng. Bangunan tersebut berada di tengah kota Semarang karena Pantai Utara Jawa mengalami proses pendangkalan akibat adanya proses sedimentasi. Inilah awal mula pembangunan Kelenteng Sam Poo Kong. Tahun 1704 akibat hujan badai goa runtuh, kemudian masyarakat membangun goa buatan yang terletak disebelah makam Kyai Juru Mudi Wang Jing Hong.

Siapakah Laksamana Zheng He(Cheng Ho)? Laksamana Agung Zheng He/Cheng Ho yang juga dikenal sebagai Ma San Bao (1371 - 1437) adalah seorang Pelaut, Penjelajah, Diplomat dan Laksamana. Lahir di Kunyang, Yunnan, Tiongkok tahun 1371 dari pasangan suami istri Ma Hazhi dan Wen. Awal karir menjadi Kasim dibawah Kekaisaran Yong Le dari Dinasti Ming. Beliau memimpin armada muhibah mengunjungi negara-negara diseberang lautan sebagai duta perdamaian. Di tahun 1405 pelayaran Muhibah pertama beliau  memimpin 317 kapal megah dengan 28.000 personil, berangkat dari Suzhou, Pelabuhan Liujiagang mengunjungi Arab, Afrika Timur, Sri Lanka, Kalikut (India Barat) India, Brunei, Kepulauan Malaysia, Thailand, Champa, Sumatera, Palembang, Jawa. Dalam perjalanannya beliau mendapat banyak hadiah berupa Gaharu/Kayuwangi, Onta, Zebra, Jerapah. Beliau juga memberikan hadiah kepada daerah-daerah yang dikunjunginya berupa Emas, Perak, Porselen Keramik, Sutera. 

Kelenteng Sam Poo Kong
Gerbang masuk ke kelenteng Sam Poo Kong
Dalam tujuh kali pelayaran besar, beliau telah berhasil mengunjungi Selat Hormuz, Teluk Persia, Aden, Afrika, Mogadishu, Burawa (Somalia), dan Malindi (Kenya). Menurut Gavin Mendez, Sejarahwan Angkatan Laut Inggris, sejumlah kapal dari armadanya dibawah pimpinan Hong Bao telah mencapai Benua Amerika tahun 1421.

Beliau wafat tahun 1435 ditengah perjalanan pulang dari Kalikut (India Barat), meski di China  dibangun makamnya tetapi tanpa jenasah. Jenasah beliau diperkirakan dihanyutkan ditengah laut. Ada pula sejarahwan yang menyakini jenasah beliau dikebumikan di Semarang.

Sam Poo Kong dalam dialek Hokkian atau San Bao Dong (Mandarin) artinya Gua San Bao. Dalam dialek Fujian San Bao menjadi Sam Poo. Sam Poo Kong sendiri adalah gelar yang diberikan warga China Semarang kepada Laksamana Zheng He/Cheng Ho atas jasa-jasanya. Beberapa gelar lain yang disematkan kepada Zheng He adalah, Sam Poo Tay Djien (Laksamana), Sam Poo Tay Kang (Kasim), Sam Poo Tay Rin (Pembesar).

Kelenteng Sam Poo Kong
Panggung terbuka di kelenteng Sam Poo Kong
Komplek Kelenteng Sam Poo Kong terdiri atas sejumlah anjungan yaitu Kelenteng Besar dan Gua Sam Poo Kong, Kelenteng Tho Tee Kong tempat pemujaan kepada Dewa Bumi dan empat tempat pemujaan (makam Kyai Juru Mudi Wang Jing Hong, Kyai Jangkar tempat jangkar/sauh kapal Laksamana Zheng He, Kyai Cundrik Bumi tempat penyimpanan persenjataan dan Mbah Tumpeng tempat penyimpanan bahan makanan). Kelenteng Besar dan Gua merupakan bangunan yang paling penting dan merupakan pusat seluruh kegiatan pemujaan. Gua yang memiliki mata air yang tak pernah kering ini dipercaya sebagai petilasan yang pernah ditinggali Sam Poo Tay Djien (Zheng He).

Di Gedung Batu ada tanda yang berciri keislaman dengan ditemukannya tulisan berbunyi "marilah kita mengheningkan cipta dengan mendengarkan bacaan Al Quran". Disebut Gedung Batu karena bentuknya sebuah Gua Batu Besar yang terletak pada sebuah bukit batu, orang Indonesia keturunan China menganggap bangunan itu adalah sebuah Kelenteng mengingat bentuknya memiliki arsitektur bangunan China sehingga mirip sebuah Kelenteng. Sekarang tempat itu dijadikan tempat peringatan dan tempat pemujaan atau sembahyang serta tempat untuk berziarah. Untuk keperluan tersebut di dalam gua batu diletakan sebuah altar dan patung-patung Sam Poo Tay Djien. Laksamana Zheng He/Cheng Ho adalah seorang muslim tetapi oleh mereka dianggap dewa, hal ini dapat dimaklumi mengingat agama Kong Hu Cu atau Tao menganggap orang yang sudah meninggal dapat memberikan pertolongan kepada mereka.



Saranku bila kita mengunjungi kelenteng ini saat Imlek atau Perayaan Tahun Baru China dan kegiatan keagamaan lainnya karena lebih meriah dengan ornamen hiasan Lampion-lampion. Biasanya pada Bulan Agustus merupakan perayaan tahunan peringatan pendaratan Zheng He sebagai salah satu agenda wisata utama di kota Semarang. Perayaan ini dimulai dengan upacara agama di kuil Tay Kak Sie di Gang Lombok. Kemudian dilanjutkan dengan arak-arakan Patung Sam Poo Kong dari Kuil Tay Kak Sie ke Gedung Batu.

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 22 Januari 2018

Danau Oemenu: Gelombang Tinggi

Danau Oemenu I yang airnya berwarna kehitaman dan banyak batang pohon tumbang

Aku terus bergerak menerobos, aku mulai tidak bisa membedakan jalan karena jalur yang coba aku ikuti bisa tiba-tiba menghilang tertutup belukar. Saat aku memilih jalur lain hal yang sama kembali terjadi. Atau saat aku memaksa menerobos belukar, beberapa meter kemudian tiba-tiba aku menemukan jalan lagi.

Aku sesekali menengok ke belakang memastikan Obet dan Adis tidak jauh tertinggal di belakang. Semakin mendekati suara gelombang aku semakin bersemangat menaiki tebing karang sehingga beberapa saat lupa tidak menengok ke belakang sampai kemudian aku menyadari Obet sudah berada persis di belakangku namun tidak dengan Adis.

Adis berdiri diam terpaku beberapa meter dengan pandangan ke arah bawah tebing. "Dis!" aku memanggilnya pelan tapi dia seperti tidak menyadari. Aku memutuskan kembali untuk membantunya,
"Bet kamu di sini aku mau nyusul Adis".
"Dis, aku kesana ya" Tanpa menunggu persetujuannya aku kembali turun.
Baru beberapa langkah aku kembali, seperti menyadari sinar senterku yang mengarah kepadanya Adis seperti tersentak menengok ke arahku. "Tidak usah, lanjut" teriaknya.

Melewati tebing menuju ke danau Oemenu II
Di atas tebing terbuka barulah aku bisa melihat ada laut di depan kami. Ah, ada kelegaan di dada kami yang tidak terungkapkan. Setidaknya kami lebih mudah mencari jalan kembali dari pinggir laut. Kami pelahan mencari jalan pelan menyusuri karang terjal menuju ke arah pantai.

Tapi kelegaan kami hanya sebentar, ternyata tebing karang ini tidak memiliki pantai. Dan aku benar-benar tidak mengenal daerah ini. Entah di pantai mana sekarang kami berada. Hanya dalam gelapnya laut mata kami masih bisa melihat adanya sebuah pulau di depan yang tidak jauh dari tempat kami berdiri. Nantinya kami akan tahu bahwa kami sampai di depan Pulau Tubafu (ada yang menyebutnya Tubuafu yang artinya tugu batu).

Kami terduduk lemas di salah satu tebing karang. Jam sebelas malam, kelelahan, kehausan, tidak ada sinyal dan tak ada arah yang harus kami tuju. Empat jam lebih kami berjalan, akhirnya kami memutuskan akan bermalam di atas tebing yang kebetulan ada pasir-pasir pantai yang menutupinya sehingga dapat kami gunakan untuk sekedar duduk bersandar. Pertimbanganku dengan kondisi seperti ini, mencoba berjalan kembali justru akan banyak menguras tenaga.

Suasana siang hari di danau Oemenu II
Sayangnya kondisi tebing yang kami pakai tidak dapat untuk tidur rebahan juga masih cukup terbuka. Kondisi ini selain menyulitkan untuk istirahat juga sulit melindungi kami sekiranya ada angin kencang.

Aku berinisiatif mencari tempat yang lebih layak, karena aku lihat muka Adis dan Obet yang sudah tampak kecapekan, akhirnya aku memutuskan mencari sendiri. Pelahan aku mencari jalan ke arah pantai berharap ada daerah turunan yang cukup tersembunyi dan rata untuk kami bermalam.  
Pelahan aku mendekati ke ujung karang, namun tampaknya tidak ada tempat yang cukup rata atau pantai yang bisa kami gunakan untuk bermalam.

Samar-samar mataku melihat karang yang agak tinggi di sebelah kanan. Karena mungkin karang itu tempat yang paling pas untuk melihat kesekeliling aku memutuskan naik ke atas. Berdiri di atas karang itu pemandangan yang aku lihat lebih luas, walaupun di sekeliling tetap saja didominasi kegelapan. Bayangan pulau Tubafu dari atas sini semakin terlihat utuh. Sepertinya pulau itu tak lebih dari pulau batu dari karang-karang tinggi yang naik ke permukaan.

Ujung danau Oemenu II tempat pak Koster menangkap kepiting
Ombak pantai selatan ada beberapa meter di hadapanku malam ini tampak tenang. Memang tidak setenang pantai utara. Bunyi ombak yang menabrak karang deburnya memang masih terdengar keras. Benakku berkecamuk banyak pertanyaan yang tiada habisnya.

Dalam pekat malam yang nyaris tak bisa terlihat apa-apa aku mendengar suara gelombang yang mendekat ke karang. Seharusnya setelah itu aku mendengar suara debur saat gelombangnya terpecah dinding karang. Namun ternyata kembali sunyi. Apakah telingaku salah .........

Tiba-tiba beberapa saat kemudian ada warna putih muncul mengambang beberapa meter di atas kepalaku. Dalam waktu singkat penglihatanku itu, aku mencoba menerka. Apakah itu GELOMBANG??

Terlambat! Sesaat kemudian gelombang besar itu menghantamku. Aku dilanda kekagetan luar biasa, sepersekian detik sebelum gelombang itu menerjangku, aku membalikkan badan. Byarr!! Punggungku dihantam gelombang cukup keras, aku oleng namun tetap keras bertahan untuk tidak terbanting. Sekali aku terjatuh karang-karang tajam ini akan melalapku habis.

Laut kembali sepi.... Jantungku berdegup kencang, kejadian yang tidak pernah aku bayangkan akan terjadi. Masih masih berdiri dengan posisi punggung melengkung mendekap tas Adis. Dalam selintas pikiran itu, aku justru terpikir untuk menyelamatkan tas Adis yang berisi kamera. 
Beberapa menit berlalu dalam suasana mencekam. Setelah aku yakin tidak ada kejadian lagi, aku beringsut kembali ke tempat Adis dan Obet.

Obet dan Adis tampak keheranan saat aku kembali dalam kondisi basah kuyup. Entah apakah mereka bisa memperhatikan mukaku yang pucat. Adis cuma diam memandangku, antara prihatin dan iba. Obet yang biasanya cerewet pun kali ini tidak berkomentar apapun.

Aku meletakkan tas Adis yang dari tadi aku dekap dan melepaskan kaos yang sudah basah semua. Aku bersandar di salah satu dinding karang tanpa bisa berkata-kata. Apakah ini peringatan.... atau kah sekedar salam kenal? Aku tak mengerti.......

Napasku memburu.. jantungku berdegup sangat kencang, rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuhku mengalahkan hawa dingin malam ini. Aku bersandar ke dinding karang tanpa baju yang sudah kulemparkan entah kemana, setengah nanar. "Salahku opo? Salahku opo?" gumamku berulang kali tak lebih seperti dengung lebah di telinga. Aku menatap bayangan hitam di depan yang telah memporak porandakan kesadaranku. Dalam kondisi setelah linglung, bayangan kejadian barusan seperti diputar berulang-ulang.

Adis menatap lekat-lekat ke arahku dengan kebingungan yang sama. Entah apa yang terjadi pada anak ini, batinnya, pasti ada kejadian yang menyebabkan orang yang tidak pernah ada kata menyerah ini bersandar pucat pasi seperti ini. Pelahan dia ikut menjajariku.
Kami berdua diam, aku memalingkan wajah ke arah Adis yang cuma diam juga memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Seandainya bukan dalam kondisi begini, aku yakin akan beda cara melihat Adis. Pasti mukanya serasa penuh kemenangan melihatku begini. Kapan lagi melihat seorang Imam mengibarkan bendera putih.


"Aku salah apa Dis," aku mencoba mencari penguatan. Adis memaling wajah ke arahku tanpa menatapku. "Banyak," katanya kalem. Pengen dilempar senter nih anak..

Malam yang Panjang di Hutan Puru
Aku tersentak, refleks kaget terbangun saat kepalaku terantuk karang yang tajam. Aku mencoba memperbaiki dudukku dalam kondisi mata yang masih berat. Aku coba melihat dua orang temanku yang juga mencoba tidur di antara sela-sela karang yang bisa digunakan untuk bersandar. Tidak mudah tertidur di situasi seperti ini. Sekeliling kami adalah karang-karang tajam, hanya sedikit yang rata itu pun karena tertutup oleh pasir pantai. Inilah satu-satunya tempat kami beristirahat malam ini.

Suasana danau Oemenu II
Tiba-tiba aku bergidik merasakan hawa dingin. Saat musim panas seperti ini memang justru pada malam hari menjelang pagi justru suhu sering drop. Hal yang sama aku alami jika di Kupang. "Mam kita cari ranting ke hutan sana untuk api unggun?" Obet rupanya juga telah terbangun. 
Aku meraba kantong berharap masih ada korek api yang aku simpan, ah syukur rupanya masih ada di saku celanaku.

Aku dan Obet pelahan turun ke bawah mencari ranting yang bisa kami gunakan untuk api unggun. Tuhan masih menyayangi kami, saat mencari kayu aku menemukan sebuah sandal di sela karang entah milik siapa. Plastik, sendal adalah keajaiban dalam kondisi kami saat ini yang akan membantu api menyala lebih lama.

Akhirnya api unggun yang kami buat bisa menyala, lumayan mengusir rasa dingin yang kami rasakan. Kami duduk mengelilingi api unggun, beberapa percakapan kecil terjadi sekedar untuk membunuh waktu yang rasanya bergerak melambat. Tapi tidak ada yang mencoba percakapan dengan apa yang barusan kami alami. Tidak ada.. setidaknya saat ini....

Satu demi satu kami tumbang lagi setelah tidak kuat dijalari rasa kantuk. Ya kami harus menyimpan tenaga untuk perjalanan pagi nanti.....

Suara Yang Menyelamatkan
Sekitar jam enam pagi saat kami mulai berjalan, suasana agak redup tapi kondisi sekitar jauh lebih jelas terlihat dibanding semalam. Tiba-tiba aku seperti mendengar sayup bunyi lonceng. Aku mencoba menajamkan pendengaran untuk memastikan suara itu yang tercampur dengan bunyi debur ombak.

Aku melihat Obet yang wajahnya seketika berubah cerah, "Mam itu lonceng gereja kan? Iya, Mam! Itu bunyi lonceng gereja" katanya saat suara seperti lonceng terdengar makin menguat. "Puji Tuhan.." Wajah Obet benar-benar tampak cerah. Wah aku lupa kalau pagi ini hari Minggu pastilah itu lonceng gereja untuk kebaktian Minggu.

Kami berjalan lebih semangat kembali ke hutan menerobos semak belukar mengikuti suara lonceng yang kami dengar. Kali ini kami bergerak lebih pasti karena suara gereja terdengar jelas arahnya. Langit yang terang juga membantu kami melewati hutan. Sekaligus kami jadi menyadari bahwa di belakang pantai Eno'niu itu sebenarnya adalah hutan bukan hanya beberapa pepohonan milik masyarakat seperti yang aku kira.

Jam setengah delapan akhirnya kami bertiga bertemu jalan. Ada kelegaan luar biasa yang melingkupi kami. Saat menelusuri jalan, beberapa puluh meter di depan kami lewat seorang mama tua yang berdandan rapi yang menurutku mau ke gereja.
"Mam, aku yang meminta tolong ibu itu ya?" Obet menawarkan diri dengan sangat bersemangat. Yah giliran seperti ini, dia lah yang paling semangat. Dan taukah kalian, adegan selanjutnya tidak lebih adalah melihat pemutaran film India dengan semua melodrama-nya. Obet memang jago kalau urusan seperti itu.

Akhirnya aku bisa merasakan nikmatnya air yang memasuki tenggorokanku setelah semalaman didera kehausan. Kebetulan mama Viko juga ada kue-kue yang rencananya mau diberikan ke gereja. Ah rejeki anak sholeh, akhirnya bukan cuma mendapatkan minuman kami juga diberikan makanan. Kata Mama Viko, kue-kue yang kami makan itu memang rencananya mau dibawa ke gereja. Mama Viko sendiri biasa berjualan kue di pantai Puru.

Tapi ada satu keanehan yang aku simpan dalam hati. Sejak Obet menceritakan tentang peristiwa kesasarnya kami dan pengalaman bertemu danau, rasanya tidak ada yang menjelaskan tentang keberadaan danau itu. Entah kenapa, mereka tampaknya menghindari menceritakan danau itu.



======= 

Note: Cerita ini bukan pengalamanku sendiri melainkan teman-temanku yang kesana. Awalnya aku diajak namun karena ada kesibukanku akhirnya mereka bertiga yang kesana yaitu: Imam "Bocil" , Adisti "Pipi", dan Alberth "Obet"
Seharusnya aku ikut kesana, namun karena sedang ada kesibukan akhirnya cuma mereka bertiga. Aku kesananya pada hari Minggu setelah pagi-pagi ada telepon dari Vivi, temennya Adis, yang tanya apa Adis menghubungiku. Kata dia waktu itu, malam kejadian itu ada pesan masuk dari Adis, yang berpesan kalau sampai pagi tidak menerima kabar dari dia supaya menghubungiku.



Catatan Tentang Danau Oemenu
Beberapa bulan sebelumnya aku (penulis) dan mas Eko pernah datang ke danau Oemenu  ditemani pak Frengki dan pak Koster. Kata pak Koster waktu itu tempat itu jarang diketahui orang umum bahkan masyarakat sekitar sini. Pak Frangki sendiri mengakui kalau dia sendiri jika tidak ditemani pak Koster masih suka kesasar ke tempat ini.

Pak Koster cerita jika ada beberapa kali orang bule yang datang ke sini minta diantarkan ke danau Oemenu. Bukan pantai Puru? tanyaku waktu itu. Tidak pak, mereka datang ke sini ya maunya melihat Danau Oemenu. Sebelumnya mereka kesini dan membantu masyarakat memasang pipa untuk menarik air dari mata air menggunakan mesin genset. Sayangnya sekarang sudah tidak ada jejaknya, entah karena mesin gensetnya rusak.

Kebetulan sekitar danau Oemenu itu ada sebuah gua bawah tanah yang ada mata air besar yang tidak pernah kering. Mata air ini dulu suka disebut gua ABRI (sorry kalau salah, aku agak lupa penyebutan pak Koster tentang mata air ini) karena dulu tentara pernah memasang pipa untuk mereka gunakan mengambil air di sini. Cukup dalam, aku bisa mendengar suara airnya saat tes dengan melemparkan batu ke dalam gua. Tapi tetap tidak bisa melihat airnya, mungkin juga karena bentuk lekukan guanya.

Pertanyaan yang belum dijawab pak Koster waktu itu darimana orang-orang bule itu tahu tentang keberadaan danau Oemenu dan mata air itu. Setelah kejadian itu, aku baru berpikir lagi apakah ada hubungan antara bule-bule yang datang itu dengan penampakan orang-orang Belanda di danau Oemenu? Entahlah, alam kadang memberikan cerita kepada kita dalam potongan-potongan puzzle.


Tulisan sebelumnya: Danau Oemenu: Bertemu Sang Penunggu
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 18 Januari 2018

Danau Oemenu: Bertemu Sang Penunggu

Danau Oemenu I yang airnya berwarna gelap
Napasku memburu.. jantungku berdegup sangat kencang, rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuhku mengalahkan hawa dingin malam ini. Aku bersandar ke dinding karang tanpa baju yang sudah kulemparkan entah kemana, setengah nanar. "Salahku opo? Salahku opo?" gumamku berulang kali tak lebih seperti dengung lebah di telinga. Aku menatap bayangan hitam di depan yang telah memporak porandakan kesadaranku. Dalam kondisi setelah linglung, bayangan kejadian barusan seperti diputar berulang-ulang.

Adis menatap lekat-lekat ke arahku dengan kebingungan yang sama. Entah apa yang terjadi pada anak ini , batinnya, pasti ada kejadian yang menyebabkan orang yang tidak pernah ada kata menyerah ini bersandar pucat pasi seperti ini . Pelahan dia ikut menjajariku.
Kami berdua diam, aku memalingkan wajah ke arah Adis yang cuma diam juga memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Seandainya bukan dalam kondisi begini, aku yakin akan beda cara melihat Adis. Pasti mukanya serasa penuh kemenangan melihatku begini. Kapan lagi melihat seorang Imam mengibarkan bendera putih.


"Aku salah apa Dis," aku mencoba mencari penguatan. Adis memaling wajah ke arahku tanpa menatapku. "Banyak," katanya kalem. Pengen dilempar senter nih anak..

Rencana Nenda di Snaituka
Sore sekitar jam lima sore, kami bertiga baru masuk ke gerbang wisata Pantai Puru. Jalan dari desa Puru ke pantai ini yang paling memakan waktu. Tanah putih berdebu yang sudah tidak rata membuat motor tidak dapat dipacu. Jam lima namun cuaca masih terasa panas, maklum bulan Oktober seperti ini memang Kupang lagi panas-panasnya.

Pantai Snaituka rencana kami menginap
"Wah, pak Imam..." sapa ramah seorang pria berbadan gempal yang bertugas menjaga tempat ini sambil menyalamiku, "Eh, ada mbak Adis juga" senyumnya makin terbuka lebar saat mengetahui Adis juga datang.
"Mau nginep pak hari ini?" tanyanya. Namanya Pak Frengki, pria ramah ini memang sudah kami kenal lama, hanya Obet yang belum kenal dia karena memang baru sekali ini kesini.
"Iya, sudah sepi ya pak?" tanyaku sambil memandang sekeliling. Jika sudah terlalu sore seperti ini, sebagian besar pengunjung sudah kembali sehingga pantai Etiko'u tampak sepi.
"Iya biasa kalau hari begini. Nginap di tempat biasa kan pak," tanya pak Franki sambil menunjuk lopo yang biasa aku gunakan untuk menginap jika kesini.
"Mau ke pantai sebelah saja pak, bisa kan?"
"Bisa, tapi saya gak bisa temani. Ada acara malam ini."
"Nanti malam kalau sempat saya mampir ke tempat mas Imam," ujar pak Frangki sambil mulai membenahi beberapa barangnya. Katanya sih ada acara di tetangganya hari ini. Pak Frangki memang biasanya kalau pas kami menginap suka datang ke sini buat ngobrol-ngobrol sambil membakar api unggun.

Tanpa menunggu pak Frangki jalan, kami langsung berjalan masuk ke kiri menuju ke arah rerimbunan bakau. Kali ini tidak seperti biasa, kami berencana akan menginap di pantai Snaituka. Pantai Snaituka terletak disebelah pantai Etiko'u yang dibatasi pepohonan bakau dan bekas rawa yang mengering selama bukan musim hujan.

Sesampai di pantai Snaituka kami menaruh semua barang di dekat pepohonan yang pasirnya agak tinggi karena di bawah pohon kelapa masih terlalu banyak tanaman perdu yang batangnya banyak duri, tempat yang ideal untuk memasang tenda . Aku melihat matahari sudah mendekati batas horison dan pantai Snaituka bukan lokasi terbaik untuk menikmati pemandangan itu. Yap, tenda kami berencana tidur di pantai Snaituka tapi kami menghabiskan hari di pantai Eno'niu. Pantai terbaik untuk menikmati senja karena dari tempat itu matahari tampak tepat jatuh di horison air. Setelah berembuk, kami sepakat untuk menunda pasang tenda dan menikmati senja dulu di pantai Snaituka.

Aku bahkan memilih meninggalkan semua peralatan termasuk air minum karena aku pikir pantai Eno'niu yang cuma berjarak seratusan meter dari pantai Snaituka tidak praktis jika sambil membawa air minum. Walau jaraknya dekat tapi menuju pantai Eno'niu tidak mudah karena antara dua pantai ini dibatasi karang tinggi. Memang ada jalur yang dalam dilewati sesuai namanya yaitu Eno'niu (pohon asam), tapi tetap saja harus melewati karang tinggi yang tajam.

Kemalaman di Eno'niu
Pantai Eno'niu yang terlindung karang di kiri kanan
Karena terlalu asyik menikmati pantai Eno'niu, kami bertiga baru tersadarkan jika langit sudah terlalu gelap. Giliran mau balik ini lah yang menjadi masalah. Jalan kita masuk ke tempat ini sudah terlalu gelap padahal saat terang saja kita harus ekstra hati-hati.

"Mam, kita lewat jalan lain ya" Obet bertanya tapi aku tahu anak ini sebenarnya takut.
"Takut Bet?"
"Gak lah, aku cuma takut kalian kesusahan lewat.. Aku cuma pengen lewat jalan lain saja kok"
"Ya udah. lewat balik jalan tadi aja" 
"Jalan lain aja, aku gak suka jalannya kalau gelap. Bukan takut sih, tapi agak gimana gitu. Lewat jalan lain ya"
Tokek satu ini memang begini. Aku tahu dia sebenarnya takut dengan ketinggian, apalagi harus lewat melalui jalan masuk tadi saat gelap begini. Tapi tetap saja kelakuannya sok cool (baca: kedinginan).

Sebenarnya kalau sedang surut kita bisa berjalan menyusuri pinggir pantai. Tapi saat ini justru air baru setengah tinggi sehingga ombak bisa menjangkau sampai ke pinggir karang jelas bukan ide bagus. Masalahnya beberapa kali ke sini aku belum pernah ditunjukkan jalan lain selain lewat karang dan pinggir pantai. Aku sendiri tidak tahu ada apa dibalik pepohonan pantai Eno'niu. Aku pernah naik di salah satu karang bareng mas Beki tapi waktu itu yang tampak disekeliling hanya pepohonan dan karang-karang tinggi. Entah berapa jauh jarak ke perkampungan dari tempat ini.

"Dis, bawa minum?"
"Gak"
"Obet?"
"Gak lah, kan kita tinggal semua di tenda"
"Ah, sial!"

Salah satu jalan menuju ke pantai Eno'niu
Cukup lama aku harus menimbang. Tidak ada minuman, tidak ada pisau, dan tentu saja tak ada sinyal di sini. Cuma ada satu senter, dan itu aku saja yang bawa. Tidak ada pilihan untuk bertahan disini. Memang ada ceruk di salah satu tebing yang bisa kita gunakan untuk bermalam hanya bukan saat ini, bukan pada saat seluruh barang kami tinggal di dalam tenda.

Akhirnya aku memutuskan masuk ke dalam rerimbunan pepohonan dimana ada sebuah jalan kecil disitu. Aku melihat sebuah jalan kecil temukan saat langit masih cukup tadi sore. Aku sendiri tidak tahu pasti di balik pantai Eno'niu adalah sebuah hutan, hanya perkiraanku saja. 

Aku fikir setidaknya jika aku terus berjalan mengikuti arah kiri aku akan bisa sampai ke salah satu pantai entah pantai Etiko'u atau syukur bisa ke pantai Snaituka. Atau sesial-sialnya tetap akan ketemu jalan kampung.

Di depan jalan kecil yang tidak kami kenal ini kami terhenti sejenak. Ada secuil doa yang diam-diam aku panjatkan bahwa ini bukan keputusan yang salah. Aku di depan memimpin jalan dengan senter di kepala. Obet di belakangku dan yang paling belakang adalah Adis dengan mengunakan cahaya senter dari hape masing-masing. Kenapa justru Adis yang notabene cewek justru yang paling belakang? Kalian pasti tahu apa sebabnya.

Bertemu Danau Oemenu
Aku menyusuri jalan dengan hati-hati. Setiap ada kemungkinan ke kiri aku akan memilih jalan itu. Semakin dalam aku masuk, pepohonan semakin lebat, jalan pasir putih mulai digantikan dengan karang yang tidak rata. Semakin ke dalam jalan yang mulai tambah tak jelas, beberapa kali kakiku harus terantuk akar kayu yang menjalar di sepanjang jalan.

Danau Oemenu I menjelang tengah hari
Aku terus berjalan yang pelahan menanjak sampai pada titik tertinggi dan berhenti di antara bayangan tinggi karang yang menjulang dengan akar pohon yang menutupinya, mungkin pohon beringin.

Dalam keremangan malam, cahaya senterku menangkap bayangan gelap air jauh di bawah. Aku tidak terlalu yakin. Aku berhenti menunggu Obet dan Adis mendekat. "Itu dibawah air Bet?" tanyaku setelah Obet menjajariku.
Mata Obet menatap lekat-lekat ke bawah mengikuti arah pandanganku. Tak ada jawaban.
"Bet, kita cek ke bawah dulu?"
"Kamu aja cek mam, aku tunggu di sini jagain Adis," usul Obet disambut muka galak Adis yang merasa dimanfaatkan sama Obet.

Danau Oemenu II yang airnya berwarna hijau
Sambil mencari pijakan pelahan aku turun ke bawah meninggalkan mereka berdua menunggu di atas. Beberapa langkah turun, samar aku bisa mencium bau anyir. Aku diam agak ragu, aku melihat ke atas melihat apakah mereka berdua juga membaui hal yang sama. Semakin turun ke bawah bau anyir semakin tercium kuat. Jalan menurun agak curam tapi terbantu dengan sulur-sulur yang melintang sepanjang jalan bisa untuk membantu pijakan atau pegangan.

Sekarang di depanku tampak sebuah kubangan air sebesar rawa yang airnya yang tampak pekat kehitaman. Pepohonan besar yang mengelilinginya tampak seperti bayangan mahluk hitam besar penjaga rawa. Hawa dingin menerpa sebelah kananku begitu halus. Refleks aku menolehkan pandangan ke kanan dan sebuah jalan kecil samar dan di depannya ada ............

Tak ada apa-apa.. hanya hitam gelap....

"Dis.. Bet.. turun, kayaknya ada jalan di depan sini," aku berteriak ke arah Adis dan Obet berdiri menungguku di atas.

========
Malam terasa begitu sunyi sehingga bunyi-bunyian dari binatang malam sangat jelas terdengar seperti bersahut-sahutan. Aku bahkan dengan jelas bisa mendengar kaki Imam merosot turun ke bawah. Satu-satunya yang membantu mengusir sunyi pada saat ini adalah celotehan Obet yang tidak jelas. Cukup membantuku mengabaikan kelebatan-kelebatan suara kaki yang bergerak cepat di belakangku.

"Dis, kita turun," Obet menoleh kepadaku. Sebelum aku mengiyakan ternyata Obet sudah turun duluan, padahal kukira dia mau meminta aku turun duluan. Mahluk satu ini dalam situasi tertentu kadang kelihatan kampretnya.

Mas Eko menuju ke danau Oemenu II
Kami berdua turun mengikuti jejak Imam sambil menjangkau sulur-sulur pohon untuk dijadikan pegangan. Tak berapa lama Obet sudah berdiri menjajari Imam. Aku yang masih beberapa meter di belakang Obet dan Imam saat tiba-tiba merasakan beberapa langkah kaki bergerak mendahuluiku.  

Saat aku menoleh ..... pandanganku terpaku pada sosok pendek bergerak turun di sampingku. Wajahnya terlihat samar gelap seperti muka yang bersembunyi di balik bayangan. Satu satunya tiba-tiba berhenti dan seperti menyadari sesuatu tiba-tiba menengok ke dan menatapku. Mata bulat menyudut berwarna merah sesaat membuatku diam terpaku. Lalu dia bergerak menghilang di kegelapan hutan. Mata itu mengingatku pada mata seekor rusa.

Seperti tersadar kalau tanganku sudah tidak memegang hape yang aku gunakan sebagai pengganti senter, sontak aku meraba-raba tanah mencarinya. Untung cahaya hape menyala sehingga sebentar sudah aku temukan lagi. Aku memejamkan sejenak, pengalaman tadi membuat jantungku berdetak kencang. Sepertinya ini adalah permulaan, batinku.

Aku mendengar Imam dan Obet memanggil-manggil namaku. "Iya, gak pa-pa!" sahutku supaya mereka tidak merasa kuatir.

Pelahan aku kembali turun ke arah mereka. Tak berapa lama kemudian aku sudah berdiri beberapa meter di depan mereka. Ada kelegaan di mata mereka melihatku.

Tiba-tiba ada hembusan angin dingin dari belakang mereka ke arahku. Aku menahan diri untuk tidak melihat. Sedetik.. dua detik.. tidak ada apa-apa. Tiba-tiba ada beberapa kali yang melintas di sampingku yang membuatku tanpa sadar melihat ke arah mereka.

Mataku mengikuti arah mereka hingga akhirnya tertumbuk ke arah dimana angin dingin tadi bertiup dan di balik bayangan pepohonan aku melihatnya.....
=========

Aku dan Obet menoleh ke arah Adis karena tiba-tiba merasakan suasana senyap. Aku melihat Adis terdiam. Karena tidak melihat gerakan gadis itu akhirnya aku dan Obet bersamaan teriak memanggilnya. Untung tak lama kemudian Adis menjawab. Ah aman, pikirku.

Aku berjalan beberapa langkah ke depan untuk memastikan jalan yang akan kami lewati. Saat aku menimbang arah tiba-tiba mataku tertumbuk pada pandangan Adis di belakangku. Sontak aku mengikuti arah pandangnya dan ...........  

Hanya ada kegelapan kosong, selain bau anyir air lumpur rawa ini tentu saja. "Dis," panggilanku pelan seperti tidak didengarkannya, pandangannya tetap seperti semula seperti terpaku.
"Dis," aku memanggil sedikit lebih keras. Adis tidak menjawab tapi buru-buru bergerak ke arahku disusul dengan Obet kemudian. "Kita jalan," katanya seperti menghindari sesuatu.

Milkyway di atas langit Puru
Kami kembali berjalan menembus hutan yang tidak tahu kapan berakhirnya. Perjalanan berikutnya bukan makin mudah karena kami justru harus melewati karang yang lebih tajam-tajam dibanding sebelumnya. Beberapa sulur ternyata ada duri. Aku tak tahu kalau beberapa sulur yang mirip akar itu sebenarnya pohon tuba yang memang tumbuhnya menjalar, cuma bedanya sepanjang batangnya banyak duri. Aku sudah mengabaikan rasa perih yang beberapa kali kurasakan saat salah memegang sulur.

Aku selalu mencoba memilih ke kiri berharap untuk setidaknya bertemu dengan pantai. Namun entah mengapa selalu ada dinding karang terjal yang membuat aku harus berjalan memutarinya. Ada suara ombak yang aku dengar tapi sulit menentukan di sisi mana karena suara itu bisa jadi dari pantulan bukit-bukit karang. Suara ombak itu seperti berasal dari beberapa sisi. Beberapa kali aku coba mengikuti suara ombak tapi berakhir di dinding karang yang tidak bisa dilewati.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam namun tidak ada tanda-tanda bakal menemukan pantai. Rasa kuatir mulai merambati hatiku. Celotehan Obet bahkan sudah tidak terdengar lagi, hanya sekali-kali. Tapi cukup membantu mengurangi beban, apalagi berjalan tak tentu arah selama tiga jam membuat kerongkongan kami kehausan.

Dalam langkah dengan keyakinan yang makin goyah, langkahku seperti menemukan titik terang saat aku bisa mendengar lamat-lamat di depanku. "Bet, itu suara ombak dari depan kan?" aku coba mencari pendapat lain. Obet menganggukkan kepada enggan, semangatnya mulai patah.
Aku cuma berharap dia tidak benar-benar kehilangan semangat. Satu-satunya yang tetap membuat kami bertahan di saat seperti ini. 

Dengan sebagian semangat yang masih tersisa, aku mulai baik pelahan ke atas batu karang menembus sulur-sulur yang makin rapat. Makin ke atas, asal suara ombak makin terdengar jelas, sehingga aku makin yakin kami makin mendekati pantai.

=========
Aku tidak peduli betapa tenggorakanku sudah mengering dari tadi, aku hanya mengikuti langkah mereka berdua yang terus berputar-putar di hutan ini. Bahkan saat Imam mulai tampak semangat mengikuti bunyi ombak yang diyakini telah dekat pantai.

Aku hanya ingin keluar dari hutan ini, tidak ada yang lain. Perkenalan dua kali tadi cukup membuatku yakin bahwa mereka tidak menyukai kami di sini.

Beberapa kali aku harus merelakan kakiku terluka terkena ujung karang yang tajam. Awalnya memang terasa pedih namun karena terlalu sering aku justru malah mengabaikannya. Lain dengan Obet, tiap kali kakinya terkena sulur atau tersangkut karang masih saja sumpah serapahnya keluar. Mujur masih ada suara dia, setidaknya keheningan hutan ini tidak segera membunuh semangatku.

Aku sempat berfikir untuk mengajak mereka turun ke danau itu, tapi lagi-lagi aku memilih diam. Walaupun aku bisa melihatnya belum tentu perjalanan ke bawah mudah. Sambil terus berjalan mataku mencuri lihat ke arah danau berharap ada jalan mudah turun ke sana.

Tiba-tiba di ujung danau aku melihatnya......... Dia hanya menatapku, tidak hanya satu...
==========


(bersambung ke Danau Oemenu: Gelombang Tinggi)
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya