Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Rabu, 05 Oktober 2016

Bima Sakti di Langit Puru (2)

Penampakan galaksi Bima Sakti di atas batuan pantai Etiko'u

Gemeretak kayu kering terbakar melimpahkan api ke atas seakan ingin menerangi malam yang dihiasi miliaran bintang. Tak berapa lama api unggun kembali mengecil, nyaris tak ada suara. Saat seperti ini, bunyi-bunyian malam menjadi begitu nyaring di telinga.Suara-suara itu serasa gelombang hipnosis yang mengajak mata untuk terpejam dan melabuhkan mimpi segera.
Kain hammock bergoyang pelan diterpa angin malam, begitu halus yang membuat kami semakin sulit bertahan Tak ada angin yang kencang seperti beberapa minggu kemarin. Kicau kami seperti bertemu lelah, aku tak bisa menghitung lagi berapa orang yang masih bertahan memicingkan mata saat ini.

Di antara kantuk yang menyerang aku mendengar suara pelan dibelakang. Di kegelapan ke arah pepohonan bakau, aku melihat bayangan hitam dengan langkah terseret pelan. Di tangannya seperti menyeret ranting pohon yang agak besar. Tak berapa lama kemudian api unggun kembali menyala besar. Aku hanya menebak-nebak, mungkin mas Eko yang masih bertahan selarut ini. Atau Imam, entahlah. Mataku tak bisa bertahan lagi dan entah menit ke berapa hilanglah aku dalam pesona malam pantai Puru yang saat ini langitnya dipenuhi hamparan miliaran bintang yang bertabur membentuk awan putih.

Rencana Perburuan Bima Sakti di Pantai Selatan
Bulan Agustus tiba-tiba menciptakan kehebohan fotografer yang lagi getol dengan foto-foto malam. Di beberapa media memberitakan tentang keberadaan galaksi kita Bima Sakti yang kemunculan di langit diklaim paling terang.
Berita ini dan ini segera menjadi berita yang paling banyak di-share para fotografer dan para astronom amatir, mengalahkan berita macam Syahrini dengan gaya makin dikuti para alayer atau berita Arcandra Tahar yang ternyata diketahui punya dwi kewarganegaraan. Beneran paling banyak di-share? Ya setidaknya begitulah yang muncul di linimasa facebookku.

Apalagi tanggal 6 Agustus adalah saat bulan baru sehingga penampakan galaksi Bima Sakti akan makin terlihat terang benderang. Maka ajakan-ajakan banyak terlontar di medsos untuk berburu Bima Sakti. Masing-masing tentu menawarkan spot andalan. Bagi teman-teman yang mau berburu Bima Sakti tapi gak ingin jauh-jauh menjadikan jalur 40 untuk ajang berburu.
Aku dan mas Eko sempat berdiskusi panjang. Awalnya aku ingin mencoba peruntungan di pantai Oebali yang sepertinya punya spot menarik. Namun akhirnya setelah menimbang beberapa suara teman yang mau ikut kita mengubah lokasi perburuan ke pantai kawasan Puru.

Kencing rame-rame tidak pada tempatnya
Berenam, aku sendiri, mas Eko (ketua-an Tapaleuk Ukur Kaki), dua dokter gigi kesasar: Welly Manurung dan Lamser Hutasoit, Adisti dan Imam. Kami sempat kelabakan dengan persiapan. Tenda yang kami siapkan ternyata kebanyakan tapi justru kompor yang lupa tidak ada yang bawa. Untung sudah ketahuan waktu ngumpul di rumah mas Eko, titik kumpul untuk jalan.
Sementara sekarang sudah jam 2, kembali untuk mengambil kompor di rumahku jelas akan memakan waktu karena kami masih berharap dapat melihat senja di Puru. Karena cuma aku sama mas Eko yang pernah ke sana, akhirnya mas Eko memutuskan aku yang akan memandu perjalanan ke Puru, sedangkan mas Eko yang kebagian ambil kompor di rumah.

Kami baru sampai ke Puru hampir jam enam sore karena perubahan arah jalan. Seperti yang aku kuatirkan di awal, jalan ke Puru ternyata sedang ada perbaikan sehingga harus menggunakan jalan alternatif yang selain jaraknya lebih jauh karena memutar juga kondisi jalannya lebih parah. Setidaknya ada tiga turunan yang harus hati-hati betul karena batuannya mudah terlepas karena bercampur pasir.
Di antara kami berenam, Adisti adalah satu-satunya cewek dan mukanya paling imut lebih mirip anak-anak. Mungkin alasan itulah kenapa mas Eko jadi terpanggil jiwa kebapakannya. Dia yang paling banyak menjaga terutama saat motor harus menuruni medan yang jelek itu.

Malam Bertabur Bintang
Sampai di lokasi masih sempat bertemu Frengki, namun sayang dia dan Juan saat itu sedang ada kesibukan di luar jadi tidak bisa menemani kami. Dia cuma bilang nanti malam kalau sudah selesai kesibukan baru mampir ke lopo tempat kami menginap. Lokasi sudah sepi hanya satu rombongan mobil yang tersisa tepat mau kembali saat kami sampai. Langit sudah mendekati gelap sehingga kami gagal melihat senja hari ini. Untuk alasan kemudahan, kami menggunakan lopo yang biasa kami pakai sebelumnya.

Malam sekitar jam tujuh setelah selesai urusan perut beres. Membereskan urusan perut gelandangan seperti ini gampang cukup diganjal dengan mie rebus. Kelar ukuran perut, mulailah persiapan memotret Bima Sakti dimulai. Welly dari awal saja sudah agak histeris nunjuk-nunjuk ke langit padahal tidak usah nunjuk ke langit juga kita semua bisa melihat. Aku lihat kadang-kadang itu anak agak gila kalau sudah malam, mungkin dia berpikir bisa berubah menjadi Werewolf kalau ada bulan. Eh bulan tidak ada ding kan bulan baru.

Langit yang cerah memang membuat galaksi Bima Sakti terlihat lebih terang, apalagi pantai Etikou saat seperti ini benar-benar gelap gulita. Miliaran bintang begitu jauh hingga hanya menyisakan bentuk selayaknya awan putih di kegelapan melintang miring memanjang dari utara sampai ke selatan.

Semakin malam semakin terang penampakan galaksi Bima Sakti. Pantai Snaituka menjadi lokasi yang paling tepat untuk mendapatkan gambar Bima Sakti yang menarik karena di antara batu karang terdapat beberapa pohon Santigi yang membonsai. Lagi-lagi mas Eko harus kerepotan dengan Welly yang tiba-tiba kesurupan ulang karena kameranya gak mau diajak kerjasama. Gegara ISO sudah diset ke 3200 eh tetep saja hasil jepretannya ISO ke angka 640, kadang 800 pokoknya semau-maunya itu kamera.
Mungkin itu karma karena waktu mencabut gigi anak-anak malah bikin anak-anak histeris ketakutan. Tapi mana dia akan percaya akan karma. Satu-satunya karma yang dia percayai adalah tidak bisa menikah dengan pramugari. Padahal kalau dia mau menikah dengan pramugara mungkin sudah lama punya anak (anak setan).

Pantai Tubuafu, sebelah barat pantai Etiko'u
Sebenarnya lokasi pantai ketiga paling menjanjikan untuk memotret Bima Sakti, sayang kondisi jalannya yang melewati karang-karang terjal akan sulit dilewati saat malam. Aku dan mas Eko berencana untuk nge-camping di pantai itu suatu hari nanti. Pantai itu akan aku tulis sendiri nanti.

Jam sebelas malam mungkin juga kurang aku sudah tepar di atas hammock. Sedang nikmat-nikmatnya aku bermimpi lagi hihihi sama pramugari harus terbangun mendengar suara mendesah eh.. suara ribut. Sekitar jam tiga pagi aku mendengar keributan mas Eko dan Welly. Mas Eko rupanya membangunkan Welly mengajak untuk memotret galaksi karena sekarang galaksi Bima Sakti sedang mendekati horison barat. Aku dan Welly yang sebenarnya masih mengantuk langsung semangat empat lima bangun dan langsung kokang senjata untuk dapat meng-capture dalam kondisi begini. Welly bahkan sudah menghilang dulu naik ke daerah karang yang berdiri satu buah lopo. Tapi kampretnya ternyata ada awan gelap yang menghalangi penampakan Bima Sakti di ujung horison. Ternyata sudah dari jam setengah dua penampangan Bima Sakti mulai rata horison. Mas Eko bangunkan aku sama Welly setelah dia kehabisan batere. Jadi giliran dia untuk tidur tapi kita disuruh bangun. Uasyeemmm, pantesan besok pagi-nya dia ngakak-ngakak sukses.  

Sumber berita:
  1. Fenomena Langit Bulan Agustus 2016
  2. Ingin Lihat Galaksi Bima Sakti? Ayo, Matikan Lampu 6 Agustus
  3. Peristiwa Astronomi Bulan Agustus 2016
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 29 September 2016

Paradise of the South: Puru (1)

Pasir dan warna air laut toska? Oh itu sudah biasa
 "Angin selatan bulan ini lagi kurang baik pak, pak Koster tidak bisa melaut" kata Frengky menyahut pertanyaanku sambil menunjuk pak Koster. Pria tua agak kurus dengan wajah Timor yang ramah itu tersenyum lebar memamerkan deretan gigi yang masih kuat dengan warna merah sirih pinang.
Kalau saja laut sedang tenang, kata pak Frengki, ikan yang ditangkap di sini rasanya lebih manis daripada di Kupang. Iya lebih manis, semanis dirimu.. iya.. kamuuu #digamparbini
Yah sepertinya omongan pak Frengky harus dibuktikan suatu hari nanti


Galau: Nulis atau Tidak?
Sebenarnya aku mikir terus dan diskusi berulang-ulang sama mas Eko, apakah akan menulis tentang pantai ini atau tidak. Persoalannya sama, pariwisata yang tidak dipersiapkan matang hanya akan menciptakan keburukan yang lebih besar di kemudian hari.

Itu mas Eko jadi penguat foto atau perusak?
Kondisi pantai yang saat ini masih bagus, masih bersih dan bener-bener menawan, akankah bisa dipertahankan saat pintu masuk melalui kata 'pariwisata' benar-benar dibuka lebar. Tapi ternyata beberapa tulisan nongol juga di internet.
Tidak bisa dihindari memang, lokasi yang bagus akan cepat tersebar. Demikian juga, orang yang pernah ke sini dan terkesan pantai ini akan dengan mudah menyebarkan ke orang lain baik hanya melalui mulut atau dengan tulisan.

Akhirnya, pantai ini aku putuskan untuk aku tuliskan di sini. Aku tahu risikonya saat pantai ini terkenal, makin banyak yang datang. Aku banyak berharap dengan teman-teman om Frengky cs yang setia menjaga kawasan pantai Puru untuk selalu mengingatkan wisatawan yang datang. Aku sendiri terus terang lebih senang saat tempat wisata ini dikelola oleh desa. Rasa memiliki mereka membuat mereka mudah untuk diajak menjaga. Banyak sekali momen Frengky harus bersitegang memperingatkan wisatawan yang bandel membuang sampah seenaknya.

Bukan menjelekkan mental wisatawan domestik kita. Aku teringat saat mas Eko dan Melia yang ke pantai saat sedang ramai. Waktu itu habis upacara 17 Agustus-an yang dipusatkan di dusun Puru. Setelah selesai upacara, para peserta dari banyak daerah sekalian beramai-ramailah ke pantai. Dan akhirnya, mas EKo dan Melia ikutan sibuk sampai malam membersihkan pantai dari sampah dari wisatawan brengsek seperti ini. Lebih menjengkelkan lagi bagi Frengky, jika yang datang orang yang mengaku punya jabatan terus datang bareng rombongan besar.. Duh, itu pantai serasa tempat sampah raksasa yang mereka boleh buang seenaknya.

Perjalanan ke Puru
Jika sejenak kamu mau mencoba menggunakan Google Earth dan melihat pulau Timor saat malam, maka sisi Selatan bagaikan bagian pulau yang tanah tak bertuan. Ya, bagian paling terang adalah kota Kupang. Sedikit cahaya di titik-titik ibukota kecamatan dan nyaris tak ada lampu yang tertanggkap Google di desa-desa. Listrik masih menjadi barang mewah kalau tak mau disebut langka.
Tapi Selatan yang masih belum banyak terjamah yang namanya 'pembangunan' masih menyimpan rapi potensinya terutama pantai-pantai yang aduhai pemandangannya. Salah satunya ya pantai di kawasan Puru ini. Eksotisme pantai yang masih terjaga.

Perjalanan pertama ke tempat ini baru benar-benar diputuskan saat aku dan mas Eko sudah sampai di Baun, ibukota kecamatan Amarasi Barat. Perjalanan pertama seperti biasa selalu mengandalkan GPS (Gunakan Penduduk Setempat) karena beberapa percabangan yang kadang bikin kita ragu-ragu.

Nongkrong trus ngerokok.. untung belum kena moke
Pada perjalanan pertama kondisi jalan yang aku temui di desa Merbaun cukup parah karena hanya menyisakan jalan tanah berbatu. Beberapa titik menunjukkan bekas-bekas aspal lama yang sudah hilang tidak tahu kemana. Waktu itu juga harus berjibaku dengan tumpukan-tumpukan material di jalan. Sedang ada perbaikan jalan, kata orang-orang yang aku tanya di sepanjang jalan. Jika sekarang kamu ke sana sudah jauh lebih baik karena material itu sekarang sudah selesai dihampar sehingga sekarang sudah lebih mulus. Mungkin akhir tahun ini jalan itu sudah aspal mulus sampai ke pertigaan masuk ke pantai.

Tapi itu masih lumayan, perjalanan kedua dengan rombongan yang lebih banyak malah memaksa kita harus berbelok ke kanan selepas gereja di dusun Puru. Hasilnya harus melewati jalan tanah berbatu yang setidaknya ada tiga titik turunan dan tanjakan yang harus diwaspadai karena batu-batunya mudah terlepas. Nanti aku ceritakan di tulisan lain saat memotret Milkyway di tempat ini.

Sebenarnya tidak ada yang namanya pantai Puru, karena pantai-pantai di dusun Puru sebenarnya memiliki nama sendiri-sendiri. Maka lebih enak menyebut pantai-pantai disekitar dusun Puru ini dengan nama Kawasan Pantai Puru. Setidaknya ada empat pantai yang berdekatan di sekitar Puru yang dipisahkan oleh batuan karang, satu pantai sudah masuk dusun lain cuma aksesnya lebih mudah lewat Puru. Hanya saja di banyak tulisan lebih sering disebut dengan pantai Puru padahal mereka sedang di pantai Etiko'u saja.

Pantai Etiko'u
Inilah pantai yang pertama kali akan ditemui sebagai pintu masuk utama dikenal dengan nama Pantai Etiko'u (kadang ditulis Etiko'o atau Eti Ko'u). Etiko'u itu artinya meting besar atau kondisi dimana saat laut sedang surut pasir pantainya tampak jauh sampai ke tengah. Hal ini dikarenakan pasir pantainya landai. Pantai seperti ini paling pas didatangi saat mendekati bulan baru atau bulan penuh (purnama) karena saat itu biasanya pasang surut air laut terjadi lebih besar dibanding hari-hari lain. Pasir pantainya berwarna putih kekuningan. Di beberapa titik, pasir ini bisa agak gelap karena di bagian bawah ada pasir yang berwarna hitam.

Sebelah kanan pantai Etiko'u adalah pantai Tubuafu. Antara pantai ini dan pantai Tubuafu dibatasai daerah pantai yang dipenuhi bebatuan. Sedangkan di sebelah kanan di batasi pohon bakau dan karang-karang terjal. Di sebelah pepohonan bakau dan karang terjal itulah adanya pantai Snaituka.

Karena menjadi pintu masuk, pantai Puru ini menjadi pantai yang paling ramai. Walaupun ombaknya keras namun masih nyaman digunakan untuk berenang karena kondisi pantai yang landai jauh. Rata-rata ombak sudah pecah jauh di tengah sebelum masuk ke bibir pantai.

Ada beberapa lopo berbahan bambu dan kayu dengan atap jerami yang telah di bangun. Desalah yang telah membangun beberapa lopo itu, setidaknya ada empat yang sudah dibangun. Kata pak Frengky, nanti kalau ada dana mau dibangun tambah lagi. Terakhir denger-denger mau tambah satu lagi yang di atas karang. 

Ada satu kamar mandi sumbangan dari proyek pemerintah yang nangkring di dekat pintu masuk. Kamar mandi itu sangat membantu wisatawan terutama untuk keperluan bilas karena air bersih selalu tersedia. Untuk kamar mandi, aku salut sama Juan yang bertanggung jawab dengan urusan ini.

Khusus hari Sabtu dan Minggu, banyak yang jualan persis setelah masuk ke dalam pintu gerbang dari kayu sekedarnya. Sebagian besar memang jualan makanan minuman kemasan, tapi tetap ada yang jualan gorengan. Kadang-kadang jika sedang musim bisa dapat jagung rebus atau ubi rebus.

Dengan semua fasilitas yang ada itu, jelas pantai Etiko'u yang paling direkomendasikan jika ingin menginap. Waktu itu, aku dan mas Eko satu-satunya yang menginap di Puru. Dan jika aku boleh menyarankan, kalau kalian ke pantai kawasan Puru ini cobalah untuk menginap setidaknya semalam di sini. Lopo-lopo yang ada bisa kalian gunakan untuk tidur. Bahkan tenda yang aku siapkan tidak terpakai karena sudah ada lopo di sini.

Aku dan mas Eko bahkan bisa tidur nyenyak dengan menggunakan hammock. 
Serius?? Dua rius malah...
Jangan pikirkan banyak nyamuk, aku tidak menemukan seekor pun nyamuk yang sekedar say hello sebelum menggigit. Mungkin karena di pantai ini tidak ada daerah lembab berair sehingga tidak ada nyamuk. Juan dan Oksan bahkan ikut menemani tidur di hammock malam itu. Masih takut di tempat baru? Aku bisa katakan, di sini masyarakatnya sangat welcome terutama kalau kamu orangnya tidak sombong dan mau bergaul, apalagi suka menabung, menari dan membantu janda dan anak-anak terlantar.. Apaan sih, garing banget..


Pantai Snaituka
Penanda khas pantai Snaituka yaitu adanya beberapa pohon kelapa berjajar yang ditanam di sepanjang pantai. Kalau melihat susunannya, sepertinya pohon kelapa ini sengaja ditanam.
Kalau mau ke pantai Snaituka tinggal berjalan ke arah kiri pantai Etiko'u masuk ke dalam pepohonan bakau. Ada jalan kecil di antara bakau. Tidak ada jalan baku sih, karena memang belum ada jalan resmi hanya mengikuti jejak jalan yang sudah ada.

Snaituka itu artinya pasir pendek. Disebut demikian karena saat puncak pasang pasir putihnya hanya tersisa beberapa meter saja. Kalau dilihat dari salah satu batu karang, bentuknya pasir putihnya jadi seperti sabit. Untuk melihat keindahan pantai ini paling mudah naik saja ke atas batu karang yang mengapit pantai ini. Terserah, bisa naik di batu karang kiri atau kanan. Hanya diingat, saat puncak pasang bebatuan karang ini akan terisolir oleh air laut yang naik sampai ke bibir pantai. Sebaiknya hanya naik saat tidak sedang pasang tinggi.

Ada beberapa pohon Santigi yang bentuknya terbonsai tumbuh di sela-sela karang. Silahkan jika ingin mandi di sini namun hati-hati karena pasir pantainya agak mirip sehingga ketinggian air laut perbedaan lebih tinggi dibandingkan di pantai Etiko'u.

Dua pantai lainnya aku ceritakan di tulisan selanjutnya, kalau tidak lupa... :D
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 25 September 2016

Pagi di Tanjung Klayar

Suasana pagi di tanjung Klayar, ombak tak pernah berhenti
Di bawah kakiku, ombak dari pantai selatan menerobos masuk ke dalam lubang yang terbentuk dibawah bukit yang berdiri tanjung. Suara kemerosok air yang menerobos masuk terdengar samar, dan beberapa detik disusul bunyi air yang keras menghantam karang. Bagian ombak yang tidak masuk ke dalam lubang menghantam dinding dan menyemburkan air ke atas. Pantai selatan seperti tak pernah berhenti mendatangkan gelombang demi gelombang ke arah pantai.

Matahari masih belum beranjak menampakkan sinarnya, sementara aku harap-harap cemas melihat awan yang bergerak dari ujung selatan. Tak ada minuman sekedar air dingin apalagi kopi panas, pun juga camilan. Aku hanya duduk saja menunggu siapa yang lebih dulu, matahari atau awan selatan itu. Tak ada pula teman ngobrol karena aku memang hanya pergi sendiri.

Perjalanan Pagi
Lupakan kopi pagi, sepagian aku berjalan menyusuri sepanjang jalan pantai Klayar ini warung-warung belum ada yang buka satu pun. Sebenarnya minum kopi pagi di teras homestay pak Isni nikmat sekali apalagi saat belum ramai begini. Sayang mungkin karena obrolan semalam yang sampai hampir jam 12 malam membuat mereka terkapar semua.
Aku bahkan harus mengurungkan niatku membeli sekedar air kemasan untuk perjalanan menuju tanjung Klayar karena tak tega membangunkan pak Isni. Sebenarnya pak Isni sudah memberitahu kalau mau butuh apa-apa di warungnya ketok pintu saja. Tapi siapa yang tega membangunkan, lha sepagian aku mondar-mandir ke belakang saja tidak ada yang bangun satu pun.

Matahari terbit dari Tanjung Klayar
Homestay pak Isni sebenarnya masih belum selesai, itu pun hanya 2 kamar saja yang dibangun, persis di samping warung kelontong miliknya. Letaknya persis di pinggir pantai di seberang bukit di pantai Klayar. Nanti di tulisan lain aku ceritakan bagaimana aku sampai terdampar di homestay ini.
Rencana mendatangi tanjung Klayar ini muncul setelah aku mempertimbangkan tidak akan mendapatkan gambar yang bagus di pantai Klayar saat pagi-pagi. Mungkin aku masih bisa mendapatkan matahari terbit walaupun tidak muncul dari balik horison laut.

Aku menelusuri jalan di pinggir pantai Klayar sampai di pintu masuk berharap ada satu dua warung yang buka. Tapi semua nihil. Di depan tempat parkir kendaraan aku melihat beberapa orang pengunjung yang baru datang. Aku coba bertanya jika mereka tahu jalan menuju ke tanjung Klayar. Eh mereka justru bertanya balik, Taanjung Klayar dimana? Hahaha rupanya aku salah bertanya.
Sudah nekad saja, aku coba menelusuri jalan di pinggir tebing. Untung di warung terakhir ada seorang ibu yang tampaknya baru selesai solat subuh. Dari beliau aku disuruh ikut jalan kecil di samping pematang sawah yang mengering.


Setelah mencoba masuk mengikuti petunjuk ibu tadi ternyata mentok juga semua jalan justru hilang tanpa jejak begitu sampai di daerah kebun kelapa. Akhirnya aku nekad saja masuk ke arah pinggir tebing walaupun kemungkinan memakan waktu lebih lama. Untung sebagian sawah sedang kering jadi lebih mudah dilewati. Tidak terlalu mudah juga karena kondisi tanah yang tidak rata membuat kaki sangat mudah terperosok apalagi sebagian besar pematang sawah yang ada hanya segaris tempat kaki menginjak.

Karang Bolong di Tanjung Klayar
Perjalanan lebih dari setengah jam ternyata tidak sia-sia. Tanjung Klayar ini menjadi lokasi terbaik untuk mendapatkan view matahari terbit walau saat ini posisi matahari masih terbit dari balik daratan. Bahkan menurutku tempat ini jauh lebih keren daripada pantai Klayar.
Lokasi tanjung klayar ini berubah bukit karang yang menjorok ke lautan yang dibawahnya terdapat lubang, ada dua lubang besar yang sepertinya tembus. Aku tidak tau persis karena dari sisi manapun aku tidak mendapatkan bukti apakah dua lubang yang tampak dari sisi kiri atau kanan itu terhubung atau sebatas cerukan saja. Tinggi tanjung Klayar mungkin lebih dari sepuluh meter.

Entah sudah lama cerukan itu terbuat dan sampai kapan tanjung Klayar ini mampu bertahan. Pak Esdi, ayah dari pak Isni bilang kalau tanjung itu lubangnya tidak pernah berubah dari dulu. Tapi siapa yang tahu? di sisi barat setelah tanjung klayar aku melihat sebuah bukit yang telah hancur menyisakan satu lubang. dari sisa hancuran itu aku bisa melihat kalau sebelumnya ada setidaknya satu lubang lagi. Mungkin itu dulu yang disebut karang bolong, entahlah.

Tidak ada pepohonan besar di tanjung ini, hanya ada beberapa pohon kecil dan pandan laut. Sebagian besar tanjung dipenuhi rerumputan dan tanaman perdu yang sebagian telah berubah mengering. Sepertinya tahun ini memang musim panas datang lebih cepat. Tanaman perdu menjalar yang biasa tumbuh di tepi pantai lebih kuat bertahan. Aku melihat tanaman-tanaman perdu ini basah oleh embun semalam. Walau ada di tepi pantai, rupanya di tanjung ini masih ada embun makanya banyak pepohonan yang masih menghijau.

Menemukan Air Terjun Kecil
Dari tanjung aku mencoba menyusuri lebih jauh ke arah utara. Sayang jejak jalan terputus oleh pepohonan yang tumbang. Setelah mencoba mencari jalan baru aku menemukan jalan becek di samping tebing. Harus hati-hati karena tebing di tanjung ini tegak 90 derajat. Dari bawah, gelombang yang bergulung-gulung seperti bergantian menghajar dinding bukit memuncratkan buih putih ke udara.

Air terjun kecil yang langsung jatuh ke laut
Di bagian turunan, aku tidak sengaja menemukan sebuah aliran air seperti sungai kecil yang airnya jatuh langsung ke laut sehingga membentuk air terjun kecil. Tidak terlalu besar sih, sepertinya sungai ini hanya sungai untuk air hujan lewat. Mungkin paling pas kalau datang saat musim hujan, mungkin akan menjadi air terjun yang langsung jatuh ke laut. Air terjun ini mengingatkanku pada cerita Cader tentang air terjun Toroan di Madura yang langsung jatuh ke laut. Ah, tapi air terjun ini sangat-sangat kecil dibanding Toroan.

Karena tidak bawa minuman sama sekali, air di sungai kecil ini menjadi alternatif untuk menutup rasa hausku. Airnya bersih walau aku tidak tahu dari mana asal aliran air itu. Aku coba minum sedikit airnya dan beristirahat sekalian untuk melihat reaksi air di perutku. Setelah beberapa saat tidak ada reaksi, aku baru mulai minum lebih banyak. Aku nekat? Gak lah, aku sudah terbiasa minum air di lokasi seperti ini. Aku memegang beberapa parameter air dan sedikit pengujian kecil untuk memastikan air yang aku konsumsi aman. Rasanya lebih nikmat lho minum langsung seperti ini.

Hanya beberapa meter saat aku mencoba masuk lebih dalam, akhirnya aku memutuskan berhenti dan kembali. AKu melihat jalur ke depan makin rapat dengan tumbuhan pandan laut yang menyisakan jalan setapak yang makin rapat dengan tebing.
Saat kembali aku bertemu dengan dua orang yang naik ke arah tanjung dengan motor trail. Berarti ada jalan lain menuju tempat ini selain jalan yang tadi kutempuh. Saat kembali, pak Esdi memberitahu kalau ada jalan dengan kendaraan tapi harus memutar lebih jauh. Untung aku kembali lewat jalan yang sebelumnya bukan jalan yang digunakan kedua motor itu menuju tanjung.

Catatan
Cerita ini merupakan penggalan-penggalan dari perjalananku seminggu menelusuri Jawa dengan kendaraan umum yang aku ceritakan per lokasi. Nanti setelah seluruh bagian cerita aku ceritakan barulah aku tutup dengan cerita keseluruhan project seminggu perjalanan ke Jawa lewat jalur selatan.

Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 08 September 2016

Matahari Pagi dari Puncak Sikunir

Puluhan orang berjubel menunggu matahari terbit
Seperti pertaruhan menunggu matahari apakah akan terbit atau tertutup awan di puncak Sikunir hari ini. Sementara jam sudah menunjukkan jam enam lewat sepuluh menit, namun matahari tak kunjung muncul dari balik kabut yang justru makin tebal.Kemarin memang hampir seharian lebih sering gerimis dan hujan, hanya beberapa jam saja matahari muncul itu pun saat telah siang hari. Wajar saja jika aku masih diselumuti keraguan akan cuaca hari ini. Tapi keraguan itu langsung terpatahkan saat cahaya kuning memerah yang muncul diantara kabut benar-benar berubah menjadi bulatan kuning terang di balik selimut kabut.

Seakan berlomba, serangkaian bunyi tombol kamera saling bersahutan berlomba mengabadikan matahari pertama pagi ini. Beberapa cahaya blitz dari belakang tampak menyala. Itu masih ditingkahi dengan suara-suara 'centil' yang berteriak minta segera difoto. 

Dengan bertonggak batang bambu sebagai pengganti tripod, pengambilan foto dari puncak Sikunir pagi ini jadi agak merepotkan. Aku harus berjongkok setengah memiringkan kepala untuk menjangkau lubang bidik. Tak ada cara untuk mengatur ketinggian bambu sebagaimana jika aku menggunakan tripod.Untung posisiku dari awal sudah berada di pinggir tebing sehingga tidak mungkin diganggu mahluk-mahluk centil yang begitu 'heboh' berpose dan lalu lalang penuh semangat. Aku harus mengalah pada semangat muda mereka, merekalah produk 'kekinian' itu.

Saat Lokasi Wisata Menjadi 'Kekinian'

"Hei aku Wanda, dan mereka temen-temenku," sambil memutar tongkat selfie ke arah teman-temannya. Beberapa anak muda yang baru sampai di atas langsung mengerumuni 'Wanda' ini. Ada yang mengangkat tangan mengacungkan jari membentuk V sambil memajukan bibir, ada yang menyipitkan mata dengan mulut yang sama. Setelah itu aku mendengar celoteh 'Wanda' dengan segala cerita serunya perjuangan mereka menuju kesini layaknya host acara petualangan yang berhasil menaklukkan salah satu tantangan. Keriuhan itu berlanjut dengan rombongan lain yang dipenuhi suara teriakan-teriakan untuk foto selfie. Wabah tahun ini sejak hape yang menjadi 'smart' lengkap dengan kamera yang diklaim hasilnya jago. Tak berapa lama lampu kilat dari semua jenis kamera menyala untuk menerangi 'obyek centil' dalam foto.

Hilang sudah kesyahduan menikmati matahari terbit. Sikunir tetap menawarkan warna pagi yang luar biasa. Namun keheningan, ketertegunan karena rasa takjub, dan rasa kecil menjadi bagian dari semesta seakan hilang ditelan keriuhan suara-suara nan 'centil'. Entah mereka sedang membanggakan pencapaian mereka naik ke puncak Sikunir, atau sekedar kebanggaan karena bakalan bisa memajang foto diri entah di mana saja dengan wajah yang sama hanya berganti latar belakangnya.

Aku mungkin terlalu tua untuk pesta-pesta penuh teriakan seperti ini, aku juga mungkin datang di waktu yang tidak tepat karena Sikunir sekarang telah berubah menjadi tempat 'kekinian' yang didatangi untuk ajang pembuktian seperti kalimat sakti para host MTMA. Aku sendiri bukan mau mengkritik acara yang sudah kadung digandrungi banyak anak muda di negeri ini. Itulah 'kekinian' saat ini yang tidak dapat dipungkiri. Mungkin aku yang harus sedikit mengalah memberi ruang kegembiraan mereka yang 'kekinian' itu.

Perjuangan di Pagi Yang Beku
Menembus pagi menggunakan motor sungguh membuat jari-jari tanganku serasa membeku, apalagi aku hanya bersarung tangan kain. Sebenarnya Gita sudah menawarkan tumpangan aku dengan mobilnya hanya saja SMS yang dia kirim jam empat pagi tidak terbaca. Tidak mudah untuk bangun sepagi ini apalagi semalaman suhu udara di Dieng benar-benar dingin sekali. Aku bahkan selepas Maghrib sudah masuk ke dalam sleeping bag sebelum berlapis selimut di atas tempat tidur. Hawa bulan Juli memang membuat malas, untuk sekedar cuci muka saja.

Mengendarai motor pagi buta menembus kabut membuat gigiku bergemeretak. Stang motor serasa baru keluar dari freezer membuat sendi jari tanganku terasa ngilu saat memegangnya terlalu lama. Walhasil dalam perjalananku menuju desa Sembungan, aku harus berhenti tak kurang dari lima kali untuk melepaskan rasa dingin ngilu di tangan.
Untung jalan yang aku lewati mulus walau tidak lebar. Jarak dari Dieng Plateau Homestay (tempat aku menginap) sampai ke desa Sembungan memakan waktu hampir setengah jam dengan jarak tak lebih dari 9 km (kalau menurut peta sih cuma 8,1 km).


Untungnya kondisi jalan masih sepi, ada beberapa kendaraan yang searah. Aku pikir yang sedang berkendara saat ini satu tujuan denganku untuk ke desa Sembungan.
Desa Sembungan adalah desa terakhir dan start point untuk naik ke puncak Sikunir. Menurut informasi, desa Sembungan adalah desa tertinggi di pulau Jawa. Suhunya? Jangan ditanya deh. Kedatanganku di bulan Juli memang tergolong salah waktu karena saat ini memang lagi puncak dinginnya kawasan Dieng.


Di pelataran parkir Telaga Cebongan, aku melihat mobil Gita. Mungkin mereka telah naik terlebih dahulu. Di pintu masuk, aku tertarik dengan kentang kecil-kecil yang mengepul di atas meja. Ternyata kentang rebus itu dijual 5 ribu saja per bungkus. Cukuplah untuk mengisi tenaga sebelum naik ke atas. Ternyata baru beberapa meter aku berjalan selepas gerbang masuk, aku berpapasan dengan Gita CS yang lagi asyik makan di dalam warung.
Just info, rombongan Gita ini ada 3 orang termasuk dia. Gita ini teman yang baru temui karena kebetulan menginap di tempat yang sama. Gita barengan 2 orang cewek, satu istrinya yang baru dinikahinya (ceritanya mereka penganti baru) dan satunya temen dia waktu kerja di Batam.


Akhirnya aku bareng mereka berjalan menuju puncak Sikunir. Sayang si Tiara (istri Gita) ini ternyata punya riwayat asma sehingga baru di pertengahan jalan dia kepayahan. Hawa pagi yang sangat dingin dan medan menanjak membuat dia kesulitan bernafas. Sayangnya dia justru menggunakan celana jeans yang membuat hawa dingin tembus ke badan. Dia mencoba tetep bertahan untuk terus naik walaupun aku sendiri kasihan melihatnya. Jalanan dari tanah dengan sekat-sekat kayu memang tidak mudah dilewati apalagi kalau sedang basah. Apalagi saat itu kabut tebal basah seperti gerimis membuat kita harus lebih hati-hati melangkah.
Akhirnya Gita dan istrinya memilih berhenti di titik pandang pertama. Aku sendiri memilih naik terus sampai di titik pandang kedua. Temannya Gita sendiri memilih ikut aku naik sampai ke puncak kedua.


Golden Sunrise
Berbeda dengan titik pandang pertama yang sempit sehingga tidak dapat menampung orang banyak, di puncak pandang kedua kondisinya lebih lapang. Banyak orang yang telah berdiri di atas puncak bukit menunggu pagelaran matahari terbit.

Sikunir ini memang salah satu tempat terkenal untuk melihat matahari terbit yang terkenal dengan warnanya keemasannya. Cerita tentang warna dramatis matahari terbit itulah yang mungkin menarik mereka untuk mendatanginya. Deretan pegunungan dari Sindoro, Merbabu, Merapi, Ungaran, Telomoyo, Pakuwaja dan deretan pegunungan Nganjir berjajar menunggu panggilan sang matahari.

Seandainya aku tidak mendengar celoteh para 'centil' ini, mungkin keindahan puncak Sikunir makin lengkap. Suara burung-burung yang berciut nyaring pun harus berkelahi dengan teriakan-teriakan mereka.
Untung ada beberapa perbukitan lain yang tidak segaduh di puncak yang ada bangunan pandang itu. Di titik itulah aku lebih nyaman karena tidak lagi mendengar suara-suara 'centil. Walaupun di sana ada beberapa tenda yang dipasang, namun mereka cenderung tidak ramai. Penjelajah sungguhan memang lebih bisa menyatu dengan alam.


Aku sempat berkenalan dengan dua orang bule kakak dan adik dari Selandia Baru saat minta bantuan aku memotretnya. Yang besar punya nama Satria dan satunya Nanggala. Nah lho, ternyata mereka berdua itu bule namun bapaknya masih asli Indonesia.

Waktu kembali aku sudah tidak bertemu lagi dengan Gita cs, mungkin mereka telah turun terlebih dahulu. Aku menyempatkan mampir di sebuah kedai terbuka yang menjual kopi dan mie rebus. Bapak tua penjual makanan itu memang setiap pagi berjualan ke sini. Hari ini dia datang tidak terlalu pagi. Hanya kalau pas hari libur beliau biasa datang lebih pagi karena antrian yang mau naik lebih banyak. Sebenarnya aku berharap mendapatkan secangkir purwaceng panas, pasti akan sanggup mengusir dinginnya udara Sikunir. 

Banyak yang sudah turun, aku mungkin termasuk rombongan terakhir yang turun. Lucunya justru saat turun aku bertemu rombongan beberapa orang tua dan keluarganya yang baru mau naik. Mereka tentu kesulitan mengajak anak-anak datang pagi-pagi buat sehingga mengalah mendatangi Sikunir saat matahari sudah terang benderang.

Sampai di bawah, aku baru menyadari jika motor yang aku parkir ada di dekat sebuah telaga. Namanya telaga Cebongan. Ada beberapa tenda yang terpasang di pinggir danau. Aku menyempatkan memutari danau Cebongan beberapa saat sebelum kembali.

Catatan:
  1. Puncak Sikunir adalah spot favorit di Dieng untuk melihat matahari terbit. Jika ingin mendapatkan tempat datangnya pagi-pagi sekali. Sebaiknya sudah sampai di lokasi ini pagi sebelum jam setengah lima atau kurang. Hindari datang saat liburan panjang karena sangat mungkin terjadi antrian panjang.
  2. Jika memungkinkan naiklah sampai ke puncak kedua karena tempatnya lebih lapang untuk menikmati matahari terbit. Jika di puncak pertama, daerah untuk bisa melihat matahari terbatas.
  3. Jika tidak menggunakan jaket yang tahan air, sebaiknya membawa persediaan jas ponco atau sejenis. Kadang-kadang kabut yang tebal membawa air yang membuat pakaian kita basah tidak terasa. Di Dieng, hujan tidak dapat diprediksi. Kalau bisa hindari menggunakan celana berbahan jeans karena lebih mudah menyerap dingin.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 07 Juni 2016

Senja di Pantai Oebali

Senja di pantai Batu Burung
Dari kejauhan beberapa burung tampak terbang mengelilingi sebuah batu besar yang berdiri sendiri di pinggir laut. Selain mereka aku tak melihat tanda-tanda ada kawanan burung lainnya yang datang ke tempat ini. Sambil melangkah di antara bebatuan yang tersebar di sepanjang pantai, aku mencoba mencari kemungkinan mengapa orang-orang menyebut pantai ini dengan nama "Pantai Batu Burung". Pak Kus menunjuk sebuah batu, dia bilang jika dari sisi pantai tempat dia berdiri tadi tampak seperti burung. Batu yang mau aku naiki tadi? Ah, aku masih gagal melihat bentuk burung dari batu itu. Baiklah, mungkin kalau aku kesini lagi itu adalah hal pertama yang harus aku amati terlebih dahulu.

Pasir putih kecoklatan di pantai Batu Burung
Pantai Batu Burung, nama itu tidak akan terdengar akrab bagi banyak orang di Kupang jika kau cobakan menanyakannya. Bahkan jika kamu menggunakan internet untuk memandu, maka yang akan muncul adalah pantai Batu Burung di daerah Singkawang, Kalimantan. Tapi coba tanyakan tentang pantai Oebali, mungkin ada yang bisa memberitahukanmu arahnya. Mungkin? Iya, karena memang pantai Oebali juga tidak banyak dikenal oleh masyarakat disini. Tidak dikenalnya Oebali oleh masyarakat bukan berarti pantai ini tidak menarik tapi lebih karena kondisi jalannya yang cukup parah.

Aku sendiri kurang familiar menyebut pantai Batu Burung, aku lebih suka menyebutnya pantai Oebali. Pantai Oebali berada di lekukan yang dibatasi bukit yang tidak terlalu tinggi. Sebagian besar dipenuhi bebatuan, yang sebagian besar berupa batu berwarna putih, dari bentuk batu sepertinya berasal dari laut. Aku jadi membayangkan, jika sekarang masih nge-tren batu akik mungkin pantai ini salah satu pantai yang akan diserbu pencari batu akik dan akan menjualnya dengan berbagai macam nama.

Warna-warni batu di pantai Batu Burung
Secara keseluruhan, aku bisa mengatakan pantai ini punya reputasi: layak dikunjungi. Selain bebatuan yang tersebar di pantai ini bervariasi, kondisi pantai yang berada di cekungan juga masih sangat bersih. Pasir pantainya memang tidak seputih pasir di pulau Semau misal, warnanya cenderung coklat cerah yang mengingatkanku pada pasir di pantai Lasiana. Kondisi pasirnya landai, artinya pengaruh pasang surut akan sangat terasa. Jika datang pas waktu laut surut, pasir pantainya akan sangat panjang dan jauh. Jika pun pasang, air lautnya pun masih tampak jernih jadi asyik juga untuk mandi dan berenang terutama saat ombak tidak terlalu besar seperti saat aku kesini.

Menikmati senja di pantai Batu Burung
Pantai Oebali ini terletak di sisi selatan pulau Timor, salah satu daerah yang akan disasar proyek jalan trans-selatan pulau Timor. Karena di berada di sisi selatan, tentu saja setenang-tenangnya ombak di pantai Oebali akan lebih kencang dibanding pantai di wilayah kota Kupang yang berada di sisi utara perariran pulau Timor. Pada saat-saat tertentu terutama jika pasang, sangat mungkin kamu akan melihat ombak yang besar. Aku bahkan berfikir jika tempat ini bisa dikembangkan untuk pariwisata yang berhubungan dengan olahraga selancar air.

Tempat ini sebenarnya baru terfikirkan sehari sebelumnya, karena dari awal aku masih memenuhi otakku untuk melakukan perjalanan ke gunung Mutis. Teman-teman dari Nekad Team yang sudah pernah ke gunung Mutis memang berencana ke sana lagi tapi nanti selepas puasa. Sementara si anak gunung dan si anak Toba yang tangguh buat teman jalan di medan begini lagi ke Solo buat cari beasiswa. Mungkin mereka sudah semakin tersesat maka butuh jadi mahasiswa lagi biar dikembalikan ke jalan yang benar. Karena itu, akhirnya aku mencoba mencari lokasi yang bisa dijangkau tanpa harus menginap. Untung aku dapat informasi lewat foto-foto teman fotografer yang sudah kesana. Foto slowspeed-nya cukup menggoda walaupun aku yakin tambahan pemandangan milky way di langit akan makin bikin foto sempurna. Lupakan milky way yang harus menyiapkan makanan seabrek buat cemilan, sarung buat penghangat, bahkan kesabaran untuk menunggu. Aku butuh jalan, dan itu yang penting.

Hamparan bebatuan di pantai Batu Burung
Tak perlu banyak rencana, hanya berbekal seadanya dan dua buah hammock yang akhirnya cuma nangkring dalam tas tanpa pernah keluar maka perjalanan ke pantai Oebali dimulai. Menggunakan dua motor, kami berempat (aku, pak Sulih, Rei, pak Kus) berangkat sekitar jam setengah empat. Harusnya memang kami berangkat lebih awal sekitar jam dua siang, apalagi dengan waktu tempuh dan lokasi yang belum pernah ketahui. Seharusnya memang kami sudah jalan sebelum jam tiga. Dipertengahan jalan melihat matahari sudah setengah menuju ke ufuk barat membuat aku kuatir, jangan sampai kita keburu dikejar gelap. Apalagi saat melewati jalanan berbatu yang membuat motor kita merangkak pelan. Ternyata memang ada ruas yang kondisinya lumayan parah. Tidak terlalu panjang namun jalan masih berupa timbungan batu-batu saja. Mungkin dulunya jalan ini pernah dihampar batu, cuma hamparan timbunan penutup batu tampaknya sudah hilang terkikis hujan. Bahkan ada satu titik jalan ada gorong-gorong melintang di jalan yang sudah banyak bolong. Terus terang aku sendiri tidak merekomendasikan menggunakan kendaraan roda empat. Memang ada kendaraan roda empat yang sampai ke tempat ini, namun aku justru kuatir penggunaan kendaraan-kendaraan itu akan memperburuk kondisi jalan.

Di jalan menurun ke arah pantai sempat melihat sebuah cabang jalan ditutup kayu-kayu dan peringatan yang tidak membolehkan orang masuk. Belakangan aku baru tahu kalau ada yang membangun semacam rumah atau villa di tempat ini. Ujung pantai Oebali adalah sebuah hamparan tanah yang agak tinggi dengan sebuah bangunan kayu bertingkat. Salah seorang penjaga sempat bertanya jika kami mau menginap di sini. Rupanya bangunan ini disewakan, sayang aku lupa menanyakan berapa harga sewa bangunan ini per malam. Kami ditarik biaya 10ribu per orang entah untuk biaya parkir atau biaya masuk ke lokasi. Akibat terlalu sore sampai ke sini, akhirnya hammock cuma gak pernah keluar dari tas.

Bagaimana Cara Kesana
Peta jalan google dari kota Kupang ke pantai Batu Burung
Untungnya pantai Oebali sudah dapat dicari menggunakan Google Map jadi kalau kesulitan saat dijalan bisa langsung dipantau. Namun, tak selalu informasi dari Google Map nyambung kalau misalnya kalian bertanya kepada penduduk. Penduduk lokal umumnya mengenal daerah dengan nama desa/kampung bukan nama jalan. Pantai Oebali jelas tidak bisa menggunakan kendaraan umum, karena jalur bis terjauh yang saya tahu itu bus Damri jurusan Kupang-Oemofa. Dari Kupang-Oemofa saya gak tahu apakah ada ojek di daerah itu. Kendaraan yang aku sarankan motor tapi jangan motor matic karena terlalu rendah jarak terendah ke tanah (ground clearance). Jika menggunakan mobil, kesulitan utama ada jalur yang pas satu mobil bahkan jika berpapasan antara mobil dan motor maka motor harus mau masuk ke semak-semak sementara agar mobil bisa lewat.

Gak usah panjang lebar lagi, ini rute yang kami lewati dan kondisi jalannya:
  1. Titik poin perjalanan adalah perempatan Polda, ambil ke jalan Badak (menuju ke Bakunase/Oenesu/Tablolong). Ikuti jalan sampai bakunase terus sampai ketemu perempatan dengan jalan besar 2 arah yang biasa disebut jalur 40, tetap ambil lurus ke arah Oenesu. Kondisi jalan aspal yang cukup bagus.
  2. Ikuti jalan terus sampai bertemu pertigaan ke arah Tablolong. Jika ke arah Tablolong belok ke kanan, tetap ke arah kiri. Kondisi jalan sampai dengan ke arah pertigaan ini sebagian besar sudah bagus karena baru saja diperbaiki. Hanya perhatikan di beberapa titik ada beberapa lubang di pinggir jalan.
  3. Selepas jalan ini nanti banyak bertemu dengan jalan tanah berbatu dan jalan beraspal yang sudah rusak sampai jalan mendekat ke arah pantai. Secara umum kondisi jalan masih bisa dilewati dengan motor matic sekalipun.
    Setelah itu akan bertemu dengan jalan besar yang masih bagus, ikuti terus sampai dibatas jalan bagus dan melewati sungai kering yang cukup lebar.
  4. Selepas melewati sungai lebar dan beberapa ratus meter jalan bagus selanjutnya melewati jalan tanah berbatu menanjak sampai ke arah pertigaan yang ada tugu. Dari tugu tersebut belok ke kanan, kondisi jalan ini yang paling parah karena batu-batunya cukup besar dan tajam. Jalan ini tidak terlalu jauh hanya memakan waktu karena harus pelan. Hati-hati, ada satu gorong-gorong melintang di jalan yang sudah berlubang besar.
  5. Selepas jalan ini akan bertemu dengan pertigaan belok ke kanan menurun sampai bertemu dengan sebuah papan kecil bertuliskan "Pantai Batu Burung". Kondisi jalan ini berupa jalan tanah hitam yang menurun agak curam. Pada musim hujan jalur ini akan sulit dilewati. Di ujung jalan itulah pantai Oebali yang sekarang coba diperkenalkan dengan nama Pantai Batu Burung.


Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 03 Juni 2016

Menantang Gelombang Pantai Boa

Berselancar di pantai Boa
Uffft! Aku menarik bahu ke belakang ikut merasakan ketegangan Yunus salah memperhitungkan liukan papan seluncurnya. Papan seluncurnya meliuk naik tepat saat gelombang lebih dahulu pecah membuat dia berikut papan seluncurnya terbanting dalam gulungan ombak. Hilang sesaat, dia tiba-tiba sudah muncul dipermukaan sambil menengok ke kanan kiri mencari papan seluncurnya.

Berselancar di pantai Boa
Tak berapa lama kemudian keempat anak-anak ini kembali mendayung ke tengah laut. Tiap kali gelombang datang dan tidak terlalu besar mereka akan menyusup ke dalam gelombang untuk terus menuju ke tengah. Pada jarak yang tepat mereka akan menunggu ombak terbesar dan paling menantang datang. Saat ombak yang dinanti datang mereka telah menduduki papan seluncur masing-masing. Begitu gelombang menyeret papan seluncur mereka, segera mereka naik berdiri di atas papan seluncur dan membiarkan ombak mendorong mereka. Di situlah permainan papan seluncur dimulai. Sepertinya gampang waktu dilihat tapi percayalah, itu tidak semudah seperti saat kita melihatnya. Keseimbangan menjadi hal utama juga ketepatan mengambil momen saat meliukkan papan seluncur ke atas lekukan gelombang. Salah perhitungan, kejadian seperti tadi akan terulang.

Berselancar di pantai Boa
Aku juga bisa merasakan sensasi keberhasilan saat Yunus meliuk ke dalam gulungan yang belum pecah dan berhasil tanpa terbanting. Sepertinya akulah yang melakukan liukan indah itu. Pecah rekor, itulah liukan paling indah diantara mereka berempat. Ya, mereka berempat adalah anak-anak kampung yang sudah mahir bermain papan seluncur (istilahnya surfing). Mereka termasuk generasi-generasi dari penduduk pesisir barat pulau Rote yang sudah mulai mengenal olahraga yang benar-benar memicu adrenalin ini. Memang sekarang ini mereka masih belajar meliukkan papan di atas ombak yang tak terlalu besar, tapi nanti mereka pasti akan menjadi salah satu jagoan di atas papan seluncur menghadapi ombak pantai Bo'a dan Nemberala yang terkenal tinggi dan berlapis. Keren melihat anak-anak ini menenteng papan seluncur menuju ombak yang untuk berenang saja membuat kita merinding.

Pasir putih memanjang di pantai Boa
Sebagian orang yang pernah mendengar tentang Rote pasti lebih kenal dengan Nemberala. Desa Nemberala ini memang tersohor di kalangan bule pecinta surfing. Di desa ini, banyak dengan mudah ditemui rumah-rumah tinggal yang dihuni bule baik yang cuma tinggal untuk beberapa waktu atau yang benar-benar ingin tinggal di sini selamanya. Desa dengan deretan nyiur dan pasir putih yang aduhai ini memang telah menjadi setengah kampung bule, tidak heran jika berjalan-jalan ke sana sering ketemu anak-anak bule atau yang udah blasteran. Dengan lokasi yang menghadap matahari tenggelam, jelas Nemberala menjadi tempat ideal untuk menikmati semua keindahan itu. Cerita pantai Nemberala bisa kalian baca di: Nemberala, We Call it Beach.

Tebing-tebing di pantai Boa
Tapi, jika kalian mengira Nemberala juga tempat ombak yang terkenal besar untuk surfing itu kurang tepat. Memang Nemberala juga memiliki ombak yang besar yang menjadi tujuan utama para surfer, namun bukanlah pemilik ombak terbesar. Pantai apa yang sebenarnya memiliki gulungan ombak fenomenal itu? Itu adalah pantai Bo'a. Ya, pantai Bo'a terletak di sebelah pantai Nemberalalah yang sebenarnya memiliki ombak terbesar untuk selancar. Pantai Bo'a inilah yang pernah dijadikan ajang untuk lomba selancar tingkat internasional di Rote Ndao beberapa tahun lalu. Pantai ini menghadap barat daya, jadi sedikit lebih serong ke Selatan dibanding pantai Nemberala. Belum banyak bangunan di tempat ini dibandingkan di desa Nemberala karena memang lokasi ini lebih gersang dan lebih berkarang.

Burung-burung di pantai Boa
Namun saat ini sudah mulai bermunculan bangunan-bangunan baru di sekeliling pantai Bo'a. Bahkan di tanah yang sekarang masih dimiliki Pemerintah Kabupaten Rote Ndao telah dikerjasamakan dengan swasta untuk dibangun vila dan hotel kelas internasional. Tanah milik pemerintah seluas 60ribuan meter persegi ini denger-denger mau dikelola oleh bule lewat perusahaannya cucunya Soeharto (mantan presiden Indonesia).

Sebatang pohon di pantai BoaDi sebelah kanan yang tertutup pepohonan dan bukit karang kecil juga berdiri bangunan yang kata-katanya milik salah satu artis Indonesia namanya LM (kalau gak salah denger). Pantai disana asyik karena seperti pantai pribadi yang dijepit bukit karang di sisi kiri dan kanannya. Wih sepertinya asyik kalau bisa melihat LM berjemur di pantai ini #keplakpakebikini

Sedangkan di sebelah kiri yang nyaris dipenuhi karang-karang terjal berdiri bangunan yang katanya dimiliki oleh keluarga bule. Widih, kalau orang pribumi menghindari bangunan di karang-karang justru lokasi seperti ini menjadi tempat favorit para bule. Pertama tentu saja rumah itu menjadi lokasi yang tepat untuk menikmati pantai dan senja tanpa terganggu bangunan lain. Yang kedua ini nih yang aku juga baru tahu, ternyata dibalik karang-karang ini terdapat pantai yang terjepit karang di kiri kanannya. Jadi dengan memiliki rumah di situ, dengan sendirinya mereka memiliki akses pantai yang layaknya pantai pribadi. Keren kan, guys... Aku saja baru bisa menjangkau tempat ini setelah air laut surut jauh.

Pantai ini tergolong pantai yang masih sepi, itulah kenapa pada saat-saat tertentu kawanan burung laut suka berkumpul di pantainya. Entah jika nanti pantai ini mulai berkembang, apakah burung-burung itu tetap akan datang seperti biasanya. Pantai Ndana tampak di kejauhan, membuatku bertanya apakah di sana memiliki view yang sama indah atau justru lebih indah daripada pantai Bo'a.

Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya