Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Selasa, 19 Mei 2015

Telaga Warna dalam Selimut Pagi

telaga warna pagi hari
Suasana di Telaga Warna yang terasa tenang saat pagi hari
Pagi di telaga yang begitu tenang kalau tidak ingin kukatakan sunyi. Selain aku dan penjaga yang malas buka gerbang, cuma tinggal dua mahluk sepasang yang ikut nimbrung (atau aku yang dibilang nimbrung). Itulah kenapa aku suka mendatangi telaga di pagi hari, di saat tubuh yang menggigil mendambakan selimut untuk melanjutkan lelap, dimana tubuh enggan beranjak dari tempat tidur. Apalagi di tempat dimana jaket saja belum tentu bisa menahan dingin? Ah masa, lah itu  di salah satu tempat duduk kayu duduk sepasang mahluk beda jenis yang cewe pake baju full open gitu gak kedinginan tuh. Kasian juga sih, cowonya pake jaket tapi ceweknya dibiarin bolong disana-sini.


telaga warna pagi hari
Matahari mulai menyinari kabut tipis yang turun
Sebenarnya perjalananku ke tempat ini karena kebetulan ada tugas dari kantor dan ada waktu luang aku coba manfaatin untuk mengunjungi tempat-tempat yang bisa dijangkau. Aku melemparkan pertanyaan ini di status facebookku yang mungkin memiliki referensi tertentu tentang tempat yang menarik di seputaran Ciawi. Dan rasanya referensi bu Erna Gunawan yang paling menarik perhatianku untuk mencoba ke Telaga Warna. Jadinya rekomendasi moto dari masjid di Puncak Pass deket rumah makan Rindu Alam aku batalin. Yah, kadang kita feeling aja mana yang sepertinya menarik untuk didatangi.  Dan jangan tanya apakah aku akan kecewa seandainya tempat tujuan itu tidak menarik seperti yang aku duga. "For my part, I travel not to go anywhere, but to go. I travel for travel's sake. The great affair is to move." tuh kata dari kang Robert Louis Stevenson. Jadi salah satu alasan kenapa aku gak mudah ngajak jalan orang lain, karena banyak kita yang terpatok pada lokasi tujuan sedangkan aku sendiri lebih kepada jalannya, tujuan cuma alasan untuk berhenti sesaat.


rakit tua di telaga warna
Sebuah perahu bambu yang tidak terpakai dipenuhi tanaman
Sendiri, aku memilih berangkat pagi karena belum mengenal lokasinya seperti apa. Umumnya jika sebuah danau/telaga di daerah perbukitan yang agak terbuka atau tidak ada bukit tinggi yang menutupinya biasanya jika mulai siang sampai sore airnya menjadi bergelombang, namun jika pagi airnya akan tetap tenang. Jadi dengan pagi aku sudah hampir memastikan bahwa aku akan mendapatkan suasana telaga yang tenang apapun kondisi telaganya.
Berangkat selepas Subuh, aku memilih berjalan kaki dari penginapan di Ciawi karena pagi buta begini belum ada belum ada ojek yang nampang di depan penginapan.

Bayangan pagi di Telaga Warna
Ketenangan seperti ini hanya dapat ditemui saat pagi
Baru dari pertigaan Danamon aku bisa mendapatkan mobil angkutan ke arah puncak berbekal informasi mamang yang juga jadi sopir angkutan. Katanya sih kalau di Telaga Warna itu dingin banget jadi harus pakai jaket, mungkin dia kasian liat aku yang cuma bawa kaos dalem sama rompi yang tentu gak bisa menahan hawa adem pegunungan. Tapi mamangnya bilang jangan kuatir, di atas pasti ada yang udah buka jualan sweater atau jaket. Aku berhenti di Tugu sesuai arahan dan berganti kendaraan ke arah Cisarua, patokannya angkutan yang berwarna kuning. Kenapa musti ganti karena Telaga Warna itu sudah masuk kabupaten Cianjur jadi angkutan kota tidak bisa melewati batas. Sebenarnya ada cara paling mudah yaitu naik bis kota yang menuju Bandung atau Cianjur yang melewati Puncak Pass. Cuma karena terlalu pagi kemungkinan bisa kelamaan cuma buat nunggu bis. Tapi kalau kita browsing kok nemunya Telaga Warna, Cisarua Kabupaten Bogor ya.. jadi bingung yang bener itu masuk Kabupaten Cianjur atau Kabupaten Bogor sih?!?


View Telaga Warna dari takit tua
View dari dalam perahu yang telah tak terpakai
Setelah melewati perkebunan teh milik Argo Gunung Mas yang juga banyak dijadikan tempat wisata alam akhirnya angkutan berhenti di sebuah lokasi yang dipenuhi para pedagang. Di belakang bangunan tampak sebuah masjid kecil dan disampingnya ada pintu gebang yang menunjukkan arah menuju Telaga Warna. Gak jauh jalannya kok cuma beberapa meter nanti ketemu gerbang masuk Telaga Warna. Penjaga gerbang ogah-ogahan waktu kita mau masuk, alesannya belum buka tapi saat disodorin uang 7rebu tanpa tiket langsung ijo cepet-cepet bukain gerbang... beuhh.. kalau urusannya duit aja dimana-mana sama.


View Telaga Warna pagi hari
Persahabatan bagai kepompong, semuanya pake kepompong
Telaga Warna ini ternyata berada di sekeliling bukit yang cukup tinggi di sisi Timur dan Selatan. Ini artinya kalau pagi sampai mungkin jam 8 suasana telaga pasti masih redup. Walaupun tetap enak untuk dinikmati namun di bawah jam 8 bisa dibilang bukan momen terbaik untuk mengambil foto. Kalau mau bersabar tunggulah sampai jam 8 ke atas karena di saat itu cahaya matahari sudah mulai memasuki celah-celah pepohonan membuat panorama Telaga Warna indah terpampang. Karena sepi asyik juga mondar-mandir disini sambil cari angle-angle yang bagus tapi asli cewe satu yang ditinggalin cowoknya sendiri dan asyik foto selfie ini agak mengganggu mata. Lah masak moto selfi bukan ke arah telaga tapi kearah dimana pahanya bisa ngangkang ke arahku.. Mau gak mau aku jadi perhatiin paha segede pentungan Mr Flintstone itu, belum lagi puser sama perutnya meluber kemana-mana akibat maksa pakai baju ukuran waktu SMP (ciri-ciri perempuan yang hemat). Duh kenapa mau moto pemandangan jadi banyak gini ya hehehe......

Kabut pagi di antara kebun teh yang baru dipangkas
Tak berapa lama kemudian beberapa pengunjung mulai berdatangan, hanya beberapa sih.. dua keluarga plus sodara sama buyut cicitnya :D. Penjual sekoteng baik hati ikutan datang jadi perut yang masih belum terisi dapat diganjel sama sekoteng panas seharga 8rebu, mahal ya? Gak lah, coba kamu bikin sendiri bawa kemari aku beli 10rebu juga gak papa..
Kalau menurut catatan di depan, Telaga Warna ini masuk kawasan cagar alam yang dikelola pemerintah. Makanya saat pagi-pagi banyak terdengar bunyi burung-burung dan teriakan seperti monyet dikejauhan. Aku masih bisa melihat seekor burung kecil berbulu biru dengan paruh panjang besar terbang melintasi telaga. 
Aku memutuskan kembali sekitar jam 8.19.. cieeh, kok hapal banget sih jamnya sampai menit begitu.. Sampai di jalan ternyata kendaraan arah ke Bogor antri memanjang, sepertinya ada buka-tutup jalan. Buka-tutup jalan di wilayah ini sudah biasa terjadi apalagi saat ada liburan seperti ini. Tau sendiri kan, orang Jakarta kalau libur bawaannya pengen melarikan diri aja dari Jakarta. Jadilah Bogor, Bandung dan Puncak jadi pelampiasan mereka.

Perkebunan teh di Puncak Pass
 Aku memutuskan jalan kaki sampai ke Tugu, tapi karena perut lapar aku mampir ke salah satu warung untuk makan. Di warung itulah aku mengenal salah lagi jenis lalapan namanya daun pohpohan. Rasanya harum-harum sengir kayak daun kemangi gitu.. sayang lagi gak pengen makan sambel banyak jadi gak bisa makan lalap sepuasnya, padahal pete yang digantung deket teteh berdiri dari tadi sudah melambai-lambai minta dicicipi. Petenya lho ya bukan tetehnya... pikiran jangan jorok nape!!! :D
Setelah selesai makan dan buang air kecil di kamar mandi masjid mulailah perjalanan dengan jalan kaki menuju Ciawi. Btw tentang kencing, entah cuacanya atau karena bawaan pengen minum, sepanjang jalan aku hitung sudah 6 kali masuk ke toilet 2rebu buat kencing.. dihitung-hitung abis 15rebu cuma buat kencing (karena yang terakhir uang 5rebu gak punya kembalian jadi dikasih aja semuanya). Ternyata jalan kaki lebih cepet daripada naik mobil. Itu mobil saking lama dapat giliran buka sampai banyak yang matiin mobil lalu istirahat sambil makan atau minum di pinggir jala. Kalau sering lama-lama ditutup gitu para pedagang di pinggir jalan jadi kecipratan rejeki. Yah, ternyata dibalik kesulitan tertentu ada kemudahan. 
Para ibu-ibu pekerja sedang memanen daun teh
Entah berapa jauh jarak dari Telaga Warna sampai dengan Ciawi yang pasti sampai dengan jam satu siang lebih aku baru sampai di daerah Cimory, berarti aku telah berjalan kaki 5 jam. Yah mungkin juga karena aku beberapa kali masuk ke dalam perbukitan kebun teh jika aku melihat view-view menarik. Namun berjalan menurun saat jam buka-tutup seperti ini harus berhati-hati karena jalur yang jadi sempit jadi kadang saat bis-bis yang berukuran besar lewat aku memilih minggir di tepi. Namun beberapa motor yang kadang mendesak ingin mendahului juga jadi fokus aku. Beberapa kali aku harus naik sampai ke pinggir jalan untuk menghindari motor yang mencoba melewati bis dari sisi dalam. Untungnya lagi suasana puncak yang lagi banyak awan sehingga tidak terlalu terasa menyengat walaupun berjalan dengan matahari yang telah di atas kepala.
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 26 April 2015

Kembali Menikmati Alam Bawah Laut Kupang

Underwater in the Tenau Beach, Kupang
Dengan kedalaman yang begini sudah dapat menikmati terumbu karang warna warni yang cantik tersusun
Bertemu kembali dengan ikan Nemo yang masih tetap lucu dengan warna merah oranye yang cantik, kerinduanku melihat taman laut seperti terlampiaskan. Bagi yang sering snorkling pasti juga tahu kalau ikan badut (clown fish) ini adalah ikan yang penakut, makanya mereka bermain tidak pernah dari anemon. Anemon adalah tempat sembunyi yang pas buat si ikan badut ini, sulur-sulurnya yang panjang lembut terasa agak lengket menyedot jika tersentuh. Bagi yang menyentuh anemon ini, rasanya seperti tersengat padahal hanya efek rasa lengket menyedot. Kalau gak percaya tempelin aja itumu ke anemon nanti rasain sendiri sensasinya. Maksudnya itu yang disini bang?? (tunjuk itu).. Iya, yang itu... Masih gagal paham?? Ya udah, gak usah dibahas lagi.  

Clown fish in Tenau beach
Ikan Nemo kecil ini tak akan beranjak dari anemon
tempat bermain sekaligus tempat teraman baginya
Sudah cukup lama aku gak masuk ke dalam air untuk snorkling. Terakhir aku inget bareng Kadek cs mungkin udah sekitar 2 tahunan. Yang aku inget terakhir snorkling itu gagal karena peralatan buat nyelam bocor karena karet kacamata menjadi terlipat kaku. Mungkin karena terlalu lama dibiarkan. Tak ada teman lagi untuk snorkling setelah perpindahan mereka sehingga beberapa tahun aku melupakan rasanya bermain di laut melihat terumbu yang tersusun dengan indah. Warnanya itu lho, bikin rasanya pengen lagi lagi dan lagiiiii...
Namun Tuhan memang maha baik, mati satu tumbuh satu.. (ya iyalah, tumbuh seribu kebanyakan keles)... akhirnya aku punya kesempatan untuk snorkling lagi setelah bertemu dengan Ardi, Imam dan cs-nya yang punya minat sama. 

Tenau sea's underwater
Terumbu-terumbu bersusun indah dipenuhi ikan-ikan kecil
Awalnya kita mencoba peruntungan di daerah Bolok di pantai bawah kantor balai konservasil laut apa gitu. Namun sayang saat itu laut pasang dan agak keruh. Entah aku yang salah lokasi atau informasinya yang gak update ternyata dalam radius beberapa puluh meter aku memutari daerah ini tidak melihat kawasan terumbu ini. Padahal ini berdasarkan informasi salah seorang mbak-mbak berjilbab yang menjadi pegawai di balai itu saat ketemu gak sengaja di Sabu (iyalah gak sengaja, kalau sengaja namanya nge-date). Akhirnya percobaan pertama yang gagal ini kita ambil hikmahnya (salam lekum ustat), jadilah acaranya ngajari teman-teman lain yang baru pertama kali snorkling. Macam Imam misalnya, satu-satunya gaya berenang yang dikuasai cuma gaya batu.

Tenau sea's underwater
Karang-karang besar menjadi tempat strategis terumbu hidup
Kali kedua aku memilih ke Tenau, karena beberapa titik disini aku kenal cukup baik. Anak-anak lain sempat bertanya apakah aku akan snorkling dari jalanan turunan di depan Gua Monyet. Aku bilang gak, karena aku tahu persis di sana terumbunya sudah hancur cukup banyak terutama di perairan yang dangkal. Asli parah banget, mirip korban kecelakaan setelah dijampret trus dipukuli pake sapu dan disiksa digelitiki bulu ayam sampai kencing di celana.  Ibarat kasus penganiayaan pasti udah masuk kategori pembunuhan dengan kekerasan. Ah masak iya?? Gak, boongan!
Sumpah, sebenarnya aku gak mau ragu tau jalannya karena ragu apa kalian nanti kalau kesini abis snorkling trus naksir berat sama terumbu dan ikan-ikannya trus kalian ngambil terumbu atau ikannya buat dibawa pulang. Atau lebih parah seperti mereka yang tiap kali air surut datang ke sini membawa tombak untuk mencari ikan dan mereka dengan santainya menginjak-injak terumbu karang hingga menjadi rusak tak karuan. Tapi kalau aku gak aku kasih tau, nanti dibilang hoax. Apa foto seperti di bawah ini tidak cukup menjelaskan??

Tenau sea's underwater Underwater in Tenau sea
Terumbu menjadi tempat ikan kecil tumbuh Terumbu mulai tumbuh memenuhi karang
Untungnya memang lokasi itu masih terjaga karena bentuk pantainya hanya beberapa meter yang landai sehingga menghindari orang-orang untuk mencari ikan dengan menombak disini. Itu juga menguntungkan karena cukup berenang tak sampai sepuluh meter kita sudah bertemu dengan banyak terumbu karang yang indah.
Hanya memang lokasi di sini agak sulit karena berupa karang-karang yang terjal dan tajam, di beberapa titik ada tempat untuk turun ke pantai tapi itu harus dilakukan hati-hati karena sedikit saja kita salah melangkah dengan mudah karang akan melukai kaki.
Free dive under Tenau sea's
Yang tampak paling lihai snorkling tentu saja di Irmeng, lengkap dengan baju wet dry yang spesial untuk diving bahkan membawa baju untuk pemberat di badannya. Beberapa foto ini sebenarnya adalah foto yang diambil oleh Irmeng dan Yudha yang berenang lebih ke tengah. Yudha sendiri menurutku cukup mahir dan tenang namun masih kesulitan untuk melakukan free diving di awalnya, maklum karena dia sendiri belum banyak bermain snorkling. Aku sendiri biasanya bermain di tengah namun karena harus mendampingi anakku Shiva yang juga baru pertama kali ikut snorkling sehingga memilih bermain di daerah yang tidak terlalu dalam. Namun karena sudah pintar berenang dengan cepat dia bisa melakukan snorkling dengan mudah bahkan sudah mulai bisa melakukan free diving.
Dan terakhir, inilah foto para peserta snorkling itu, termasuk anakku Shiva yang menjadi snorking termuda. Semoga foto dan tulisan ini membuat banyak orang di Kupang berminat dengan alam bawah lautnya yang sebenarnya sangat menarik. Tapi tentunya dengan diiringi tanggung jawab untuk menjaganya. Mulai saat ini, berhenti membuang sampah sembarangan di laut, karena setiap kalian membuang sampah sedikit demi sedikit perairan akan menjadi tercemar. Cieee, sok ngingetin.. ya gitu deh, pokoke happy snorkling. 

Before snorkling in Tenau sea Underwater in Tenau sea
Poses sesaat sebelum snorkling Shiva, si kecil diantara para cowo gede
Thanks buat teman-teman yang telah bersama-sama snorkling beberapa waktu lalu baik yang sudah disebutkan namanya atau yang aku lupa menyebutkan (gak sengaja nih men ceritanya). Juga thanks buat mbak Arin (si Mak Ketjeh) buat informasi lokasinya walau sampai sekarang belum sempat dikunjungi karena masih bingung hehehe.... Dan tentu saja tunggu hunting lokasi selanjutnya.
Buat kalian yang berminat dengan lokasi snorkling di Kupang, sekarang sudah ada komunitas snorkling dan diving di Kupang, silahkan kalian cari saja via fesbuk, kalau gak nemun juga boleh kontak aku nanti aku hubungkan dengan mereka yang lebih mengenal daerah snorkling di Kupang.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 26 Maret 2015

Gambar-Gambar Kecil Lain dari Alor

Suasana pagi di perkampungan sekitar Kalabahi
Cerita sedikit dari perjalananku beberapa kali ke Alor yang sempat singgahi di beberapa lokasi yang kurang dikenal oleh masyarakat luar ataupun biasanya hanya dikenal oleh masyarakat lokal. Beberapa lokasi memang bukan tempat wisata yang tidak sengaja aku lihat waktu jalan-jalan pagi nyasar-nyasar.

Pantai Maimol, Alor
Menikmati pantai? Tidak meyakinkan
Ada satu pantai yang ada di pinggir jalan antara Mali (lokasi bandara) ke arah kota Kalabahi yang masyarakat sebut dengan nama Pantai Maimol karena berada di desa Maimol... sebenarnya Maimol itu nama dusun apa desa sih..
Letaknya yang berada di antara pertengaha jalan itulah yang justru sering terlewatkan untuk dikunjungi padahal tampaknya warna airnya yang hijau dan sedikit tosca. Aku pernah sekali mandi di pantai Maimol sekitar tahun 2007-an, sudah lama sekali waktu rambut belum ada yang putih (kata orang rambut putih tanda kebijaksanaan, berarti waktu itu masih belum bijaksana :P)

Balai-balai yang dipasang penduduk untuk bersantai
Kalau dulu tahun 2007 bisa dibilang kawasan ini masih kawasan terbuka, penduduk pemilik tanah di sekitar pantai ini cenderung membiarkan aktivitas wisatawan semacam kami yang duduk-duduk di pantai atau mandi di laut. Disekitar pantai memang banyak tumbuh beberapa pohon yang membuat kita bisa dengan mudah terlindungi dari panas saat kesini siang hari. Tapi pada waktu itu kita harus membawa perbekalan sendiri, jangan harap kita akan menemukan tempat orang menjual minuman atau makanan di sekitar lokasi pantai Maimol.
Tentu saja hal itu berbeda dengan kondisi sekarang, karena penduduk pemilik tanah mulai memagari tanah-tanah di sekitarnya dengan pagar kayu/bambu. Mereka memang menambahkan balai-balai di bawah pepohonan untuk tempat bersantai sambil menikmati pantai. Beberapa penduduk juga menjadikan lokasi sekitar tempat ini untuk menjual makanan dan minuman. Kalau lagi musim jagung, maka paling mudah ya mencari jagung rebus, kalau minuman tidak ada pilihan yang lebih nikmat selain kelapa muda.
Jangan buru-buru percaya kalau ada yang menawari jagung muda. Bukan karena mereka berbohong tapi mungkin ada perbedaan muda dari kita para pendatang dengan mereka.
Suasana pantai masih cukup tenang
Pernah dua kali aku beli jagung rebus dan tanya apakah jagung muda, mereka jawab ia jagung muda. Tapi waktu aku buka dan makan terasa sekali kalau jagung ini sudah tua tetap saja penjualnya bilang kalau itu jagung masih muda. Iya sih, lebih muda dibandingkan jagung pipil yang dijual kering untuk digiling jadi nasi jagung hehehehe. Tambah lagi mereka kadang rebusnya tidak seberapa masak jadi kadang masih terasa agak mentah di bagian dalam. Lagi-lagi mereka menyangkal kalau itu sudah masak dan mereka biasa makan seperti itu. Jadi inget sama jagung bose waktu di SoE yang dimakan oleh salah satu pekerja jalan waktu istirahat. Jagung yang mereka rebus itu jagung yang sudah dipipil dan direbus setengah matang, yang mereka makan dengan rebusan daun ubi atau daun pepaya dan sambal lu'at (itu sambal aslinya pedas sekali).

Biaya masuknya cukup mahal sih, 10rebu hanya untuk duduk di balai-balai. Namun jika mau asyik coba cari nelayan-nelayan yang selesai mencari ikan. Jika beruntung bisa mendapatkan ikan-ikan segar yang sangat nikmat dibakar. Saat aku dan teman-teman sedang bersantai di sini, aku harus puas cuma bisa ngiler memandang rombongan anak muda membakar ikan yang masih segar. Dengan hanya berbekal lombok, kecap, dan garam, ikan-ikan yang dibakar ini tetap nikmat disantap. Sebenarnya mereka gak perlu garam ya, kan ikan-ikan sudah berenang di air asin seumur hidupnya, pasti sudah cukup garam hehehehe. 
Untuk mendapatkan view terbaik tidak ada salahnya kalau mengunjungi tempat ini pada pagi hari, karena memang pantai ini menghadap ke arah timur sebagaimana pantai Mali. Memang matahari tidak terbit langsung dari horizon laut karena terhalang view daratan di seberang yang masih bagian dari pulau Alor.

Pantai di Sekitar Dermaga Kalabahi

Suasana pagi di perkampungan sekitar Kalabahi
Di sekitar daerah Kalabahi memang lebih banyak pantainya berpasir hitam dan tampaknya pasir itu memang warna khas di sepanjang kawasan teluk Mutiara ini. Suatu pagi aku iseng berjalan-jalan menyusuri perkampung di dekat daerah pelabuhan. Di sepanjang jalan ada beberapa tempat yang aku lihat ada tempat menjual jajanan hasil olahan mereka. Jadi berbeda dengan suasana pagi yang sering lenggang, di kampung ini pagi-pagi sudah tampak aktivitas warganya. Setelah beberapa gang aku lewati, iseng aku masuk ke dalam melewati rumah-rumah berimpitan yang dibangun di sepanjang pantai. Tidak mudah untuk menemukan sebuah pantai terbuka karena sebagian besar sudah dipenuhi rumah-rumah penduduk entah rumah permanen atau rumah sementara. Dengan mengikuti sebuah jalan setapak sesuai arahan salah seorang penduduk akhirnya aku dapat mencapat sebuah pantai yang kiri kanan juga sudah diapit rumah-rumah.
Anakan bakau yang telah ditanam di sepanjang pantai
Lagi-lagi aku menemukan kebiasaan buruk masyarakat yang menjadikan laut tempat untuk membuang sampah. Bahkan di beberapa sudut pantai aku harus melewati gundukan tanah yang terbentuk dari timbunan sampah yang tampaknya sudah lama. Mungkin juga bangunan-bangunan ini sebagian dibangun dari menebang pohon bakau yang biasanya banyak ditemui di kawasan pasir berlumpur seperti ini.
Saat aku terus berjalan ke arah timur untuk mencari view pemandangan pagi yang menarik, aku terhenti pada sebuah batu yang disusun di pinggir laut membentuk sekat dan ternyata di balik sekat itu terdapat sebuah kawasan yang sedang ditanami pohon-pohon bakau. Calon-calon pohon bakau yang masih kecil ini bagaimanapun menjadi sebuah penyejuk yang bisa diharapkan untuk dapat besar yang menjadi pelindung bagi pantai di kawasan ini. Walaupun dari sini aku melihat tidak terlalu banyak bakau yang sedang ditanam namun aku berharap siapapun yang memiliki inisiatif ini entah dari lembaga swadaya masyarakat atau pemerintah, maka upaya ini tidak berhenti seperti ini namun dibeberapa pantai lain yang kawasan bakaunya telah mulai habis dipotong masyarakat kembali ditanami.
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 22 Maret 2015

Senja di Batas Indonesia - Timor Leste

Pasir hitam mencipatakan bayangan sempurna jajaran pohon cemara di pantai Wemasa
Sudah ketiga kalinya aku ke Kabupaten Malaka tapi memang belum pernah kemana-mana. Urusan ke Malaka berarti sibuk dengan urusan kerjaan yang kejar-kejaran gara-gara perjalanan yang susah kesana. Kabupaten Malaka yang beribukota di Betun belum genap berusia 2 tahun jadi kabupaten baru setelah melepaskan diri dari induknya Kabupaten Belu. Buka google map, kalian akan menemukan kota ini berada di perbatasan Indonesia - Timor Leste. Jadi di Malaka ini lah yang menjadi daerah perbatasan Indonesia - Timor Leste dari sisi selatan sekaligus daerah perbatasan laut dengan Australia.

Mengangkat perahu menuju ke pantai untuk mencari ikan
Selasa sore saat jalan-jalan di kota mau ngambil uang di-ATM iseng aku nanya pantai yang ada di dekat sini tukang ojek. Setelah banding-banding lokasi dan sepakat harga akhirnya aku dianter sama tukang ojek ke pantai Wemasa yang kebetulan kata Fredo si ojek dekat dengan rumahnya. Tidak jauh mungkin sekitar 5-6 km melewati jalan besar arah menuju perbatasan. Sebenarnya aku bareng dua cewe yang juga ingin jalan-jalan tetapi karena belum mengenal medan aku memilih jalan sendiri. Sebelum aku masuk pantai Wemasa, aku sempatkan mampir di warung untuk beli bekal karena biasanya aku suka nunggu sampai malam baru balik.
Sekitar jam setengah lima aku sudah sampai di pantai Wemasa. Pantai ini berpasir hitam walau tak segelap pasir di Ende. Aku memang sedari awal tidak berekspektasi lebih dengan pantai-pantai di daratan Timor apalagi yang sisi selatan. Kata Niken, tempat tujuan mungkin tidak indah tapi perjalanan itu tetaplah indah. Kalau aku tambahi, indah tidaknya tempat tergantung darimana kita melihatnya.
Anak-anak pengangkut perahu
Berpose dibawah semburat sinar senja
Pantai Wemasa memang berada dekat perbatasan, salah seorang anak muda yang bantu menarik perahu yang turun melaut menunjuk tanjung yang tampak sekali di ujung timur yang katanya merupakan daerah yang memisahkan Indonesia dengan Timor Leste. Tidak tahu apakah yang dia tunjuk itu pantai Kobalima, karena informasinya di sebelah pantai Wemasa yang dekat dengan perbatasan itu pantai Kobalima. Dengan pasirnya yang berwarna hitam, siang hari memang terasa terik sekali sehingga nyaris tidak ada aktivitas di pantai ini kecuali beberapa anak muda yang sedang memperbaiki jaring pukat di bawah jajaran pohon cemara yang rindang.
Walau senja, cahaya matahari masih menyilaukan
Menantang gelombang demi lanjutnya kehidupan
Saat sore menjelang dan matahari sudah tidak terik, barulah aku berjalan-jalan menyusuri pantai. Sepanjang pantai hanyalah pasir, tidka kutemukan karang di daerah ini. Beberapa anak kecil berlarian, yang masih masih malu-malu saat kusodorkan makanan ringan yang kubawa di dalam rompi. Aku memang suka membawa makanan lebih untuk saat-saat seperti ini.
Gelombang meninggalkan buih-buih putih di pasir yang hitam
Rata-rata perahu yang ada disini perahu kecil, katanya mudah untuk ditarik kembali ke daratan saat ombak menjadi besar. Pantai selatan memang khas dengan ombaknya yang kadang besar. Saat ini masih digolongkan tenang oleh nelayan setempat. Beberapa perahu ditarik ke pantai untuk mencari ikan. Mereka mencari ikan jauh ke tengah karena memang dengan kondisi perairan terbuka seperti ini tidak ada tempat perlindungan bagi ikan di pinggiran. Mereka pun tidak melaut lama, seperti saat ini mereka keluar maka biasanya jam 7 malam mereka sudah mulai kembali. Rata-rata nelayan di sini bukan asli dari daerah ini namun tersebar dari beberapa tempat termasuk dari Betun.
Saat malam aku menyusuri pantai, aku diingatkan oleh pak Dalis yang merupakan pemilik beberapa kapal disini. Dia menyarankan aku menjauhi daerah air karena saat gelap buaya-buaya suka bermunculan di pinggir pantai. Dia menunjuk jauh di sebelah barat dimana terdapat muara di sana. Di sanalah banyak terdapat buaya yang kadang suka mengejar anak-anak. Itulah kenapa daerah yang ada rumah-rumah jaga untuk perahu hanya di sekitar pantai Wemasa sebelah timur, karena sebelah barat selepas jalan memang wilayah para buaya. Walaupun begitu, disini tidak ada orang yang memburu buaya karena sepertinya membunuh buaya itu sebuah pamali bagi mereka.
Pak Fredo juga menceritakan tentang kepala desa Nekmasa yang bisa berkomunikasi dengan para buaya ini. Katanya ada satu pulau kecil di dekat daratan, tapi untuk kesana harus di antar oleh kepala desa ini karena disana menjadi sarang buaya.
Aku sebenarnya masih akan menunggu kembalinya para nelayan ke pantai ini. Kata pak dalis, kalau malam para pengumpul ikan akan berdatangan kesini dengan senter menunggu nelayan sehingga tiap malam di wilayah ini akan terang dengan senter yang dibawa pengumpul untuk membeli ikan dari nelayan. Sayang Fredo ternyata udah menungguku di cabang sehingga akhir aku mengalah kembali sebelum jam tujuh.
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 28 Februari 2015

Menyapa Pagi di Kalabahi


Keheningan teluk Kalabahi dalam bingkai suasana pagi
Menyesap nikmatnya kopi pagi disebuah warung kecil di samping kiri pelabuhan ditemani semangkuk mie rebus yang asapnya masih mengepul. Tidak banyak aku temukan tempat minum kopi yang buka di pagi seperti ini di NTT, tidak seperti di Jawa yang dengan mudah kita temui warung-warung yang buka di pagi hari menunggu pembeli memesan kopi. Tapi bukankah kadang yang sulit dicari jadi nikmat sekali jika kita temui. Ah, aku jadi ingat teman yang pernah sampai ke kota ini dan berkata, sering merindui untuk datang kembali di kota ini. Jika sebagian orang ada yang datang sebentar menjadi jenuh, aku jadi ingat kata mantan bupati Alor, Ans Takalapeta: "Alor itu indah jika kita bisa menikmatinya". 

Perahu bertambat di dermaga
Bayangan pagi yang hening

Ya benar, jika kamu bisa berdiri disini menikmati terjebak dalam suasana kota lama, menikmati keheningan yang ada mungkin kamu akan mengangguk setuju pada sebuah spanduk pemda "Alor - Heaven on Earth". Aku sedang tak bicara tentang indahnya terumbu karang di perairan Alor yang menjadi incaran turis dari mancanegara bahkan para dive master level dunia. Aku juga tidak sedang berbicara tentang indahnya panorama pantai di sepanjang Alor. Tak perlu jauh-jauh teman, menikmati kopi di pagi hari atau sekedar mencangkungkan kaki di pinggir dermaga saja cukup alasan untuk menemukan sebuah keindahan jika kau paham maksudku.
Kota lama di depan pelabuhan
Suasana pertokoan dengan arsitektur gaya lama

Beberapa hari ini aku memang jadi rajin bangun lebih pagi karena bunyi adzan Subuh terdengar dari hotel yang jaraknya tak jauh dari hotel mungkin tak lebih dari 100 meter dan disusul oleh 2 masjid lainnya yang hampir bersamaan. Sebelum adzan sendiri biasanya aku mendengar lantunan qiro'ah mengalun dari pengeras masjid. Saat mataku bangun setengah terbuka aku serasa kembali ke kampung halaman dimana musholla hampir bisa ditemui disetiap gang kampung dan saat subuh suara-suara adzan itu terdengar susul menyusul. Aku jadi rindu kampung, masih kuingat saat puasa kami pagi-pagi dengan sarung terkalung di leher berangkat sholat Subuh dan dilanjutkan acara 'ngeceng' di alun-alun kota. Aku ingat, para gadis muda juga keluar bangun subuh. Mereka tidak keluar untuk sholat subuh tapi untuk jalan-jalan, dan alun-alun kadang menjadi tempat 'ngeceng' waktu subuh. Sekarang istilah 'ngeceng' sudah jarang dikenal, mungkin sebagian kalian yang masih dibawah 30 tahun tidak lagi mengenal istilah itu.
Asap tipis tanda aktivitas pagi dimulai
Menimba air laut dari perahu
Mungkin baru kali ini aku leluasa berjalan-jalan pagi di pinggir pantai bahkan saat langit masih gelap. Pagi masih hening selepas Subuh, hanya beberapa orang tua yang keluar agak telat dari masjid karena lebih lama berdzikir. Pun kesibukan di dermaga tak seberapa, hanya beberapa orang yang sibuk mengisi air bersih ke tong-tong perahu. Sepertinya mereka mau berangkat pagi ini. Beberapa kru kapal yang enggan bangun memilih menutup badannya dengan sarung dan meringkuk di pinggiran dermaga.

Patung Perjuangan Rakyat
Kalabahi adalah sebuah kota lama, salah satu kota yang terbentuk sejak awal berdirinya provinsi Nusa Tenggara Timur. Aku bisa mengenali wajah kotanya yang mengingatkanku pada kota lama di Jawa, pun demikian pula dengan kesibukannya. Toko-toko biasanya hanya buka sampai jam tiga sore dan jika buka lagi biasanya selepas jam lima sore. Toko-toko yang berdiri di sekitar pelabuhan masih menjadi pusat keramaian di Kalabahi, suasananya tidak banyak berubah dibanding lima belas tahun lalu.
Lautnya pun begitu tenang, nyaris tanpa gelombang. Jika kalian lihat peta, Kalabahi berada jauh di dalam teluk yang dikenal dengan nama teluk Mutiara. Air laut yang bagai pantulan kaca memantulkan bayangan hitam tanah Alor Besar yang dipenuhi bukit-bukit. Aku saat duduk di dermaga kadang suka membayangkan jika teluk ini adalah sebuah kota pasti malam hari akan melihat pemandangan yang luar biasa, mandi cahaya dari seberang yang yang bayangannya memantul bagai kaca di air laut.
Namun dibalik ketenangannya lautnya, pagi yang kedua aku duduk sendiri di dermaga aku tahu bahwa laut tetap menyimpan bahayanya sendiri. Dan pagi ini aku mendengar dari corong masjid yang memberikan kabar bahwa seorang anak yang masih kecil berumur 7 tahun meninggal tenggelam, seingatku bernama Raihan sekitar jam 19.00. Malam sebelumnya aku memang mendengar percakapan ibu-ibu saat ada kesibukan di dermaga bahwa mereka sedang mencari seorang anak yang hilang tenggelam dan belum ditemukan. Katanya anak itu bersama ibu bapaknya yang sedang memancing di dermaga. Selamat jalan Raihan, sepertinya Tuhan lebih menyayangimu nak walaupun kepergianmu tentulah menyakitkan hati bapak ibumu.

Baca keseluruhan artikel...

Pasola, Kampung Toda, dan Daging Rusa

Ruang memasak berada di tengah-tengah rumah dan kamar-kamar berada di pinggir.
Lanjutan dari cerita Pasola .............
Aku mundur ke belakang setelah penonton di belakang terus merangsek ke depan ingin melihat lebih dekat. Karena acara Pasola makin seru makin sulit polisi dan aparat desa mengatur penonton sudah tidak mendekat. Biasanya ulah penonton ini tanpa sadar sering membuat lapangan menyempit sehingga jarak pemain makin dekat. Tapi ini juga sekaligus membuat penonton di barisan depan rawan ikut terkena lemparan lembing.
Untungnya di depan mudah mengambil foto seperti ini tanpa terhalangi
Ada satu keuntungan jika kita ke acara-acara seperti ini membawa kamera biasanya petugas tidak melarang jika kita berdiri di depan dari garis yang dibolehkan. Aku lihat rata-rata pemotret bebas mendapatkan tempat duduk di depan sehingga leluasa mengambil angle acara. Apalagi kalo pakaiannya rompi macam wartawan mau cari berita hahaha..
Ternyata aku tinggal berdua sementara teman-teman yang lain entah kemana. Dicari-cari ternyata mereka berteduh di bawah pepohonan. Wuih ternyata samping kanan kiri jalan telah dipenuhi para pedagang dengan segala macam dagangannya, pada umumnya makanan minuman sih. Cuaca saat ini memang terik sekali, bahkan hawa panas itu sudah terasa sejak pagi. Kalau kataku, di Sumba Barat Daya ini setelah malam itu langsung siang tanpa pagi karena matahari pagi langsung terang tanpa basa basi dulu hehehe.

Suasana rumah di kampung Toda
Yang asyik di perjalanan kami ditawari mampir pak Jostom mampir ke rumah mantan bupati Sumba Barat Daya di kampung Toda. Kebetulan pak Jostom sekarang lagi ditugaskan jadi sekcam di Kodi dan yang saat ini termasuk seksi sibuk dengan adanya acara Pasola seperti ini. Ternyata di kampung Toda ini sudah banyak berkumpul orang sehingga di tengah kampung dipasangi terpal. Seperti biasa aku lebih memilih duduk-duduk di salah satu rumah penduduk. Seperti pernah aku ceritakan sebelumnya, rumah asli Sumba ini nyaman. Tipikal rumah model panggung dengan balai-balai terbuka di sekelilingnya ditambah dengan atap asli dari jerami membuat rumah terasa sejuk walaupun cuaca panas menyengat. 
Kubur batu di kampung Kodi
Rupanya acara Pasola ini bagi orang Sumba merupakan hari besar, biasanya ini waktu mereka yang telah terpisah jarak menjadi ajang kumpul. Seperti rumah yang aku duduki ini ternyata dimiliki 25 kepala keluarga. Memang mereka tidak tinggal semua disini karena mungkin sudah punya rumah di tempat lain, tapi hak dan kewajiban mereka atas rumah itu tetap ada. Dan saat acara seperti inilah tempat mereka kembali ke rumah inang mereka menjadi satu. Menu pembuka yang disodorkan ke kami adalah jagung rebus. Jagung pulut istilah mereka memang paling enak dibuat jagung rebus. Ditambah teh panas, jadilah perbincangan dengan penduduk kampung Toda terasa mengasyikkan. Sayang aku lupa membawakan mereka sirih pinang, padahal lebih asyik lagi kalau aku bisa ikut makan pinang bersama mereka. Jadi inget waktu ke Kodi beberapa tahun lalu saat aku mencoba makan sirih pinang disini.
Saat undangan makan adalah saat yang tidak dapat kami lewatkan, dan ternyata kami mendapatkan suguhan daging istimewa: Rusa Timor yang mereka pelihara sendiri. Daging rusa yang manis dan bertekstur lembut ini tentu tidak kami sia-siakan walaupun kalau aku lihat tega. Putra dan Fathul beruntung, sementara teman-teman lain mungkin sampai saat ini belum pernah melihat Pasola merasakan nikmatnya daging rusa, mereka sekali kesini langsung mendapatkan keduanya. Hahaha... sepertinya bekal nasi padang yang kami bungkus bakalan sia-sia karena perut kami sudah dipenuhi makan siang dengan daging Rusa.
Danau Weekuri, ada yang lebih doyan motret dong :P
Sekitar jam satu kami kembali meneruskan perjalanan ke Weekuri karena kebetulan 2 orang dari rombongan yaitu Fathul dan Eko belum pernah ke Weekuri. Weekuri itu sebuah danau, seperti apa danau itu bisa dibaca di tulisanku sebelumnya.
Dan seperti biasa perjalanan ke Weekuri tidak mudah, kami bahkan sempat berjalan memutar balik kembali tanpa sadar. Walaupun kami pernah ternyata tetap tidak mudah mencapai tempat ini karena masih sangat minimnya papan informasi penunjuk jalan. Aku sendiri kenapa masih semangat ke Weekuri karena memang Weekuri itu tempat yang gak membosankan. Bahkan Putra kali ini semangat sekali mau mandi. Walhasil memang kami berhasil mandi di danau Weekuri, sayangnya justru teman-teman dari bepeka tidak mandi hanya duduk sambil menunggu teman-teman lain yang juga mau ngumpul dari Sumba Tengah dan Sumba Barat. Kali ini aku lebih siap dengan membawa celana dan kacamata renang. Danau Weekuri memang asyik untuk dinikmati bahkan sekedar untuk duduk-duduk saja apalagi kalau mandi.
Hujan yang menghentikan kami berenang
Sayang aku tidak bisa mandi lama karena langit yang sedari tadi tampak gelap berubah menjadi hujan. Sementara teman-teman yang tidak mandi langsung berlari ke mobil, aku tentu tidak bisa dengan kondisi basah. Akhirnya aku, Fathul dan Putra memilih berlindung di sebuah cekungan batu. Tidak terlalu tinggi sehingga kami harus agak menunduk tapi cukup lapang setidaknya sambil menunggu hujan reda.
Karena hujan ini akhirnya kami membatalkan mampir ke pantai Watu Mandorak. Ternyata hujan memang reda sebentar setelah itu makin kencang. Padahal waktu Pasola tadi langsung masih biru. Aku jadi ingat kata seorang kawan, saat Pasola walaupun musim hujan tetap waktu acara cuaca akan cerah karena mereka juga akan menggunakan semacam pawang untuk menghalau hujan. Hal itu sudah aku alami beberapa kali, walaupun Pasola terjadi di musim yang masih ada hujan namun tiap Pasola langit tetap cerah.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya