Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Jumat, 05 Januari 2018

Menaklukkan Benteng Tolukko


Pernah lihat acara TV Takeshi's Castle? Sebuah acara reality show yang aslinya berasal dari TV Negara Jepang, menyiarkan ujian permainan ketangkasan demi menaklukan Benteng Kastil Takeshi.  Bagi yang berhasil melewati semua ujiannya dianggap sebagai pemenang dan berhak atas sejumlah hadiah. Nah, benteng ini mengingatkan aku dengan benteng yang ada di reality show Takeshi's Castle itu. Benteng yang bentuknya seperti bidak catur dan juga seperti benteng-benteng yang ada dalam negeri dongeng.

"Ino Wosa Lafo Waro Masejarahnya", tulisan spanduk dalam bahasa Ternate yang berarti, Mari Masuk Supaya Kita Tahu Sejarahnya, terpasang di pintu gerbang masuk benteng. Undak-undakan tangga diapit pot-pot tanaman hias yang cantik menghampar seakan menyambut pengunjung yang datang.

Aku melewati lorong dan menuruni undakan tangga menuju ke arah belakang benteng dengan view laut. Pemandangannya bagus, aku betah berlama-lama di spot ini. My favorite spot! Dari sini tampak lautan luas dan Pulau Tidore dengan Gunung Kie Matubu-nya dikejauhan. Disisi kanan benteng terlihat Gunung Gamalama seakan merengkuh. 

Benteng ini dikelilingi oleh tembok yang tebal dan kokoh. Ada bagian dari dinding tembok dibuat seperti menonjol keluar, tempat ini disebut Bastion. Dulunya digunakan sebagai pertahanan, tempat moncong meriam atau senjata untuk menghalau musuh yang datang dari laut. Disini juga ada ruangan bawah tanah dengan beberapa bilik ruangan.

Asal nama Tolukko berasal dari salah satu nama Sultan Ternate yang bernama Kaicil Tolukko yang memerintah sekitar tahun 1692. Namun sumber lain mengatakan karena masyarakat tidak jelas melafalkan nama Benteng Santo Lucas (nama benteng pertama kali) sehingga menjadi Tolukko. Lokasi berada di jalan raya utama provinsi tidak jauh dari Kedaton Kesultanan Ternate, tepatnya di Kelurahan Sangadji, Kecamatan Ternate Utara, Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. 

Benteng pertama kali dibangun oleh Fransisco Serao, Panglima Portugis pada tahun 1540 dan diberi nama Santo Lucas. Alasan dibangunnya benteng sebagai basis pertahanan sekaligus pusat penyimpanan rempah-rempah (Cengkih, Pala, Kayu Manis, Merica) dalam menguasai dan mendominasi jalur rempah atas bangsa Eropa lainnya (Spanyol & Belanda). Letak benteng yang strategis diatas bukit dan dekat dengan perairan/laut untuk mengawasi kapal-kapal  lewat dan situasi yang terjadi di Kedaton Kesultanan Ternate.

Setelah perlawanan rakyat Ternate dibawah pimpinan Sultan Baabullah, maka kekuasaan Portugis berakhir pada tahun 1577. Benteng Santo Lucas pun berhasil dikuasai Kesultanan Ternate.

Dalam suatu pertempuran Belanda berhasil merebut benteng ini dari Kesultanan Ternate pada tahun 1610 dan mengganti namanya menjadi Hollandia. Benteng Hollandia kemudian direnovasi oleh Pieter Both. Berdasar kerjasama antara VOC dan Kesultanan Ternate pada tahun 1661, Sultan Mandar Syah diberi ijin untuk menempati benteng ini dengan personil yang dibatasi. Pada Tahun 1864 Residen P. Van Der Crab memerintahkan untuk mengosongkan benteng karena sebagian bangunan telah rusak.


Benteng Tolukko dipugar oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku pada tanggal 1 Juli 1996. Setahun berselang tepatnya tanggal 25 Nopember 1997 diresmikan penggunaannya oleh Prof.DR. ING Wardiman Djojonegoro, selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu. 

Foto dan Tulisan : Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 18 Desember 2017

Keraton Ratu Boko, Istana Kedamaian dan Kejayaan Abadi

Candi Ratu Boko
Gerbang masuk kedua dari Candi Ratu Boko
Megah dan agung, kesan pertama yang aku rasakan saat memasuki keraton ini. Gerbang gapura berdiri kokoh diapit dinding benteng dengan anak tangga untuk masuk ke atas.  Gerbang gapura pertama dengan 3 pintu dan dilanjutkan gerbang gapura kedua dengan 5 pintu. Tulisan pada Gapura Pertama "Panabwara" ditulis oleh Rakai Panabwara (Keturunan Rakai Panangkaran). Penanda Panabwara sebagai penguasa keraton ini.

Gerbang gapura ini spot yang paling diminati pengunjung untuk berfoto. Apalagi bila matahari terbenam, kesan dramatis menambah indahnya obyek foto. Dari gerbang gapura ini tampak pesawat-pesawat terbang melintas dan pemandangan sekitar Yogyakarta. 

Candi Ratu Boko
Candi pembakaran (kremasi)
Setelah melewati gerbang gapura kedua, disebelah kiri terlihat candi pembakaran/kremasi.  Dibelakang tempat kremasi terdapat sumur suci yang mata airnya tak pernah kering. Air dari sumur suci ini biasanya digunakan untuk ritual keagamaan umat Hindu dan Buddha. Dulu aku sempat membasuh tanganku dengan air di sumur ini, tetapi sekarang sudah tidak bisa karena bibir sumur sudah dikelilingi dengan tumpukan batu yang tinggi. Bila ingin melihat bersantai sambil menikmati alam di ketinggian, ada gardu pandang yang letaknya tidak jauh dari candi Pembakaran/kremasi ini.

Tempat lain yang menurutku menarik adalah Kaputren/kolam. Kita harus ke sisi kanan melewati dua bangunan Paseban yang saling berhadapan, Pendopo dan lorong selasar yang diapit dinding dikanan-kirinya untuk menuju Kaputren/kolam. Kaputren ini terbagi dua bagian dipisahkan oleh dinding, dan dihubungkan dengan pintu gapura kecil. Bagian pertama dengan 3 kolam yang besar, dan bagian kedua dengan 7 kolam kecil-kecil. Rasanya ingin bermain air di kolam ini, sepertinya menyenangkan.

Disebelah kiri terpisah jauh dari Kaputren ada goa-goa yang dahulu biasanya digunakan bermeditasi. Ada Goa Lanang  dan Goa Wadon.

Keraton Ratu Boko berada di Desa Bokoharjo dan Desa Sambireja, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman. 3 km disebelah selatan komplek Candi Prambanan, 18 km sebelah timur Kota Yogyakarta. Berada diatas puncak bukit yang tingginga kurang lebih 200 meter. Situs ini memiliki lokasi seluas 25 hektar terdiri dari, Gerbang Utama, Candi Pembakaran dan Sumur Suci, Paseban, Pendopo, Keputren/Kolam, dan Gua. Diperkirakan dibangun abad ke-8 masa Wangsa Syailendra/ Dinasti Syailendra ( Rakai Panangkaran, Raja ke-2 dari Kerajaan Medang/ Mataram Kuno).

Nama Ratu Boko berasal dari legenda masyarakat setempat Ratu Boko (Bahasa Jawa adalah Raja Bangau), Ayah Lara Jonggrang. Namun kutipan kisah Mas Ngabehi Purbawidjaja dalam Serat Babad Kadhiri menggambarkan keberadaan Situs Ratu Boko dalam versi yang lain.

Kaputren Candi Ratu Boko
Kaputren di kawasan Candi Ratu Boko
Dalam Serat Babad Kadhiri mengisahkan Prabu Dewatasari dari Keraton Prambanan. Raja Prambanan adalah Prabu Boko seorang raja yang ditakuti karena gemar makan daging manusia. Sebenarnya Prabu Boko seorang perempuan yaitu Permaisuri Raja Prambanan yang bernama Prabu Prawatasari, titisan raksasa yang bernama Butho Nyai. Kecantikannya tiada tanding dan tingginya melebihi rata-rata orang dewasa sehingga dia mendapat nama alias Roro Jonggrang/Lara Jonggrang. Setelah melahirkan putranya Prabu Boko mempunyai kebiasaan makan daging manusia. Prabu Dewatasari murka dan mengusir Prabu Boko dari istana. Prabu Dewatasari menyesal karena telah mengusirnya dan membuat patung yang mirip dengan Permaisuri Prawatasari/Prabu Boko untuk mengenangnya. 

Berdasar tulisan seorang Arkeolog Belanda bernama H.J.De Graaff pada abad 17 menginformasikan adanya penemuan reruntuhan bangunan istana di Bokoharjo.Tahun 1790 Van Boeckholtz mempublikasikannya dan menarik ilmuwan untuk menelitinya. Awal Abad ke 20 FDK Bosch kembali meneliti dan menyimpulkan bahwa reruntuhan di Bukit Boko merupakan bekas keraton.
  
Gerbang kedua Candi Ratu Boko
Tangga dari gerbang kedua di Candi Ratu Boko
Prasasti Abhya Giri Wihara 792 M yang ditemukan di situs Ratu Boko, menyebut Tejahpurnapane Panamkarana/ Rakai Panangkaran (746-784 M) dan kawasan Wihara di atas bukit yang dinamakan Abhyagiri Wihara. Disebutkan bahwa Rakai Panangkaran mengundurkan diri dari raja untuk mendapatkan ketenangan rohani dan memusatkan pikiran pada masalah keagamaan Buddha, dengan dibangunnya Abhyagiri Wihara. Ratu Boko/ Abhyagiri Wihara lebih dulu dibangun dibandingkan Candi Borobudur (pemerintahan Rakai Garung Samaratungga) dan Candi Prambanan (pemerintahan Rakai Pikatan).

Gerbang masuk Candi Ratu Boko
Menurut Prasasti Siwagrha 856 Masehi Abhyagiri Wihara dirubah dari Wihara menjadi benteng pertahanan oleh Balaputradewa dalam perebutan tahta dengan Rakai Pikatan (menantu Rakai Garung Samaratungga, anak Rakai Patapan Pu Palar). Balaputradewa adalah putra Rakai Warak Samaragrawira, Raja ke-4 Medang. Akhirnya Balaputradewa pergi ke Sri Wijaya dan menjadi raja disana (Sriwijaya adalah kerajaan yang telah ditaklukan oleh Rakai Panunggalan/Dharanindra Raja ke-3 Kerajaan Medang, Kakek Balaputradewa).

Disebutkan juga dalam Prasasti Siwagrha, Rakai Walaing Pu Kumbayoni (tahun 856-863 Masehi), seorang raja bawahan Medang dalam pemberontakannya dengan Rakai Pikatan, berhasil merebut Abhyagiri Wihara dan menamainya Keraton Walaing. 

Menurut Prasasti Mantyasih yang diprakarsai oleh Rakai Watukura Dyah Balitung (tahun 898-908 Masehi), Walaing adalah keturunan Punta Karna, yang menulis Prasasti Mantyasih tahun 907 Masehi. Sedangkan menurut prasasti yang ditemukan di Keraton Ratu Boko ini diketahui Rakai Walaing Pu Kumbayoni adalah cicit Sang Ratu di Halu, diidentifikasikan Sang Ratu di Halu memiliki hubungan kerabat dengan Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya, Pendiri Kerajaan Medang.

Pada masa itu terjadi beberapa kali pemberontakan karena masing-masing pihak merasa berhak atas tahta Medang. Penguasaan atas Abhyagiri Wihara berpengaruh pada perubahan struktur bangunan dari corak  Buddha (Rakai Panangkaran) ke corak Hindu (Rakai Walaing).



Sekarang bila kita mengunjungi Candi Prambanan diberikan promo tiket paket untuk ke situs Keraton Ratu Boko. Kita hanya membayar Rp. 65.000 untuk dapat dua tiket masuk obyek wisata, Candi Prambanan dan Keraton Ratu Boko. Dari Candi Prambanan disediakan shuttle bus menuju Keraton Ratu Boko pergi pulang. Jarak dari pintu masuk menuju komplek keraton sekitar 100 meter. Melewati taman dengan hamparan rumput hijau dan tanaman hias. Taman telah dilengkapi bangku taman dan wastafel untuk cuci tangan di tiap gazebo. Tidak jauh dari taman juga ada Toilet/WC umum dan Mushola. 

Tahun 2017 ini ketiga kali aku mengunjungi situs Keraton Ratu Boko. Masih seperti dulu terlihat sepi tetapi sebenarnya ramai. Pertama kali kesini tahun 2005. Aku ingat jariku tertusuk duri tanaman perdu yang tumbuh di sekitar Pendopo. Kunjungan kedua tahun 2008. Selepas kunjungan kedua itu aku bermimpi aneh. Rasanya aku berada di atas sebuah gunung atau bukit yang dikelilingi air. Sebuah suara membisikiku seakan memberitahu nama tempat yang aku pijak. 

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro

Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 01 Desember 2017

Memuja Sang Dewi Danu di Ulun Danu Beratan


Aku singgah di Strawberry Farm Restaurant untuk istirahat setelah mengarungi lautan macet. Mungkin karena kunjunganku ini bertepatan dengan libur panjang 4 (empat) hari jadi akses jalan padat dimana-mana. Ice Coffee Latte dan Jus Stroberi yang segar dan mantap telah menuntaskan dahagaku. Aku pun semakin bersemangat melanjutkan perjalanan ke Pura Ulun Danu Beratan.


Begitu memasuki kawasan pura ini, disambut dengan pepohonan Pinus, Palem dan bunga-bunga Jepun atau Bunga Kamboja yang menghiasi taman dengan jalan setapak yang membelah menuju gerbang danau. Di depanku Turis Asing seorang Ibu dengan anak perempuannya yang menginjak remaja. Dari percakapan yang aku dengar, mereka dari negerinya Vladimir Putin, Rusia. Aku memang suka curious alias kepo kalau ada orang Rusia sedang berbicara. Anggap saja aku sedang berada di Laboratorium Bahasa Rusia, Bahasa yang pernah aku pelajari beberapa tahun yang lalu.

Obyek wisata Ulun Danu Beratan berlokasi di daerah Desa Candi Kuning, Kecamatan Baturiti,  Kabupaten Tabanan, Bali. Sekitar 56 (limapuluh enam) Kilometer dari Kota Denpasar. Berada di tepi jalan provinsi arah Bedugul. Terletak pada ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut. Dikenal sebagai danau "Gunung Suci".

Berdasar Babad Mengwi, Ulun Danu dibangun oleh Raja I Gusti Agung Putu/ I Gusti Agung Sakti dari Kerajaan Mengwi sebelum tahun Saka 1556 ( tahun 1643 Masehi). Pura ini digunakan untuk persembahan sebagai penghormatan kepada Dewi Danu, Dewi air, danau dan sungai.

Komplek Pura Ulun Danu Beratan terdiri dari 5 (lima) pura dan 1 (satu) Stupa Buddha. Pura Penataran Agung, Pura Dalem Purwa, Pura Taman Beji Ngebejiang, Pura Lingga Petak, Pura Prajapati dan Stupa Buddha yang dibangun sebagai wujud toleransi bagi pemeluk agama Buddha.

 

Oohh ternyata sedang ada upacara di Bale Panjang Pura Dalem Purwa untuk penghormatan kepada arwah para leluhur. Pantas saja Ulun Danu Beratan tampak dipadati penduduk sekitar. Mereka berpakaian adat berupa Kebaya, Beskap, Kain, Ikat kepala dan Ikat Pinggang khas Bali yang didominasi warna Putih dan Kuning Emas. Sambil menangkupkan dua telapak tangan di atas kepala, mereka tampak khidmat melaksanakan ritual yang dipimpin seorang Pedanda.

Nah, ini yang aku cari, spot gambar lembaran uang Limapuluh Ribu Rupiah. Coba cek yang punya lembaran uang Rp.50.000, di situ terlihat gambar Pura Lingga Petak atau lebih dikenal sebagai Pura Ulun Danu Beratan. Pura ini memiliki dua Pelinggih yaitu, Pelinggih Meru Tumpang Solas dan Pelinggih Tumpang Telu. Disini terdapat sumur suci dan keramat yang menyimpan Tirta Ulun Danu (Air Suci Ulun Danu). Wisatawan dianggap belum pernah ke Bali kalau belum ke tempat ini, karena Pura Ulun Danu Beratan adalah ikon wisata Bali.

Cuaca mendung dan berkabut tidak menghalangi para wisatawan untuk berpose di ikon wisata Ulun Danu Beratan. Memang harus ekstra sabar antri untuk bisa berfoto di ikon ini. Akhirnya aku pun bisa berfoto sambil memamerkan lembaran uang Lima Puluh Ribu Rupiah-ku. Aseeekk!

Bagi pengunjung yang ingin mengarungi danau, pengelola obyek wisata menyediakan Perahu berbentuk Bebek dan Angsa yang bisa disewa perjam-nya. Kios-kios yang menjual Cenderamata/souvenir berjajar di pintu keluar obyek wisata, bersebelahan dengan parkiran. Aku sempat membeli celana kain Merah khas Bali favorite-ku.

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 19 November 2017

Geosite Breksi Tuf Candi Ijo, Beraksi di Tebing Breksi

Geosite Breksi Tuf Candi Ijo
Penampakan bagian depan Geosite Breksi Tuf Candi Ijo
Pahatan Naga Besar bermahkota Jamang tampak menyambut di ujung tangga masuk pada bagian tebing pertama yang lebih kecil. Tangga-tangga dibuat dengan memahat dinding tebing. Pahatan Wayang Bima, Arjuna dan Sumbadra di bagian tebing kedua yang lebih besar. Beberapa pengunjung sedang berpose dengan Burung Hantu disisi tangga yang menuju puncak tebing kedua yang lebih besar.


Aku meniti tangga untuk ke puncak tebing yang kedua. Di atas angin berhembus kencang. Dari sini kita bisa melihat Bandar Udara Adi Sucipto dan Kota Yogya di kejauhan. Penduduk sekitar telah menyediakan spot-spot foto lengkap dengan dekorasi kekinian yang disukai para remaja ABG tentu saja dengan membayar sekedarnya. Beberapa contoh plang tulisan " Kawasan Wajib Senyum", "Pacaran Mulu Kapan Nikah?", Bentuk dekorasi kerang Tiram yang besar dan asesoris untuk kepala.


Geosite Breksi Tuf Candi Ijo
Panggung pertujukan
Di muka tebing dibangun panggung pertunjukan pentas seni budaya. parkiran luas menghampar. Di sisi kanan kios-kios makanan dan minuman yang dilengkapi fasilitas Mushola dan WC umum. Kendaraan jenis ATP dan mobil Jeep disediakan bagi pengunjung yang ingin meng-explore Tebing Breksi lebih lanjut.
Pertama kali aku datang kesini Desember tahun 2016. Aku singgah sejenak karena searah dengan tempat wisata Candi Ijo. Tebing Breksi sedang berbenah mempercantik diri. Kunjungan kedua di Bulan Oktober 2017, terlihat pagar-pagar telah dibangun disisi tangga dan atas tebing agar pengunjung terlindungi. 

Geosite Breksi Tuf Candi Ijo
Tebing Breksi berlokasi di Sambirejo, Prambanan Kabupaten Sleman, sekitar 10 km dari Bandar Udara Adi Sutjipto Daerah Istimewa Yogyakarta. Sekilas tempat ini mengingatkanku dengan lokasi wisata di Bali, Garuda Wisnu Kencana dan Pantai Pandawa.

Berdasar penetapan Surat Keputusan Badan Geologi No.1157.K/73/BGL/2014 tanggal 2 Oktober 2014 tentang Penentuan Kawasan Cagar Alam Geologi Daerah Istimewa Yogyakarta, Geosite Breksi Tuf Candi Ijo atau yang lebih dikenal sebagai Tebing Breksi adalah Geoheritage. Pengertian dari The Geological Society of America tahun 2012 menjelaskan, Geoheritage: (berasal dari kata geo - yang berarti "bumi" dan -heritage yang berarti "warisan") adalah situs atau area geologi yang memiliki nilai-nilai yang penting dibidang keilmuan, pendidikan, budaya dan nilai estetika.

Geosite Breksi Tuf Candi Ijo
Bukti sudah sampai ke tempat ini
Menurut Tim Geoheritage dari Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta, Riwayat Geologi Yogyakarta terbagi menjadi 4 (empat) peristiwa, Masa Sebelum Kejayaan Gunungapi Purba (36-60 Juta tahun lalu), Masa Kejayaan Gunungapi Purba (16-36 Juta Tahun lalu), Masa Berakhirnya Gunungapi Purba (2-16 Juta Tahun Lalu) dan Masa Gunungapi Modern (2 Juta Tahun Lalu).

Geosite Breksi Tuf Candi Ijo berasal dari Gunungapi Semilir yang berupa gunungapi strato (di dalam laut) yang diawali dengan terbentuknya Lava Bantal Berbah (36-16 Juta Tahun Lalu), selanjutnya terjadi letusan maha dahsyat berturut-turut sehingga salah satunya menghasilkan tumpukan abu vulkanik yang disebut Breksi Tuf Candi Ijo. Breksi Tuf Candi Ijo menumpuk secara tidak selaras di atas Lava bantal hingga puncaknya di Candi Ijo yang mempunyai ketebalan mencapai 300 meter. Tumpukan abu vulkanik Breksi Tuf Candi Ijo adalah yang paling tebal di dunia. 




Semakin lama semakin banyak orang berdatangan ke tebing ini. Pagi menjelang siang sampai sore menjelang malam selalu ramai. Mungkin karena tempat ini menjadi tujuan wisata kekinian yang disukai kids jaman now agar eksis di sosial media. Instagramable.

Foto dan Tulisan : Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 05 November 2017

Pura Candi Gunung Kawi, Lembah Para Raja

Gunung Kawi Ubud Gianyar
Dinding batu dengan lima pahatan candi
"Be careful, Honey!", suara perempuan terdengar dibelakangku. Ketika aku menoleh ternyata turis asing sedang menasehati anaknya pada jarak tiga anak tangga dariku. Seorang ibu muda dengan balita laki-laki yang berumur kira-kira 3 tahun. Balita berkaos putih, celana biru, dengan mata jernih dan berambut pirang, terlihat begitu mandiri menuruni anak tangga sambil diawasi ibunya. How cute adorable! 


Gunung Kawi Ubud Gianyar
Sungai Pakerisan Gunung Kawi
Aku pun melanjutkan menuruni ratusan anak tangga memasuki lembah Sungai Pakerisan. Melepaskan pandangan ke kanan hamparan hijau persawahan berundak-undak begitu cantik dengan sistem pengairan Subak. Sebuah Cakruk atau gubuk berada ditepi sawah sebagai tempat istirahat bersantai petani maupun turis. Di sisi kiri kios-kios berjajar menjual cenderamata dan oleh-oleh.


Jalan semakin menurun, anak tangga diapit dinding tebing di kanan kirinya. Seperti lorong yang berakhir di pintu gerbang masuk. Setelah aku melewati pintu gerbang tampak sebuah jembatan membelah Sungai Pakerisan. Jembatan ini menghubungkan kita dengan Gugusan Lima Candi yang berada di tebing sebelah timur Sungai Pakerisan. 

Kawasan persawahan yang menghijau di Gunung Kawi
Candi-candi dipahat pada dinding tebing batu paras/cadas. Candi sengaja dipahat lebih menjorok ke dalam agar terlindung dari erosi. Ukuran candi kira-kira tinggi 10 meter dengan lebar 30 meter. Pada Gugusan Lima Candi terdapat tirta/mata air suci yang mengairi kolam yang ada di bawah permukaan candi yang bertingkat. Ikan-ikan emas dalam kolam bergerak kesana-kemari. Gemericik air yang mengairi kolam menyejukan hati.

Sungai Pakerisan dipenuhi bebatuan dan dialiri air yang jernih. Pohon-pohon besar tumbuh disisi sungai dengan dahan dan daun yang menjuntai. Seperti sebuah gerbang gaib penanda wingitnya tempat keramat itu. Tubuhku yang sensitif menangkap sinyal hawa dari dunia lain. Aku pun bergegas menjauh.

Aku berjalan menuju sisi barat Sungai Pakerisan tempat gugusan 4 (empat) candi berada. Ada sebuah Ceruk/goa diujung kiri sepertinya digunakan untuk Meditasi/samadhi. Disini juga dibangun Pura Kawan yang digunakan untuk berdoa.

Pura Gunung Kawi atau Candi Gunung Kawi/Tebing Kawi berupa bangunan suci Pedharman (Kuil) Raja-raja Bali. Kawi berarti pahatan pada batu padas/paras. Berfungsi sebagai tempat pertapaan dan petirtaan. Berada di tepi Sungai Tukad Pakerisan, Banjar Penaka/Dusun Penaka, Desa Tampak Siring, Kecamatan Tampak Siring, Kabupaten Gianyar, Bali. Jarak tempuh dari Denpasar sekitar 1 (satu) jam atau 40 (empatpuluh) kilometer.


Legenda masyarakat sekitar menceritakan bahwa Candi Gunung Kawi dibuat oleh orang sakti yang bernama Kebo Iwa. Dengan kesaktiannya konon Kebo Iwa menatahkan kuku-kukunya yang tajam pada dinding batu paras/cadas pada Tukad Pakerisan itu. Hanya sehari semalam Kebo Iwa berhasil menyelesaikan memahat semua candi di dinding tebing.

Dalam Prasasti Tengkulak 945 Saka/1023 Masehi terdapat keterangan di tepi Sungai Pakerisan terdapat komplek pertapaan (Kantyangan) yang bernama Amarawati. Terdapat tiga komplek candi. Gugusan 5 (lima) candi yang berada di tebing sebelah timur Sungai Pakerisan, Gugusan 4 (empat) candi yang berada di tebing sebelah barat Sungai Pakerisan, dan candi ke-10 yang berada sebelah selatan, di Tebing Bukit Gundul.

Gunung Kawi Ubud Gianyar
Berpose di gugusan 4 candi
Disebutkan pada abad ke-11 Raja Sri Haji Paduka Dharmawangsa Marakata Pangkaja Stanattunggadewa (944-948 Saka/1025-1049 Masehi) membangun candi sebagai penghormatan terhadap ayahnya, Raja Udayana Dinasti Warmadewa Kerajaan Bedahulu/Bedulu (Kerajaan Bedahulu /Bedulu diperkirakan ada pada abad ke-8 sampai abad ke-14 diawali dari Dinasti Warmadewa). Pembangunan kemudian diteruskan oleh adiknya,  Raja Anak Wungsu (971-999 Saka/1049-1080 Masehi). 

Raja Udayana dari pernikahannya dengan Permaisuri Gunapriya Dharma Patni, Putri dari Mpu Sendok Raja Kediri di Pulau Jawa memiliki tiga putra. Putra pertama Airlangga, putra kedua Dharmawangsa Marakata dan putra ketiga Anak Wungsu. Airlangga menjadi Raja di Kediri menggantikan kakeknya, Mpu Sendok.
Berdasar data arkeologi berupa tulisan aksara bertipe Kadiri Kwadrat pada ambang pintu candi berbunyi "haji lumah ing jalu" berarti beliau yang didharmakan di Jalu (Jalu=Pakerisan). Dan "rwa anak ira" yang diartikan dua putra beliau (dua anak Udayana yang berkuasa di Bali yaitu Marakata dan Anak Wungsu).

Gugusan 5 (lima) candi diperuntukan Raja, Permaisuri dan anak-anaknya. Gugusan 4 (empat) candi menurut Arkeolog Belanda, Dr. R. Goris kemungkinan adalah kuil pedharman untuk ke empat selir dari Raja Udayana. Satu candi lainnya yang posisinya lebih ke selatan dibangun untuk seorang pejabat tinggi kerajaan setingkat perdana menteri atau penasihat raja. 

Dari berbagai referensi sejarah pada jaman itu dikaitkan dengan sosok Empu Kuturan. Empu Kuturan adalah utusan Raja Airlangga untuk adiknya Raja Anak Wungsu. Akhirnya Empu Kuturan diangkat menjadi penasihat utama raja dan memiliki peranan penting dalam Kerajaan Bedahulu.

Foto dan Tulisan : Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 16 Oktober 2017

Laguna di Bumi Kie Raha Ternate

Laguna di Bumi Kie Raha Ternate
Rimbun pepohonan mengelilingi pinggiran danau. Hijaunya sungguh menyegarkan mata yang melihat. Hawa sejuk diselingi angin semilir membuat suasana teduh. Kicau burung-burung kadang terdengar bagai nyanyian semesta yang menentramkan.


Danau Ngade atau sering disebut Danau Laguna Ngade. Laguna dalam Kamus Bahasa Indonesia berarti  danau air asin dekat pantai yang dahulu merupakan bagian laut yang dangkal, karena peristiwa geografi terpisah dari laut. Meski dekat dengan laut, air danau tetap tawar rasanya. 


Danau ini terletak di Desa Ngade, Kelurahan Fitu, Kota ternate, Maluku Utara.  Berjarak 40 kilometer dari Bandar Udara Sultan Babullah, atau 18 kilometer dari pusat Kota Ternate.

Danau Ngade adalah anugerah dari Tuhan yang tak ternilai. Masyarakat menjadikan danau untuk budidaya ikan air tawar seperti Nila dan Gurame. Hasil budidaya ikan air tawar bisa kita nikmati pada restoran/warung yang terapung di atas danau. Selain itu danau juga menjadi sumber air utama untuk mengairi perkebunan milik masyarakat sekitar.

Laguna di Bumi Kie Raha Ternate
Aku bergegas mendaki menuju titik pandang tertinggi. Penduduk sekitar telah menyediakan tempat di atas ketinggian agar kita lebih leluasa melihat keindahan danau. Bunyi suara gesekan ban mobil/bus dengan aspal jalan di kejauhan, saat pengunjung ingin parkir kendaraan. Letak tanah yang miring dan curam membutuhkan ketrampilan ekstra berkendara. Disini kita dipungut biaya masuk dan parkir kendaraan.

So, here I'am. Standing on the best photo spot. Tempat ini sering menjadi incaran para Fotografer. Biasanya mereka mengambil angle foto dari atas untuk foto aerial. Hutan pepohonan, Danau Laguna, Pulau Maitara, dan gugusan pegunungan Pulau Tidore tampak menakjubkan dari sini. Biasanya air danau berwarna hijau, tetapi karena semalam hujan air danau berubah menjadi berwarna kecoklatan.

Laguna di Bumi Kie Raha Ternate
Saat lelah kita bisa minum air kelapa muda yang banyak dijual di tempat ini. Sambil duduk santai menghalau haus yang datang. Sungguh menyegarkan di kala panas terik.

Merepih alam. Melepas pandangan pada bentangan alam di ketinggian. Bak seorang penyair mencari inspirasi untuk menyusun dan merangkai kata demi kata. Aahh, Danau Ngade keindahanmu tak mampu membuatku berucap.

Lokasi Danau Ngade:
Foto dan Tulisan : Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya