Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Kamis, 17 Oktober 2013

Seri Rote: Pantai Sebelah Kali (Antara Dermaga-Mokdale)

Langit bergelora di atas pantai sebelah kali
Sore itu di hari ketiga penugasanku di Rote, langit yang biasanya cerah tanpa awan tebal tiba-tiba diselimuti mendung yang cukup tebal. Bukan cuaca yang normal pada bulan September seperti ini. Memang ada sekali waktunya hujan di bulan-bulan kering yang orang Kupang menyebutnya sebagai hujan bunga mangga, maksudnya hujan ini sekali datang pas pohon mangga sedang berbunga dan biasanya setelah itu diikuti panas terik musim kemarau. Entah yang hari ini, tapi aku tidak berharap awan kali ini akan berbuah hujan kencang, setidaknya untuk dua minggu penugasanku di sini. Mencoba peruntungan, aku membawa peralatan kameraku sore itu mau memotret di pinggir pantai di belakang hotel. Hotel Grace yang terletak persis di pinggir pantai memang menjadi tempat strategis untuk memantau suasana pantai. Dari teras belakang kita bisa apakah air sedang pasang atau surut, termasuk melihat matahari turun di balik bukit dari pantai Tiang Bendera.

Saat turun tangga aku bertemu dengan orang tua yang juga sedang menenteng kamera juga, dia memperkenalkan diri dengan nama Made. Pak Made ini baru sekali ke Rote, kebetulan dia sedang ada penugasan uji kelayakan pembangunan perpanjangan landas pacu. Dimana tempat yang bagus untuk memotret? tanyanya. Aku bingung juga, banyak tempat yang bagus untuk memotret di sini tapi tidak dengan situasi saat ini. Aku ingat sebuah tempat di dekat sini yang punya suasana pantainya cukup nyaman, termasuk juga banyak kegiatan dari masyarakat sekitar baik para orang tua dengan perahu-perahu penangkap ikannya juga anak-anak dengan permainan di pantainya. Seperti lokasi ini cocok dengan hobi pak Made yang suka memotret orang (ada yang mengistilahkan HI: Human Interest). Aku kurang tau sebutan untuk pantai ini, tapi lain waktu saat kutanya Sonny, dia bilang orang di sini menyebutkan pantai sebelah kali.
Sambil berjalan menuju lokasi, pak Made menjepretkan kameranya berulang kali di sekitar pertokoan yang sering menjadi pasar ikan dadakan terutama pagi hari. Aku sendiri tidak memotret karena di tanganku hanya ada satu kamera dengan lensa 11-16mm yang jika memotret orang harus dalam jarak dekat. Setidaknya tidak tepat untuk saat seperti ini. 
Setelah jalan ke atas sedikit dari dermaga, aku dan pak Made melewati jembatan yang melintasi kali Nah kali inilah yang membuat pantai di dekat situ dikenal dengan sebutan pantai sebelah kali. Kali ini cukup bersih bahkan seringkali digunakan untuk sopir angkutan ataupun truk mampir untuk mencuci kendaraannya.


Letaknya pantai ini memang di sebelah kali setelah dermaga namun sebelum pantai Mokdale yang pernah aku ceritakan sebelumnya waktu berjalan-jalan menuju Pantai Tiang Bendera. Beberapa perahu bersandar di pantai karena sekarang baru puncak surut. Sangat surut hingga aku bisa berjalan di atas pasir beberapa ratus meter ke depan. Sebenarnya aku berencana mau berjalan sampai ke pantai Tiang Bendera karena dengan kondisi surut seperti ini jarak dari Ba'a ke pantai Tulandale pasti tak lebih dari lima belas menit. Sayang kondisi matahari yang tak tampak membuat aku salah kira kalau matahari sudah di batas hingga aku membatalkan ke sana karena waktu yang aku rasa tidak cukup.
Langit sepertinya terlalu kelam, langit yang dipenuhi warna abu-abu gelap menipiskan harapan akan munculnya matahari di ujung horison. Tapi sepertinya cuaca sedang berpihak, walau tak mampu menyinari seluruh langgit, di akhir-akhir senja matahari ternyata mau menampakkan diri tepat di ujung horison. Namun sayang saat hilangnya matahari ada di balik pantai Tiang Bendera.
Karena surut sangat jauh, beberapa anak-anak bisa bermain sampai ke tengah laut. Beberapa orang anak perempuan menjadi kerang dan ikan yang terjebak di kubangan-kubangan pasir.
Dan lagi-lagi aku harus berkutat dengan masalah error di kameraku (atau lensa?)
Pak Made sendiri lebih asyik memotret aktivitas orang-orang di sekitar pantai. Beberapa anak yang sedang bermain ban motor bekas menjadi obyek pak Made. Pak Made cepat akrab dengan orang-orang di sekitar sementara aku di belakang sekedar mengikuti.
Untungnya hari ini tidak jatuh hujan. Memotret di kala mendung seperti ini memang sangat butuh keberuntungan, walaupun aku tidak beruntung dengan kondisi kameraku.

Walaupun bukan tempat wisata, tak ada salahnya jika ke Rote mampir ke tempat ini. Tempatnya lumayan enak lah buat sekedar duduk-duduk sambil memandangi aktivitas penduduk di sekitar pada senja hari. Walau hanya pada bulan-bulan antara April-Agustus kemungkinan bisa melihat matahari tenggelam di pantai ini, tapi warna langit dan suasana pantai yang masih natural masih nyaman dinikmati terutama karena tidak banyak sampah seperti di beberapa pantai yang aku kunjungi di tempat lain.
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 28 September 2013

Seri Rote: Nemberala, We Call It Beach

Punya laut yang indah? Kamu dapat membandingkannya dengan Nemberala. Ini yang kita sebut pantai...
Tempat kedua yang aku datangi di Rote adalah Nemberala. Kalau aku bilang, Nemberala sekarang ini sudah mirip kampung bule. It’s not a joke, dude! Kalau kamu berkunjung ke pantai Nemberala suatu hari nanti kamu akan tahu persis apa yang kurasakan saat disana. Di sepanjang pantai Nemberala, kalau kamu menemui bangunan dengan penataan yang bagus maka kemungkinan itu milik bule. Beneran? Yup, gak salah lagi. Di sepanjang pantai yang membentang di sisi barat dari pantai Nemberala hingga ke pantai Boa satu demi satu bule mulai membangun di tempat ini. Gak perlu ditanya alasanya lah, gelombang tinggi, pasir putih menghampar dan pohon kelapa adalah paduan khas tentang surganya para pecinta surfing. 
Aku pernah ke tempat ini sekitar tahun 2008 (persisnya ntar aku cek lagi di album foto facebook, lupa sih hihihi). Sudah lima tahun lalu lamanya dan setelah itu nyaris tidak pernah mendatangi Rote lagi. Waktu itu tempat ini masih tempat ini kondisinya jalannya tidak semuanya beraspal, bahkan untuk sampai ke pantai Boa waktu itu kami harus melewati jalan yang masih berupa tanah berpasir putih. Keren kan? Sekarang jalan beraspal telah membentang di sini walau tetap saja tidak semuanya mulus dilewati karena belum jalan besar.

Salah satu pantai di sisi utara Nemberala
Sekitar hari Minggu aku berdua dengan Sonny naik motor ke Nemberala. Tujuan awal kami justru bukan Nemberala karena aku dan teman-teman lain berencana mampir ke Nemberala lain waktu sehingga perjalanan kali ini sebenarnya kami mau ke pantai Oeseli yang berada di sisi selatan pulau Rote. Tapi karena perhitungan waktu saat itu akhirnya tujuan kami belokkan ke arah Nemberala yang lebih dekat.
Sonny menjemputku dengan motornya jam tiga sehingga aku dan dia baru bisa berangkat setengah empat sore. Menuju ke arah barat, satu jam pertama perjalanan berjalan nyaman karena kondisi jalan cukup bagus. Kami melewati daerah Busalangga, disini ada pasar Busalangga yang buka pada hari-hari tertentu, kalau tidak salah hari Sabtu. Yang aku ingat dulunya sangat terkenal ramai pada saat buka, dan disana menjadi tempat tujuan pelancong yang ingin menjadi makanan khas Rote dengan harga murah: gula Rote (gula dari pohon Lontar) baik yang padat berbentuk lempengan bulat pipih atau yang masih berupa air gula, kain rote yang berasal langsung dari pembuatnya, susu goreng dan beberapa hasil kebun. Aku ingat dulu beli bawang merah disini. Kalau umumnya bawang merah dijual di pasar sudah tinggal bijinya maka di pasar Busalangga bawang merah dijual dengan tangkai daunnya sebagai alat pengikat.

Kelapa berbatang tinggi yang banyak ada di sini
Aku juga sempat mampir dulu di Danau Tua yang terletak di pertengahan jalan. Aku gak tahu kenapa disebut danau tua, tapi di pinggir-pinggir danau banyak tumbuh pohon-pohon yang tidak terlalu tinggi tapi batangnya besar berurat yang menunjukkan bahwa batang-batang pohon itu sudah berusia lama. Mungkin beberapa pohon telah berusia ratusan tahun lebih. Sayangnya danau ini sudah mengalami pendangkalan. Aku tidak terlalu lama disini karena waktu makin mepet.
Sayangnya beberapa kilometer menuju Nemberala justru jalanan masih jelek, kondisi jalan yang aspalnya sudah mengelupas disana-sini. Ada beberapa ruas yang justru tinggal batu-batu saja. Dan itu justru memakan waktu seperempat jam lebih untuk dilewatinya. Sebuah gerbang selamat datang membentang di antara jalan yang menunjukkan kita telah sampai di pantai Nemberala. Tepat dipertigaan di pinggir pantai, kami memilih berbelok ke kanan arah ke utara karena arah itu yang belum pernah aku lewati. Menurut Sonny, ke arah sana kita menuju ke perkampungan dimana banyak perahu disandarkan. Disepanjang jalan itulah banyak aku temui bangunan-bangunan berpagar batu rapi yang menghalangi pemandangan langsung ke pantai yang adalah rumah-rumah para bule. Pagar-pagar batu menjadi pemandangan khas di Rote, namun jika umumnya masyarakat membuat pagar batu dari batu karang hanya selapis sehingga masih tampak berongga tidak rapat maka umumnya bangunan-bangunan yang bagus membuat pagar batu beberapa lapis sehingga tidak berongga. 

Rumput laut yang gagal panen karena kena gelombang
Di salah satu pantai, Sonny memarkir motor di bawah pohon Jambu mete lalu turun diantara karang-karang hingga bertemu pantai di sisi lekukan dalam karang yang berpasir putih. Beberapa perahu nelayan bersandar. Di kejauhan tampak seseorang sedang memunguti sesuatu, yang setelah aku dekati ternyata rumput laut. Beberapa hari ini memang cuaca sedang tidak bagus, kalau gak salah hampir lima hari pelayaran kapal cepat terpaksa bersandar di Kupang tidak bisa ke Rote karena cuaca yang buruk sehingga BMKG melarang pelayaran. Ternyata akibat cuaca buruk ini tidak hanya berimbas ke pelayaran tapi juga ke nelayan dan petani rumput laut. Rupanya rumput laut yang dikumpulkan ini adalah rumput laut laut yang mereka tanami dan berantakan akibat hempasan gelombang yang tidak bersahabat.
Selain itu, gelombang juga membuat rumput-rumput laut yang masih terpasang di ikatan dipenuhi sejenis lumut hijau panjang. Saat aku memotret seorang ibu yang sedang membersihkan rumput lautnya yang masih bisa diselamatkan, masih bisa bercanda “Anak, mama ini capek sekali pinggang bersih-bersih rumput laut, tapi anak foto mama nih, mama langsung segar memang,” yang disambut tawa rekan-rekannya sesama ibu. Ah, semoga masih banyak yang bisa diselamatkan setidaknya masih layak lah hasil yang bisa dibawa pulang ke rumah. Sekarang di sepanjang pantai lebih banyak tumbuh kelapa-kelapa yang pohonnya pendek. Hanya di titik-titik tertentu aku masih menemukan kelapa berbatang tinggi dan itu terasa eksotis sekali. Salah satunya ada di kanan dari Nemberala Resort.


Salah satu rumah punya bule, sepanjang pantai inilah viewnya
Saat matahari mendekati cakrawala, beberapa perahu yang mengangkut bule-bule yang habis berselancar merapat ke pantai. Jadi kalau lihat bule cantik jalan cuma pake two piece bawa papan selancar jangan langsung melotot ya gan, ente diculek ntar.... hahahaha... Dan juga jangan heran kalau melihat bule tua namun masih perkasa dengan papan seluncurnya. Kegilaan mereka dengan berselancar sepertinya tidak bisa dibendung. Coba saja seandainya mereka dibolehkan membeli tanah atau menjadi warga Indonesia pasti mereka sudah berbondong ganti kewarganegaraan. Untung peraturan kita tidak membolehkan tanah dibeli warga asing, sehingga walaupun warga asing berdiam disini tetap saja mereka tidak memiliki nama atas sertifikat itu. Sebagian lagi ada yang berkeluarga dengan penduduk lokal dan tentu saja sertifikat-sertifikat tanah itu atas nama pasangannya.
Beberapa hari kemudian aku habis dari liat sekolahan, pas makan juga mampir di Nemberala lagi. Awalnya sih udah mau ke Oeseli tapi eh ternyata jalan potongnya lagi ada pekerjaan penambahan sirtu (pasir batu), keruan aja gak bisa dilewati. Karena perut sudah bernyanyi keroncongan jadi akhirnya mampir yang paling deket. Jadinya ya ke Nemberala lagi. Lumayan juga, makan siang di bawah pohon kelapa sambil memandangi laut yang berwarna biru kehijauan.

Melepas hari dengan sebotol bir dan sunset yang indah
Minggu depannya akhirnya aku bisa berangkat berempat bareng Sonny, Try, dan Rey karena beban kerjaan sudah tidak terlalu banyak. Aku berangkat sudah masih siang sekitar jam setengah tiga. Jadi sebelum nanti ke Nemberala, kami mau ke pantai Boa. 
Rey sempat bingung bagaimana mereka berselancar karena dia melihat di sepanjang pinggir pantai lebih banyak dipenuhi karang dan tanaman rumput laut yang dibudidayakan. Aku menunjuk di kejauhan dimana ombak tampak bergulung-gulung besar. Jadi disini jika ingin surfing bukan langsung nyemplung dan mendapatkan ombak di pinggir pantai melainkan harus berenang jauh ke tengah dimana karang sudah tidak ada. Jadi jangan takut walaupun ombak Nemberala jika pada musimnya terkenal besar tapi itu hanya di kejauhan karena di pinggir pantai terhalang karang. Itu lah kenapa walaupun terkenal dengan ombaknya, tapi Nemberala juga banyak petani rumput laut.
Kami kembali dari pantai Boa sudah sore, matahari sudah tenggelam dalam warna kuning memerah. Saat warna kemerahan mulai menarik diri oleh warna biru gelap, sekelompok bule duduk-duduk di lopo depan sambil  ngobrol. Denting gitar mengalun menyanyikan lagu reggae. Pantai indah berpasir putih dan jajaran pohon kelapa berpadu sempurna dengan lagu-lagu dari Bob Marley... thar’s beautiful moment dude... siapa yang menyalahkan para bule tua ini menikmati keindahan surga Indonesia di pantai Nemberala.

Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 22 September 2013

Seri Rote: Batu Termanu

Menikmati malam di Batu Termanu
Sudah lama aku ingin jalan ke Batu Termanu karena dari daftar tempat yang cukup dekat dari kota Ba’a tapi malah belum pernah aku kunjungi selama beberapa kali penugasan ke Rote Ndao. Sedikit informasi, Rote Ndao berasal dua kata: Rote dan Ndao, nama dua pulau besar yang disatukan menjadi nama kabupaten. Rote Ndao sendiri merupakan kabupaten yang berada di paling selatan Indonesia, dan pulau terluarnya adalah pulau Ndana.

Sonny dan Try duduk melototi bintang
Makanya waktu kali ketiga kesini aku usahain supaya bisa mampir kesana. Pucuk dicinta ulam tiba, walaupun aku sudah niat jalan kaki ke sana namun ternyata ada teman yang bersedia yang punya motor mau menemani aku kesana. Sonny Saban, teman yang selama ini hanya bertemu lewat sosmed facebook karena kesamaan hobi sama-sama menyukai fotografi bergenre landscape. Jadi perjalanan ke batu termanu menjadi perjalanan dan perkenalan langsung pertama aku dengan Sonny. Eh salah, sebenarnya malah justru ke Nemberala yang pertama ding. Sebelumnya aku pernah coba jalan kaki tapi ternyata hanya sampai daerah PPI Tulandale yang jaraknya hanya separo dari Ba'a ke Batu Termanu.

Pertama kali datang ke hotel cukup kaget juga sih, ternyata orangnya jauh lebih kurus daripada fotonya di facebook beda jauh banget sama kang Eddy yang badannya kayak kingkong hehehehe *sorry pren, just kidding...* Tapi yang pasti sih orangnya bersahabat banget. Hari pertama dan kedua aku tidak langsung ke Batu Termanu karena pertemuan pertama waktu sudah terlalu sore. Batu Termanu baru aku utarain ke dia setelah perjalanan ke Nemberala hari Minggu.
Senin sore, sehari setelah sebelumnya ke Nemberala akhirnya aku, Sonny dan Try menggunakan dua motor memutuskan ke Batu Termanu. Jaraknya gak jauh, paling sekitar sepuluh menit sudah sampai di sana. Batu Termanu arahnya ke timur dari Ba’a setelah melewati Tulandale yang menjadi PPI di Rote dan pantai Leli yang dipenuhi tonjolan batu-batu karang di laut seperti di pantai Tiang Bendera.

Model dan fotografer
Sendiri merajut mimpi
Untuk menuju bukit terdekat di Batu Termanu, disebuah jalan kami berbelok ke arah jalan tanah menuju ke arah gerbang hotel Tiberias. Sebenarnya ini jalan umum tapi disisi kiri kanan terdapat pagar yang mengelilingi sehingga sepertinya jalan itu privat milik hotel. Ada dua tempat penginapan di sini, satu hotel Tiberias satunya lagi ada di sebelahnya aku lupa namanya. Tapi kalau penugasan kurang enak nginep disini karena jauh dari keramaian, mau makan jadi repot harus balik ke Ba’a lagi.

View Batu Termanu dari depan hotel Tiberias
Batu Termanu ini sebenarnya sebenarnya mirip sebuah tanjung yang berupa batu besar dengan tegak berdiri pipih memanjang. Karena bentuk batunya yang seperti itu jadi mudah dikenali jika melewati daerah ini. Dari atas jalan tinggi di perbukitan sebelum sampai disini, bentuk Batu Termanu sudah bisa terlihat jelas.

Sampai di atas ternyata udah terlalu sore, kami gak dapat lagi matahari karena sudah menghilang di balik awan. Perbukitan yang rumput-rumputnya telah rata tinggal menyisakan warna kuning semakin menguning oleh senja. 

Setelah menyandarkan motor di bawah, kami naik ke atas bukit yang dipenuhi banyak tai sapi. Sepertinya bukit-bukit di NTT dijadikan tempat gembala makanya banyak tainya. Kami bertiga duduk di atas batu, harus hati-hati memilih tempat duduk. Salah memilih bisa-bisa tai kering kita kira batu dan kita duduki begitu saja.

Dari atas bukit, kami bisa melihat ke seluruh penjuru arah. Dari bukit tempat kami berdiri, Batu Termanu tampak di sisi Utara. Berbeda dengan tempat kami berdiri yang tampak kering, Batu Termanu walau batu yang mencuat ke atas hanya batu keras saja namun di bagian bawah tampak pepohonan masih tumbuh berdiri menghijau walaupun ada juga yang telah mengering. Di sebelah dari Batu Termanu ada bukit yang di atas tampak terpancang sebuah salib kecil di puncaknya. Sementara di sisi Timur dari bukit, tampak beberapa bangunan peneduh dibangun di pesisir pantai yang pasirnya juga berwarna putih. Bangunan ini sepertinya disiapkan oleh pemda untuk menjadi lokasi wisata alternatif karena letaknya yang terhalang bukit dan pepohonan bakau dan di bagian depan ada sebuah pulau yang katanya adalah batu betina (pasangan dari Batu Termanu). Untungnya kami datang sore menjelang gelap seperti ini. Seandainya saja kami datang siang hari tentu hawanya akan terasa terik sekali.

Soul of traveller
Daerah ini masih tampak sepi, beberapa ratus meter dari daerah kami berdiri tidak tampak bangunan kecuali dua hotel tadi, dan beberapa rumah yang agak jauh dari sini. Saat mulai gelap, hanya tampak cahaya dari dua bangunan jauh di bawah itu, itu pun tidak berpengaruh dari sini kecuali bagai kerlip saja. Sayangnya angin yang bertiup terasa keras. Angin bulan ini memang terasa sangat keras, apalagi kami yang sedang berdiri di atas bukit. Tapi menurutku masih jauh lebih keras saat kami di Pantai Tiang Bendera. Bahkan kami selepas perjalanan ke Tiang Bendera harus merasakan akibatnya: perut kembung seharian.

Warna yang semula kuning semakin memerah dan disambung warna biru yang terus menggelap. Aku dan Sonny tentu saja tetap mencoba angle-angle yang mungkin. Aku sendiri sedang mengalami kesulitan menghandle lensa Tokina 11-16mm yang selalu nangkring di kameraku. Entah sejak kapan, tapi dalam kondisi yang aku kurang tau persis sering sekali mengalami error (disebut di kamera dengan istilah "ERR 001": terjadi masalah kontak antara kamera dengan lensa). Belakangan baru aku ketahui kalau error ini selalu menimpa saat aku menggunakan fokal lensa di 13mm ke bawah, jika menggunakan di atas itu ternyata tidak bermasalah dengan error itu. Itu pun aku masih harus menghadapi lensa yang bermasalah shutter speednya.

Bukit Termanu senja hari
Karena memang tidak memungkinkan untuk memotret senja lagi akhirnya kita memutuskan untuk menunggu malam. Sebenarnya sih memang aku mau mencoba memotret langit karena pada saat ini jika telah mulai gelap maka dengan mudah kita akan melihat sebentuk gumpalan tipis memanjang seperti awan dari utara ke selatan yang kita kenal sebagai galaksi Bima Sakti (Milky Way). Namun memang ada sepenggal bulan berbentuk bulan sabit yang akan menyulitkan kita mengambil foto galaksi. Walaupun secara mata kita masih bisa melihatnya, namun saat difoto maka cahaya sekecil apapun dengan mudah mempengaruhi penampakan sang Bima Sakti.

Saat gelap bukit Termanu makin terlihat angker berdiri dengan batu besarnya yang berubah menggelap. Saat itu memang cahaya bulan yang cuma sabit kecilpun masih harus dihalangi oleh awan-awan yang bergerak cukup cepat. Angin yang dari sore berhembus lumayan kencang masih juga terasa, walaupun sedikit menurun. Saran saya, kalau ke tempat-tempat terbuka seperti ini memang sebaiknya jangan pas musim angin. Dan satu lagi, bawa senter! Walaupun saat ini sebagian tai sapi yang ada sudah kering pastilah sebelumnya masih basah. Tentu tidak ingin kan anda pulang dengan menginjak tai sapi yang masih basah *tutup hidung*... Try saja nyaris salah ambil, waktu balik mau ambil jaket dia liat seonggok benda lumayan besar yang dikira jaketnya. Waktu mau diangkat baru sadar kalau itu tai kering. (ups, sorry Try buka rahasia :D)

Semakin larut, suasana semakin tenang. Jelas, tinggal kami bertigalah yang berdiri di bukit ini yang masuk kategori manusia. 

Sayangnya kami tidak membawa amunisi makanan dan minuman, pasti sangat menyenangkan duduk-duduk disini melihat bintang sambil ngobrol dan minum minuman panas (seandainya saja aku bawa termos yang biasa aku bawa kemana-mana). Aku dan Sonny berbagi banyak cerita dengan hobi kami memotret, sebuah kesempatan yang menyenangkan bertemu dan berbincang dengan teman-teman yang tidak hanya suka memotret tapi menyukai berjalan-jalan.
Sekitar jam setengah delapan kami memutuskan kembali ke hotel.

Thanks udah nemeni jalan-jalan kesini Sonny Saban yang udah rela tidak tugas demi menemani kita jalan-jalan plus pinjaman motor Mega Pro-nya yang masih ciamik (rajin ngerawat ya mas karena gak ada yang lagi yang dirawat disana hehehe) dan Try Sutrisno Sianipar yang sudah mau jadi obyek diam (gile juga padahal angin kenceng, susah tuh bisa diem begitu 1 menit)

Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 29 Agustus 2013

Gambar-Gambar dari Pameran Budaya Sumba Barat

Suasana pagi di dalam rumah yang dibangun dengan bahan alam tanpa paku
Pas bener, minggu kemarin pas lewat tanggal 17 Agustus dapat penugasan ke Sumba Barat selama seminggu. Kebetulan bukan tugas yang berat, walau harus mengumpulkan banyak data dari seluruh Dinas dan Badan di Kabupaten Sumba Barat. Kebetulan pula ada kegiatan untuk perayaan untuk memperingati hari kemerdekaan yang masih tersisa, karnaval budaya dan pameran budaya yang baru dilaksanakan Minggu ini.
Suasana rumah dari kampung Lamboya
Yang istimewa kali ini dari pameran budaya yang biasa di gelar di lapangan umum kota Waikabubak adalah bangunan-bangunan untuk pameran. Jadi dari informasi, ada instruksi dari Bupati kalau pelaksanaan pameran kali ini seluruh peserta diwajibkan membangun tempat pameran berupa bangunan rumah khas Sumba dengan tatacara orang Sumba asli membangun rumah. Apa bedanya dari rumah-rumah biasa? Selain bentuk rumah Sumba yang khas, pembangunan itu juga unik karena selain menggunakan kayu dan bambu sebagai tiang, pasak, dan bubungan seluruh kayu/bambu yang ini dihubungkan dengan tali dan tidak menggunakan satu pun paku. Bahan untuk membuat talipun bukan tali-tali plastik yang biasa ada di toko tapi dari bahan-bahan yang mereka cari di hutan. Katanya berasal dari akar atau kulit pohon tertentu, mereka banyak mengerti tentang jenis-jenis pohon yang kulit pohonnya bisa digunakan untuk membuat tali. Memang tampak sekali waktu itu kesibukan orang-orang yang sedang membangun itu, namun terus terang aku tidak sempat mengunjunginya.
Hari Kamis, sesuai acara untuk pembukaan pekan pameran budaya ini dibuka dengan sebelumnya didahului acara karnaval, entah acara karnavalnya yang diundur atau memang begitu, namun biasanya acara karnaval 17-an dilakukan sehari sebelum atau sesudah tanggal 17-an. Nantinya setelah seluruh peserta karnaval masuk ke dalam arena pameran budaya barulah Bupati yang duduk di rumah paling besar atau biasa disebut Umakalada membuka pameran. Sepertinya semua kegiatan memang didekatkan dengan tata cara membangun dan masuk rumah baru dalam tata cara orang Sumba.

(kiri) Karakter wajah Sumba yang tegas dari seorang penonton pawai
(kanan) Peserta pawai dari Dinas Koperasi dan UKM memamerkan hasil karya tenun ikat mereka
Acara pameran yang dibuat spesial ini juga rencananya akan digunakan sebagai tempat untuk dikunjungi peserta Sail Komodo yang rencananya akan datang kesini tepat pada acara pembukaan. Sayangnya sampai saat selesai acara, aku tak juga menemukan para peserta Sail Komodo datang ke tempat ini.
Sekitar jam tiga, aku bersama Imam datang ke arena pameran namun rupanya susah juga mencari tempat kosong karena sebagian besar masyarakat tumpah ruah memenuhi tempat pameran bahkan sampai rumah-rumah tempat pameran tak ada tempat tersisa. Sebenarnya aku sudah janjian dengan mas Joni Trisongko, namun hari ini dia harus memotret pelaksanaan kegiatan pameran dan karnaval oleh client-nya. Sambil menunggu peserta karnaval memasuki lokasi pameran aku mencoba berjalan-jalan di sekitar sekaligus mengambil gambar beberapa masyarakat yang datang juga dengan dandanan khas Sumbanya.

(kiri) Gerak rancak gembira para peserta pawai, (kanan) Gerak tari pedang dari peserta pawai Wanokaka
Aku beruntung juga, walaupun batas-batas daerah penonton telah ditentukan dan diawasi ketat oleh petugas dari Satpol PP namun orang-orang yang membawa kamera DSLR diperbolehkan lalu lalang untuk memotret momen acara ini. Tampaknya memang banyak fotografer yang ikut acara ini terlihat dari banyaknya orang-orang yang berlalu lalang di bagian depan yang sebagian menenteng kamera dan lensa panjang.
Umumnya peserta berasal dari instansi-instansi yang ada di Kabupaten Sumba Barat, namun juga ada beberapa perkumpulan-perkumpulan pendatang yang ikut ambil bagian dalam acara itu seperti: perkumpulan dari Bali, Jawa TImur, Ende, Nagekeo, Lembata, Sabu. Banyak juga sekolah yang ikut dalam karnaval ini. Cukup ramai, dan sebagian peserta menampilkan acara yang cukup atraktif. Setiap peserta yang hendak menampilkan tarian pasti didahului sebuah teriakan yang sangat khas Sumba yang disusul suara-suara menghentak "HAAA!!" lalu dimulailah para lelaki menarik parang panjang dari sarungnya dan sambil bergerak tari mengacung-acungkan parang. Dan biasanya kalau ada peserta yang semangat menari sampai jalan tanah debunya naik terbang oleh hentakan-hentakan kaki mereka, MC menambahkan "ba abu ba abu" yang maksudnya mau berdebu ya ayo saja. 

Para penari yang mengawali pembukaan oleh seribu penari
Rupanya tarian ini juga dilakukan oleh peserta-peserta yang masih SD, dan mereka saat mengacungkan parang dalam tarian menggunakan parang asli. Walaupun asyik menikmati tontonan ini, ngeri juga melihat anak-anak kecil memainkan parang asli. Tapi budaya Sumba Barat memang telah lekat dengan parang tipis panjang. Jadi hal lumrah kemana-mana bertemu dengan pria yang membawa parang di pinggang bahkan anak kecil sekalipun.
Awal-awal acara cukup lancar juga, aku bisa berdiri di batas terluar batas pengunjung. Sebenarnya boleh juga kita maju ke depan namun kalau pun itu harus dilakukan tetap harus memperhatikan kenyamanan fotografer lain kecuali untuk beberapa fotografer dan video-man yang memang ditunjuk resmi untuk mendokumentasikan acara ini. Awalnya hanya beberapa anak mencoba melihat lebih dekat namun segera dihalau oleh petugas.
Namun saat ada beberapa peserta karnaval tampil dengan dandanan dan gaya yang atraktif dan menarik beberapa fotografer mulai merangsek ke depan. Yang mulai menjadi masalah mereka tampak sekali tidak mengindahkan bahwa di belakang mereka ada beberapa fotografer yang sudah berdiri lebih dahulu. Jika saja setelah memotret dengan memasang posisi yang menghalangi fotografer itu hanya sebentar itu mungkin masih bisa dimaklumi, namun sayang dengan pongahnya mereka setelah memotret tetap berdiri disitu. Aku masih bisa melihat kaos-kaos mereka yang berwarna hitam dengan tulisan "FLASH FAST photographer". Mungkin tulisan di kaos itu membuat mereka percaya diri bahwa mereka berhak menenteng kamera dan bebas menghalangi fotografer lain, termasuk petugas shooting video yang memang harus mendokumentasikan acara.
(atas) Anak-anak tak mau kalah ikut menari dengan parang terhunus
(bawah) Para penari dari Wanokaka dengan tarian yang menasional
Entah siapa yang memulai, saat peserta dari Wanokaka menampilkan tarian berkelompok dua baris, penonton mulai merangsek ke luar batas dan itu tak bisa dibendung lagi sehingga jalan masuk untuk peserta menjadi menyempit. Dua baris kelompok penari ini sebelah kanan terdiri dari para pria dengan berselempang kain tenun putih dan menggunakan penutup kepala dengan bahan bulu ayam, sedangkan penari sebelah kanan adalah para perempuan dengan menggunakan kain berwarna biru terang dan ikat kelapa berhias logam kuningan berbentuk bulan sabit dan lilitan kain selendang kuning di pinggang. Aku awalnya masih mencoba bertahan namun karena penonton semakin memenuhi jalan peserta aku jadi kesulitan mencari angle untuk memotret.
Akhirnya aku menyerah dan memilih keluar dari sana untuk ke belakang. Keadaan ini sayangnya tidak diantisipasi, akibatnya setiap peserta menjadi kesulitan mencari jalan untuk masuk ke dalam arena pameran. Acara terus berlangsung karena ada lebih dari seratus peserta yang ikut acara pawai kali ini.
Setelah seluruh peserta pawai masuk (kalau tidak salah hampir jam setengah enam sore), barulah acara pembukaan dimulai yang diawali dengan dibawakannya tarian adat Sumba Barat oleh seribu penari dari tingkat SD sampai dengan SMA. Untuk tarian utama yang dibawakan peserta di bagian depan merupakan penggabungan tiga tarian.
Sebenarnya acara seperti pameran ini seringkali menjadi lebih ramai saat malam hari dimana orang sudah terbebas dari rutinitas pekerjaan. Namun justru pertimbangan itu pula aku tidak melihat atau memotret acara pameran pada malam hari, di samping karena tata pencahayaan yang tidak bagus untuk memotret juga karena aku kurang suka dengan suasana yang ramai pada malam hari. 
Memamerkan alat-alat yang dimilikinya 
Namun aku menyempatkan mengunjungi pada pagi hari. Sayangnya mereka baru memulai acara selepas jam sembilan pagi sehingga praktis tempat ini sepi saat itu. Saat aku mengunjungi bangunan dari kampung Wanokaka, aku hanya bertemu dua orang yang memang berjaga di tempat itu. Sambil berbincang-bincang santai, mereka menunjukkan isi rumah yang ternyata dibuat miniatur sampai ke dalam rumah seperti keberadaan dapur di bagian tengah. Namun tentunya tidak bisa sama seperti rumah-rumah adat Sumba yang umumnya besar dimana dibagian sisi-sisi ada kamar-kamar, maka di rumah miniatur ini tidak terdapat kamar-kamar seperti itu. Bagian depan rumah-rumah ini juga dipasang beberapa tanduk kerbau yang menjadi ciri khas bagian budaya Sumba. Mereka juga menunjukkan benda-benda yang berupa tombak dan parang yang biasanya baru mereka keluarkan menjelang acara di kampung mereka. Logam-logam dari benda itu memang telah berkarat namun tampaknya mereka menggunakan logam yang lebih kuat dari logam yang digunakan untuk membuat parang sekarang.
Sebuah alat penenun tampak kosong tak ada yang menggunakannya, mereka bilang yang menenun belum datang baru nanti siang mereka memulai kegiatannya sehingga aku tidak berkesempatan memotret kelincahan para ibu memainkan alat tenun ini untuk membuat kain. Sebenarnya selain pameran budaya ini juga ada acara pertandingan balap kuda, sayangnya aku tidak memiliki waktu cukup untuk mengunjunginya. Sepertinya melihat pacuan kuda yang dibawakan para joki cilik akan menjadi wishlist-ku selanjutnya jika bertandang lagi ke Sumba.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 26 Agustus 2013

Nihiwatu: Touch The Untouchable

Keindahan pantai di Nihiwatu Resort, pantai Sumba tak diragukan lagi keindahannya
Judulnya kampret banget kan? Iya memang kampret, asli gak pernah kepikir bakalan mampir ke Nihiwatu Resort. Walau aku nulis ini, gak ada ceritanya aku merekomendasikan tempat ini bahkan untuk diriku sendiri kecuali kalian yang punya uang gak pernah abis dan cari cara menghabiskannya.

Pantai berwarna biru muda dan sangat jernih
Gak ada angin gak ada topan, walaupun gak nginep (duite sopo???) kok ya bisa juga aku sampai sini. Halah cuma dateng ke sini apa susahnya? Bukan begitu kamu pikir.. Suer gak pake ewer-ewer walau cuma buat datang kesini buat mampir liat-liat misalnya ternyata gak semudah yang kamu bayangkan. Bayangkan saja, buat ngurus ijin boleh masuk saja manajemen harus melewati prosedur yang begitu ketat, tapi bukan berarti kayak ijin birokrasi yang mbulet dan kayak main pingpong lho ya. Karena manajemen di resort ini sangat menjamin kenyamanan tamu, kunjungan ke tempat ini tidak bisa sembarangan. Jadi pada umumnya cuma tamu yang memang sudah reservasi saja yang bisa masuk ke dalam, dan untuk reservasi hanya bisa dilakukan lewat Denpasar (bookingnya sih bisa lewat internet). Kalau di luar itu ada prosedur ketat, yang bahkan manajemen di resort ini harus mendapatkan persetujuan dari manajemen yang ada di Denpasar.
Tempat bersantai sambil menikmati minuman
Keberuntungan itu datang pas pagi-pagi buta aku sedang asyik dengan imajinasi menunggu antrian sambil duduk di toilet (sensor dan skip). Tau-tau ada telepon, karena nomor gak dikenal yah dengan santainya aku cuekin saja sampai selesai mandi. Selesai mandi liat ada sms masuk dari kepala bagian: "Pagi pak Baktiar, pak Sekda mau telp"... hah, jangan-jangan yang nelpon pak Sekda nih. Beneran, gak lama kemudian pak Sekda sms juga: "Pagi pak Baktiar, saya ..... sekda mau telpon". Ternyata nanyain kabar jadi atau tidak pimpinanku mau ke Nihiwatu, katanya sudah dikoordinasikan dan sudah mendapatkan persetujuan. Ditunggu jam setengah sembilan. Glek, aku gak tau menahu ada agenda ini karuan saja langsung blingsatan. Akhirnya setelah pontang panting telepon sana telepon sini, acara ke Nihiwatu lanjut. Tapi setauku aku gak ikut, ya udah akhirnya aku santai saja melanjutkan rencanaku mampir ke pameran yang tidak sempat aku ikuti karena kesibukan kerja. Lagi-lagi asyik moto tiba-tiba telepon bunyi lagi, kalau kendaraan pimpinanku sudah sampai sekaligus bilang supaya aku ikut di rombongan mereka. Waduh, langsung saja aku tinggalkan lokasi pameran untuk bergegas ganti baju. Agak repot sebenarnya karena sore ini kami harus kembali ke Kupang, untungnya pesawatnya sore hari.
Agak molor, akhirnya kami baru berangkat jam setengah sembilan. Untungnya aku masih sempat sarapan bareng Imam. Yang paling beruntung tuh Imam sebenarnya, baru sekalinya penugasan kesini eh udah dapat kesempatan sampai ke Nihiwatu Resort.
Lewat jalur ke arah Wanokaka, dua kendaraan kami tidak sampai setengah jam sudah sampai di depan pos jaga menuju Nihiwatu Resort. Seperti yang kami duga, kami harus melapor ke pos pertama. Petugas pos pertama selanjutnya mengontak lewat peralatan radio ke petugas pos jaga kedua. Tak lama kemudia seorang sekuriti dari pos kedua datang dan kembali menanyakan maksud kedatangan kami. Setelah diberitahu, sekuriti itu menghubungi manajer resort. Lalu kami disuruh menunggu untuk mengkonfirmasikan ijin kami termasuk masalah kami terlambat setengah jam lebih. Dari sini tampak beda banget adat kita dan mereka. Bila terlambat setengah jam di orang kita masih dimaklumi tapi di mereka ijinnya kembali dipertanyakan. Untungnya tak lama kemudian rombongan kami dipersilahkan masuk. Pos masuk sampai ke tempat parkir situasi tampak berantakan dengan tumpukan bahan bangunan dan kayu-kayu karena ternyata ada pekerjaan pemeliharaan dan penambahan fasilitas yang baru.
Imam menuju ke arah tempat bersantai
Kami disambut cukup hangat oleh petugas disitu termasuk oleh manajernya sendiri yang mempkenalkan diri Josh, seorang pria tampan berkebangsaan Yunani (diskip takut cewek pada histeris).
Pantainya memang bagus khas pantai-pantai di Sumba namun bukan berarti ini lokasi pantai terbaik, kalau keindahan pantainya bolehlah ditandingkan dengan pantai Marosi yang juga tidak jauh dari Nihiwatu. Bangunan-bangunan kamar yang dibangun disini bukanlah seperti hotel berbintang namun sebuah bangunan berbahan kayu dan bambu dengan atap dari ilalang, sangat khas Sumba. Beberapa bangunan di depannya terdapat kolam kecil, tidak seluruh kamar terutama kamar yang tipe luxury suite dan luxury room. 
Kami rombongan diantar melalui jalanan menurun di samping beberapa rumah-rumah yang kiri kanan dibangun dengan batu-batu sampai ke pinggir laut. Seorang pelayan dengan menawarkan kami minuman selamat datang. Untungnya minuman yang diberikan berupa minuman kaleng bersoda bukan minuman keras.
Para surfer berenang menuju lokasi surfing
Hamparan pasir putih dan laut kebiruan menghampiri mata kami. Di sepanjang pinggir pantai disemen. Cuaca cerah sekali saat itu, tampak beberapa pria berkulit gelap sibuk mondar mandir membawa peralatan surfing (awalnya kukira mereka pelatih surfing). Tak berapa lama datang rombongan bule dan beberapa anak kecil yang ternyata mereka yang akan melakukan latihan surfing. Melihat kondisi lautnya yang langsung berhadapan dengan Samudera Hindia, pantai ini memang memiliki potensi untuk olahraga surfing. Tampak beberapa orang mencoba berdiri di atas papan surfing namun begitu ombak datang mereka berjumpalitan jatuh ke laut. Walaupun mereka ramah dan mengawal kami, sekuriti terus berhubunganan dengan petugas lain untuk memastikan kedatangan kami tidak membuat tamu lain terganggu. Oh ya, ada satu lokasi yang tampak bagus sekali dari jauh namun kami tidak dibolehkan mendekat kesana. Saat kami hendak melintas ke tempat lain, sekuriti akan mengontak terlebih dahulu petugas jaga lainnya. Saat itu kami harus menunggu karena di lokasi lintasan kami ada rapat. Mungkin pelayanan seperti inilah yang membuat harga yang mahal seperti ini tetap membuat tempat ini laku didatangi wisatawan, tentunya yang berkantong tebal.
Kami sempat bertanya ke petugas berapa harga kamar yang paling umum (standarnya disana), mereka bilang harga terakhir jika dirupiahkan tak kurang dari 6juta permalam. Whattt!!! Gile banget tuh harga kamar, jangan tanya beberapa kamar yang dilengkapi dengan kolam renang dan fasilitas2nya maka harganya pastinya diatas penghasilanku sebulan....
Waktu kembali di sepanjang jalan terdengar bunyi beberapa burung di atas pepohonan. Benar kata Josh, di resort ini dibangun untuk menjadi kelas dunia, resort yang sangat tenang dimana seorang pelancong bisa merasa bebas. Bayangkan, walau resortnya tidak telalu luas tapi mereka rela membayar tanah-tanah disekitar pantai agar tidak dimasuki orang luar sebagai tempat wisata. Ini membuat tempat ini bener-bener bisa menjadi surga orang yang ingin berlibur tanpa terganggu.

Ini fakta-fakta dari tempat ini:
  1. Nihiwatu Resort dan pantai Nihiwatu udah pasti tempat yang sangat eksklusif pake banget. Walaupun ada di Sumba, tapi tidak sembarang orang Sumba bisa menginjakkan tempat ini bahkan biarpun kamu ngaku orang penting sekalipun kecuali kamu bawa pasukan satu kompi dengan senapan serbu siap kokang. Berapa yang harus dibayar untuk semua keeksklusifan ini? Kalau kata petugas disana untuk kamar standar disana saja tak kurang dari 6juta semalam, selain itu kamar tipe luxury ada yang berharga 21juta sampai dengan 30juta. 
  2. Beberapa artis sekelas Hollywood tercatat pernah menginap di resort ini termasuk orang-orang yang suka mandi minyak bumi (Arab maksudnya). Bahkan untuk kalangan turis asing yang sering kita pandang lebih mampu, mikir juga nginep disini.
  3. You get what you paid for! Walaupun lihat rate-nya per malem bikin aku mules tiga hari tiga malem (sebenarnya karena makan Padang sih), tapi orang yang sudah bersedia kesini akan merekomendasikan tempat ini. Silahkan browsing tempat ini. Apa sih yang dijual dari tempat ini? Suasana Sumba yang asli dan ketenangannya. Profesionalitas mereka yang mengelola tempat ini membuat mereka mendapatkan kesan baik dari para tamu. Silahkan cek website mereka: http://www.nihiwatu.com
Kalau aku bilang, ini bukan tempat rekomendasi buat backpacker, asli gak worthed kan mengeluarkan uang sebanyak itu hanya untuk mendapatkan lokasi yang keindahannya masih bisa kalian temui seantero Sumba. Pantai Marosi contohnya, atau ada informasi pantai Waelalan (kira-kira begitu nama yang aku dengar). Tempat ini hanya cocok untuk orang ingin berlibur tanpa terganggu (berjemur telanjang misalnya). Tapi kalian juga bisa kok berlibur tenang di Sumba caranya cari hari bukan hari libur dan pergilah saat pagi hari maka kemungkinan besar cuma kalianlah yang ada disitu. Nah, sama kan.
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 24 Agustus 2013

Terpesona di Lapopu (Lapopu Waterfall)

"Dan Sumba tidak hanya menawarkanmu ringkik-ringkik kuda Cendana
Raut-raut keras dan bilah-pilah parang panjang di balik sarung tenun ikat
Walaupun aku harus mengakui pasir putih pantai-pantainya memukau
   tapi jauh di kedalaman hutan
   masih ada sepi yang melingkupi seluruh keindahan di Lapopu
   dimana gemuruh air yang jatuh memaksamu diam dalam pesonanya"


Jauh di kedalaman hutan yang menjadi kawasan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru, gemuruh air dari datang bagian atas bukit memenuhi sungai yang mengalirkan air yang dipenuhi warna tosca. Selain itu adalah sepi, suara derit tiga batang bambu yang membelah sungai yang kami injak hanya kami dengar sendiri. Semuanya luruh dalam suarah gemuruh air terjun Lapopu.
Keindahannya tidak diragukan lagi: tenang mempesona
Beberapa waktu lalu, tiap kali ada penugasan ke Sumba, selalu terbersit keinginan untuk bisa mengunjungi air terjun Lapopu. Hanya saja, informasi lokasi ini sendiri masih simpang siur dari jaraknya yang katanya jauh dan kondisi medan yang katanya sangat berat. Setelah beberapa kali ke Sumba namun keinginan itu terus tertunda, kesempatan itu akhirnya datang juga. Memang Sumba sendiri memiliki banyak lokasi dan event wisata yang bagus-bagus bahkan potensinya luar biasa. Sebagai negeri dengan kebudayaan Megalitikum yang masih hidup, adat dan pantai Sumba adalah hal yang tidak boleh dilewatkan siapapun yang datang ke Sumba. Ringkik-ringkik kuda Cendana yang berlari kencang di tengah lapangan yang dipenuhi manusia dari dua kubu yang saling melemparkan lembing ke arah lawan adalah sebuah ritual yang menarik wisatawan bahkan dari luar negeri untuk menyaksikannya. Dan Pasola ini telah menjadi ajang yang laku dijual sebagai destinasi wisata budaya.

Jembatan darurat untuk menyeberang ke sisi lain sungai.
Kebetulan mas Joni Trisongko, salah seorang fotografer dari Kupang sedang ada acara di Sumba yang waktunya bersamaan dengan penugasanku ke tempat ini sehingga kami membuat janji diantara waktu dia melakukan tugas pemotretan kita akan mengunjungi air terjun Lapopu ini. Sayang hari pertama, langit sore waktu itu tampak gelap sehingga kami memutuskan menunda keesokan harinya.
Hari kedua mas Joni telah selesai melakukan job pemotretan, sehingga kami punya cukup waktu untuk ke air terjun Lapopu. Agar leluasa, kami memutuskan menggunakan sepeda motor di hotel dengan biaya 50ribu per hari. Aku bertiga bareng mas Joni dan Imam naik dua kendaraan. Menurut informasi, jalan paling umum adalah lewat jalur Wanokaka karena memang air terjun Lapopu terletak di desa Lapopu, kecamatan Wanokaka. Hanya aku mencoba jalan alternatif lain yang katanya jauh lebih dekat yaitu lewat kampung Loli Atas. Dari hotel Pelita kami mengambil jalan ke arah Waingapu bukan ke arah Wanokaka. Sebenarnya sudah diberikan petunjuk agar kami setelah sampai ke Loli Atas masuk ke arah kampung Laipraga yang ditandai dengan sebuah pohon besar. Konyolnya karena informasi ini tidak terlalu kami tangkap dengan benar *korek tai telinga pake cangkul* justru akhirnya kami sampai ke kabupaten Sumba Tengah yang memang jaraknya tak begitu jauh dari Sumba Barat. Setelah kehilangan waktu setengah jam akibat perbuatan kami, dengan bertanya beberapa kali ke orang-orang yang kami temui akhirnya kami masuk ke arah yang benar menuju kampung Laipraga. Saran saya memang sebaiknya kalau punya rencana jalan, ajak orang Sumba yang tahu tempat plus jangan segan sering-sering bertanya daripada kesasar karena informasi papan penunjuk jalan masih minim.


Aliran airnya terbelah dipertengahan, tetap menawan walau airnya menyusut
Setelah jalan menanjak sampai ke kampung Laipraga, selanjutnya jalanan terus menurun. Di sinilah kami menuai masalah karena salah satu motor sewaan ternyata rem belakangnya blong sehingga hanya tersisa rem depan untuk pengereman ditambah dengan motor tidak seimbang agak miring, padahal kondisi jalannya jelek sekali. Pada saat turunan karena kondisi medan yang berupa tanah berbatu berlubang-lubang aku memutuskan turun jalan kaki supaya Imam yang yang naik motor sendiri. Namun di jalanan turunan itu Imam harus terjatuh dari motor saat mencoba mengerem motornya. Untuk pada saat jatuh itu motor sudah berhenti betul sehingga Imam tidak terluka. Akhirnya aku berpindah naik di boncengan mas Joni yang motornya masih betul. Perjalanan kami perlambat supaya motor yang dinaiki Imam tidak buat onar lagi. Beberapa kali kami harus bertanya di setiap percabangan karena tidak banyak papan penunjuk arah yang tersedia. sampai kemudian kami sampai di percabangan pertemuan antara jalur Wanokaka. Ternyata di sepanjang jalan itu sudah diaspal namun karena disamping kanan kiri jalan ada perkerasan, jalan dibagian beraspal juga tampak putih berdebu terkena sisa-sisa tanah kapur perkerasan.

Walau jalan cukup lumayan, namun kendaraan tetap kami lajukan pelan karena sisa-sisa tanah membuat kendaraan menjadi licin. Setelah beberapa kilometer akhirnya kami masuk ke kawasan hutan dan tak lama kemudian tampak papan pengumuman dipasang di pinggir jalan yang menunjukkan bahwa 600 meter lagi kami akan sampai di air terjun Lapopu. Saat jalan menurun inilah terjadi musibah kedua, karena jalan menurunnya cukup curam Imam jadi kesulitan mengendalikan kendaraannya padahal setelah tikungan jalan langsung menurun lagi. Mungkin saat itulah dia mengerem lebih kuat sehingga motor menjadi tidak terkendali yang akhirnya membuat Imam terjatuh di atas jalan tanah. Karena sedikit terseret, Imam mengalami beberapa luka lecet. Lumayan perih sih pastinya. Karena masih ada jalan menurun, demi keselamatan kami memutuskan parkir kendaraan di tepi jalan tanpa masuk lagi ke dalam. Beberapa ratus meter akhirnya kami sampai di pos jaga dari TMNT. Tampak beberapa turis dari asia (entah taiwan atau jepang), melapor ke pos jaga sekaligus untuk membayar tiket masuk. Tiket masuk per orang ke kawasan ini ditarik 10ribu rupiah itu untuk wisatawan umum, kalau wisatawan lokal sih cuma seribu rupiah. Katanya kalau untuk wisatawan asing lebih mahal sekitar 100ribu rupiah. Kalau kalian membawa kamera, biaya per kamera dipungut 25ribu. Tapi itu bukan harga mati lho, kalau kalian ramah, baik hati, suka menolong dan tidak sombong itu biaya kamera bisa dinego kok hahahaha... apalagi yang moto just hobi, kan terlalu mahal tuh segitu kecuali yang mau komersil. Kalau gak tanya tanya saja Lukas, petugas polisi hutan yang kami temui.
Sekali-kali narsis untuk bukti otentik dah nyampe sini
Untuk sampai ke air terjun, kami harus menyeberangi sungai setelah berjalan di pinggir beberapa ratus meter. Airnya berwarna hijau kebiruan atau biasa dikenal dengan warna toska. Seperti warna batuan kapur yang yang memendarkan warna kebiruan bercampur dengan warna hijau (entah dari mana, yang pasti bukan lumut karena kalau kita ambil airnya bening sekali) membuat warna airnya menjadi toska. Warna itu akan lebih tampak saat matahari tidak menyinari langsung permukaan airnya (pagi atau sore hari). Ada jembatan darurat yang dibuat masyarakat dari beberapa bambu kalau tidak ingin menyeberang langsung lewat sungai, cukup bersensasi karena ini jembatan darurat sehingga waktu berjalan akan terasa bergoyang-goyang, karena itu kami tidak berani melewati jembatan bertiga sekaligus.
Akhirnya setelah melewati bebatuan pinggir sungai, mata kami disambut air terjun setinggi 62 meter (kata sumber di internet lho, aku belum pernah mengukur sendiri :D). Debit airnya agak berkurang entah karena sekarang musim kemarau atau karena ada pembangkit listrik tenaga air, tapi itu tak mengurangi keindahannya.
Tempatny benar-benar terasa sepi, saat itu hanya kami bertiga yang mampir kesini sehingga kami puas memotret dari segala sisi yang memungkinkan, walau ketiadaan matahari yang telah hilang dibalik pepohonan hutan membuat warna-warna jadi sedikit tenggelam. Hanya saat terakhir kami mau kembali ada sepasang muda-mudi yang datang ke sini tapi itu tidak lama karena waktu kami mau kembali mereka sudah tidak ada disana.


Perjalanan kembali sebenarnya menerbitkan sedikit keraguan dengan kondisi motor kami. Untungnya Lukas, sang polisi hutan berbaik hati mengantar kami untuk mengendarai motor yang blong rem belakangnya. Kelincahannya di atas motor ditunjukkan dengan amannya kami dapat melalui jalan sampai ke daerah Wanokaka. Ternyata Lukas pernah ikut acara Pasola, ajang permainan perang melempar tombak di atas kuda, pantesan jago mengendalikan motor di kondisi begini.
Setelah mampir sebentar untuk beli minuman disebuah warung yang cukup besar di Wanokaka. Kami melanjutkan kembali perjalanan, namun kali ini melalui jalur umum Wanokaka bukan jalur kami datang lewat Loli Atas. Perjalanan memang terasa lebih jauh, dan disepanjang Lukas mengingatkan kami agar tidak berada jauh di belakang kendaraannya karena menurutnya daerah di sini masih agak rawan. Kami kurang tahu maksudnya tapi tak berani menduga-duga, dan memilih mengikuti laju motor Lukas sampai di kota Waikabubak.

Catatan:
(1) Bagi yang ingin mendatangi air terjun Lapopu, kalau mau cepet bisa ambil jalur Loli Atas karena lebih dekat tapi pastikan kendaraannya tidak mengalami masalah karena banyak turunan dengan kondisi jalan yang kurang bagus. Kalau kurang yakin, sebaiknya ambil jalur normal lewat Wanokaka. Lebih jauh sih tapi lebih nyaman dan gak bikin was was...
(2) Jangan malu untuk bertanya karena papan penunjuk memang masih minim daripada kesasar. Malu bertanya tersesat sampai di surga lho :D
(3) Disarankan untuk tidak berjalan sendiri. Kalau masih takut jalan lebih dari dua kendaraan mungkin lebih baik pake guide orang lokal, kalau masih bingung juga bisa hubungi salah satu bro Lukas; ini facebooknya: Lucas Maramba ... hehehe sorry ya bro, facebooknya aku pajang kesini :D
(4) Kalau untuk biaya kamera coba tawar ke penjaga biar bisa dapet korting, kan lumayan apalagi kalau kalian para traveller masing-masing bawa DSLR. Tapi kalau memang moto buat hobi lho ya, kalau motonya untuk dijual lagi ya jangan nawar ya. Syarat nawar ya itu tadi, gak boleh sombong dan harus ramah  hehehe
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya