Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Senin, 24 Juni 2013

Kota Tua, Monas dan Pelabuhan Sunda Kelapa

Museum Bank Indonesia di seberang kanan halte busway Kota
Bukan bosen nulis tentang wisata-wisata alam, tapi sekali-kali boleh dong nulis kampungnya bang Pitung, jagoan dari Betawi. Bahan tulisan ini emang asli gak disengaja, ya anggep aja berkah mau ditugasin sebentar ke Jakarta. Gara-gara acara yang dipadetin, gara-gara batal mau diajak temen cari peralatan komputer akhirnya malah aku terdampar di Kota Tua.

Gedung Dasaadmusin Conoern yang sudah rusak terbengkalai
Karena aku nginepnya di daerah Pramuka, aku milih pake busway.. busway dong, orang kampung kalau kesini yang dicari dan dicoba busway. Gak taksi bang? Kagak neng, taksi udah biasa di sini tapi taksi roda dua alias ojek hehehehe...

Sebenarnya mau nyobain monorel, kayaknya keren banget tuh. Tapi tanya-tanya orang di Jakarta gak ada yang tau dimana kalau mau naik monorel. Usut punya usut ternyata kalau mau nyobain monorel naiknya di depan Monas (itu tuh lagi ada pameran monorel).

Dengan ongkos 3.500, aku udah bisa naik busway nyampai Kota tapi turun sekali buat pindah jalur di Dukuh Atas. Gak terlalu penuh walau gak dapat tempat duduk, maklum masih belum jam pulang.

Kota Tua, Jakarta
Museum Mandiri dari sisi dalam halte busway
Jam empat aku sampai di halte busway Kota. Sebenarnya dari sejak pertengahan jalan di daerah Glodok sudah tampak bangunan-bangunan tua yang berdiri di pinggir jalan. Sebagian dibiarkan dalam kondisi yang sudah memprihatinkan, sebagian sudah berubah banyak walau masih tampak sisa-sisa sebagai bangunan tua.

Bangunan tua di depan halte sebagian sudah digunakan sebagai museum, yaitu museum Mandiri (gak usah ditanya juga pasti tau kalau bangunan itu punya Bank Mandiri) dan museum Bank Indonesia. Sayang jam bukanya hanya sampai jam empat, jadi waktu aku datang sudah ditutup. Diujung tikungan jalan museum Bank Indonesia, terdapat bola-bola besar dari semen yang digunakan untuk menutup jalan. Ternyata sedang acara Jakarta Fair dalam rangka menyambut ulang tahun Jakarta yang jatuh tanggal 22 Juni ini. 

Kantor Pos Indonesia yang masih aktif berlatar senja
Pantesan saja di sini ramai orang berjualan, dari makanan sampai tukang bikin tato, dari pedagang buku bekas sampai penjual lukisan/gambar foto. Disitu ditulis per wajah 40rebu, jadi kalau sebaiknya jangan minta bikin gambar dari foto ramai-ramai 40 orang sekaligus ya. Macam-macamlah pokoknya, sampai aku bingung ngeliatnya. Lihat penjual angkringan yang sedang membalik loyang berisi seperti telur dadar dibalik ke arah arang langsung, langsung lidah ngiler pengen ngicipi. Ternyata mahluk itu namanya kerak telor, makanan khas asli Betawi. Unik juga bahannya, ternyata bahannya ada ketan yang dimasak dulu baru setelah tanak ditambah telur dan bumbu-bumbu baru di bikin rata kayak telur dadar. Nah bagian akhir setelah masak ternyata loyang dibalik lalu ditaruh di arang, jadi seperti di bakar begitu. Rupanya bagian terakhir itu yang bikin aroma gurih kelapa makin terasa. Disajikan pake taburan kelapa goreng dan bawang goreng. Rasanya enak tapi cepet bikin kenyang.

Gedung museum keramik
Sebenarnya waktu lihat tukang bikin tato pengen juga bikin, karena disitu ditulis "Sedia Tato Permanen dan Non Permanen". Mau bikin tato tapi abangnya gak punya persediaan gambar buat burung emprit atau tokek (abangnya stres pengen bikin tato gratis di atas jidatku liat orang gak punya duit sok mau bikin tato)

Masuk ke arah dalam ternyata di tengah lapangan gedung Museum Fatahillah lagi dipasang panggung pertunjukan, juga ada tenda-tenda putih yang mau dibuat jadi tempat pameran. Beberapa bangunan tampak masih berdiri bagus, walaupun sebagian sudah tinggal bangunan kosong yang telah rusak. Disebelah kiri ada museum Wayang yang masih terawat, di bagian depan musem Fatahillah ada bangunan kantor Pos dan Giro yang masih digunakan sampai sekarang, disebelahnya ada sebuah cafe dengan bangunan yang masih mempertahankan bentuk bangunan lama namanya cafe Batavia. Suasananya sepertinya menyenangkan untuk digunakan bernostalgia jaman dulu. Kalau mau muter-muter seputar sini bisa juga pakai jasa penyewaan sepeda. Sepeda-sepeda model jaman jadul yang sudah dicat warna-warna jreng khas Betawi dan topi ala kompeni jaman dulu berjajar beberapa meter di depan cafe Batavia.

Gedung Museum Fatahillah sendiri sayangnya juga tutup hari ini karena pintu masuknya kehalang sama panggung yang dipenuhi kain-kain dekor warna hitam. Padahal aku sebenarnya pengen coba masuk kesana pas malemnya begitu. Kan sudah banyak tuh yang bikin cerita-cerita seru tentang angkernya museum Fatahillah ini kalau malam. Sayang aku datang terlalu sore sehingga seluruh bangunan sudah tutup, bahkan bangunan gagah bercat putih dengan pilar-pilar besar di seberang kanan yang merupakan museum keramik juga sedang tutup. Kata penjaganya buka setiap hari kecuali hari Jumat.

Bangunan-bangunan ini sekarang menjadi salah satu tempat favorit untuk pemotretan prewedding, biar serasa kembali ke masa lalu kayaknya. Untung mereka membayangkan masa lalu 50-60 tahun yang lalu. Coba kalau bayanginnya 500 tahun yang lalu berarti pakaian gak lengkap tuh hahahaha... 

Pelabuhan Sunda Kelapa
Pelabuhan Sunda Kelapa dipenuhi deretan moncong kapal
Nah, karena sudah disana aku akhirnya memutuskan sekalian mau ke pelabuhan Sunda Kelapa siapa tahu gak jauh dari sini. Memang kata abang tempat aku beli otak-otak, tinggal jalan lurus ke utara, cuma jaraknya lumayan jauh jadi aku disarankan pakai ojek sepeda. Karena mau test kaki, jadi aku putuskan jalan kaki saja. Ternyata jaraknya gak terlalu jauh, jadi bagi yang doyan jalan kaki silahkan coba jalan kaki dari Kota ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Justru dari pinggir pelabuhan sampai ke ujung pelabuhan yang lumayan jauh.

Ternyata Pelabuhan Sunda Kelapa bisa dibilang sebagai pelabuhan peti kemas yang masih tergolong tradisional. Kapal-kapal yang berlabuh disepanjang bibir pantai tempat pelabuhan adalah kapal-kapal kayu berbentuk seperti kapal pinisi.

Perahu-perahu pengangkut minyak di pelabuhan Sunda Kelapa
Hampir di sepanjang garis dermaga berjejer moncong panjang ujung kapal-kapal yang dipenuhi kesibukan bongkar muat barang dari truk-truk besar hilir mudik keluar masuk dermaga. Yang aku juga baru tahu, ternyata dermaga dari kapal-kapal ini sebenarnya adalah sungai bukan laut seperti di dermaga lainnya.

Sambil berjalan menelusuri dermaga sampai ke ujung, aku beberapa kali harus menahan napas melewati pekerja-pekerja yang menurunkan barang-barang yang berdebu seperti semen dan tepung-tepungan. 

Menurut sejarah, nama asli Jakarta justru dulunya adalah Sunda Kelapa yang kini hanya menjadi salah satu nama dari kawasan ini saja. Disinilah bermulanya pusat perdagangan Jakarta masa lalu. Jejak-jejak keberadaan kapal-kapal pinisi yang masih setia menaik turunkan barang disini menadakan bahwa disini dulunya adalah pusat perdagangan dimana jalur laut menempati posisi penting.

Aku kembali dari pelabuhan Sunda Kepala saat matahari mulai tenggelam. Tempat yang tepat untuk menikmati sunset, hanya banyak terhalang oleh aktivitas-aktivitas tak henti dari kapal-kapal ini. Sebenarnya ada cara lebih mudah, naik saja dari salah satu perahu nelayan yang biasa singgah di bibir dermaga dari celah-celah kapal. 

Monumen Nasional
Permainan cahaya dari panggung hiburan di Monas
Monas yang menjadi simbol kebanggaan Jakarta sebenarnya tak pernah benar-benar terbersit untuk aku singgahi, padahal kata orang tak lengkap orang mengaku pernah ke Jakarta kalau tidak mengunjungi Monas. Ah, kata siapa? Biniku kalau ke Jakarta yang dipikirin untuk didatangi ya mall-mall itu hehehehe.

Bukan berarti Monas gak menarik sih, tapi karena memang keberadaan Monas yang mudah dijangkau yang kadang membuat orang tak benar-benar menjadi Monas untuk dikunjungi. Hayo, siapa orang Jakarta yang belum pernah menginjakkan kakinya di Monas pasti jawabannya banyak banget.

Berawal saat kembali dari Bandung tengah malam, mobil travel yang aku tumpangi dari
Cahaya laser dari Monas menerangi langit tampak dari Dukuh Atas
Bandung ternyata hanya turun sampai kawasan Sarinah. Saat aku memutuskan berjalan kaki dari Sarinah sampai ke stasiun kereta api Gambir, ternyata aku melihat cahaya-cahaya terang menerangi langit. Tugu Monas yang menjulang dengan bentuk api menyala di bagian atas yang katanya terbuat dari emas menyala terang, demikian juga dengan dinding-dindingnya.


Ternyata setelah aku mendekat, nyala sinar-sinar itu memang berasal dari sinar laser yang dipancarkan lampu-lampu panggung yang berdiri megah di depan tugu Monas. Panggung besar yang dibangun ini ternyata akan digunakan besok Minggu yang menjadi puncak perayaan ulang tahun Jakarta, yang untuk di Monas disebut dengan Jakarta Night Fair atau malam muda-mudi Jakarta.

Ribuan watt lampu laser bergerak liar dengan cahaya warna-warni yang menerangi langit Jakarta yang sedikit kelabu malam itu. Jam dua dini hari cahaya-cahaya itu tetap berpendar-pendar memamerkan kecantikan Monas. Rupanya cahaya-cahaya ini sedang diuji coba, karena aku juga sempat mendengar sebuah lagu dari Slank dinyanyikan disertai petikan gitar elektrik berulang-ulang pada lagu yang sama untuk proses cek sound.

Sayang aku kembali sehari sebelum acara akbar ini digelar jadi hanya mendapatkan situasi ini. Yah tak apalah, paling tidak aku bisa memfoto Monas dalam kondisi lenggang. Coba kalau pas acaranya, boro-boro bisa memfoto situasi Monas. Bisa-bisa cuma dapat gambar kepala orang yang berdesak-desakan.

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 18 Juni 2013

Mengejar Matahari di Kupang

Pantai Paradiso, antara ombak dan matahari terbit
Udah hampir sebulan ini aku berdiam diri di kantor, eh di Kupang maksudnya. Gak kemana-mana, ajib kan.. biasanya gak sampai seminggu pasti udah menghilang ke alam antah berantah. Artinya gak ada foto baru dong? Ya gak juga sih, ada sih ada saja tapi.... tapinya itu, moto yang sekitaran Kupang saja. Karena cuma disini lagi - disini lagi, makanya gak ada bahan tulisan yang mau ditulis jadi sementara diem dipojokan sambil makan camilan astor punya anak.
Yah tapi ada sisi positifnya sih, jadi punya kesibukan baru: nganterin anak ke sekolah sama jemput anak, bikin aplikasi kecil-kecilan baru secara aplikasi yang lama udah pada hilang source code-nya gara-gara insiden harddisk ancur kemarin hari.
Weh, kenapa ini blog jadi tempat curhat gini ya hehehehe... 
Tapi untung sebelum kamera diculik untuk dibawa ke Raja Ampat, sempet ngajak temen hunting foto di Paradiso. Sore hari, waktu lagi asyik-asyiknya nulis serangkaian kata-kata gak jelas khas kode pemograman (itulah kenapa banyak ahli pemrograman susah dimengerti omongannya khas bahasa pemrograman, lha yang gampang saja kayak gini gimana yang rumit) ada SMS masuk dari kang Eddy kalau lagi dalam perjalanan menuju Kupang. Rupanya dia lagi liburan di Jakarta (dijitak Eddy).. Naik pesawat singa turun tengah malam, besok siang baru balik ke Flores, jadi pengennya besok pagi bisa hunting pagi. Lumayanlah, untuk pemanasan kamera yang udah lama pengen protes dianggurin di boks. Akhirnya malam-malam aku mulai bongkar boks untuk menyiapkan gear. Karena kesepakatannya hunting pagi yang tentunya hunting sunrise maka aku langsung pasangin lensa Tokina 11-16mm f/2.8 AT-X yang emang paling mantap kalau buat foto landskap. Gak mungkin moto model, karena kalau pagi-pagi modelnya pasti masih bau iler sama banyak tai mata hihihihihi (siap-siap ditimpuki bata model satu kampung)

Pantai Paradiso Pagi Hari
Pantai Paradiso, jejak air pagi hari
Pagi-pagi sekitar jam lima abis solat Subuh, pake motor aku langsung meluncur menjemput juragan Nagekeo di hotel. Menurut jamku yang gak selalu akurat, pagi ini lagi puncak pasang karena bulan pas lagi separo. Ini nih ilmunya buat yang hobi hunting laut, wajib untuk tahu posisi bulan dan pasang surut air laut. Jangan nanti pas purnama mau cari foto ombak laut pasang sore hari ya pasti gak bakalan nemu, karena kalo purnama atau bulan mati sore atau pagi tuh berarti pada posisi puncak surut. Yang gak tau ginian, berarti waktu SMA suka molor kalau lagi pelajaran Agama (distrap guru disuruh baca Yasin 10x)
Akhirnya aku nyaranin ke Eddy buat hunting foto sunrise di Paradiso yang arahnya ke utara cenderung ke Timur. Kalau bulan begini biasanya dapet sunrise karena posisi matahari lagi condong ke utara. Lagian jaraknya gak jauh jadi pasti masih dapet ngejar matahari. (walau matahari yang kejar cuek beibeh).
Pasir keputihan dibalut karang di pantai Paradiso
Pantainya gimana gak usah aku jelasin panjang lebar lagi ya kalian bisa baca ulang di tulisanku sebelumnya di Matahari di Paradiso. Yang pasti aku sempet baca termos kecil berisi white coffe panas. Kopi panas menjadi teman yang lumayan nikmat sambil menunggu matahari muncul di sisi Timur, sayang Eddy masih bermasalah dengan lambungnya sehingga hanya mencicipi sedikit kopinya.
Air benar-benar di posisi pasang, tapi awan masih malas bergerak dan hanya berkumpul di ujung dimana matahari seharusnya sudah muncul. Gak papa lah, minimal hunting kali ini adalah hunting reuni, berhubung udah lama gak nginjek Nagekeo. Tapi akhirnya memang mataharinya ngalah mau nongol setelah kita ngotot nungguin terus. Capek juga dia kali, melihat kita gak patah semangat kita kayak pasukan di medan perang pegang bambu runcing (jadul banget ya).
Informasi buat kalian yang mau mampir kesini. Pantai Paradiso letaknya gak jauh dari hotel Kingston atau Ima (sekitar 100 meter) belok ke kanan ke arah pantai. Pantai ini menghadap ke timur laut makanya lebih cocok untuk melihat matahari terbit. Kalau mau melihat matahari terbit dari laut sebaiknya di bulan Mei sampai September.  Selain di bulan itu, matahari muncul dari balik pantai Nunsui. Lautnya berkarang dengan pasir putih. Sebagian kawasan Paradiso adalah daerah tumbuhan Bakau.

Pantai Gua Monyet
Senja: matahari yang tenggelam di balik pulau Semau
Sebenarnya pantai ini masuk kawasan pantai Tenau, cuma lebih mudah aku namai demikian untuk membedakan lokasi. Arah masuknya memang dari seberang lokasi Gua Monyet yang berada sebelum menuju Pelabuhan Tenau. Jalan berbatunya cukup kasar bahkan cenderung sulit dilewati terutama untuk arah baliknya. Jika menuju pantai jalannya menurun sehingga masih mudah dilewati. Posisi terakhir kemarin, kondisi jalan tambah parah sehingga waktu naik kembali ke jalan raya aku harus mendorong motor. 
Biru toska adalah view air yang tampak dari atas karang
Kawasan ini berupa karang-karang tinggi, jadi untuk turun ke pantai harus mencari karang-karang yang terbelah membentuk jalan turun. karena memang disepanjang pantai sampai ke ujung dermaga karang terjal semua. Itupun pantai hanya dapat digunakan saat surut, karena pada waktu pasang air laut akan naik sampai ke karang tidak menyisakan hamparan pasir sedikitpun.
Posisi lebih mudah sebenarnya bisa dilalui melalui pintu masuk dermaga pelabuhan Perhubungan, dari sana baru turun ke sebelah kiri. Terdapat sepotong pantai berpasir putih yang airnya cukup jernih.
Aku kesana lagi setelah anakku yang perempuan merengek ingin mandi di pantai. Sekalian ingin mengajarinya snorkling aku memilih ke pantai ini. 
Namun waktu itu sayangnya pantai di bawah sedang dipenuhi tumpahan kotoran entah dari mana sehingga menjadi tampak kotor sekali. Sebenarnya keindahan yang bisa ditemui baik pantai maupun alam bawah lautnya pernah aku tulis juga disini Tenau: Terumbu di Balik Karang Terjal. Terumbu karangnya cukup menarik yang akan tampak sekali saat surut. Sudah cukup soren waktu itu sehingga aku dan keluarga tidak mendi lama. Entah kenapa air lautnya juga terasa agak gatal, padahal biasanya tidak begini.
Saat sudah sore itu lah aku mendapati beberapa orang datang dengan membawa lampu petromaks. Ternyata mereka akan mencari ikan di sela-sela karang. Sebagian mereka kalau aku tidak katakan seluruhnya, membawa semacam racun untuk ikan. Biasanya mereka menggunakan pottasium yang akan mereka semprotkan ke liang-liang tempat ikan bersembunyi. Entah apakah ini salah satu faktor yang membuat banyak tumbuhan karang yang menjadi mati. Saat makin larut, beberapa orang lagi datang dengan petromaks, sementara entah dari mana di laut yang tampak dangkal tampak bayangan-bayangan hitam orang menggunakan petromaks dan tombak kayu sedang mencari ikan. Pantas saja, dibagian yang dangkal hampir seluruh terumbu karang sudah rusak dan mati. Sungguh kebiasaan buruk yang entah disadari atau tidak akan membunuh mata pencaharian mereka sendiri sebagai nelayan.
Sebenarnya di luar hari-hari masyarakat berburu ikan dengan cara begini (mereka akan melakukannya saat puncak surut senja hari artinya saat purnama penuh atau saat bulan mati atau bulan baru), pantai ini lumayan enak buat duduk menunggu matahari terbenam. Duduk santai ditemani segelas kopi mendengar debur ombak yang menghantam karang. Jaraknya yang agak jauh dari jalan sehingga tidak terlalu bising dengan hingar bingar kendaraan.

Pantai Namosain
Ada yang pergi, kami pengganti... sebuah bangkai perahu di pinggir laut Namosain
Beberapa hari sebelum kameraku dibawa ke Raja Ampat, aku juga sempat gunakan memotret  di pantai Namosain. Dua kali aku mampir kesini, dan dua-duanya dengan pasanganku alias istriku.
Pantai Namosain ini sebenarnya adalah pantai nelayan yang memang digunakan nelayan untuk menambatkan perahu. Di sisi kanan dermaga baru tampak sisa-sisa dermaga lama yang biasanya dikenal dikenal dengan istilah pelabuhan rakyat. 
Jika tertarik untuk memotret perahu saat senja hari, disini salah satu lokasi yang tepat untuk didatangi. Terutama karena terdapat perahu-perahu bergaya tiang tinggi yang cukup besar yang sering bersandar disini. Meskipun bising karena berada di dekat jalan raya (jangan coba-coba menyepi di pantai ini ya) namun kondisi pantai yang berpasir cukup panjang menjadi tempat anak-anak bermain bola. Ya, kalau tanah lebih banyak karang lebih enak main bola di pasir kan.
Sayang sampai sekarang dermaga pengganti belum selesai juga dan cenderung tidak diselesaikan. Bagian lapangan masih berupa tanah, namun tidak tampak adanya pekerja. Bangunan-bangunan bedeng tempat pelaksana juga tampak tidak digunakan.
Cerita lokasi ini juga sebenarnya sudah pernah aku tulis disini dan disini.

Pantai Nunsui/Batu Nona
Akhirnya mampir lagi kesini buat moto setelah kameraku balik (peluk erat kamera). Selama seminggu aku harus rela kehilangan benda kesayanganku itu gara-gara bini mau plesiran ke Raja Ampat. Sepertinya dia gak terima kalau Raja Ampat cuma terekam sampai kamera hape sampai mati-matian minta diajarin pake kamera DSLR. Dan ujung-ujungnya tentu saja kameraku diserobot sementara. Itu kamera ternyata harus melewati perjalanan tercebur segala sebelum kembali ke haribaan tuannya. Padahal kameranya tidak ada tulisan "waterproof" tapi entah kenapa ditest dimasuki air laut segala (pengen snorkling kali).
Alur senja di Pantai Nunsui akibat air yang bergerak menyurut
Jadi pantai Nunsui sebenarnya adalah ajang test kamera masih bener apa kagak (kalau gak waras siap-siap dibawa ke rumah sakit jiwa). Untungkah adegan-adegan penting di pantai Nunsui waktu itu berhasil dilewati sang kamera sehingga gak perlu masuk bangsal kamera depresi (kameranya langsung bernapas lega)
Pantai nunsui ini sebenarnya berhadapan dengan Pantai Paradiso, kalau mau lengkapnya baca ada disini.
Saat senja mulai gelap, warna-warna semakin menonjol
Sebenarnya yang dibagian ada satu pohon bakau itu aku masih bingung, apakah masih masuk pantai Nunsui ataukah yang orang bilang sebagai Batu Nona. Sayang tidak ada prasasti yang menerangkan nama lokasi pantai ini (timpuk yang nulis pake sempak)
Pantainya berwarna kekuningan (untuk bukan gigi). Karena lagi bulan Juni, jadi matahari jatuhnya pas di horison pantai bukan di balik pantai Paradiso.
Kalau hari Sabtu atau malam Minggu biasanya bagian pantai disini ramai banget terutama untuk mereka yang mau pacaran gratis. Padahal tempatnya kalau malem gelap gak ada lampu (mungkin itu alasan utamanya malah). 

Sebenarnya yang cerita ini mau ngomong apa sih, gak jelas. Nah itu, aku tuh sebenarnya cuma mau bilang kalau aku masih moto sekaligus mengabarkan kalau kameraku masih sehat walafiat tanpa kurang suatu apa (kurang karet depan sebenarnya, ilang gak tau waktu moto dimana). 
Udah ah, bingung mau nulis apalagi.... pelototin aja itu foto-foto. Semoga foto-fotonya masih layak dipelototi.

Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 31 Mei 2013

Nostalgia Wayang Orang Bharata

“Nonton yuk”, ajak kakakku sambil memamerkan brosur Wayang Orang Bharata. ”Wah ada Mase,” seruku ketika melihat salah seorang pemain yang menjadi bintang pertunjukan di brosur itu. Kebetulan Mase berperan sebagai tokoh Arjuna. Mase, sebutan kesayanganku pada bintang yang aku kagumi sejak aku masih duduk di bangku SMP. Nama lengkapnya Teguh “Kenthus” Ampiranto, selain sebagai pemain, sekarang beliau juga sebagai sutradara pertunjukan. Biasanya aku nonton acara wayang orang bersama Mbah Cokro Putri yang ditayangkan di TVRI Yogyakarta. Tiap kali Mase muncul Mbah Cokro Putri bilang padaku, “nek nggolek bojo kaya kuwi, gagah lan bagus”, sambil menunjuk kepada Mase. Aku hanya bisa senyam-senyum saja.


Tibalah saatnya menonton Wayang Orang Bharata. Kami menuju Gedung Kesenian Wayang Orang Bharata, yang ada di Jalan Kalilio No.15. Mudah untuk mencapai lokasinya karena berdekatan dengan Terminal Senen. Sejak tahun 2004 Gedung Kesenian ini telah selesai dipugar demi kenyamanan penonton. Harga tiketnya pun terjangkau dari Rp40.000 – Rp75.000.



Lakon wayang orang malam ini “Abimanyu Gugur”.Mengambil penggalan dari cerita Perang Bharatayudha. Sepeninggal Resi Bisma, Resi Durna diangkat menjadi Senopati Kerajaan Astina sebagai Bala kurawa untuk melawan Pandawa. Dalam pertempuran Pasukan Pandawa terdesak oleh Pasukan Kurawa sehingga menyebabkan Abimanyu, putra dari Arjuna gugur di medan perang.  Menurutku yang paling unik selama pertunjukan berlangsung adalah suasana santai, akrab dan kekeluargaan antara pemain dan penonton saat dagelan,guyonan,celotehan tokoh Petruk, Gareng dan Bagong beraksi. 


Penonton sering melempar bingkisan ke atas panggung, berupa barang dan uang saat dagelan berlangsung. Dan tentu saja penonton dapat mengambil posisi duduk ternyamannya (bisa mengangkat kaki/menekuk kaki di atas bangku), menikmati makanan dan minuman yang bisa dipesan dari para pedagang di luar gedung. Semua itu hanya ada dan ditemukan di Gedung Kesenian Wayang Orang Bharata.

Foto dan teks oleh Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 21 Mei 2013

Saat Gak Kemana-mana di Labuan Bajo

Senja hari di Labuan Bajo, view dari belakang hotel La Prima
Baru pulang dari Labuan Bajo Minggu kemarin, tapi bingung juga mau cerita apa. Gak mungkinlah aku cerita gimana aku ngajar di sana, materinya apa saja... emangnya ini blog pendidikan?
Sebenarnya waktu tugas seminggu di Labuan Bajo, lagi ngepas dengan perhelatan Sail Komodo 2013. Sebagai induk dari Komodo, Labuan Bajo tentu saja wajib berbenah dan membuat persiapan supaya yang datang ke sana tidak kecewa. Gak asyik dong kalau gema acaranya kenceng pas disana cuma disambut satu dua baliho selamat datang tapi yang lain gak ada persiapan. Tapi gak lah, yang pasti mulai banyak pembenahan di sana sini termasuk perbaikan infrastruktur dari pemerintah pusat. Kok pemerintah pusat ikutan sibuk? Iyalah, secara mereka yang menguasai pulau Komodo. Kan Komodo udah dimasukkan sebagai Taman Nasional, jadi dengan sendirinya kepemilikannya ada di Pusat.
View Hotel La Prima siang hari
Yang pasti hari-hari kemarin itu bule makin banyak, jadi hotel-hotel udah mulai banyak terisi padahal ini masih bulan Mei. Gak kebayang nanti kalau pas puncaknya perhelatan di bulan September ini... (siap-siap yang mau kesini bawa tenda)
Celakanya memang aku gak kemana-mana, seminggu cuma lebih banyak ngendon di hotel karena acara yang padat dari pagi sampai sore. Ada sih kadang pas jam lima udah bisa bernapas (sebelumnya kecekik), tapi emang Labuan Bajo lagi gak seneng aku dateng kali ya... Itu langit mendung melulu tiap sore, mataharinya bener-bener disembunyiin tuh di bawah ketiak awan.
Untungnya kali ini aku dapet hotel yang lumayan enak, posisinya pas di pinggir pantai dan disebelahnya ada lokasi wisata yang rencananya mau dijadiin lokasi puncak Sail Komodo. Orang bilang pantai Pede, pantai yang terletak di sebelah bukit Pramuka ini dulunya asli kotor banget. Pasirnya sih putih tapi airnya itu banyak sekali sampah sama lumpur, katanya sih terbawa arus dari buangan masyarakat Bajo yang tinggal di kampung tengah. Kampung tengah itu kampung yang berada di sekitar dermaga. Asli, beberapa tahun lalu itu kawasan dari dermaga pelabuhan sampai pantai Pede dipenuhi lumpur sama sampah, dari plastik, makanan sisa, kaleng.. mungkin juga duit recehan sama berlian juga ada (mata berbinar-binar).
Senja hari di pantai Pede, suasana pantai mulai bersih
Nah, sekarang ini udah mulai ada kemajuan. Di sebelah selatan dermaga udah ada proyek reklamasi pantai jadi sekarang gak lagi rumah-rumah langsung berdiri di tepi pantai.. makanya banyakan rumah-rumah disitu gak punya toilet pribadi tapi toilet umum langsung ke laut (mau sekalian kasih makan ikan kali). Pantai Pede untungnya juga kecipratan rejeki duit buat pembersihan pantai. Berita terbarunya sih, ada pengalihan puncak perayaan Sail Komodo yang semula di pantai reklamasi pindah ke pantai Pede ini. Pantesan aja ada acara bersih-bersih, pasti takut tuh presiden dateng liat sampah bisa langsung dipotong tuh dana pusat. Bolehlah kalau ke sini mampir di pantai Pede, sekalian bantu-bantu bersihin pantai biar tambah kinclong. Udah ada beberapa perahu kecil panjang seperti perahu buat perlombaan di sepanjang pantai Pede.
Untungnya dapet pinjeman motor, jadi kalau malem masih bisa cari makan.. biasalah wisata kuliner (alesan aslinya karena makanan di hotel mahal banget hehehe)
Menunggu ikan eh cumi selesai dibakar
Lokasi favorit tetep aja di depan pasar Labuan Bajo. Itu rumah makan tenda sekarang udah penuh berjejer dan banyakan menyediakan menu ikan. Nah, makanya disini bulenya juga rame, lumayan kan... harganya masih bersahabat di kantong. Gak bersahabat banget sih, udah mulai naik dibanding tahun kemarin, pasti ini gara-gara bule ngrecokin dateng kesini tuh makanya pada rame-rame naikin harga ikan (gethok palanya bule).. Kemarin itu untungnya kita keliatan kalau muka lokal jadi bisa dapet menu ikan Kerapu merah 50rebu dua ekor plus nasi dan lalapannya. Besoknya lagi kita muter cari cumi dan berakhir dapat cumi yang udah punya cucu (gedhe bener) dengan harga 50rebu tanpa nasi dan lalapannya. Lagi bulan mati, jadi emang cari cumi agak susah. Kalau lagi bulan terang tuh sebenarnya saatnya berburu kuliner cumi bakar pasti banyak. Acara makan cumi jadi seru, karena cuminya ngelawan waktu digigit (tusuk pake garpu biar nyahooo..) Lokasi ini cocok nih buat didatengin kalian yang mampir di Labuan Bajo, siapa tahu bisa kecanthol sama bule lumayan buat perbaikan keturunan... asal jangan yang sejenis ya :))


Suasana senja hari di belakang hotel La Prima.. gak lagi promo lho
Cerita hotel ini, namanya La Prima.. tempat ini sebelum jadi hotel sebenarnya adalah kebun kelapa dan tempat yang paling sering aku tongkrongin kalau ke sini. Letaknya persis ada di sebelah selatan bukit Puncak Pramuka, beberapa pohon kelapa yang ada di samping hotel itu banyak yang dari awal dibangun tidak pernah ditebang, jadi kelapa asli. Karena tertutup bukit di depan dan kanan hotel makanya kalau pagi tempat ini adem, setidaknya sampai jam delapan lah. Hotelnya mahal banget, kalau gak dibayarin ogah banget masuk hotel ini. Tapi yah sepadan sama fasilitasnya sih. Ada kolam renang, walau menurutku tetep enakan mandi di laut... kalau mau trekking, nah bisa tuh naik ke bukit Puncak Pramuka dari samping hotel. Hotel udah buatin jalan kecil menuju ke atas, cuma medannya menanjak banget. Katanya di atas enak buat ngliatin matahari terbenam dan view Labuan Bajo. Cuma sayangnya aku sendiri batal ke atas, karena senter yang biasa kubawa ternyata gak bisa hidup. Awalnya kukira udah rusak, sampai rumah ternyata karena batereinya abis.. (goblok banget, jitak kepala sendiri) Padahal denger-denger di atas itu ada meriam bekas perang.
Akhirnya beberapa hari ya cuma sempet motret di sekitar hotel, atau kalau kaki lagi gak mau diajak diem ya jalan-jalan di sepanjang pantai menelusuri pantai Pede sampai berakhir di pantai Hotel New Bajo Beach. Pantai-pantai ini kalau mau diseriusin sebenarnya asli bagus lho. Yah minimal bisa buat santai-santai kalau lagi gak punya duit nyewa perahu ke pulau.
Cuma segitu ceritanya, masih nunggu waktu lagi buat eksplore Labuan Bajo... masih banyak tempat, masih banyak cerita yang menunggu untuk aku ceritain (cari-cari yang mau bayarin ke Labuan Bajo lagi).
Tapi kalau kesana lagi berarti harus siapin tenda ya, siapa tahu gak ada lagi penginapan yang bisa nampung.. daripada harus tidur di pelabuhan kek gembel :D

Baca keseluruhan artikel...

Senin, 01 April 2013

Menatap Pagi di Bromo

Semburat warna pagi dari penanjakan: view gunung Bromo dan Semeru
Menunggu pagi memancarkan sinar matahari membuat jari-jari tangan kananku yang memakai sarung tangan terasa kaku dan dingin. Serba salah, jika aku memakai sarung tangan terus terang aku kesulitan untuk mengoperasikan tombol-tombol dan tuas kamera Canon EOS 550D. Suhu di Penanjakan memang masih belasan derajat, masih terbilang suhu biasa saja bagi penduduk di sini tapi tetap terlalu dingin bagiku meski telah menggunakan penutup kepala dan sarung tangan. Untung aku bisa menaruh tripod dan kamera persis di depan pagar walaupun di bagian bawah, di bagian atas orang sudah ramai berkerumun menunggu matahari pagi muncul dari sisi Timur. Beberapa kali setelah menjepretkan kamera aku mengibas-kibaskan tangan yang serasa kaku mengusir rasa kejang  dan beku.

Perjalanan yang tak kurencanakan pada awalnya, karena memang awalnya aku malah merencanakan untuk melakukan backpacking antar kota keliling Jawa dalam beberapa hari. Karenanya aku tidak membawa banyak pakaian toh pertimbanganku aku bisa beli beberapa baju di tempat yang aku singgahi. Namun karena perhitungan waktu yang bergeser sehingga akhirnya aku tidak jadi backpacking-an. Tapi ada sisa waktu yang jika kuperhitungkan bisa untuk mengunjungi Bromo.

Menunggu di stasiun Senin, cukup nyaman
Perjalanan dimulai dari rumah adikku di Cibubur, Jakarta Timur. Aku berangkat jam dua siang karena belum membeli tiket kereta api karena ternyata tiket kereta api tidak bisa dipesan setelah H-2, jadi harus dibeli langsung di stasiun. Dengan pertimbangan arus sore yang macet,  kakakku menyarankan untuk naik dengan commuter dari stasiun Depok.

Sekitar jam setengah lima aku sudah sampai di stasiun. Situasi stasiun Senin agak membuatku kaget karena walaupun gedung-gedungnya masih sama namun situasinya sudah berubah banyak banget. Aku buru-buru saja antri di bagian pembelian tiket namun setelah sampai depan baru tahu kalau harus menulis di lembar pemesanan tiket. Haduh, akhirnya aku balik ulang cari tempat mengambil lembar pemesanan tiket. Begitu dapet kertasnya gantian aku celingukan cari ballpoint... Ternyata beli tiket sekarang lebih ribet, cuma lebih aman juga sih jadi gak ada calo yang mondar-mandir tawarin tiket. 

Akhirnya jam enam aku bisa duduk di kursi nomor 7 di bagian Ekonomi AC. Awalnya aku mau ambil yang bisnis, tapi ibu yang menjual ballpoint dan membantuku menulis malah menuliskan kelas kereta api Ekonomi AC bukan Bisnis seperti mauku. Ternyata dia benar, walaupun suasana tempat duduk sama dengan kelas Ekonomi namun  lebih nyaman karena ada AC di dalamnya, dibanding dengan kelas Bisnis yang hanya mendapatkan kipas angin.

Setelah melewati 12 jam perjalanan dengan kereta api, paginya kereta api sampai juga di stasiun Pasar Turi, Surabaya. Setelah minum kopi dan sarapan pagi, aku melanjutkan perjalanan ke terminal Terboyo. Dari terminal Terboyo aku mengambil bis Patas AC jurusan ke Malang. Aku sebenarnya mengambil jurusan yang kurang pas, tapi jalur ini aku ikuti berdasarkan hasil pencarianku diinternet tentang rute perjalanan ke Bromo. Sekitar tiga perjalanan, sampailah aku di terminal Arjosari, Malang. Cuaca sampai di Malang mulai menunjukkan mendung. 

Setelah mengisi perut lagi di terminal Arjosari, aku mencari informasi ke orang-orang. Dari mereka aku mendapatkan arahan supaya naik bis jurusan Malang-Probolinggo. Kembali perjalanan hampir tiga jam aku lalui di atas bis untuk sampai ke Probolinggo. Hujan turun deras sekali waktu bis melewati daerah Lawang, sebenarnya cukup mengkhawatirkan karena aku saat itu belum tahu sejauh mana Probolinggo.

Setengah empat, bis masuk ke terminal Probolinggo. Dari terminal Probolinggo, aku keluar dan berjalan beberapa meter ke sebelah kiri terminal. Di depan warung makan ada mobil angkutan jenis Colt warna biru jurusan terminal Probolinggo-Bromo. Karena menurut penjelasan mas Suhan yang menyupiri, baru enam orang yang siap ke Bromo. Semangkuk bakso dan kopi kedua kembali mengisi perutku menunggu penumpang lain.

Tunggu punya tunggu, baru tambah satu orang yang datang. Karena sudah sore, aku coba tanya mas Suhan gimana caranya supaya kita bisa berangkat lebih cepat. Mas Suhan menawarkan alternatif, angkutan miliknya bisa muat sampai dengan 15 orang dengan biaya 25ribu  per orang. Kalau mau berangkat sekarang mas Suhan mau kalau tiap orang mau bayar lebih menjadi 50ribu per orang. Aku coba sampaikan hal ini ke teman-teman baru seperjalanan, namun ada sedikit kendala satu orang bule cewek yang keberatan membayar 50ribu. Dia sendiri tetap menolak meskipun yang lain bersepakat membayar lebih untuk selisih lebih sehingga bule itu tetap membayar normal 25ribu. Menurutnya itu gak fair. Dia bahkan lebih memilih untuk ditinggal dan berangkat besok. Setelah merayu sekitar sepuluh menit (asli yang ini ngarang, gak ada orang lihat jam cuma buat tahu berapa lama proses merayu hihihi) akhirnya si bule cewek itu mau juga ikut dan dia mau bayar 50ribu. Nah lho, giliran mau ikut maunya harganya tidak dibedakan... (icon bingung)

Ternyata setelah dihitung ada tambahan satu orang bule lagi. Wah mas Suhan lagi beruntung, artinya mas Suhan dapat 350ribu untuk keberangkatan hari ini.

Cemoro Lawang berselimut kabut
Colt yang dikendarai mas Suhan akhirnya melaju menyusuri Probolinggo sampai kemudian masuk ke kanan. Jalan yang semula datar mulai berubah menanjak, penunjuk ketinggian di jam tanganku menunjukkan kenaikan ketinggian yang begitu cepat. Di kendaraan, kami mulai saling berkenalan. Ada Sarah yang datang sendiri, rencana awalnya dia mau ke Bromo bersama teman-temannya. Katanya, dua orang temannya nanti datang menyusul menggunakan kendaraan sendiri. Ada pasangan yang awalnya kukira keduanya peranakan China, apalagi yang pria mengaku dengan nama Achlung (siapa yang tidak mengira kalau nama Achlung itu peranakan China?) dengan teman perempuannya bernama Dinda. Yang bule terus terang aku lupa namanya, karena yang paling sering ngobrol sama bule itu ya si Sarah. Jarak sejauh kurang lebih 65km ditempuh dalam waktu hampir satu setengah jam. Jalan sempit dan berkelok-kelok dengan jurang-jurang yang dalam tampak di depan mata menuju ke Cemoro Lawang. Itu adalah tempat tujuan kami, yang merupakan desa terakhir yang berhadapan langsung dengan gunung Bromo.

Setengah enam kami sampai di Cemoro Lawang. Memasuki beberapa desa terakhir ke arah Bromo, mata kami disambut pemandangan sawah-sawah yang ditanami kol, wortel dan beberapa tanaman khas daerah ketinggian. Masyarakat yang berjalan rata-rata menggunakan jaket tebal dan bertopi rajut. 

Sesuai dengan arahan mas Suhan dan cocok dengan informasi yang kuterima, maka kami menuju ke Wisma Yog. Ternyata sewa di Wisma ini sudah naik dari informasi terakhir yang aku terima. Namun pak Yogi yang sendiri menyambut kami menunjukkan kami bangunan baru di bagian belakang yang ada kamar mandi di dalam. Kalau di bagian depan yang tidak punya kamar mandi di dalam harganya 125ribu sifatnya sharing kamar mandi. Kalau di bangunan belakang harganya 200ribu yang ada air panasnya.

Hamparan pasir dan Bromo di senja  hari
Cemoro Lawang suhunya terasa dingin, walaupun perkiraanku masih di sekitar belasan derajat. Namun ketinggian desa ini telah menunjukkan 2200 meter dpl. Untungnya jika datang pada bulan-bulan seperti ini suhunya tidak terlalu dingin hanya hujan sering terjadi. dari Cemoro Lawang, gunung Bromo telah nampak karena memang Cemoro Lawang tepat berada di pinggi jurang dari kawasan Bromo. Karena kabut belum turun, tanah berpasir tampak jelas mengelilingi gunung Bromo. Dari sini tampak sebuah bangunan di kejauhan yang kata pak Suhan adalah sebuah pura.

Untuk perjalanan esok hari kita sepakat akan menyewa Jeep yang memang biasa digunakan untuk mengunjungi Bromo. Namun terjadi sedikit permalahan karena jumlah orang yang akan ikut angkanya tidak genap hanya sembilan orang. Satu buah Jeep dapat digunakan maksimal untuk enam orang, dua di depan dan empat di belakang. Biaya sewa Jeep dipatok 450ribu untuk dua lokasi yaitu Penanjakan dan Bromo. Kalau ingin menambah lokasi harus menambah biaya langsung ke sopir Jeep-nya, menurut mas Suhan sekitar 100ribu per lokasi tambahan. Akhirnya aku sepakat dengan Achlung, Dinda dan Sarah untuk menyewa Jeep karena kami rencana akan sampai ke dua lokasi tambahan selain Penanjakan dan Bromo yaitu lautan pasir dan padang savannah.

Di sepanjang jalan menuju kesini sudah banyak berdiri wisma dan hotel, demikian di daerah Cemoro Lawang sehingga fasilitas-fasilitas tambahan dengan mudah ditemui seperti jika lupa membawa jaket tebal bisa menyewa di sini dengan sewa sekitar 25ribu. Topi rajut dan kaos tangan juga barang harus disiapkan. Topi-topi ini banyak dijajakan oleh masyarakat sekitar dengan harga 10ribu per topi, sedangkan kaos tangan seharga 5ribu.

Hari ini kami berangkat tidur lebih awal karena rencananya kami berangkat setengah empat pagi untuk melihat sunrise. Jam setengah empat saat kami bangun sudah banyak aktifitas dari Wisma ini dan beberapa wisma di sebelahnya. Achlung dan Dinda bersiap dengan sebuah tas kecil di belakang. Aku sendiri menebak-nebak apa isi tas backpack kecil itu. Sementara yang lain tidak membawa tas lain kecuali tas kamera termasuk aku. Setelah perlengkapan seluruh siap kami mulai meluncur. Dari Wisma Yog, Jeep kami berputar ke kanan menuju jalan ke arah bawah. Setelah melewati pos penjagaan, kendaraan kami mulai menurun tajam melewati jalan yang sebagian telah di beton. Dalam suasana yang terasa gelap, Jeep menderu membelah lautan pasir, beberapa kerlip lampu yang bergerak menunjukkan ada kendaraan jeep lain yang telah berjalan di depan kami. Setelah melewati lautan pasir, kendaraan kembali naik menanjak ke arah perbukitan dengan jalanan yang sempit dan berkelok-kelok tajam. Setengah jam sampailah kami di ujung Penanjakan. Suasana sudah ramai sekali, banyak Jeep yang telah terparkir. Sepanjang jalan menuju ke atas juga sudah banyak warung-warung makan dan souvenir yang dibuka. Semangkuk mie dan segelas kopi kembali mengisi perutku sebelum kami naik ke atas, lumayan untuk mengusir hawa dingin. Maklum dengan ketinggian yang lebih dari 2250 meter dpl dan sepagi ini, suhu yang mungkin sudah di bawah belasan membuat tangan kaku jika tak bersarung tangan.

View Bromo saat matahari pagi tertutup awan
Sesampai di atas, suasana masih tampak gelap. Namun rupanya sudah banyak orang yang berdiri menunggu matahari terbit. Aku lihat beberapa fotografer ada yang sudah mencoba memotret mungkin ingin mengabadikan suasana malam. Ruangan terbuka mulai penuh sesak terutama di bagian pinggir pagar. Nyaris tak mungkin aku bisa mendapatkan spot jika disini. Aku coba berkeliling melihat-lihat apakah ada lokasi nyaman untuk memotret pemandangan berlatar Bromo. Aku berjalan ke samping kiri ke arah sebuah menara pemancar. Dari samping  terdapat jalan menurun ke bawah, dan ternyata tak ada seorang pun yang berdiri di situ, entah alasannya apa. Akhirnya aku putuskan turun ke sana sehingga bisa memasang tripod dan kamera tepat di pinggir pagar. Tapi ternyata itu tak lama, melihat aku berdiri sendirian di bawah, beberapa orang mulai ikut turun tapi tetap tak berani dekat dengan kameraku. Beberapa fotografer bahkan ada yang keluar pagar agar tidak terhalang oleh adanya pagar.

View Bromo saat matahari mulai meninggi
Akhirnya pagi yang ditunggu pelahan mulai datang, sayang awan masih ingin bermanja-manja tak menghilang. Dikejauhan di hamparan pasir Bromo, kabut putih mulai datang menutupi dataran. Tanganku yang tidak bersarung tangan membuat rasa kebas, dingin seperti makin parang menjelang pagi. Bromo mungkin hari ini tidak memberikan pertunjukan terbaik, namun tetaplah rasanya menyenangkan sekali bisa berdiri di Penanjakan memperhatikan sang surya mau berbaik hati menampakkan sinarnya membasuh lekuk-lekuk Bromo dan Semeru di kejauhan menjadi prasasti gambar yang menawan. Sebenarnya posisi matahari terbit kurang terlalu pas di atas Penanjakan karena pada posisi ini Bromo ada di sebelah Selatan sehingga posisi matahari terbit dan Bromo sekitar 90 derajat, artinya tak memungkinkan mendapatkan gambar kedua obyek itu bahkan dengan lensa 11mm sekalipun (17mm kalau di kamera bersensor APS-C). Mungkin kalau aku ke Bromo lagi aku akan mencari lokasi dimana Bromo dan matahari bisa berdampingan.

Seorang penunggang kuda berlatar Pura Luhur Poten Bromo
Sekitar jam tujuh kami mulai turun ke bawah. Jeep kembali menderu membelah jalan menuju ke bawah. Achlung menawari kue, dan ini sudah yang ketiga. Artinya tas backpack kecil mereka rupanya isinya makanan semua. Pantas saja mereka berdua subur hahaha... Sesuai urutan track, setelah dari Penanjakan kami akan menuju ke kaldera Bromo. Karena matahari sudah muncul, kami sekarang bisa melihat dengan jelas kepulan debu yang ditinggalkan Jeep saat melintasi pasir Bromo. Paduan yang eksotis, hamparan pasir yang tampak menggambarkan suasana panas berpadu dengan kabut tipis yang turun menutupi bukit-bukit sebagai gambaran hawa dingin. Kami berhenti beberapa ratus meter dari tangga menuju ke puncak Bromo. Beberapa orang dengan sigap menawari kami untuk naik kuda. Karena terus terang aku ingin menikmati suasana begini aku memilih untuk berjalan kaki. Beberapa wanita tampak memilih naik kuda, cukup menyenangkan sebenarnya. Dari titik pemberhentian sampai ke depan tangga Bromo dan mengantar kembali mereka biasanya meminta harga 100ribu. Perjalanan ke puncak Bromo melewati pura yang tampak di kejauhan dari Bromo. Pura yang disebut dengan Pura Luhur Poten Bromo inilah yang menjadi pusat lokasi waktu acara Kasada yang biasanya diselenggaran pada hari ke-14 bulan Kasada dalam kalender masyarakat Hindu Tengger. Jelas saat ini aku tak bisa mengikutinya karena kemungkinan Kasada tahun ini jatuh pada bulan Agustus-September. 

Jalan menanjak menuju Kaldera
Cukup capek juga untuk bisa sampai di bawah tangga gunung, dari sini terdapat anak tangga naik menuju kaldera bromo, jumlahnya sekitar 250 anak tangga dengan bentuk yang curam. Perjalanan ke atas cukup menguras tenaga tapi bukankah itu bagian dari perjalanan? Sesampainya di atas, aku disuguhi pemandangan lubang kaldera yang tertutup asap putih yang keluar terus menerus. Di sisi lain sebuah bendera Malaysia sedang berkibar di pegang dua ibu-ibu gemuk yang rupanya bangga bisa sampai di atas Bromo. Perjalanan kembali, aku dan teman-teman mampir lagi ke  tempat ibu-ibu yang sedang menjajakan makanan. Sebungkus mie lagi-lagi bersemayam di perut kami. 

Acara turun semuanya bersepakat naik kuda, tentunya setelah acara tawar harga disepakati. Sepertinya harga 20ribu untuk turun dengan kuda cukup masuk akal. Wal hasil, hanya akulah satu-satunya yang berjalan kaki bolak-balik. Hehehe... lumayan hemat 20ribu. Lagian sayang kan kalau bisa naik jalan kaki masak turun gak kuat jalan kaki (pembenaran atau irit ya?.. )

Dari puncak Bromo, Jeep kembali meluncur menyusuri pasir mengantar kami ke track berikutnya, Pasir Berbisik. Ternyata lokasi lautan pasir yang sekarang dikenal dengan nama pasir berbisik ini berada di sebelah selatan Bromo. Lokasi ini terkenal dengan sebutan itu sesuai dengan film yang pernah dibuat berlatar Bromo dengan judul yang sama, Pasir Berbisik. Sesampai disana kami disuguhi view lautan pasir yang luas sekali, yang cocok untuk dibuat set film padang pasir. 

Kepulan debu dari Jeep di lautan pasir Bromo
Tak lama kemudian kami di antar ke track terakhir: Padang Savanna. Jika sebelum kami disuguhi pasir maka di padang Savannah ini kami disuguhi pemandangan hamparan rumput dan bunga-bunga khas daerah dingin yang sedang berbunga. Warna-warna putih bunga rumput, bunga kuning dan ungu tampak mendominasi pandangan termasuk beberapa perdu yang telah mati berwarna coklat.

Seharusnya sesuai dengan perhitungan, kami sudah harus menyelesaikan semua track sebelum jam setengah sepuluh agar bisa menuju ke satu lokasi lagi yang dari kemarin sudah diincar oleh Achlung, namanya air terjun Madakaripura. Tapi ternyata perhitungan kami meleset karena kami baru selesai dan mau kembali ke Cemoro Lawang jam 10 lewat. Saat kami kembali, cuaca yang semula cerah mulai tampak mendung. Kabut mulai turun pelahan sehingga jalan menjadi temaram.

Sesampainya di Wisma Yog kami kembali berunding apakah akan melanjutkan ke air terjun Madakaripura ataukah langsung kembali ke Probolinggo. Mas Suhan yang mau mengantar kami sebenarnya mengingatkan kondisi yang tidak tentu dari Madakaripura terutama jika cuaca sedang hujan dan berkabut terus menerus seperti ini. Selesai berkemas-kemas dengan semua barang, dengan Colt yang dikendarai mas Suhan kami meluncur turun. Kami sepakat jika cuaca seperti sekarang ini terus menerus kami akan langsung kembali ke Probolinggo, namun jika di percabangan arah Surabaya dan Probolinggo cuaca cerah kami akan melanjutkan ke lokasi Madakaripura.

Achlung dan Dinda di Pasir Berbisik
Ternyata sepanjang jalan cuaca makin pekat, tak lama kabut yang makin gelap berubah menjadi hujan sehingga nyaris aku hampir membatalkan perjalanan ini. Apalagi setelah melewati pasar Sukapura dan mendekati ke arah cabang pertigaan hujan masih juga turun walau kabut mulai berkurang. Namun ternyata di pertigaan cuaca justru cerah sehingga walau ada kemungkinan tak bisa sampai ke Madakaripura kami mencobanya. Dari percabangan, kami turun ke arah jalur ke Pasuruan/Surabaya. Kami turun terus ke bawah sampai bertemu papan petunjuk bertulis arah ke Madakaripura. Dari percabangan kendaraan kami masuk ke dalam sekitar empat kilometer ke dalam sampai bertemu di pintu masuk bertuliskan nama lokasi air terjun Madakaripura. Di depan tampak patung Gajah Mada sedang dalam posisi semedi. Menurut cerita, di bawah air terjun Madakaripura terdapat sebuah gua yang menjadi tempat pertapaan maha patih Gajah Maja. Sayang cuaca gerimis. Karena sudah merasa tanggung kami dengan menyewa jas hujan dengan ditemani guide tetap masuk ke dalam lokasi air terjun yang jaraknya sekitar satu kilometer ke dalam. Perjalanan ke dalam tidak mudah karena jalan setapak yang pernah dibangun telah banyak yang hancur diterpa banjir bandang yang kerap datang. Itu lah kenapa saat kondisi cuaca tidak bagus, lokasi air terjun ini sering kali ditutup untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan seperti kejadian beberapa hari lalu. 

Kalau aku hitung lebih dari delapan kali kami harus bolak balik menyeberangin sungai yang penuh batuan. Kadang-kadang kami berjalan di sisa jalan setapak yang masih bagus namun pada jalan yang telah hancur dan tidka menyisakan apapun mau tidak mau kami harus melintasi sungai kembali. Cukup melelahkan, sementara hujan gerimis terus membasahi jas hujan. Beberapa orang mulai menunjukkan keputusasaan karena rasanya sudah jauh berjalan namun tidak bertemu dengan air terjun yang dimaksud. Sampai kemudian kami melihat puncak dari air terjun yang begitu tinggi hingga semangat kami kembali. setelah melewati sungai terakhir yang agak dalam yang membuat celanaku basang sampai di atas lutut maka di tepi batu besar kami disambut air terjun kecil-kecil yang turun seperti gerimis. Ternyata untuk sampai ke air terjun kami harus melewati beberapa air terjun yang jatuh. Akhirnya kami sampai di depan air terjun Madakaripura. Kelelahan kami terbayar.... namun sayang kamera tetap harus diam tenang di dalam ransel, tempias air yang terbentur di tanah terlalu kuat apalagi dengan kondisi gerimis seperti ini. Pantas saja setiap orang yang telah sampai ke air terjun ini pasti pulang dengan kondisi basah kuyup. Sepertinya payung menjadi properti yang tidak boleh tidak harus dibawa jika ingin datang dan memotret disini, syukur-syukur jika kamera dan lensa yang dibawa berbodi tahan cuaca (weather seal) karena sepertinya tempias air yang halus rawan merusak kamera yang tidak didesain di kondisi seperti ini.



Sebelum pulang, kami mampir di satu-satunya warung yang buka tak jauh dari air terjun. Lagi-lagi mie rebus kembali kami santap, tapi sekarang tersedia gorengan yang baru selesai diangkat dari penggorengan. Madakaripura sepertinya harus aku kunjungi lagi lain waktu tentu dengan persiapan yang lebih matang.

Akhirnya kami kembali kembali untuk melanjutkan perjalanan ke Probolinggo. Rencana Achlung dan Dinda akan sehari menginap ke Malang sebelum kembali ke Jakarta. Sedangkan Sarah akan kembali ke Jakarta dengan penerbangan malam hari ini sehingga aku dan Sarah sepakat kembali ke Surabaya.

Ini adalah jejak pertamaku memulai petualangan ke tanah Jawa dengan catatan perjalanan yang melibatkan foto... semoga jejak pertama ini akan berlanjut ke jejak selanjutnya.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 05 Maret 2013

Ranamese, Rindu pada Hening

Di tepi danau Ranamese, tumbuhan air memenuhi bawah danau
Aku menulis ini bukan karena bosan jalan-jalan atau gak ada stok tempat tujuan lain lagi sehingga harus menulis yang sama.. itu lagi itu lagi... Tapi karena ada sesuatu hal yang membuat kegiatan jalan-jalan dan moto-moto terhenti. Tetapi karena kesibukan yang seharusnya gak perlu dibuat sibuk. Tak lain dan tak bukan karena harddisk-ku tewas. Sayangnya, kerusakan harddiskku terlambat aku sadari yang mengakibatkan seluruh file yang ada di dalamnya hilang tak terselamatkan... foto-foto dan video perjalanan juga data lainnya selama enam bulan terakhir raib lenyap. Jadi saat itu lebih disibukkan untuk mengembalikan data-data pekerjaan yang terus terang bisa menghabiskan banyak waktu untuk mengerjakan ulang. Ayo.. ayo.. yang ikut berduka bisa menyumbangkan uang duka ke rekeningku hahahaha...

Tapi ternyata foto-foto ini masih sempat aku olah walaupun hanya menyisakan ukuran layak tayang di website saja, itupun sayangnya juga tidak lengkap. Tapi daripada itu hilang lebih baik aku upload saja di sini, walau sebenarnya cerita di sini belum lengkap karena awalnya aku ingin sekalian menuliskan lokasi air terjun Watu Teber yang tidak jauh dari danau Ranamese.

Senja di pantai Cepi, Borong
Perjalanan ke Ranamese baru bisa terlaksana hari Sabtu padahal sudah hampir seminggu tinggal di Borong. Apalagi kalau bukan masalah hujan yang rajin mengguyur tanah Flores belakangan ini, masih untung tidak meninggalkan jejak banjir seperti di Jakarta. Rencana perjalanan ke Ranamese sebenarnya ada dua tujuan: pertama, memperkenalkan lokasi baru ke Putra yang baru pertama kali menginjakkan kaki di pulau ini, kedua ada rencana yang belum tuntas yaitu mengelilingi danau Ranamese.

Kami mematangkan rencana setelah melihat cuaca siang terang, memang mungkin sekali cuaca berubah sewaktu-waktu tapi ini adalah hari terakhir kami. Minggu rencana kami akan kembali bertugas ke kota lain.

Sekitar jam tiga lewat, kami bertiga, aku, Angga dan Putra diantar mobil kijang pak Victor kami ke pertigaan arah masuk ke pasar. Di sini banyak sekali mobil-mobil plat hitam yang beroperasi layaknya angkutan umum antar kota. Umumnya mobil-mobil sejenis Avansa dan paling banyak APV memiliki jalur tempuh pendek, Borong-Ruteng atau Borong-Bajawa. Kami naik sebuah APV hitam yang sedang kosong yang menawarkan jalur Borong-Ruteng. Tak menunggu lama, si sopir memutuskan langsung berangkat. Aku sempat heran karena biasanya hari Sabtu banyak yang pulang. Just info, Borong adalah kota dari Kabupaten Manggarai Timur yang baru terbentuk beberapa tahun lalu jadi suasananya masih seperti kampung di Jawa. Karena baru banyak pegawai yang sebagian mutasi dari kabupaten induk Manggarai masih tinggal di Ruteng. Jadi hari Sabtu adalah kesempatan untuk pulang dan menikmati Minggu di rumah. Namun rupanya sebagian pegawai sudah pulang hari Jum'at karena Sabtu ini adalah hari libur. Sopirnya ternyata orang Ruteng jadi sekalian sambil mengantar kami langsung kembali ke Ruteng.

Sebuah rakit dari kayu di tepi danau Ranamese
Setengah jam perjalanan yang terus menanjak akhirnya kami sampai di depan gerbang kantor bekas KSDA yang sudah kosong sekaligus pintu gerbang menuju ke danau Ranamese. Sopir APV minta uang seratus ribu waktu aku tanya biaya mengantar kami. Sebenarnya pak Victor sudah memberitahu kami kalau ongkos dari Borong sampai dengan Ruteng itu hanya dua puluh lima ribu, jadi kalau sampai Ranamese cukup lima belas ribu. Mengingat kami cuma bertiga yang naik jadi kami bayar saja seratus ribu, lebih murah dibanding kami menyewa sendiri mobil kesini. Walau pun mendung untung kabut tidak turun, padahal di Ranamese kabut mudah sekali turun jika sore menjelang apalagi jika sedang musim hujan begini. Untungnya di musim hujan begini, suhu justru menjadi tidak dingin. Aku bisa bandingkan saat kesini bulan Juli, walau tidak kabut namun suhunya benar-benar menggigit tulang.

Beberapa puluh meter masuk ke jalan setapak sampai kami di pinggir danau. Kami berputar menelusuri jalan tanah berbatu menuju ke bangunan seperti dermaga kecil. Putra dan Angga hanya sampai disitu saja sementara aku memutuskan untuk melanjutkan jalan mengitari danau.  Rumput-rumput telah mulai meninggi menutupi jalan setapak yang batunya terasa licin oleh air yang mengalir dari sela-sela tanah. Tapi rumput-rumput yang tinggi ini juga membantuku berpegangan karena beberapa titik jalan yang meninggi ada yang longsor. Sukses melewati longsoran tanah aku harus rela disambut pohon-pohon besar melintang yang kulit batangnya terasa basah berlumut ditanganku. Perjalanan seperti ini, aku seperti melewati jalan yang lama tak tersentuh. Sementara di kejauhan danau, beberapa orang yang sedang asyik memancing menimbulkan tanya, darimanakah mereka berjalan sampai kesana? Apakah ada jalan lain ataukah menggunakan rakit bambu/kayu itu untuk sampai kesana?

Sepuluh menit kemudian aku sampai di turunan, tampak sebuah rakit dari kayu bersusun yang digunakan orang untuk menyeberang bersandar di tepi tanah lapang berumput. Lumayan, aku bisa sedikit menarik napas di sini. Aku cukup dekat dengan seorang pemancing yang tampak duduk tenang di atas rakitnya. Kepulan asap sesekali tampak dari sela bibirnya saat dia menghembuskan asap rokok ke udara.

Tapi aku belum setengah jalan sehingga aku putuskan untuk kembali melanjutkan jalan. Kali ini memang lebih sulit. Jejak jalan tidak seterang sebelumnya yang walau telah longsor masih tampak. Kali ini rimbunan rumput dan batang-batang pohon yang rumbuh mendatar menutupi jalan. Beberapa kali aku harus mereka jalan yang ada. Tampaknya jalan yang ini benar-benar sudah lama tidak dilewati. Tanah basah bahkan telah berlumut, harus hati-hati jika tidak ingin terpeleset. Kali ini waktu terasa lebih lambat, beberapa menit aku berjalan tidak mendapatkan kemajuan berarti. Langit mulai gerimis kembali, saatnya aku memutuskan untuk kembali. Sepertinya aku harus melanjutkan jalan di lain waktu. Jam tangan sudah menunjukkan waktu lebih dari setengah lima. Saat kami bertiga kembali sampai di tempat kami berbelok pertama kali, aku baru menyadari setidak nya ada empat lintah telah sukses menghisap tubuhku. Yah lumayan untuk mereka yang mungkin telah lama tidak mendapatkan darah segar hehehehe.

Tiba-tiba dari balik jalan kecil lain muncul orang tua yang sedang memanggul joran pancing. Aku penasaran bertanya: "pulang mancing pak?" 
"Iya," sahutnya singkat sambil tersenyum
"Kalau mau ke sana itu," tunjukku ke arah dua orang yang masih mancing sesore ini, "untuk mancing bisa lewat jalan itu pak?" arah kepalaku menunjuk belakang jalan bapak tua.
"Iya, lewat sini bisa berputar sampai ke sana"
Oh, rupanya aku salah arah jalan, harusnya aku lewat jalan ini. Hahaha, lain kali aku harus mencoba lewat sini.

Acara hari ini kami akhiri dengan mampir di warung kopi persis setelah masuk gerbang menuju Ranamese. Penjual kopi ini adalah penjual kopi yang sama yang biasanya ada di jalan atas tepat di samping tembok yang dibangun untuk melihat danau Ranamese. Kata ibunya, mereka tidak diperbolehkan berjual di tempat itu lagi sehingga mereka pindah kesini. Lumayan lah jadi lebih dekat daripada sebelumnya harus naik ke atas lagi.

Segelas kopi panas dan semangkuk mi rebus segera terhidang nikmat terasa di saat hawa dingin begini. Kami sepertinya pengunjung terakhir karena ibu itu juga sudah mulai berkemas memberesi warungnya. Menurut informasi, bisanya jam terakhir ada kendaraan adalah jam setengah enam tapi bisa lebih awal kalau hari-hari sepi.

Wal hasil setengah jam menunggu di warung kopi ternyata belum ada satu kendaraan travel pun yang lewat. Akhirnya sambil menunggu kendaraan lewat, kami memutuskan sambil berjalan ke arah atas. Menunggu kendaraan travel menjadi acara yang agak bikin cemas karena sudah mulai lewat jam setengah enam masih juga belum nongol. Kami sedang bersiap-siap untuk naik kendaraan apa saja truk, pick up sekalipun yang arahnya ke Borong. Untung di menit terakhir sebuah APV putih lewat menawarkan tumpangan ke Borong. 


Kami bertiga menjadi penghuni terakhir APV yang membuat APV menjadi penuh sehingga cukup untuk menghitung keuntungan si sopir. Acara naik APV diiringi sedikit accident. Saat aku hendak memutuskan membuka sedikit kaca agar udara masuk, tiba-tiba seorang nona yang duduk di depan mobil muntah  di samping. Keruan saja muntahannya memenuhi kaca samping tempat aku duduk. Untung aku belum buka kaca, seandainya aku lebih dulu pasti ada acara orang muntah karena kena muntah.... hahahahaha.. 

Acara kembali ke Borong lebih murah, kami hanya diminta lima puluh ribu bertiga. Lumayan setengah harga dari perjalanan berangkat.

Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya