Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Rabu, 24 Februari 2010

Jajanan Tradisional: Kue Rangi dan Uli Bakar

Mau mencicipi jajanan tradional tidak harus jauh-jauh pergi keluar rumah. Setiap hari lewat penjual panganan di daerah tempat tinggalku, daerah Menteng Atas Setiabudi. Kebetulan pagi ini aku membeli Kue Rangi dan Uli Bakar.



Kue Rangi


Kue Rangi ini makanan khas Betawi seperti halnya Kue Kerak Telor. Kue ini bentuknya seperti kue Pancong atau Bandros.
Kue Rangi dibuat dengan bahan adonan tepung sagu/tapioca dan irisan kelapa kemudian dipanggang. Di atasnya dilumuri campuran sagu/tapioka dan gula merah.

Cara membuat (diambil dari sumber lain):
Bahan:
1/2 butir kelapa setengah tua, kupas, parut

100 g ampas kelapa
100 g tepung sagu aren
1/4 sdt garam
250 g gula merah, parut


Cara membuat :
Campur kelapa parut, ampas kelapa, tepung sagu, dan garam. Aduk hingga rata.
Panaskan wajan kecil, diameter 12 cm di atas api.
Taruh 1-2 sdm di dalamnya sambil ratakan hingga tipis. Masak hingga kering dan matang.
Taburi permukaannya dengan gula merah. Lipat dua. Angkat dan sajikan.


Bahan :Uli bakar
Makanan khas Betawi ini juga nikmat disantap.

Panganan berbahan dasar beras ketan yang dihaluskan/ditumbuk dengan parutan kelapa kemudian dibakar.Dimakan dengan parutan kelapa yang digongseng (seperti serundeng).
Cara pembuatannya sebagai berikut(berdasarkan sumber lain):

Bahan

300 ml santan (1 kelapa)
1 sendok teh garam
1 lembar daun pandan
200 gram beras ketan, direndam 1 jam
100 gram kelapa muda parut
Cara membuatnya:
  1. Kukus beras ketan selama 10 menit. Sementara itu panaskan santan, garam dan daun pandan. Masukkan beras ketan ke dalam santan. Aduk hingga santan mengering.
  2. Kukus sampai matang. Campur ketan dan kelapa parut. Haluskan campuran ketan dan masukkan ke loyang yang dialas daun pisang.
  3. Setelah dingin, potong-potong lalu panggang uli. Sajikan dengan sambal oncom

Teks & foto oleh: Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 23 Januari 2010

Sunyaragi - Hiding place

Situs Sunyaragi adalah salah satu obyek wisata budaya yang ada di daerah Cirebon. Letaknya di kelurahan Sunyaragi, Kesambi. Tidak jauh dari jalan raya Brigjend. Dharsono.

Sunyaragi atau Taman Sari Sunyaragi dibangun sekitar abad ke-17. Tepatnya tahun 1703 Masehi oleh Pangeran Kararangen atau Pangeran Arya Carbon. Namun dari sumber lain menyebutkan Sunyaragi dibangun tahun 1529 yang merupakan perluasan dari Kraton Pakungwati atau juga dikenal dengan nama Kraton Kasepuhan.

Sunyaragi, berasal dari kata "Sunya" yang berarti sunyi dan "Ragi" yang berarti raga. Mensunyikan raga atau mengosongkan raga sebagai aktivitas dalam olah semedi/meditasi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

Bangunan Sunyaragi didominasi dengan batu kali pada dinding-dindingnya dan batu bata merah untuk gapuranya meniru candi Bentar. Sebagaimana layaknya taman sari, situs tersebut dipenuhi dengan kolam beserta pancurannya dan dihiasi dengan patung-patung dan relief-relief pada dindingnya. Uniknya patung dan relief tersebut disusun dari batu kali yang ditumpuk meniru bentuk garuda dan gajah.


Peninggalan yang dapat kita temui di komplek Taman Sari Sunyaragi:

  1. Goa Peteng (Goa Gelap).
  2. Goa Pande Kemasan.Tempat pembuatan dan penyimpanan senjata.
  3. Goa Pawon.Tempat perbekalan dan makanan para prajurit.
  4. Goa Pengawal. Tempat pengawal berjaga.
  5. Bangsal Jinem, merupakan tempat Sultan menerima para bawahan untuk bermufakat.
  6. Goa Padang Ati (hati terang). Tempat Sultan bersemedi.
  7. Mande Beling.Biasa digunakan keluarga Sultan untuk beristirahat. Konon bila kita beristirahat di tempat tersebut akan berbesanan dengan keluarga Sultan. Anda berminat?
Pada komplek Taman Sari Sunyaragi telah dibangun pula tempat pertunjukan/pementasan seni untuk menarik minat wisatawan berkunjung.Sayangnya terkesan tak terurus.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 24 Desember 2009

Pantai Mbuu: Scenery Ende Ada Disini

Pantai Mbuu, Ende

Sudah beberapa kali saya ke Ende, bahkan kalo sekedar lewat untuk perjalanan ke kota lain di Flores bisa dibilang sangat sering. Ende seperti menjadi pintu untuk melakukan perjalanan ke kota lain khususnya ke arah barat Flores seperti ke ke kota Mbay, Bajawa atau mau ke Ruteng. Karena untuk daratan Flores, hanya bandara di Maumere dan Ende yang ada penerbangan tiap harinya.

Meskipun begitu, pantai Mbuu yang sebenarnya dekat dari Ende baru beberapa bulan yang lalu sempat saya kunjungi. Memang bagi sebagian orang Ende sendiri, pantai Mbuu sendiri bisa dibilang tidak ada yang begitu istimewa. Disana justru yang tiap hari ramai adalah kegiatan penambangan batu dan pasir. Bayangkan! kegiatan penambangan di area yang ditulis di depan gerbang masuknya Tempat Wisata Pantai Mbuu, hah!!


Pantai Mbuu ini masih berada di kota Ende, anda bahkan bisa melihat pantai Mbuu dari jendela pesawat saat pesawat landing maupun take off. Dari pesawat anda akan melihat hulu sungai yang membelah dengan beberapa kubangan rawa/danau.


Awal tiba di tempat ini tidak terlalu tertarik juga, namun naluri seorang pejalan yang menyukai segala medan membuat saya terus menelusuri setiap lekuk tempat ini.


Tapi begitu saya mau bersusah payah menuruni sungai yang membelah tempat ini, ternyata saya menemukan scenery yang indah. Scenery yang sederhana antara aliran air, pohon, batuan dan perbukitan yang begitu menjulang di mata. Semuanya seperti mozaik yang dipatrikan pada tempat-tempat yang semestinya. Aliran sungai yang membelah ternyata menciptakan kubangan-kubangan yang ditumbuhi rumput-rumput tinggi, kubangan air tawar yang bersebelahan dengan air laut.


Jika mau sedikit bersusah payah menyeberangi sungainya niscaya mata akan dibawa pada scenery alam yang begitu cantik, beberapa kubangan rawa/danau bahkan sangat cocok sebagai lokasi untuk berfoto-foto.

Sayang, ada kegiatan penambangan pasir dan batu di sini. Sebagai tempat. yang telah dinyatakan sebagai lokasi wisata, seharusnya ada kehati-hatian dalam memberikan ijin lokasi penambangan.

Saya rasa kalau tempat ini terus ditambang, tak lama lagi air laut akan memasuki kubangan-kubangan rawa di sekeliling tempat itu, dan hasilnya rumput-rumput yang memiliki warna tersendiri itu akan menjadi mati.
Beberapa waktu lalu saya berkenalan dengan seseorang yang datang dari Jakarta. Namanya ibu Liliana, traveller yang saya kenal secara tidak sengaja karena kebetulan sama-sama menginap di hotel Satarmese. Hotel sederhana dengan jumlah terbatas namun pelayanannya yang nyaman menjadi salah satu hotel favorit saya kalo di Ende. Ibu Liliana yang spesial datang untuk berburu foto ini ternyata kebingungan saat tiba di NTT karena tidak mendapatkan informasi tempat mana yang bagus. Beberapa orang setempat yang menunjukkan tempat yang mereka anggap bagus ternyata kurang menarik minatnya. Kesamaan hobi ini yang akhirnya mengantarkan saya menemaninya di waktu yang sempit untuk menikmati pantai Mbuu. Terus terang saya belum tau bagaimana pendapatnya dengan tempat ini karena selama di pantai Mbuu saya pun sibuk dengan aktivitas yang tergolong pendek ini.


Seandainya saya punya cukup waktu tentu saya tidak berkeberatan menemani ibu Liliana untuk menjelajahi alam Flores yang menurut saya cukup eksotis. Mungkin hanya kendala biaya yang cukup besar karena lokasi antar obyek wisata yang cukup jauh.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 26 Februari 2009

Kampung Megalit Bena

Kampung Megalit BenaKampung Bena, adalah salah satu perkampungan megalit(ikum) yang terletak di Kabupaten Ngada. Tepatnya di Desa Tiwuriwu, Kecamatan Aimere, sekitar 19 km selatan Bajawa.

Kampung yang terletak di puncak bukit dengan view gunung Inerie. Keberadaannya di bawah gunung merupakan ciri khas masyarakat lama pemuja gunung sebagai tempat para dewa. Menurut penduduk kampung ini, mereka meyakini keberadaan Yeta, dewa yang bersinggasana di gunung ini yang melindungi kampung mereka.

Kampung ini saat ini terdiri kurang lebih 40 buah rumah yang saling mengelilingi. Badan kampung tumbuh memanjang, dari utara ke selatan. Pintu masuk kampung hanya dari utara. Sementara ujung lainnya di bagian selatan sudah merupakan puncak sekaligus tepi tebing terjal.

Oh ya, karena sudah masuk dalam daerah tujuan wisata Kabupaten Ngada jadi kalau masuk ke sana jangan lupa isi dulu buku tamu. Syukur-syukur dilihat dulu. Ternyata kampung ini menjadi langganan tetap wisatawan dari Jerman dan Italia.

Ditengah-tengah kampung atau lapangan terdapat beberapa bangunan yang mereka menyebutnya bhaga dan ngadhu. Bangunan bhaga bentuknya mirip pondok kecil (tanpa penghuni). Sementara ngadhu berupa bangunan bertiang tunggal dan beratap serat ijuk hingga bentuknya mirip pondok peneduh. Tiang ngadhu biasa dari jenis kayu khusus dan keras karena sekaligus berfungsi sebagai tiang gantungan hewan kurban ketika pesta adat.

Kampung Megalit Bena
Salah satu acara adat tahunan yang digelar di kampung megalit ini adalah Rebha. (kenapa pakai h karena mereka menyebut ba dengan tekanan yang kuat).

Reba merupakan suatu prosesi adat dimana semua anggota keluarga berkumpul dalam sebuah rumah adat ( Sa’o ) dan melakukan syukuran atas apa yang telah diperoleh selama setahun dan memohon keberhasilan ditahun yang akan datang. Prosesi ini merupakan wujud syukur kepada Tuhan dan sekaligus sebagai ritual untuk menghormati nenek moyang, dan semua yang mengikuti ritual ini diwajibkan untuk memakai pakaian adat.

Selain sisi tradisional yang tampak dari kampung bena terdapat pula seni tata letak rumah adat ( Sa’o ) yang tampak seperti susunan anak tangga yang menambah keindahan kampung bena. Masyarakat kampung bena khususnya kaum wanita, memiliki keahlian untuk membuat kerajinan tenun ikat dengan corak yang berbeda.

Nah, tenun ikat ini salah satu cendera mata yang dapat dibeli di kampung ini.


Catatan tambahan (dari beberapa sumber):
Penduduk Bena termasuk ke dalam suku Bajawa. Mayoritas penduduk Bena adalah penganut agama katolik. Umumnya penduduk Bena, pria dan wanita, bermata pencaharian sebagai peladang. Untuk kaum wanita masih ditambah dengan bertenun.

Pada awalnya hanya ada satu klan di kampung ini yaitu klan Bena. Perkawinan dengan suku lain melahirkan klan-klan baru yang sekarang ini membentuk keseluruhan penduduk kampung Bena. Hal ini bisa terjadi karena penduduk Bena menganut sistem kekerabatan matriarkat.

Batu Megalit Kampung Bena
Pada saat klan baru akan terbentuk maka berlangsunglah suatu upacara yang diakhiri dengan pendirian ngadhu, berbentuk seperti payung (simbol pihak keluarga laki-laki) dan bagha, berbentuk seperti rumah (simbol keluarga perempuan).

Rumah keluarga pria menjadi sakalobo, sementara rumah keluarga wanita menjadi sakapu'u, keduanya menjadi rumah pokok klan baru tersebut. Sepasang rumah pokok itu menggambarkan prinsip hidup penduduk setempat bahwa di dunia ini manusia hidup berpasangan pria dan wanita. Secara umum prinsip ini juga dapat dibaca dari perletakan rumah di Bena yang berhadapan satu sama lain mengelilingi sebuah lapangan terbuka di tengah desa.

Karena ada sembilan klan di kampung ini maka terdapat sembilan pasang Ngadu dan Bagha. Pada dasarnya masyarakat Bena (sejak dahulu) sudah menganggap bahwa gunung, batu, hewan-hewan (anjing, babi, dll) harus dihormati sebagai makhluk hidup. Seperti Gunung Surulaki yang dianggap sebagai hak bapa, dan Gunung Inerie sebagai hak mama.



(tulisan ini berdasarkan pengalaman sendiri dan beberapa tulisan dan artikel di internet yang terkait)
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 27 Oktober 2008

Oenesu: Panorama Sejuk di Tengah Teriknya Kupang

Menyebut Oenesu bagi orang Kupang berarti sebuah tempat yang menawarkan suasana untuk bersantai dengan udara yang segar. Sebagai salah satu dari sedikit air terjun yang ada di Kupang, tempat wisata air terjun Oenesu menjadi salah satu pemberhentian sejenak bagi warga Kupang yang ingin mereguk segarnya hawa yang ditawarkan tempat yang masih asri ini.

Perhatikan saja, pada hari Sabtu atau Minggu biasanya rombongan muda-mudi atau keluarga banyak yang mendatangi tempat ini jauh dibanding hari-hari lainnya. Air terjun ini berjarak kurang lebih 17 km dari Kota Kupang dan jalan menuju tempat ini bisa dibilang cukup baik. Aku sendiri tidak mengalami masalah sama sekali menggunakan kendaraan sedan menuju ke tempat ini. Memang sempat muncul kekhawatiran terutama saat melewati jembatan kayu di pertangahan jalan masuk untuk sampai ke lokasi ini.

Justru yang belum mendapatkan perhatian yang cukup dari pengelola tempat ini adalah kondisi jalan dan penataan di lokasi wisata ini. Jalan yang masih berupa jalan tanah berbatu-batu serta tidak adanya tempat parkir kadang membuat tempat ini tampak semrawut dengan mobil dan motor yang diparkir semaunya (update: fasilitas telah diperbaiki oleh pemerintah daerah).

Begitu sampai di lokasi maka anda akan disambut dengan genangan air yang merupakan bagian atas air terjun. Debit air terjun ini cukup stabil, pada musim kering sekalipun debit air masih lumayan dapat dinikmati. Foto-foto di atas diambil pada bulan Oktober, masuk bulan-bulan yang kering dan panas yang menyengat.

Debit pada musim hujan tentu akan lebih besar, mungkin bisa dua kali lipat di banding musim panas. Pada saat itu jika kita tepat di bawah air terjun suara deru air terjun seakan menenggelamkan suara kita sendiri. Jangan heran kalau kita sering mendengar teriakan-teriakan dan suara tertawa yang cukup dari pengunjung yang menikmati air terjun ini.
>br /> Sampai di lokasi, ada dua jalur yang dapat dipakai untuk turun menikmati air terjun ini. Sebelah kiri lokasi terdapat jalan menurun yang cukup terjal yang akan membawa anda ke sebuah jembatan jauh di bawah air terjun utama. Dari jembatan yang masih baru ini (saat tulisan ini dibuat), anda bisa melihat beberapa tingkat air terjun.

Jalur lain dapat anda coba melalui jembatan kayu. Jembatan ini sebenarnya cukup membahayakan terutama untuk anak-anak karena kayu tidak terpasang menutup semua ruasnya. Jika tidak hati-hati anda dapat terperosok. Jaga anak-anak anda sewaktu melewati jembatan ini. Setelah itu anda harus menuruni anak tangga yang lagi-lagi curam, itupun kondisi anak tangganya tidak rata. Ini juga saya ingatkan kembali pada anda untuk berhati-hati.

Membawa bekal waktu saat turun ke bawah sangat disarankan karena naik turun untuk mengambil makanan ke atas sangat melelahkan. Namun sesampai di bawah, pemandangan air terjun seakan membilas rasa penat anda. Jangan takut batuan di tempat ini tidak licin, karena airnya yang mengandung kapur cukup tinggi (ciri khas air di Kupang) maka batu jadi terasa kesat. Suasana yang rindang karena banyak pohon-pohon besar tumbuh di sekitar air terjun. Ini masih ditambah dengan suitan-suitan burung yang sering terdengar nyaring dari balik pepohonan. Anda bisa langsung memilih berendam di salah satu anakan air terjun atau memilih menelusuri ke bawah. Gerak tarian air terjun membentuk alur-alur yang unik, hati-hati karena beberapa cekungan tingkat air ini ada yang dalam.

Andapun bisa sekedar membentangkan tikar dan bermalas-malasan menikmati sejuknya hawa serta deru suara air terjun. Keriangan suara pengunjung seakan mengajak anda ikut riang.

Sayang sarana lain sangat minim di tempat ini. Tempat sampah yang harusnya tersedia menjadi barang langka kalau tidak saya sebut tidak ada sama sekali sehingga tak heran pengunjung membuang sampah semaunya. Toilet dan kamar ganti juga tidak tersedia, anda harus ke rumah pemilik warung satu-satunya yang ada di tempat ini untuk sekedar buang air. Tempat makan atau tempat bersantai juga minim. Memang disediakan beberapa lopo namun jumlah tempat makan yang sedikit akan menyulitkan orang yang tidak ingin repot-repot saat berwisata.

Semua potensi ini seharusnya bisa mendorong pemerintah untuk memberikan perhatian lebih pengembangan wisata di lokasi ini. Penataan dan pemeliharaan tempat ini dengan melibatkan partisipasi masyarakat akan dapat memberikan andil dalam menyumbang PAD pemerintah Kupang, tentu saja bila hal ini diseriusi.

Beberapa situs yang juga menulis tentang tempat wisata ini:
1. Harian Sinar Harapan: Mengintip Air Terjun Oenesu dan Pantai Lasiana
2. Portal CBN: Sejuk Dan Segarnya Oenesu
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 23 Oktober 2008

Air Terjun Oehala (Oehala Waterfall)



Terletak tidak jauh dari kota SoE, air terjun yang berada di desa Oehala ini menawarkan suasana yang rindang dan sejuk, cukup menyenangkan untuk melepas penat dan menikmati kesegaran alam yang masih asri. Dinginnya air yang mengalir di air terjun dan view yang sungguh indah dari air terjun ini jadi tampak kontras dari udara pulau Timor yang terkenal panas, terutama pada bulan Oktober seperti ini.


Desa Oehala, desa di mana air terjun berada berada sekitar 13 km dari kota SoE (10 km dari dari jalan utama plus 3 km masuk ke dalam). Sebagai salah satu andalan wisata Kabupaten Timor Tengah Selatan, air terjun Oehala termasuk belum memperoleh perhatian yang memadai dari pemerintah setempat. Jalan menuju ke sana termasuk agak sulit dilewati kendaraan pribadi, beberapa ruas jalan yang ruas ditambah jalan masuk ke dalam yang aspalnya sudah banyak berlubang menambah lama perjalanan.

Tapi tenang saja begitu kaki kita sampai di sana, mata kita akan disambut panorama air terjun yang cukup menawan baik untuk sekedar mandi, untuk dipandangi dan jangan lupa juga untuk diabadikan. Untuk itu jangan lupa membawa kamera jika anda ke air terjun Oehala.
Begitu sampai di tempat wisata, aku disambut dengan tangga dari semen menurun sekitar 40 anak tangga dengan jarak yang pendek-pendek. Begitu anak tangga itu habis maka sebuah aliran air yang jernih mengalir di batu yang berwana putih dengan aksen hijau (bukan lumut) menyapa....

Dari sini aku bisa melihat tangga yang terus menurun, juga beberapa tingkat air terjun langsung menyergap mata. Setidaknya terdapat 7 tingkat besar air terjun, itu tidak termasuk beberapa anakan kecil.
Undakan-undakan air terjun ini memberikan keunikan tersendiri seolah-olah meminta kita memilih tingkat yang paling menggoda kita untuk berendam.
Beberapa lopo juga telah dibangun untuk sarana kita beristirahat, meskipun pada saat itu yang aku lihat lopo-lopo sudah tidak beratap lagi. Teruslah turun ke bawah karena beberapa tingkat air terjun masih menunggu mata kita melahapnya.
Begitu kaki dicelupkan ke air, segarnya air seolah mengisi energi kita, sunguh segar. Rasanya tidak lengkap kalau kita tidak merendam badan kita. Aliran air di air terjun Oehala cukup deras, mungkin beberapa kita bisa menggunakan untuk terapi pijat air (hayo siapa yang mau mulai...)

Bagi yang menyukai foto, sebaiknya menunggu diatas jam 16.00. Saat itu waktu terbaik untuk mendapatkan panorama tanpa terganggu teriknya matahari yang menerobos dedaunan yang cukup rindang. Siapkan tripod atau bolehlah handheld jika tangan kita kuat, karena rindangnya dedaunan pasti akan membuat kamera kita agak lambat shutterspeednya.


Nah, waktu kembali ini yang jadi masalah. Tangga yang curam seolah-olah menyedot habis semua energi kita sehingga begitu sampai di atas kita merasa capek. Untuk itulah kita butuh bekal makanan waktu di bawah, karena tak ada penjual makanan sama sekali di sini.
Air kalau lupa tidak masalah, minum saja dari air terjun ha.. ha.. ha..


OK, sampai di sini seri wisata Soe. Silakan ditunggu journey beriktunya. Thanks buat temen-temen yang udah pernah nemeni aku disini biar pun sudah sore: Nur Aziz, Angga Saputra dan Arif "Papat" Fauzi
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya