Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Minggu, 22 Mei 2011

Masih Banyak Asa di Ujung Mata

Baju yang lusuh, kaki-kakinya pun dipenuhi dengan tanah berkapur. Tapi kami bertiga tertawa riang saling bercanda di tepi danau kecil. Lebih tepat disebut rawa sebenarnya.
Semalaman hujan deras turun, dan pagi ini jalanan di beberapa ruas menuju kampung kami menjadi kubangan. Jalan terbaik yang pernah kami orang kampung banggakan 4 tahun yang lalu setelah ada pekerjaan perkerasan jalan dengan pemasangan batu-batu yang dilakukan oleh orang-orang tua kami. Sekarang jalan terbaik buat kerbau-kerbau kami.

Sekarang jalan ini seperti jalan untuk off-road kalau kata orang Jakarta. Seorang dokter perempuan yang pernah singgah sebentar ke kampung kami yang mengatakan begitu, kami memanggilnya dokter Ana. Ah, kata-katanya yang khas orang Jakarta begitu menarik kami untuk menirukan. Cantik sekali, sepertinya nanti kalau aku besar aku ingin menikah dengan perempuan seperti ibu Dokter itu. Ha ha ha, aku tahu siapa yang paling tertawa kencang jika Marthin bilang angan-angan begitu. Mulut Edo memang kurang ajar sekali, dia sering mengatai aku "hitam dadole' kariting" macam dia juga ada bersih macam kapur yang biasa mama makan sama pinang.
Kata dadole' entah kenapa masih sering membuat aku tersenyum geli apalagi kalau diucapkan spontan seperti saat ini misalnya. Istilah ini untuk menunjuk kata kotor yang kumuh/lusuh.
Aku tertawa mendengar candaan mereka, candaan khas anak laki-laki. Jika Franky yang bertubuh paling kecil ini lebih suka mendengar kedua temannya bercerita dan tergelak-gelak jika merasa lucu dengan tingkah mereka, maka Edo yang fisiknya seukuran dengan Marthin adalah tokoh antagonis dari Marthin yang memang kerjanya meledek dan mencemooh setiap cerita Marthin.
Akibatnya bisa diduga, pasti ada saja hal fisik yang terjadi antara mereka dalam bentuk canda tentunya. Dan bila ini terjadi pasti aku akan sering melihat ke Franky yang pasti tergelak-gelak sendirian menonton dua temannya saling kejar-kejaran atau saling lempar tanah/kerikil.

Walau Edo sering meneriaki Marthin suka omong kosong, tapi Marthin sepertinya tidak pernah sakit hati. Semangatnya bercerita tetap tinggi, kadang mata dan gerak tangannya yang berusaha meyakinkanku kalau ceritanya benar bikin yang lain ingin tertawa saja.
Kami bertiga bersekolah yang sama di SD negeri yang jauhnya sekitar 3 km dari sini atau sekitar 5 km kalau dihitung dari rumah kami. Kadang kami bawa jerigen air ke sekolah jadi sepulang kami bisa mampir di danau ini untuk ambil air.
Jangan bayangkan 3 km seperti jarak sesungguhnya, mereka menyebut kilometer seperti menyebut seberapa jauh kaki bisa melangkah. Bisa jadi 3 km menurut kami lebih jauh dari jarak sesungguhnya, tapi kami sudah terbiasa menyebutnya begitu.
Disini banyak air tapi kami tidak bisa membangun sumur karena tanahnya terlalu banyak batu. Kata dokter Ana, disini bukan tanah yang berbatu tapi batu yang bertanah.
Aku tersenyum jika dia mulai mengucapkan dokter Ana, rautnya seperti orang yang baru berdoa memohon Tuhan agar dokter itu kembali kesini. Edo seperti terkena sihir yang sama jika Marthin mulai mengucapkan kata dokter Ana, tentu saja sepanjang Marthin tidak mengumbar mimpi lagi seperti tadi.

Ah, kakak belum bertemu dia. Andai saja bertemu dia, pasti kakak akan jatuh cinta. Bahkan kalau punya tunangan pasti kakak bisa melupakannya.
Kalimat Marthin diucapkan berapi-api dengan mata agak mendelik saat aku mencoba meragukan kalau dokter Ana secantik seperti kata mereka. Kalau sudah seperti ini, jangan lihat Edo saat dia mulai menggumam: "Ah, cantiknya dokter Ana".. pasti kalian ingin tertawa melihat Edo seperti pujangga kehabisan kata dan melihat mata polosnya seolah menerawang jauh ke tempat dokter Ana sekarang.
Sambil bercerita Marthin membuka kaleng minuman yang aku sodorkan. Kulihat Edo dan Franky sudah lebih dulu minum, rasa soda yang mengelitik kerongkongan mereka seperti membuat mereka mengerenyit. "Ah, sedap", aku tersenyum saat Edo dengan gaya koboy bersandar disebatang pohon putih mengusap minuman yang meleleh di lehernya mengucapkan kata itu.
Nanti sebentar lagi kami akan ke hutan di depan mencari kayu bakar. Kami bawa ranting kayu apa saja, lebih sering kami bawa kayu ampupu atau liuboko karena itu pohon yang paling banyak di hutan ini, tapi hanya mengambil kayu-kayu yang kecil saja. Kecuali kalau kayu-kayu yang roboh karena hujan atau angin yang kencang yang bisa terjadi disini, maka kami bisa mendapatkan kayu-kayu yang lebih besar.
Kami harus sudah pulang sebelum matahari hilang, karena kalau malam disini masih gelap. Di dusun kami tidak semua rumah memiliki listrik. Rumah-rumah yang memiliki penerangan listrik itu dari berasal dari bantuan tenaga surya dulu dari program pemerintah. Tapi sayangnya sekarang sudah banyak yang rusak, dan kami tidak tahu bagaimana memperbaikinya.
Marthin menunjuk si tubuh kecil Franky yang rumahnya sudah tidak memakai listrik lagi. Franky tertawa lebar mengiyakan tapi tak ada raut beban dengan kondisinya toh ada listrik atau tidak mereka masih bisa melihat televisi dari tetangga. Bukan tetangga rumah tapi tetangga kampung yang jaraknya mungkin 10 km dari kampung kami

Yah, kami juga kadang pulang lebih larut kalau sudah keasyikan melihat televisi. Tapi itu biasanya berani kami lakukan kalau kami tahu bulan ada terang, jadi kalau kembali pulang tidak terlalu gelap, timpal si Franky.
Sambil mendengarkan cerita Marthin, Franky mengambil sebuah batang kayu kecil dan mengorek-korek lumpur-lumpur yang mengering di kakinya. Rasanya asyik melihat dia mencongkel-congkel lumpur besar yang telah kering seperti menggaruk luka yang sudah kering sambil matanya sesekali melihat Marthin yang tetap berceloteh penuh semangat.
Melihat Franky bukannya mencuci kaki malah mengorek-korek seperti itu tiba-tiba timbul keisengan Marthin. Dengan kuat, didorongnya Franky ke danau. Kontan saja si Franky terlontar ke danau, tapi dengan sigap tangan Franky menyaut baju Marthin.
Terdengarlah bunyi byur keras saat dua tubuh anak ini tercebur ke danau. Edo tertawa kencang melihat adegan itu.

Air danau ini cukup dingin, tapi udara yang cukup dingin disini membuat air ini tidak terasa dingin di tanganku. Ajakan Marthin, Franky dan Edo untuk ikut berenang disini tidak kuiyakan. Ah, mereka anak alam yang tentu kuat bertahan dengan air sedingin itu disini. Tapi aku yang terlalu lama dengan udara kota tentu harus berpikir berulang kali kalau ikut berenang bersama mereka.
Ah, dunia anak-anak di kampung. Tidak ada di mata mereka kesulitan hidup, semuanya seperti harus terjalani semestinya. Aku masih banyak menangkap asa di mata mereka, seperti asa yang kuat di mata mereka mendengar nama dokter Ana.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 17 Mei 2011

Re-visit: Oenesu dan Oehala

Tiga tingkat air terjun Oehala yang terletak sekitar 15 km dari kota Soe.

Kunjungan kembali, itulah yang kujalani. Belakangan ini jadi setengah guide yang kerjanya menemani temen-temen yang mau jalan ke tempat-tempat wisata tapi belum pernah sebelumnya.
Kali ini cerita kunjungan kembali-nya di dua tempat lama tapi sudah ada perbaikan fasilitas. Kedua tempat ini adalah air terjun di daratan Timor tapi di tempat dengan ketinggian yang berbeda: air terjun Oenesu yang terletak di dataran rendah (Kabupaten Kupang) dan air terjun Oehala yang terletak di dataran tinggi (Kabupaten Timor Tengah Selatan).


Air Terjun Oenesu


Suasana air terjun Oenesu dari bagian bawah (tingkat keempat)
 Beberapa waktu ini aku baru saja mendengar kabar tentang meninggalnya seorang anak SMA di air terjun ini. Agak terlambat mendengar berita ini karena pada waktu kejadian ini sedang ada penugasan di luar kota. Jika ingin membaca lebih lengkap cerita dan kronologis kejadian ini bisa berkunjung ke tempointeraktif.com atau di beberapa media lain.
Terus terang kejadian ini mau tidak mau akan mempengaruhi kunjungan ke tempat wisata air terjun satu-satunya di Kupang ini. Padahal pada saat ini air terjun Oenesu debit airnya lebih besar dan lebih jernih sehingga beberapa daerah yang dulu kering sekarang terkena luapan airnya.
Foto-foto di air terjun ini aku ambil sebelum ada kejadian di atas mungkin hanya berselang satu minggu sebelum ada kejadian naas itu. Rencana untuk foto model dengan konsep yang sudah dirancang jauh hari sebelumnya sekalian melakukan kunjungan kembali untuk melihat kondisi air terjun belakangan ini. Karena memang biasanya di musim-musim begini debit air terjun meningkat sehingga lebih enak dinikmati walau kadang sering naiknya debit air mengakibatkan air yang mengalir menjadi keruh.


Desi berpose di air terjun Oenesu
 Untungnya justru saat datang, debit air justru meningkat lebih besar dibanding tahun-tahun sebelumnya dan tidak keruh. Sepertinya ada upaya pendalaman dan pembersihan di bagian atas dari sumber air terjun ini.
Lokasinya pun sudah banyak mengalami perbaikan, tempat parkir tersedia, rumah-rumah lopo dibangun, toilet pun juga sudah tersedia walaupun tampaknya petugas di sini belum bertugas optimal dan hanya bertugas kadang-kadang pada hari libur/kunjungan saja.
Dengan kondisi sekarang, tempat ini jauh lebih layak dikunjungi dibanding beberapa tahun lalu. Walaupun sebagian besar penikmat wisata air terjun ini sebagian besar warga lokal karena memang untuk wilayah-wilayah Timur Indonesia, wisata yang bisa mengundang wisatawan asing adalah wisata bahari dan wisata budaya.


Air Terjun Oehala


Dua teman duduk di atas batu di tingkat ketiga air terjun Oehala
 Re-visiting ke tempat ini diantara kesibukan tugas di tempat ini. Kondisi kabupaten Timor Tengah Selatan yang beribukota di SoE pada bulan-bulan begini memang kurang bersahabat bagi orang yang biasa tinggal di daerah panas. Sepanjang bulan Mei sampai dengan Juli hawa di kota ini begitu menusuk tulang, di samping karena berada di dataran tinggi juga karena pengaruh angin Australia yang sekarang sedang musim dingin.
Kabut tebal dan basah nyaris menjadi pemandangan sehari-hari. Kebetulan aku dan rekan kerja kesini menggunakan sepeda motor karena berharap lebih praktis dan mudah kalo mau kemana-mana dibanding kalau membawa mobil. Walhasil, begitu sampai di hotel, aku harus merasakan persediaan tangan ngilu semua gara-gara dipertengahan jalan kabut basah turun. Masih untung hari itu tidak ada hujan turun.
Perjalanan kembali ke air terjun Oehala kali ini aku lakukan bersama dua teman lain yang kebetulan belum pernah kesana sebelumnya. Rencana awal beberapa orang namun karena berbenturan jadwal sehingga hanya kita bertiga yang bisa kesana.
Perjalanan awalnya agak setengah hati karena menjelang keberangkatan tiba-tiba kabut basah turun. Akibat setengah hati ini pula makanya tripod yang sudah aku persiapkan malah tertinggal. Suhu udara turun drastis, tapi dengan pertimbangan sedikit tanpa akal sehat alias berharap kebetulan maka perjalanan dengan menggunakan dua motor kami lanjutkan.


View air terjun Oehala dari sisi seberang (view lopo untuk istirahat)
 Untungnya sampai disana justru cuaca membaik. Kabut tidak ada sama sekali di lokasi ini, padahal aku berharap ada kabut tipis disini.
Lokasi ini ternyata juga sudah dilakukan renovasi walaupun masih sebatas pemberian pagar pembatas di beberapa lokasi yang rawan orang tergelincir dan penambahan lopo-lopo untuk orang beristirahat. Kamar kecil juga telah disediakan walaupun belum pernah dicoba.
Air terjun Oehala masih bening seperti biasanya namun yang agak mengherankan debit airnya jauh berkurang padahal biasanya pada bulan-bulan begini debit air masih tinggi.
Yang juga mengherankan airnya tidak terasa dingin di kaki kami, entah memang airnya yang berubah ataukah memang cuacanya yang dingin sehingga air menjadi tidak terasa dingin.
Oehala juga masih sama, selalu sepi begitu menjelang senja entah kenapa padahal di luar bulan-bulan berkabut seperti ini mengambil gambar air terjun Oehala agak sulit karena sinar matahari yang masih menerobos ke air sehingga foto air jadi kurang pas. Hanya pada bulan begini kita aman untuk mengambil foto-foto disini karena sinar matahari nyaris tidak mampu memamerkan panasnya api miliknya.


Dua air terjun ini seperti menggambarkan bahwa daratan Timor bukanlah tanah gersang yang dipenuhi batu karang dan keberadaan air yang langka.

Jika anda mengunjungi ibukota provinsi Nusa Tenggara Timur, mungkin bisa sekali waktu mengunjungi air terjun Oenesu. Tempat yang bisa membilas aroma matahari yang teriknya serasa membakar ubun-ubun.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 03 Mei 2011

Penfui: Menikmati Romantisme ala Kupang



Sepuluh tahun tinggal di Kupang, aku merasakan banyak perubahan dari ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur ini. Kota yang panas, yang jika sedang dalam puncak teriknya terasa membakar kepala. Selain itu Kupang juga dikenal sebagai kota karang, karena memang sebagian daratannya banyak terdiri dari karang yang makin menambah panas kota Kupang. 


Mungkin baru disini, aku mengenal namanya sekolah diliburkan antara beberapa hari sampai 2 minggu saat cuaca panas sedang di puncak-puncaknya. Mirip di luar negeri saja, ada liburan musim panas :)

Jika mendekati puncak musim panas maka wajah Kupang jika diperhatikan dari jendela pesawat tampak menghitam dan coklat karena disana sini yang terlihat adalah batu karang dan sisa-sisa rumput yang telah mengering. Bahkan asap dari pembakaran dapat mudah ditemui di tengah hari karena sisa-sisa ilalang yang terbakar ataupun dibakar oleh masyarakat. Sebagian besar pohon-pohon di Kupang pun tinggal ranting karena pohon endemik yang tumbuh di Kupang memang pohon-pohon yang akan meranggas di musim kering untuk mengurangi penguapan.

Tapi suasana akan terasa kontras di musim hujan. Tiba-tiba saja seperti sebuah paduan suara yang sangat kompak, rumput-rumput segera memenuhi tanah-tanah di seluruh penjuru Kupang. Hijau seperti menutupi setiap jengkal tanah di Kupang, kadang jadi lupa panasnya Kupang.

Dan disaat seperti ini, ada satu tempat yang beberapa tahun lalu menarik perhatianku.
Bermula dari ketertarikanku pada pohon Gamal (latin:
Gliricidia sepium) yang bunganya suka muncul saat mendekati musim kering. Bunga pohon Gamal ini bunganya mirip bunga Sakura yang tumbuh bukan di pucuk pohon tapi di batang pohon. Jika masih muda, tanaman yang masuk tumbuhan perdu dari kerabat polong-polongan ini bunganya di batang banyak memenuhi seluruh batang.

Di daerah sekitar bundaran Penfui arah menuju bandara ternyata banyak tumbuh pohon ini. Namun sayang karena umurnya yang sudah tua sehingga jumlah bunganya sudah jauh lebih sedikit. Namun yang menarik di daerah ini bukan bunganya  tapi pepohonan yang berdiri disepanjang jalan yang membentuk kanopi hidup.

Dengan bentuk yang seperti ini, jalan di sini seperti membentangkan romantisme bagi pasangan yang berjalan-jalan disini.
Walaupun ada upaya pemerintah memulai gerakan penanaman untuk penghijauan kota Kupang, namun rasanya ruas jalan ini akan tetap punya kenangan tersendiri bagi insan-insan muda ataupun tua yang pernah menikmati suasana di sini.

Beberapa fotografer juga ada yang menggunakan lokasi ini untuk pemotretan, mungkin karena terinspirasi suasana romantis tempat ini.
Makanya permintaan teman yang ingin difoto prewedding tidak aku sia-siakan, kebetulan mereka maunya konsep sederhana pas banget sama suasana romantis yang terbangun di tempat ini


Keterangan: selain foto prewedding bebas didownload dan diupload
sepanjang mencantumkan sumber penulisan, khusus foto prewedding untuk upload di tempat lain harap meminta ijin pasangan yang bersangkutan
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 06 Maret 2011

Keong Emas Taman Mini Indonesia Indah - True love monument


Mau nonton film yang nyaman? Disini tempatnya.Theater Imax Keong Emas Taman Mini Indonesia Indah.

Kalau dulu orang tuaku mengajak aku kesini, sekarang giliranku mengajak para keponakan juga teman-teman dari Australia, Ukraina dan Korea berkunjung kemari. Well, this is my turn :)


Theater Imax Keong Emas ini dibangun atas prakarsa Ibu Tien Soeharto.Bangunan yang berbentuk cangkang keong mengambil inspirasi dari cerita-cerita panji yang berkembang pada jaman kerajaan Jenggala dan Kediri. 
Dikisahkan Panji Asmara Bangun terpisah dengan kekasihnya Galuh Candra Kirana oleh kekuatan jahat yang berusaha menculik dengan merubah Galuh Candra Kirana menjadi keong emas.Namun kekuatan cinta jualah yang akhirnya mempertemukan mereka kembali. Anyway, true love will finds the way.

Saat ini sedang diputar film Indonesia Indah, Journey to Mecca dan Africa the Serengeti. Penonton dapat menikmati film layar lebar dengan ukuran 21,5 x 29,3 meter yang diklaim sebagai World's largest screens. Dilengkapi suara sonik/Soundsystem Sonics yang dapat dioperasikan dengan 2 system (Maghnatech dan Digital CD).Benar-benar memanjakan mata dan telinga.Puas!




foto dan teks : Arum Mangkudisastro.
Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 02 Maret 2011

Saat Hijau Menyiram Bumi

Terus terang menuliskan suatu tempat yang kita kunjungi bukanlah hal yang gampang bagiku. Aku tidak bisa begitu saja menuliskan sebelum memperoleh secara lengkap persyaratan utama sebuah tulisan aku naikkan ke blog ini: (a) ada cukup foto-foto yang mewakili keberadaannya (b) ada informasi yang nyambung dengan lokasi, ini yang kadang-kadang sulit seperti tulisan tentang Waewini dan Legenda Sebuah Kampung yang Hilang yang meskipun mendapatkan bahan cerita tapi harus melengkapi nilai filosofis dan reason yang dapat diterima, (c) ada suasana batin yang mewakili sehingga saat orang mencapai lokasi ini dapat merasakan apa yang ada di foto.



Akhirnya kadang tulisan gak naik tampil hanya kadang-kadang faktor tertentu yang mungkin gak lebih dari 10%, karena yang sedikit itu kadang bisa membuat berantakan yang 90%-nya.
Seperti tulisan Menikmati Sawah dan Perbukitan merupakan tulisan yang masih ada di 90% yang aku paksa naik karena seperti wartawan aku pun dikejar target (pribadi) untuk bisa menulis minimal 1 tulisan tiap bulan. Padahal seharusnya di tulisan itu aku bisa lebih mengeksplore dangau-dangau dan gua-gua buatan jepang tapi rasanya kalau itu menjadi pelengkap maka Nagekeo gak pernah bisa aku tuliskan. Toh sampai saat ini aku juga belum bisa mengambil foto seperti itu (pembelaan ceritanya)


Tulisan ini adalah pelengkap tulisan Nagekeo yang sebenarnya sampai saat ini pun masih belum bisa dilengkapi. Belum lengkap karena rasanya aku belum mendapatkan daerah-daerah yang menarik yang biasanya justru kurang tereksplore karena sulitnya medan atau justru karena kurang diperhatikan.
Foto-foto ini terekam dari perjalanan selama dua minggu di Kabupaten Nagekeo. Cuaca sebenarnya kurang bagus, maklum bulan-bulan begini hampir tiap hari mendung enggan beranjak. Sekali-kalinya cerah juga tak selalu bisa diharapkan karena kadang cuaca berubah sedemikian cepat.

Rerumputan di arah jalan ke Maukaro
Seperti pernah saya rekam di tulisan sebelumnya, Nagekeo memiliki hamparan persawahan yang luas yang menjadikannya salah satu daerah penyangga pangan di Nusa Tenggara Timur. Nagekeo pun memiliki kawasan perbukitan yang banyak berupa padang savannah tapi dengan kontur yang kadang-kadang cukup terjal. Nah, sebenarnya mulai bulan-bulan Januari sampai saat-saat seperti ini perbukitan savannah di Nagekeo mulai tumbuh rumput yang bentuknya berjajar seperti ditanam karena tumbuh di sela-sela tanah keras berbatu.
Jika ditanya view apa yang menarik di Nagekeo, salah satunya adalah menikmati senja di atas perbukitan savannah. Kadang jika kita beruntung, puluhan bahkan ratusan ternak kambing atau sapi melintas pulang. Angin berdesau yang meniup rumput-rumput hijau yang meninggi, sementara di langit senja membentuk gradasi warna yang tak pernah bisa diperkirakan dan memang seharusnya tidak perlu diperkirakan.
Lenguhan-lenguhan sapi dan embikan kambing serta bunyi serangga pengiring malam seperti simponi senja menjelang malam. Burung-burung seperti burung walet, sri-gunting atau beberapa spesies lain mencuit melintas menuju sarang. Kadang pula bunyi tokek bisa terdengar begitu nyaring di kejauhan.
Jangan pedulikan bunyi raungan motor atau mobil yang kadang terdengar begitu mengganggu, mereka mahluk-mahluk yang jarang menampakkan suaranya di atas padang-padang ini walaupun sekalinya melintas membuyarkan semua suara yang ada.
Ada kalanya aku merutuk mendengar si mesin bising itu dan berharap di tempat dan waktu seperti ini mahluk-mahluk seperti itu ditidurkan sejenak. Biarlah ada rotasi suasana tapi siapa bisa memaksakan teknologi.

Senja di ambil dari belakang rujab Bupati
 Dari arah mulai masuk Nagekeo, mata sudah disuguhi deretan perbukitan savannah yang terhampar hijau. Dan deretan perbukitan hijau sendiri bukan hanya di arah masuk Nagekeo. Perjalanan yang pernah kulakukan menuju ke Maukaro juga banyak melintasi perbukitan savannah. Bahkan dari perbukitan di kawasan Maukaro ini langsung bisa dilihat laut.
Sedikit pemandangan berbeda aku temui saat kita melakukan perjalanan menuju ke Riung. Riung adalah tempat wisata 17 pulau yang masih masuk kabupaten Ngada namun memang lebih dekat ke Riung melalui jalur Nagekeo daripada dari Bajawa (ibukota Ngada).
Perjalanan ke Riung dengan kondisi sekarang aku tempuh sekitar dua jam, itu pun lebih karena faktor kondisi jalan yang tergolong rusak berat. Kira-kira separuh jalan dari Mbay menuju ke perbatasan Nagekeo-Ngada kondisinya cukup memprihatinkan, ruas-ruas jalan banyak ditemui lubang seperti kubangan kerbau. Perjalanan menuju sisi laut utara Flores ini juga banyak ditemui kawasan perbukitan savannah tapi entah kenapa banyak yang rumputnya belum cukup tinggi, besar dugaan di daerah ini karena dekat dengan laut jadi curah hujan kurang dibanding perbukitan di jalan masuk menuju Nagekeo.
Namun ada sebuah perbukitan yang dari jauh bentuk terjal dan unik dan setelah kita sampai di bawahnya juga memiliki pemandangan yang cukup unik. Menurut informasi, perbukitan ini ada di daerah Beke. Jika dibukit-bukit sebelah jalan banyak tumbuh padang savannah maka di bagian landai bukit ini di beberapa spot tumbuh tanaman liat berbunga kuning yang tumbuh di sepanjang mata memandang. Aku sendiri kurang tahu persis tumbuhan ini, namun karena tumbuh merata bukit ini jadi tampak istimewa.

Bunga-bunga kuning di perbukitan Beke (perbatasan Riung-Nagekeo)

Lala eh Kadek in action....... (parental guidance)
Aku tidak tahu persis apa nama tempat dan bukit ini selain bahwa daerah Beke, namun karena warna hijau dan kuning yang begitu dominan serta bentuk yang begitu menarik maka kami sepakati menyebut bukit ini dengan dengan bukit Teletubbies hehehe... Kami berangkat berempat persis dengan jumlah Teletubbies sehingga tiba-tiba kami saling menjuluki sesuai umur kami, jika aku menjadi Twingkie-Wingki karena aku yang paling tua, berarti si Nyoman menjadi Gipsie, Sukoco rela menjadi Poo dan Kadek harus mau dipanggil Lala.
Ah.. hahahaha.... rasanya jadi aneh tapi menyenangkan juga. Setelah berpenat diri berhari-hari bisa melepaskan diri dan bercanda tanpa beban pikiran membuat pikiran menjadi segar.
Membiarkan alam masa kecil bermain, berfoto gila-gilaan... dan berimajinasi seolah-olah seorang Sun Go Kong ada di balik bukit ini dan berlatih menjadi kera yang paling sakti, atau tiba-tiba ingin memahat bukit-bukti ini menjadi wajah-wajah kita....
Ah, ternyata memang setiap pria menyimpan jiwa anak-anak dan di saat tertentu akan muncul kembali.
Bagaimana Riung sendiri? Ah, ternyata aku masih di angka 80% ... entah perjalanan ke berapa bisa menjadi 100%....
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 27 Februari 2011

Waewini: Legenda Sebuah Kampung Yang Hilang


Nenek Wini Tange, begitulah nama perempuan tua itu. Penduduk biasa memanggilnya nene' Wini tapi beberapa perempuan lebih suka menyebutnya nene' Tange. Nenek Wini sama seperti penduduk kampungnya yang hampir seluruh hidupnya mengandalkan dari usaha berkebun dan bertani. Nene Wini juga memiliki beberapa ekor ternak peninggalan suaminya seperti ayam, babi dan kambing. 

Seperti halnya rumah-rumah di kampung ini yang berbentuk panggung, kandang ternak-ternaknya ada di bawah lantai rumah. Selain untuk kandang ternak, bagian bawah rumah juga digunakan untuk menyimpan kayu bakar dan peralatan-peralatan berkebun.

Mencari kayu bakar di hutan adalah kegiatan lain yang juga umum dilakukan penduduk kampung, demikian juga nenek Wini apalagi setelah suami yang dicintainya meninggalkannya sendiri.  Suaminya meninggalkannya saat umur nenek Wini belum tua dan hanya meninggalkan seorang anak perempuan. Karena ditinggal mati suaminya dalam umur yang belum tua, beberapa lelaki mencoba mendekatinya untuk menjadikannya istri. Namun kecintaannya pada suaminya tak pernah luntur di hati nenek Wini hingga ia memutuskan untuk tetap menjanda dan mengurus sendiri anak perempuan semata wayangnya. Hingga suatu ketika anak perempuannya menikah dan mengikuti suaminya, maka tinggallah nenek Winni sendiri di gubuknya.

Sepeninggal suaminya, nenek Wini mencurahkan kasih sayangnya pada seekor babi yang juga menjadi kesayangan suaminya. Kecintaannya pada sang babi karena nenek Wini percaya bahwa ruh suaminya tetap menjaga melalui babi yang dipeliharanya ini.

Namun ada seorang penduduk kampung yang mendendam kepada nenek Wini karena merasa keinginannya untuk memperistri nenek Wini dulu tidak kesampaian. Rupanya rasa malunya tidak tertanggungkan karena sebagai orang yang tergolong kaya di kampung ini rasanya pamali jika tidak bisa mengambil wanita yang disukainya. Hingga suatu hari saat nenek Wini pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar, datanglah beberapa penduduk kampung suruhan orang yang memendam kebencian kepada nenek Wini dan mengambil babi nenek Wini. Orang ini merasa karena babi nenek Wini-lah yang menyebabkan nenek Wini rela menjanda dan justru mengasihi babinya serta menolak untuk dia peristri.
Setelah menangkap dan mengambil babi nenek, laki-laki ini memutuskan membunuh babi ini dan dia sengaja membagi-bagikan daging babi ini ke seluruh penduduk kampung.

Singkat kata, saat senja nenek Wini pulang dan mendapati di kandang babinya tidak ada lagi babi kesayangannya. Dengan kaki tuanya nenek Wini mencoba bertanya ke tetangganya, namun tidak ada satupun penduduk kampung yang bisa memberitahukannya. Sebenarnya waktu kedatangan nenek Wini yang mencari tahu babinya yang hilang muncul syak wasangka bahwa daging pemberian yang mereka terima adalah babi nenek Wini namun karena mereka tidak berani memberitahu karena mereka terlanjur telah memasak dan memakannya.

Takut jika babi kesayangannya hilang membuat nenek Wini tetap mencari tahu kesana-kemari ke hutan dan penduduk sekitar namun semua menggelengkan kepala dan tidak ikut membantu mencarinya karena merasa bersalah telah ikut memakan daging babi nenek Wini.

Hingga menjelang tengah malam nenek Wini sampai di ujung rumah nenek Kawena yang merupakan temannya. Dan nenek Kawena bercerita bahwa dia kedatangan salah satu laki-laki yang memberikannya daging babi yang dari laki-laki yang dia tahu memiliki kebencian dengan nenek Wini. Karena merasa sesuatu, nenek Kawena menolak pemberian daging itu. Dengan menahan perasaan yang tak karuan nenek Wini pergi menuju ke rumah lelaki yang dulu pernah memintanya menjadi istri selepas ditinggal suaminya.

Namun seperti diduga, lelaki itu menolak kedatangan nenek Wini dan bahkan dengan kasar mengusirnya. Nenek Wini pergi ke belakang pekarangan rumah lelaki itu dan menemukan tulang-tulang yang dengan perasaan kuat hatinya dia bisa merasakan bahwa tulang-tulang itu adalah dari babi kesayangannya.
Dengan hati remuk redam dan cucuran air mata kesedihan nenek Wini membawa tulang-tulang itu ke gubuknya dan menguburkannya di samping rumahnya.

Setelah peristiwa itu nenek Wini menghilang menyepi ke tempat sepi karena rasa hatinya yang gundah gulana. Dalam penyepiannya itulah nenek Wini kedatangan seorang marapu yang menanyakan keberadaannya. Setelah diceritakan kesedihannya itu akhirnya sang marapu menyanggupi untuk membalaskan rasa sakit hatinya. Maka berpesanlah sang Marapu: "Besok sebelum matahari keluar dari peraduannya, keluarlah kamu dari kampungmu. Bawalah bekal sekedarnya dan ingatlah, sekali engkau meninggalkan kampung ini jangan sekali-kali menoleh ke belakang apapun yang terjadi."
Nenek Wini kembali ke kampungnya dan dalam perjalanan dia ingat akan keberadaan nenek Kawena, maka didatangilah nenek Kawena dan diceritakanlah pertemuaannya dengan seorang marapu. Nenek Wini mengajak nenek Kawena untuk ikut dengannya. 

Akhirnya. pagi-pagi buta nenek Wini telah siap dengan bekalnya dan menuju ke nenek Kawena agar bersama-sama pergi meninggalkan kampung ini. Namun ternyata nenek Kawena salah memasak bekal, ternyata waktu sampai di rumah nenek Kawena bakal bekal berupa ubi hutan yang sangat keras belumlah masak. 

Matahari hampir muncul saat bekal itu selesai dan mereka buru-buru berjalan meninggalkan kampung mereka. Baru beberapa waktu mereka berjalan, sang surya mulai menampakkan cahaya paginya dan bersamaan dengan itu terdengarlah suara gemuruh dari arah belakang mereka. Karena getaran dan suara yang sedemikian keras tanpa sadar nenek Kawena menoleh ke belakang untuk mencari tahu apa yang terjadi. Maka pada saat itu berubahlah nenek Kawena menjadi sebuah batu. Menyadari hal itu betapa sedih hati nenek Wini namun dengan berat hati tetap dilangkahkan kakinya menjauh dari kampungnya.
Maka kampung nenek Wini tenggelam ke dalam tanah dan menjadi sebuah danau, dan sebuah batu berdiri menjulang di atas tanah yang agak tinggi, itulah yang disebut sebagai batu Kawena.



Demikian tutur yang aku dapatkan dari perjalananku ke sebuah danau Waewini. Sebuah danau yang berair payau yang tidak berada jauh dari pantai. Uniknya danau ini bukannya berasal dari sungai namun demikian air di danau ini tidak pernah kering.
Danau yang walau berair agak payau namun bening ini dikelilingi pepohonan besar yang membuat suasana di danau ini terasa rindang. Danau ini juga digunakan penduduk sekitar untuk diambil airnya bagi keperluan rumah tangga sehari-hari.
Ternak seperti sapi, kerbau atau kuda juga sering kemari untuk minum atau kadang dimandikan pemiliknya di danau ini.
Saya mohon maaf jika ada perbedaan cerita dari kisah ini, karena namanya legenda tentu dapat berbeda antara satu penutur dengan penutur lainnya. Tapi dari balik cerita ini kita bisa menemukan bahwa di banyak tempat kita bisa menggali kekayaan cerita yang dapat memperkaya batin kita.

Jika anda singgah di kabupaten Sumba Barat Daya, anda dapat menyinggahinya karena lokasi danau ini tidak jauh dari kota hanya memang kondisi jalannya masih buruk.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya