Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label wisata sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label wisata sejarah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 17 November 2021

Titik Nol Anyer

Penampakan mercusuar yang putih menjulang

"Kita mulai dari nol ya!" teringat jargon iklan mbak SPBU yang dulu sempat populer di TV saat ada ajakan ke Anyer. Jargon itu membuatku ingin ke titik nol Pulau Jawa. 

Anyer yang berada di wilayah Banten memang tempat wisata favorit masyarakat Jakarta selain Puncak Bogor karena jarak tempuhnya relatif dekat hanya sekitar 3-4 jam dari Jakarta. Well, Let's go!

Berangkat dari Jakarta, menjelang siang aku sudah tiba di Mercusuar Anyer. Dari gerbang masuk sudah terlihat menara  yang masih kokoh berdiri. Bangunan bercat putih tinggi menjulang. Aku langsung berjalan menuju ke mercusuar, berharap dapat naik ke atasnya. Di atas pintu menara terdapat tulisan tahun mercusuar ini dibangun. Sayangnya, pintunya masih tertutup sehingga aku tidak bisa masuk ke dalam. 

Tugu dari sisa menara yang pernah hancur dihempas tsunami

Mercusuar Cikoneng atau yang lebih dikenal sebagai mercusuar Anyer merupakan tempat Titik Nol Anyer berada. Lokasi tepatnya di Kampung Bojong, Desa Cikoneng, Kabupaten Anyer, Provinsi Banten. Awal berdirinya Mercusuar Cikoneng tahun 1806. Lebih awal dari pada saat jalan Anyer - Panarukan yang baru dikerjakan tahun 1825. Ketika Gunung Krakatau
meletus pada tahun 1883, mercusuar ini ikut hancur terhantam gelombang tsunami yang menyertainya. Sisa-sisa reruntuhan bangunan mercusuar hanya berjarak beberapa meter dari lokasi mercusuar pengganti yang baru. Mercusuar pengganti ini pun dibangun kembali tahun 1885 dan diresmikan oleh ZM Willem III Raja Belanda.

Foto tahun 2008 dibandingkan dengan saat ini

Aku sebenarnya agak kecewa karena tidak bisa masuk ke dalam menara mercusuar. Ya sudahlah, untuk mengobati kecewaku aku memilih mencari makan saja. Sebenarnya saat ini, belum ada warung atau kafe yang buka untuk menjual makanan. Jadi harus membawa sendiri atau membeli makanan dari luar. Tetapi aku 
sempat melihat penjual bakso menggunakan gerobak masuk ke sini.

Disekitar lokasi ada fasilitas gazebo dan teras yang bisa digunakan pengunjung untuk sekedar duduk, atau makan sambil menikmati pemandangan laut. Dari salah satu gazebo tempat aku makan, terlihat sekitar 7 atau 8 orang perempuan sedang asik mengambil foto di spot tulisan Titik Nol. Sekarang banyak tempat wisata ditambahi tulisan-tulisan berwarna-warni untuk penanda lokasi seklaigus biar lebih kekinian. 

Selesai makan, aku juga ingin berfoto di tulisan Titik Nol itu, tetapi sayangnya mereka masih sibuk berlama-lamat di spot itu. Dari dari cara berpakaian dan logat bicara yang aku perhatikan, aku menduga kalau mereka dari pengunjung yang berasal luar Pulau Jawa. Sambil menunggu giliran untuk bisa berfoto di lokasi itu, aku memotret reruntuhan mercusuar. Kelar motret, aku coba melihat ke arah spot Titik Nol. Ternyata mereka masih berfoto di spot yang sama.  Busyet! Setelah lama menunggu sampai purnama berganti 3 kali akhirnya aku dan rombonganku bisa ganti berfoto di spot wajib ini.

Terakhir kali aku mengunjungi mercusuar ini tahun 2008 bersama anggota komunitas Indonesia Backpacker (IBP) dimana waktu itu kami menginap di Wihara Avalokitesvara kota Banten Lama. Setelah sekian lama, tahun 2021 ini aku kembali mengunjunginya kembali. Sayang sekali akibat vandalisme yang terjadi membuat mercusuar ini sejak tahun 2014 tertutup bagi umum. Dulu kita bisa memasuki mercusuar ini menaiki tangga yang melingkar menuju atas tempat lampu mercusuar berada dan melihat pemandangan sekitar dari puncak mercusuar. 

Menara setinggi 75,5 meter terdiri dari 18 tingkat yang dihubungkan dengan 286 anak tangga. Pada puncak terdapat lampu yang berfungsi sebagai penunjuk arah bagi kapal-kapal yang melintasi perairan. Ruangan pada menara semakin keatas semakin sempit.

Pada bagian puncak mercusuar kita bisa menyaksikan beragam pemandangan. Dimulai dari Lautan lepas, Jalan Raya Anyer hingga perbukitan yang hijau. 

Foto dan Tulisan: Arum Mangkudisastro
http://befreetour.com/id?reff=X3KRF

Baca keseluruhan artikel...

Senin, 21 Desember 2020

Kala Senja Kalamata


Seorang bapak berbaju putih sedang menyapu halaman dengan sapu lidi. Daun-daun kering yang jatuh dari pohon berserakan di halaman rumput juga di sepanjang paving block jalan setapak.
"Pak loket tiket masuk dimana?" Tanyaku.
"Silahkan langsung masuk, Isi buku tamu saja!" Jawabnya.
Aku segera menuju komplek Benteng. Di ujung jalan setapak seorang pria memakai topi coklat, berbaju biru sibuk memotret sekeliling benteng. Wah keduluan, gumamku. 

Yowes aku langsung masuk ke dalam benteng motret-motret juga. Hhmm aku agak bingung memotret sudutnya karena dari segi arsitektur benteng ini berbentuk segi empat yang tidak beraturan (triangulasi) dengan 4 sudut yang ujungnya meruncing dan memiliki ceruk bidik (embrasure) di masing-masing bastion. Ketebalan dinding benteng 60 centimeter dan tingginya 3 meter. Dindingnya tersusun dari batu andesit dan batu karang yang direkatkan dengan memakai Kalero, sejenis kapur yang dihasilkan dari pembakaran batu karang. Kapur tersebut dicampur dengan pasir dan air rendaman kulit pohon Lubiri. 

Aku memanjat dinding benteng untuk melihat lebih jelas sekelilingnya. Benar juga Benteng ini berbentuk penyu kalau dilihat dari atas dan sekilas mirip benteng yang ada di Pulau Bandaneira. Dua bastion yang menjorok ke laut untuk menghalau serangan laut dari kapal musuh. Sementara dua bastion yang lain untuk menghadang serangan dari darat. Ujung bastion yang didarat ini lebih tinggi daripada yang menjorok laut jadi pemandangannya lebih jelas. Pulau Maitara dan Pulau Tidore terlihat sebagai latar belakang yang menawan. Suasana disini tidak seramai Benteng Tolukko, aku jadi lebih tenang memotret. Tidak lupa foto-foto narsis di sini. Mumpung background cakep hehehe. 

Ternate Pulau kecil yang dipenuhi benteng. Pulau ini di masa lalu sebagai pusat rempah-rempah yang menjadi incaran bangsa Eropa. Benteng Kalamata adalah benteng ketiga yang aku kunjungi. Berlokasi di Kayu Merah, Ternate Selatan, Kota Ternate, Maluku Utara. 

Benteng Kalamata dikenal juga sebagai Benteng Kayu Merah karena terletak di daerah Kayu Merah. Benteng ini pertama kali dibangun oleh bangsa Portugis bernama Fransisco Serao atas gagasan Antonio Pigafeta tahun 1540 dan diberi nama Benteng Santa Lucia. Keinginan Portugis meluaskan kekuasaannya dan monopoli perdagangan mengalami benturan dengan Sultan Baabullah. Pada tahun 1575 Portugis berhasil diusir dari Ternate. Keadaan tersebut dimanfaatkan Spanyol, Benteng Santa Lucia dikuasai dan dijadikan sebagai pos perdagangan dan pos pertahanan. 

Namun itu tidak berlangsung lama, pada tanggal 29 April 1798 Benteng berhasil direbut Kaicil Nuku, Sultan Tidore ke-19 dibantu armada Inggris. Kaicil Nuku dikhianati Inggris sehingga benteng itu berhasil dikuasai dari tahun 1801 sampai tahun 1810 saat Belanda mengambil alih. Belanda mengganti namanya dari Santa Lucia menjadi Kalamata, mengambil nama dari Kaicil Kalamata seorang Pangeran Ternate, kakak Sultan Mandarsyah dan paman dari Sultan Kaicil Sibori Amsterdam. Kaicil Kalamata disebutkan dalam sejarah mengabdi pada Sultan Hasanuddin di Kerajaan Gowa. 


 

Perlahan matahari mulai condong ke barat dan aku harus pergi meninggalkan senja di Kalamata. 

Well, wherever you go becomes a part of you somehow - Anita Desai. 

Foto/tulisan : Arum Mangkudisastro
http://befreetour.com/id?reff=X3KRF

Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 01 April 2020

Memecah Keheningan Candi Sumberawan

Kicauan burung bersahutan saat aku menapaki jalan setapak menuju candi. Barisan pohon pinus masih lebat tersisa di sini. Setelah meniti jembatan yang melintang di atas sebuah kali kecil tibalah aku di gerbang Candi. Bau harum bunga melati tercium sama ketika aku memasuki gerbangnya. Aneh aku tidak melihat Bunga Melati ataupun dupa disini. Jadi wangi ini dari mana asalnya?


Aku melewati pos pengurus candi yang ada di dalam komplek Candi ini. Dari sini terlihat tumpukan batu-batu dan stupa Candi di kejauhan. Batu reruntuhan candi yang satu tertumpuk dan yang lain tersusun seperti tempat semedi/meditasi berikut cupu untuk dupa.

Sesosok pria memakai jaket berwarna merah dan putih menancapkan dupa di sebuah cupu. Seketika aroma dupa menebar aura mistik. Dia duduk bersilang kaki dengan kedua telapak tangan, ujung jari jempol dan jari telunjuk saling bersentuhan, dan jemari yang lain saling merangkai. Matanya terpejam. Gerakan menghirup udara dari hidung dan melepaskannya perlahan kurang lebih lima belas menit untuk mengheningkan cipta. Tenang dan damai terpancar dari wajahnya. Suasana Candi di pagi hari yang sepi menambah kekhusyukannya.

Agar tidak menggangu meditasinya aku bergegas naik ke stupa Candi. Stupanya mirip dengan stupa tertinggi Borobudur. Stupa polos tanpa relief pahatan pada dinding candi melambangkan "suwung", kosong, hening, puncak dari semedi/meditasi. Memang candi ini biasa digunakan untuk bertapa semedi. Sayang bagian ujung stupanya tidak ada. Mungkin hilang atau telah lapuk dimakan usia.

Di seberang stupa ada sebuah sendhang atau kolam yang mata airnya keluar dari dalam tanah. Pohon-pohon yang rindang dengan dahan ranting yang bergelayutan mengelilingi sendhang itu. Menambah kesan wingit area ini.


Ada sudut yang menarik perhatianku. Seperti ada tarikan energi dibalik pagar tembok itu. Benar saja ternyata ada sumber air yang disucikan di tempat ini. Ketika aku mau masuk, seekor kupu-kupu putih terbang mengitariku. Mungkinkah ucapan selamat datang dari makhluk kecil itu?

Mata air jernih yang menyembul dari sela-sela batu membuatku ingin membasuh wajah dan mencicipi airnya. Tak lupa sebelum menyentuh atau mengambil airnya kita berdoa dan meminta ijin pada Yang Maha Kuasa.


Konon Candi Sumberawan adalah petilasan dan tempat moksa Mpu Purwa, ayah dari Ratu Ken Dedes dari Kerajaan Tumapel/Singosari. Moksa adalah meleburnya raga dan roh kepada elemen alam semesta untuk bersatu dengan pemilik hidup, Tuhan Yang Maha Esa.



Candi Sumberawan ini berlokasi di Desa Toyomarto  Kecamatan Singosari, Malang, Jawa Timur. Diperkirakan dibangun pada masa Kerajaan Singosari oleh Raja Kertanegara. Kemudian dipugar oleh Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit yang datang berziarah, sebagaimana disebutkan dalam Negarakertagama 1359 M. Dalam Negarakertagama disebutkan tempat yang bernama "Kasuranggan"  yang berarti taman tempat para dewi/bidadari. Hhhmm pantas aku mencium semerbak bunga melati ketika masuk gerbang candi, ternyata itu wangi dari para bidadari. Baik Raja Kertanegara dan Raja Hayam Wuruk adalah keturunan Ratu Ken Dedes yang juga keturunan Mpu Purwa.

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 17 Desember 2019

Piknik Tipis-tipis Kebun Raya Bogor

Kebun Raya Bogor
"Eh itu Eri!" sambil tanganku menunjukkan kepada kakakku yang berjalan keluar stasiun. Aku baru saja tiba di Stasiun Bogor setelah naik kereta commuter line yang menempuh waktu perjalanan kurang lebih sejam dari Stasiun Tebet, Jakarta Selatan. Stasiun Bogor sebagai meeting point kami sebelum beranjak ke Kebun Raya Bogor. Demi mempersingkat waktu kami tidak naik angkutan umum karena jalannya hanya satu arah. Daripada kendaraannya memutar lebih jauh lebih baik kami berjalan kaki ke Kebun Raya Bogor.
Berawal dari iklan promo epic sale dari sebuah online travel agent dan juga provokasi temanku, akhirnya tergoda mengambil promo diskon hotel di Bogor.


Kebun Raya Bogor Kebun Raya Bogor
Aku dapat promo hotel di daerah Jl. Pajajaran. Kebetulan daerah tersebut dikenal sebagai pusat kuliner. Dari situlah aku berpikir untuk piknik ke kebun raya. Aku memang sengaja memilih Bogor yang tidak jauh dari Jakarta untuk berpiknik akhir pekan di samping murah meriah pastinya. Hemat beib!



Kebun Raya Bogor
Gedung megah dengan relief Ganesha dan patung singa di kanan-kiri pintu masuk sebagai tempat aku membeli tiket seharga Rp.15.000. Dari situ aku berjalan belok kanan, lanjut belok kiri terus lurus. Sampai di pertigaan jalan, bila kita terus lurus akan ada Bunga Bangkai, Amorphophilus Titanium, maskot Kebun Raya Bogor. Tidak jauh dari Bunga Bangkai juga ada makam Keramat seorang permaisuri Kerajaan Pajajaran, Ratu Galuh Mangku Alam Prabu Siliwangi. Disebrang makam ada Jembatan Merah yang bernuansa mistis. Konon kalau ada sepasang kekasih melewati jembatan itu, hubungan mereka akan putus.

Kebun Raya BogorDari pertigaan aku memilih belok kanan melewati jembatan warna putih yang menuju taman yang luas. Tidak jauh dari Kafe yang berdiri ditengah-tengah kebun. Di bawah pohon rindang, samping kolam tempat yang tepat untuk aku menggelar kain sebagai alas duduk. Aku membawa bekal cemilan krupuk kulit, kuaci bunga matahari, tahu baso, kopi-coklat sachet, termos air panas, gelas, sendok garpu, nasi berikut makanan terenak di dunia, Rendang buatanku hehehe.


Ternyata berjalan kaki dari stasiun sampai dalam taman kebun raya cukup menguras energi. Kebetulan juga sudah masuk jam makan siang. Segera aku buka bekal makanan tadi. Menyantap makananku sambil memperhatikan sekelilingku. Di sisi kiriku spot kemah dome dipenuhi orang-orang berkaos merah biru yang sedang ada acara company gathering.

Semilir angin diantara dedaunan seperti kipas angin alami membuatku sedikit mengantuk. Mungkin juga efek kekenyangan ;) Biar mata melek segera kuseduh serbuk minuman coklat hangat. Aroma coklat yang semerbak sungguh menyegarkan. 

Kebun Raya Bogor Di samping kanan, tempat aku duduk, berdiri kokoh sebuah tugu. Tugu prasasti peringatan dua abad atau 200 tahun berdirinya Kebun Raya Bogor, Bicentenary Monument of Bogor Botanic Garden ( 18 Mei 1817 - 18 Mei 2017). Diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 18 Mei 2017. Tugu tersebut berbentuk Rafflesia Padma sebagai logo dua abad yang diciptakan oleh Taja Sukarya.

Aku beranjak ke lokasi lain, danau kolam gunting yang terkenal dengan view belakang Istana Bogor. Bila dari pintu masuk kita berjalan belok ke kiri, belok ke kanan, dan lurus. Di kanan jalan terdapat monumen untuk mengenang Olivia Raffles, isteri dari Letnan Jenderal Thomas Stanford Raffles tahun 1814, saat Indonesia dalam peralihan kolonial Inggris dan Belanda.

Sebuah bingkai kayu membentuk gerbang dengan tulisan "Kebun Raya Bogor" menarik pandangan mataku. Sebuah dermaga kayu telah dibangun untuk spot foto kekinian dengan latar belakang kolam gunting. Jalan setapak dibentuk dari batuan kecil yang disusun sedemikian rupa berfungsi sebagai terapi telapak kaki. Hhhmm Kebun raya sudah banyak yang berubah. Terakhir aku kesini tahun 2009. Berarti sepuluh tahun yang lalu.


Kebun Raya Bogor
Aku terus berjalan menuju Danau kolam gunting dengan view belakang Istana Kepresidenan. Beberapa remaja sibuk berpose dengan kamera ponselnya. Ini memang spot favorit pengunjung. Di perbatasan antara gerbang belakang istana dan Kebun Raya dibangun tugu monumen kecil relief wajah Reinwardt untuk mengenang Prof. Casper George Carl Reinwardt yang turut berjasa membangun Kebun Raya Bogor.

Tampak seorang tentara sedang berjaga. Duduk sambil memperhatikan layar telepon selulernya. Beberapa kemah tentara didirikan dekat kolam. Sejak Istana Bogor ditempati presiden, Kebun Raya Bogor masuk dalam ring satu penjagaan. Oh ya aku datang tinggal 19 Oktober 2019, sehari sebelum pelantikkannya Presiden terpilih.

Kebun Raya Bogor Kebun Raya Bogor merupakan Kebun botani besar yang terletak di kota Bogor. Berlokasi di Jl. Ir. H. Juanda No.13, Paledang, Kecamatan Bogor Tengah, Jawa Barat. Luasnya mencapai 87 hektar dan memiliki 15.000 jenis koleksi pohon dan tumbuhan. Saat ini dikelola oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Menurut Prasasti Batu Tulis Kebun Raya Bogor pada mulanya merupakan bagian dari Samida (hutan buatan/Taman buatan) yang telah ada sejak Pemerintahan Sri Baduga Maharaja, Prabu Siliwangi (1474-1513). Hutan buatan ditujukan untuk keperluan menjaga kelestarian lingkungan dan sebagai tempat memelihara benih kayu yang langka. Samida serupa juga dibuat di perbatasan Cianjur - Bogor, yang disebut Hutan Ciung Wanara. Hutan ini tidak terawat setelah Kerajaan Sunda takluk kepada Kesultanan Banten.

 
Gubernur Jenderal Godert Alexander Gerard Philip Van Der Capellen kemudian membangun rumah peristirahatan di salah satu sudut hutan Samida dan mulai meresmikan kebun botani pada 18 Mei 1817 dengan bantuan Prof. Caspar George Carl Reinwardt.  Pada masa peralihan kolonial Inggris- Belanda, Letnan Jenderal Thomas Stanford Raffles dari Inggris pernah mendiami istana dan merubah halaman tamannya menjadi seperti taman bergaya Inggris klasik.

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro


http://befreetour.com/id?reff=X3KRF Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 09 Agustus 2019

Melati Untuk Anusapati

Candi Kidal Malang Jawa Timur
Harum wangi Bunga Melati tercium ketika aku memasuki komplek Candi Kidal. Tumbuhan Melati menghiasi di kanan kiri sepanjang jalan setapak. Mewarnai suasana pagi yang cerah nan indah.


Candi Kidal Malang Jawa TimurPengurus candi tampak sedang menyirami rumput dan tanaman. Beliau tersenyum ramah saat aku menghampirinya.  Seorang perempuan berbaju batik merah marun dan berkerudung coklat. Menurut penuturan beliau, Ibu Siti Romlah selaku pengurus candi, Raja Anusapati suka dengan Bunga Melati. Pantaslah hampir seluruh komplek taman Candi Kidal ditanami Bunga Melati.

Mataku tertuju pada kain putih yang terhampar memanjang disepanjang undakan Candi. Sebuah pemandangan yang jarang kulihat. Ternyata kain putih itu dipasang saat ada acara Ruwatan Murwakala Malang beberapa hari yang lalu. Masih tersisa kembang, daun pisang dan dupa di dalam kubah Candi. Sepertinya aku datang pada waktu yang tepat. Saat Candi telah diruwat dan dibersihkan dari hal-hal negatif yang buruk.

Candi setinggi kurang lebih 12 meter ini mempunyai struktur bangunan berundak yang dibagi menjadi tiga bagian. Bagian kaki ( Upapitha) disebut Bhurloka yang menggambarkan alam atau dunia manusia. Bagian badan (Vimana) disebut Bwahloka yang menggambarkan alam antara atau alam langit. Bagian puncak (Cikhara) disebut Swahloka yang merupakan alam surgawi atau kahyangan para dewa.

Aku berjalan mengelilingi candi. Membaca relief-relief yang tergurat di dinding Candi. Bila di Candi Borobudur membaca relief dengan mengkanankan candi, Pradaksina, tetapi di Candi Kidal membaca relief dengan berlawanan arah jarum jam, Prasawiya. 

Candi Kidal Malang Jawa Timur
Terdapat tiga relief utama yang terpahat pada dinding candi. Relief Garudeya yang sedang melayani para naga, Garudeya membawa guci air amerta dan Garudeya menggendong ibunya, Dewi Winata. Disamping itu relief Kala Makara di atas pintu candi.

Kisah Garudeya bermula dari persaingan antara kakak beradik Dewi Kadru dan Dewi Winata yang menjadi istri Resi Kasyapa. Mereka berselisih mengenai warna Kuda Ucchaisswara yang muncul dari dalam samudera purba. Dewi Kadru menebak warna hitam, sedangkan Dewi Winata menebak warna putih. Sengitnya perselisihan itu membuat mereka bersepakat untuk bertaruh. Barangsiapa yang tebakannya salah dan kalah akan menjadi budak bagi yang menang.

Para Naga yang menjadi anak Dewi Kadru memberitahu ibunya kalau sebenarnya warna kuda Ucchaisswara putih yang berarti tebakan Dewi Winata benar. Tetapi Dewi Kadru bersiasat dengan menyuruh anak-anaknya untuk menyembur dengan racun bisanya agar merubah warna kuda tersebut. Akhirnya para naga berhasil merubah warna kuda Ucchaisswara menjadi hitam yang berarti Dewi Kadru pemenangnya dan Dewi Winata beserta Garudeya menjadi budak mereka.

Garudeya berusaha membebaskan ibunya dari perbudakan Dewi Kadru. Para naga meminta syarat Garudeya harus mendapatkan air amerta yang dimiliki para dewa. Garudeya mencari air amerta dan bertemu Dewa Wishnu. Dewa Wishnu bersedia membantu dan minta agar Garudeya bersedia menjadi wahananya/kendaraannya. Air amerta yang didapat dimasukkan ke dalam guci. Di dalamnya diberi rumput ilalang. Garudeya berpesan kepada para naga harus bersuci dengan mandi terlebih dahulu. Saat para naga sedang mandi, air amerta diambil oleh Dewa Indra. Sisa air yang tercecer dirumput ilalang dijilati para naga hingga membuat lidah mereka terbelah dua. Akhirnya Garudeya berhasil membawa pergi ibunya, Dewi Winata dan membebaskannya dari perbudakan Dewi Kadru.

Candi Kidal Malang Jawa Timur Candi Kidal Malang Jawa Timur

Candi Kidal berlokasi di Jalan Raya Tumpang - Malang tepatnya Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang.  Kidal mempunyai arti "kiri" dan istilah keduanya berarti "selatan" dari kata "kidul". Mungkin karena letak candi tersebut  berada di selatan-kiri (tenggara) dari Kerajaan Singosari yang terletak disebelah utara.

Candi Kidal adalah pedharmaan Raja Anusapati, Raja kedua Kerajaan Singosari yang bertahta tahun 1227-1248. Stana dibuat sebagai penghormatan kepada sang raja setelah mangkat. Candi Kidal merupakan tempat Abu jenasah Raja Anusapati, diruwat dan dimuliakan sebagai Siwa. Sayang Patung Siwa sudah tidak ada di candi ini. Patung Siwa tersebut sekarang tersimpan di Museum Leiden Belanda.

Candi Kidal Malang Jawa Timur
Tokoh cerita Garudeya dan Dewi Winata yang terpahat di dinding Candi Kidal adalah penggambaran kisah hidup Raja Anusapati dan ibunya, Ken Dedes. Berawal dari Anusapati yang tidak tahan tiap hari mendengar tangisan kesedihan ibunya, Ken Dedes. Kesedihan Ken Dedes karena Sang Rajasa, Ken Angrok menikahi perempuan lain (Ken Umang) dan lebih menyayanginya. Ken Dedes pun pergi dari Kedhaton dan kembali ke kampung halamannya.

Anusapati menganggap Sang Rajasa adalah penyebab kesedihan ibunya yang harus dilenyapkan. Sungguh Anusapati tidak tega pada ibunya, Ken Dedes yang sangat dicintainya. Sosok perempuan yang cantik jelita dan wangi tubuhnya tetapi nestapa hidupnya. Anusapati bertujuan meruwat ibunya agar terbebas dari kesengsaraan dan kembali menjadi perempuan utama yang sempurna.


Entah karena terbawa cerita Raja Anusapati dan Ken Dedes itu, setelah aku mengunjungi Candi Kidal, malamnya aku bermimpi aneh. Dalam mimpi itu aku bertemu sesosok pria gagah bertelanjang dada dengan rambut yang digelung keatas. Sorot matanya tajam. Raut wajahnya terlihat kuat dan tegas. Siapakah dia? Raja Anusapati kah?



Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 17 Maret 2019

Benteng Tujuh Lapis di Fulan Fehan

Saran Mot dari Benteng Tujuh Lapis

Kami celingukan di depan gerbang masuk Benteng Makes yang lebih dikenal dengan nama Benteng Lapis Tujuh. Sebuah bangunan yang berdiri di samping sebuah tiang dikitari pagar batu tampak kosong tak terurus, entah karena hari ini Minggu atau memang sudah tidak dipakai. Katanya untuk masuk ke dalam harus bersama penjaga yang akan melakukan ritual supaya kita diijinkan masuk.

"I believe that imagination is stronger than knowledge. That myth is more potent than history. That dreams are more powerful than facts. That hope always triumphs over experience. That laughter is the only cure for grief. And I believe that love is stronger than death." --- Robert Fulghum

Katanya, untuk memasuki benteng sampai ke pagar ke-tujuh yang disebut dengan Saran Mot ini, harus didahului dengan upacara adat yaitu meminta izin untuk membuka jalan menuju Saran. Ritual adat ini dilakukan oleh Tisi Antak Ne’an (kepala suku setempat). Ada lima tempat yang harus dilewati sambil membuat upacara adat untuk membuka jalan atau pintu menuju Saran Mot. Kalau niatnya berkunjung atau sekedar jalan-jalan menuju Saran, syaratnya bisa dengan beras yang dihambur – hamburkan sedikit demi sedikit di tempat-tempat yang sudah ditentukan oleh kepala – kepala suku, kemudian meletakkan sirih pinang dan uang kertas. Lain halnya kalau mau melakukan suatu upacara adat dalam Saran Mot itu sendiri, syaratnya adalah harus membawa beras, uang kertas, ayam jantan warna apa saja, tetapi khusus pintu terakhir masuk Saran harus ayam jantan warna merah dan sirih pinang.

Saran Mot dari Benteng Tujuh Lapis
Setelah beberapa saat bimbang, akhirnya kami masuk ke dalam setelah meletakkan beberapa uang koin dan sebatang rokok di samping pagar batu. Tentu saja dengan niat baik sekedar berkunjung. Lagian aku gak mungkin tebar-tebar beras, karena bisanya tebar-tebar mie instan hehehe.

Begitu masuk pagar batu pertama kami harus berjalan menyusuri pinggir untuk menemukan pintu pagar kedua, lalu setelah masuk pintu kedua kembali menyusuri gerbang kedua untuk menemukan pintu ketiga dan seterusnya. Hal ini disebabkan benteng memiliki lapisan-lapisan pagar dengan pintu yang tidak langsung. Entah mengapa dibuat seperti itu, kemungkinan itu adalah strategi supaya jika musuh masuk ke dalam tidak langsung bisa menjangkau pusat benteng sekaligus membingungkan musuh. Hanya perkiraanku saja.

Saran Mot dari Benteng Tujuh Lapis
Benteng Makes berada di bukit Makes yang masuk dalam wilayah Desa Dirun, Kecamatan Lakmanen, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur, dengan ketinggian sekitar 1200 Mdpl. Jarak dari Kota Atambua menuju Desa Dirun kurang lebih 40 km, dengan waktu perjalanan ± 1,5 jam. Benteng ini berada satu wilayah yang sebut dengan Fulan Fehan, sebuha padang sabana yang telah berkembang menjadi objek wisata alam. Tempat ini sudah dikenal dan sering dikunjungi oleh wisatawan Indonesia dan asing. Biasanya ramai kunjungan pada saat musim liburan. Bukit Makes dan padang sabana Fulan Fehan masuk ke dalam zona Hutan Milik Negara.

Cerita Singkat Benteng Lapis Tujuh
Benteng ini sebenarnya bernama Benteng Ranu Hitu atau yang biasa dikenal orang-orang lokal sebagai Benteng Lapis Tujuh, karena berada di atas bukit Makes maka sering disebut dengan Benteng Makes. Benteng ini adalah benteng utama Kerajaan Dirun pada waktu itu, benteng perang yang pada saat itu di pulau Timor masih sering terjadi perang antar suku.

Menurut cerita masyarakat setempat Benteng Ranu Hitu/Makes sudah ada sebelum penguasaan Portugis dan beberapa kali berpindah tangan sampai akhirnya dijaga oleh tiga pahlawan lokal dari 3 suku yaitu suku Loos, suku Sri Gatal, dan suku Monesogo. Benteng ini dulu merupakan tempat para Meo, atau pemimpin perang. Di dalam benteng inilah tempat mereka mengatur strategi atau bahkan melakukan tes kekebalan tubuh dengan cara memotong-motong tubuh mereka sendiri untuk membuktikan apakah tubuh mereka bisa kembali menjadi utuh sebelum maju ke medan perang.

Ada sebuah tradisi yang masih berlanjut dari Suku Uma Metan, menaruh sirih pinang di dekat makam raja. Hal ini merupakan adat istiadat masyarakat setempat. Sirih pinang memang identik sekali dengan suku-suku di Timor, bisa sebagai lambang persahabatan, lambang perdamaian juga lambang keakraban. Seakan dengan mengunyah sirih pinang menjadikan kita sebagai bagian dari keluarga masyarakat Timor. Selain itu sirih pinang juga merupakan simbol rasa hormat. Dengan menaruh sirih pinang di dekat makam raja. Suku Uma Metan percaya bahwa arwah leluhur masih banyak bersemayam di tempat itu. Benteng Ranu Hitu sendiri kabarnya dibuat selama tujuh hari tujuh malam, dimana pada siang hari dikerjakan dengan tenaga manusia dan pada malam hari dikerjakan oleh para arwah leluhur. Tidak heran suasana mistis terasa kental sekali saat berada di tempat ini.


Seperti apa Benteng Tujuh Lapis
  1. Seperti yang aku ceritakan di awal, benteng ini dibangun dari batu-batu yang disusun membentuk pagar dengan jumlah tujuh lapis pertahanan. Batu-batu yang disusun hanya diletakkan tanpa menggunakan semen atau bahan pengikat lain. Sampai saat ini bangunan ini masih kuat, pada musim hujan biasanya lebih berlumut namun mengering saat musim kemarau.
  2. Setiap lapisan pagar memiliki pintu letaknya yang tidak berada sebaris. Jadi untuk menuju ke pintu harus berjalan menyusuri gerbang lapis pertama sampai menemukan pintu kedua dan seterusnya.
  3. Di bagian pusat atau Saran Mot terdapat sebuah meriam tua yang diletakkan di depan pintu Saran Mot. Meriam tua itu katanya adalah peninggalan dari bangsa Portugis.
  4. Ada cerita yang mengatakan tentang Saran Mot, walaupun diameter lingkarannya tidak lebih dari 10 m, konon apabila melakukan upacara ritual adat dalam lingkaran kecil ini, walaupun ditempati lebih dari 500 sampai 1000 orang, akan tetap muat dalam lingkaran ini. Bagian ini cuma katanya lho ya, aku sendiri belum pernah membuktikannya.
Beberapa sumber tulisan yang aku gunakan untuk menulis ini:
  1. http://lopezdedhe22blee.weebly.com/benteng-makes.html
  2. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbali/situs-benteng-ranu-hitu-makes-desa-dirun-kecamatan-lakmanen-kabupaten-belu-provinsi-nusa-tenggara-timur
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 12 Maret 2019

Menyusuri Jejak Pangeran Diponegoro

Lukisan di museum/monumen Diponegoro
Sunyi dan sepi kesan pertama ketika aku dan keponakanku, Sekar memasuki komplek museum ini. Museum Sasana Wiratama atau lebih dikenal sebagai Monumen Diponegoro. Berlokasi di Jl. H.O.S Cokroaminoto TR III/430, Tegalrejo, Yogyakarta. Di depan gerbang gedung diletakkan patung tokoh pahlawan nasional, Jendral Oerip Soemohardjo dan Jendral Soedirman. 

Setelah aku melewati gerbang terlihat sebuah bangunan yang dindingnya terdapat  relief pertempuran Pangeran Diponegoro dan Belanda. Di depan gedung terdapat canon meriam.  Gedung inilah yang disebut Museum Monumen Diponegoro. Setelah aku mengisi buku tamu, kami memasuki ruangan tempat koleksi museum terpajang.

Menapaki selasar melihat display sisi kanan beberapa koleksi senjata perang berupa bedil senapan, pedang, perisai. Sebuah kereta kepangeranan di letakkan di tengah ruangan bersama seperangkat alat musik gamelan peninggalan Sultan Hamengkubuwono II dan patung Loroblonyo. Dibawahnya ada display senjata Kujang, Patrem (keris kecil), Candrasa, senjata berupa tusuk konde telik sandi (mata-mata) perempuan, batu akik/batu permata, koin kuno. Foto-foto Goa Selarong, Alibasyah Sentot Pawirodirjo, Kyai Mojo juga terpajang disini.

Paling ujung kiri ruangan diletakkan lukisan ilustrasi serangan Belanda di rumah Tegalrejo. Di sisi kiri display senjata tombak, sangkur, trisula, golok, pedang, beberapa keris yang berwarangka dan tidak berwarangka. Beberapa peninggalan rumah Tegalrejo yang terdiri dari tempat sirih, kecohan tempat ludah setelah menyirih, kacip alat pembelah pinang, cangkir, alat dupa ratus, kendi, vas bunga, bokor dan Dakon atau Congklak terbuat dari kayu berbentuk ular naga (alat permainan tradisional untuk anak-anak dengan mengisi cangkang kerang/keong laut dilubang kayu). Sekar wajahnya serius memperhatikan benda-benda peninggalan rumah Tegalrejo. Disebelahnya display senjata-senjata seperti keris, tombak, patrem. Ketika di bagian display senjata-senjata itu, aku mencium bau harum bunga. Padahal tidak ada bunga atau pengharum ruangan disini. Aku mencari-cari asal bau wangi itu tapi tak kutemukan. 

Aku bergegas ke bagian belakang komplek museum ini.  Di sisi kiri lokasi tembok jebol berada. Pangeran Diponegoro menendang dan kudanya menyepak tembok tersebut hingga jebol untuk melarikan diri dari kepungan Belanda. Ketika aku berada di lokasi tembok jebol, lagi-lagi aku mencium bau harum bunga. Bau wangi ini dari manakah asalnya?

Dari lokasi tembok jebol aku menuju pendopo. Di depan pendopo ada Padasan, tempat wudhu keluarga. Di samping pendopo ada Batu Comboran, tempat makan kuda-kuda yang terbuat dari batu. Dalam Pendopo ada dua lukisan Pangeran Diponegoro mengapit prasasti yang ditandatangani Mayjen Surono. Satu lukisan pangeran dengan kudanya dan satu lukisan koyak pada bagian wajah pangeran.  Aku melihat ada panggung tempat pelaminan pengantin, kursi-kursi lipat di sini. Sangat disayangkan bila Pendopo saat ini digunakan sebagai function hall yang disewakan untuk acara pernikahan. Aku takut bila situs sejarah ini menjadi rusak. Ketika aku sibuk memotret, tiba-tiba Sekar mengambil sapu yang tersandar di tiang Pendopo. Seperti di rumah sendiri, bocah perempuan itu tampak rajin membersihkan lantai Pendopo hehehe. Biarpun baru pertama kali aku menginjakkan kaki di tempat ini, tetapi aku merasa familiar alias tidak asing berada di sini. Hhmmm sebuah perasaan yang aneh. 

Pangeran Diponegoro adalah putra tertua dari Sultan Hamengkubuwono III, Raja Yogyakarta. Terlahir dengan nama Bendara Raden Mas Mustahar pada tanggal 11 Nopember 1785. Setelah menikah berganti nama menjadi Bendara Raden Mas Antawirya/Ontowiryo. Ketika ayahandanya menjadi raja, beliau berganti nama menjadi Pangeran Dipanagara/Diponegoro. Sang Pangeran memiliki sembilan istri. Salah satunya bernama Ratnaningsih yang setia menemani hingga akhir hayat. Selain perempuan Jawa, pangeran juga menikahi perempuan yang berasal dari Wajo bernama Syarifah Fathimah Wajo binti Datuk Husein (bernasab dengan Husein Jalaludin Akbar sampai Fathimah Azzahra binti Muhammad SAW) yang dinikahinya selama menjalani pengasingan di Makassar.

Di rumah inilah awal Perang Jawa/ Perang Diponegoro bermula tepatnya tahun 1825. Dimulai dengan serangan pihak Belanda ke kediaman Pangeran Diponegoro di Tegalrejo sebagai reaksi karena pangeran membuang patok-patok untuk membuat jalan oleh Belanda yang kebetulan melewati tanah milik pangeran. Pangeran Diponegoro bersama keluarga besarnya melarikan diri dari rumah yang telah terkepung dengan menjebol tembok pagar samping rumah. Mengetahui Pangeran telah pergi, pihak  Belanda geram dan membakar rumah pangeran. Perang selama lima tahun yang membuat banyak kerugian di pihak Belanda. Pada tahun 1830 dengan taktik licik Belanda mengajak Pangeran Diponegoro berunding di Magelang, tetapi kemudian menangkapnya dan mengasingkannya ke Manado dan Makassar. Beliau pun wafat dalam pengasingan di Makassar 8 Januari tahun 1855.

Ketertarikan aku dengan kisah Pangeran Diponegoro berawal dari mimpi yang aku alami berturut-turut saat masih duduk di Sekolah Menengah Pertama. Saat aku tinggal bersama orang tua menempati rumah peninggalan mbah buyut di Purworejo, Jawa Tengah. Dalam mimpi itu beberapa orang berpakaian serba hitam, memakai ikat kepala kain hitam, berbadan tegap, gagah dengan kumis tipis layaknya pendekar silat datang menghampiriku. Mereka mengucap "Assalamualaikum!" dengan membungkukkan badannya padaku sambil memberi hormat. Mereka pun mengatakan beberapa hal yang tidak kumengerti. Setelah itu mereka pamit, mengucap salam dan membungkukkan badannya lagi, kemudian menghilang dari pandanganku. Dan esok malamnya mimpi itu terulang kembali. Siapakah mereka? Lalu siapakah aku? Pertanyaan demi pertanyaan menghantui pikiranku. 

Di malam-malam tertentu aku kadang mendengar suara derap langkah pasukan yang berbaris layaknya defile pasukan diselingi suara ringkik kuda dan gemerincing senjata logam seperti persiapan upacara atau hendak pergi berperang. Suara itu kadang samar terdengar bersama angin malam dari arah persawahan yang terletak di depan rumah. Waktu aku ceritakan mimpiku dan pendengaranku di malam hari itu kepada Mbah, beliau hanya bilang mungkin itu adalah Pasukan Pangeran Diponegoro yang makamnya ada dibelakang rumahku. Ternyata residual energy perang masih tersisa di sini.


Sejak itulah aku mulai mencari tahu kisah tentang Pangeran Diponegoro dan Pasukannya. Dimulai dengan membeli Buku Strategi menjinakkan Diponegoro karya Saleh A. Djamhari. Aku pun mengunjungi Benteng Rotterdam dan sempat ziarah ke makam Pangeran Diponegoro di Makassar, Sulawesi Selatan. Entah mengapa aku menangis terharu saat mengunjungi makamnya. Mungkinkah aku sebagai pembawa pesan dari pasukan itu kepada Pangeran Diponegoro sebagai salam terakhir? 

Foto dan tulisan oleh: Arum Mangkudisastro

jalan-jalan ga pake ribet klik aja http://befreetour.com/id?reff=X3KRF
Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 04 Mei 2018

Kelor Onrust Cipir, Sekali Dayung Tiga Pulau Terlampaui

Benteng Mortelo Pulau Kelor
Mau week end kemana? Ingin piknik seharian tetapi tidak mau jauh dari Jakarta? Baiklah, pilihanku pergi ke Kepulauan Seribu. Melihat laut, mencium udara pantai, bermain air. Refreshing. 

Pagi-pagi aku pergi ke Pelabuhan Muara Kamal, Jakarta Utara. Dari Muara Kamal sudah ada perahu yang siap menyeberangkan ke Pulau Kelor. Aku pun harus berjalan hati-hati meniti bilah-bilah bambu yang menjadi dermaga kecil tempat perahu bersandar. Sekitar pukul 9 pagi kapal pun berangkat. Perahu kayu dikemudikan dengan mesin tempel berbahan bakar solar. Ongkos Pergi Pulang sekitar Rp40.000-50.000 saja. Kebetulan aku mengambil trip perjalanan tiga pulau (Kelor, Onrust, Cipir) jadi biayanya lebih murah. Sekitar 80-ribuan saja sudah termasuk makan siang. Hemat banget.

Saat berada di perahu, angin laut menerpa wajah, aahh segarrr. Dalam perjalanan ini kami melewati pancang-pancang bambu yang biasa digunakan sebagai tempat untuk memancing. Dibawahnya dibuat keramba untuk memelihara ikan hasil tangkapan nelayan. Jantungku berdesir karena khawatir perahunya tersangkut pancang bambu yang lapuk. Well, biarpun sudah menyeberangi laut tetap saja kita masih di Jakarta, karena Kepulauan Seribu masuk wilayah Provinsi DKI Jakarta.  

Pulau Kelor
Dunia memang tidak selebar Pulau Kelor. Tidak sampai setengah jam perahu sudah tiba di dermaga Pulau Kelor, pulau pertama yang aku kunjungi. Dari dermaga pulau terlihat para pengunjung yang memadati pulau kecil ini. Perahu datang dan pergi membawa para turis lokal. Ohh ternyata pulau ini sedang dalam tahap renovasi. Para pekerja sibuk mengerjakan bangunan panggung terbuka, gazebo, dan fasilitas umum seperti toilet dan musholla.

Walaupun hanya satu dan ditopang dengan bambu agar tak runtuh, Menara Pandang atau lebih dikenal sebagai Benteng Mortelo tetap menjadi spot favorite yang wajib dikunjungi wisatawan di pulau Kelor ini. Di kawasan Kepulauan Seribu ada 3 benteng Mortelo yaitu di Pulau Kelor, Pulau Onrust dan Pulau Bidadari. Setelah melepas lelah, bermain air dan berfoto, kami melanjutkan ke Pulau Onrust.

Pulau Onrust
Perahu kami pun telah tertambat di dermaga Pulau Onrust. Pandanganku tertuju pada Kincir Angin Mini yang sebenarnya dibangun sebagai pengingat bahwa dahulu pernah dibangun Kincir Angin Besar untuk menggerakkan galangan kapal. Disebelah kiri terlihat ada prasasti berupa tulisan yang dipahat pada batu besar. Dalam prasasti  mengurai sekilas sejarah Pulau Onrust. 

Aku menyusuri jalan setapak menuju rumah yang berfungsi sebagai Museum. Disini temuan artefak dipajang berikut maket yang menjelaskan peta dan posisi bangunan pada masa itu. Miniatur kapal pun ditampilkan juga. Temuan artefak Pulau Onrust yang menjadi Masterpiece berupa sepasang sepatu besi/sepatu selam. Artefak lain yang ditemukan pipa Gouda (pipa cangklong a la Belanda), pecahan keramik, pecahan meriam, peluru, pecahan botol, umpak batu, ubin batu dan sejumlah koin VOC tahun 1814.

Setelah dari Museum Onrust aku pun berjalan mengelilingi pulau. Menyusuri jalan setapak, melewati bekas bangunan yang tak terpakai dan komplek makam. Makam pribumi dan non pribumi yang dikebumikan. Rata-rata meninggal akibat terjangkiti wabah kolera. Aku pun mempercepat langkahku. 

Pulau Onrust dan Pulau Cipir masuk dalam Taman Arkeologi. Tahun 1615 Belanda mendirikan Galangan VOC di onrust. Pada tahun 1658 dibangun benteng kecil kemudian diperluas tahun 1671 berbentuk segilima, bersamaan juga dibangun Gudang Dok dan Kincir Angin. Pulau Ini sempat diserang oleh armada Inggris tahun 1800-1801. Sepeninggal Inggris, Belanda membangunnya kembali. Sempat menjadi Karantina Haji pada tahun 1911.

Bangunan yang dikawasan Pulau Onrust baik yang terpendam maupun di permukaan tanah dapat diketahui asal waktunya melalui bahan penyusunnya, yakni bata dan material perekatnya. Struktur bangunan dari periode awal (abad ke- 17 sampai abad ke-18)umumnya terdiri dari bata-bata berukuran besar berwarna merah dengan bahan perekat semen bercampur pasir dan kerang. Bata-bata bangunan abad ke-19 berukuran lebih kecil, meski berwarna dan berbahan perekat yang sama. Contohnya pada benteng-benteng berbentuk bundar di Pulau Kelor dan Pulau Bidadari. Sementara itu bata-bata abad ke-20 berukuran lebih kecil lagi berwarna kekuningan dan berbahan perekat campuran pasir dan semen saja.

Peran Onrust di abad 17 sebagai tempat persingggahan kapal-kapal pengangkut komoditi Asia sebelum dibawa ke Eropa. Benteng Mortello dibangun pertamakali di Pulau Onrust pada abad ke 19. benteng ini hancur pada serangan Pasukan Inggris dan akibat Letusan Gunung Krakatau tahun 1883. Tetapi kerusakan fatal terjadi ditahun 1958 karena perusakan besar-besaran. Berdasar struktur fondasi yang terdapat di Onrust dan Cipir , diperkirakan benteng Mortello Onrust berbentuk bundar seperti yang ada di Kelor dan Bidadari berupa Menara Pandang /Menara Mortello.

Setelah makan siang dan melepas lelah, rombongan kami melanjutkan menyeberang ke Pulau Cipir yang tak jauh dari Pulau Onrust. Ini adalah pulau ketiga dan terakhir yang kami kunjungi.

Pulau Cipir
Cipir (Kuyper) Pulau di Selatan Pulau Onrust. Pulau Cipir pastinya memiliki keterikatan dengan Onrust. Bukti terkuat dengan dibangunnya dermaga jembatan penghubung antar pulau yang sekarang hanya tinggal reruntuhannya saja.  Namun sekarang dermaganya tampak jauh lebih bagus. Sekilas mirip sebuah resort atau tempat peristirahatan.

Disini banyak anak-anak dan remaja berenang di pantainya. Gazebo disepanjang pantai berikut toilet merangkap tempat bilas setelah berenang. Di pantai yang dekat dengan bekas jembatan terlihat beberapa tenda kemping, tempat mereka berkemah. Sebenarnya berbanding terbalik dengan keadaan di dalam pulau ini. Bekas bangunan karantina berupa bangsal yang dilengkapi toilet dan rumah sakit tampak spooky alias menyeramkan.

Sedikit sejarah Pulau Cipir, saat itu tahun 1668 dibangun dermaga bongkar muat, galangan kapal kecil, dan dermaga penghubung. Pada tahun 1675 dibangun gudang tempat penyimpanan barang-barang. Kemudian tahun 1905 mulai dibangun lagi sebagai Stasiun Pengamat Cuaca. Namun tahun 1911 hingga tahun 1933 Pulau Cipir berubah menjadi Karantina Haji dengan dibangun rumah sakit bagi yang baru kembali dari Mekah.

Cukup banyak kegiatan yang kami lakukan disini. Bermain air di pantai dan menikmati minuman air kelapa muda yang menyegarkan disaat panas terik. Pastinya berfoto-foto mengisi waktu luang sambil menunggu perahu untuk membawa kami kembali ke Muara Kamal.

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro

Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 02 Februari 2018

Sam Poo Kong, Persinggahan Sang Laksamana

Kelenteng Sam Poo Kong
Pose dulu di depan kelenteng Sam Poo Kong
Mau jalan-jalan ke China tapi belum punya waktu dan biaya? Ngga usah galau. Datang saja ke Semarang, Jawa Tengah. Tepatnya ke Kelenteng Agung Sam Poo Kong. Apalagi jika kita berfoto dengan memakai baju tradisionalnya, pasti teman-temanmu yakin kamu sudah di China.

Perjalananku ke Semarang sebenarnya untuk mengisi waktu luang saat berada di Batang. Waktu itu sedang ada Pemilukada Bupati Batang. Kebetulan dari kakakku, aku mengenal dan mengunjungi salah seorang pasangan kandidat calon Bupati Batang tersebut. Dari depan hotel tempat aku menginap banyak lewat bus arah Semarang. Jarak tempuh Batang ke Semarang  sekitar 2 jam. Setelah sampai di Terminal Bus Terboyo lanjut dengan angkutan umum menuju Sam Poo Kong. Lokasi berada di Jalan Raya Simongan, Bongsari. Mudah menemukannya karena dilewati jalur angkutan umum.

Kelenteng Sam Poo Kong
Patung Laksamana Cheng Ho
Patung Laksamana Zheng He yang tinggi dan besar menyambut dikejauhan saat masuk gerbang Sam Poo Kong. Nuansa merah-merah mendominasi sebagaimana warna klenteng pada umumnya. Warna merah adalah warna kebahagiaan. Dijajaran sebelah kanan tiga buah bangunan yaitu Kelenteng Besar dan Gua Sam Poo Kong, Kelenteng Tho Tee Kong tempat pemujaan kepada Dewa Bumi dan empat tempat pemujaan. Berhadapan dengan tiga bangunan utama adalah panggung terbuka yang biasanya menampilkan pertunjukan drama kolosal cerita Laksamana Zheng He/ Cheng Ho dan cerita rakyat lainnya.

Disebelah kiri tempat persewaan pakaian tradisional khas China berikut penata rias dan juru fotonya disediakan bagi pengunjung yang ingin berfoto dengan latar belakang kelenteng. Sebenarnya aku ingin memakai baju tradisonal tersebut tetapi mengingat harus segera pergi ke tempat lain, akhirnya aku mengurungkan niatku. Aku cukup puas berfoto di depan patung tinggi besar Sang Laksamana. So little time so much to do, mengutip lagunya Arkarna, Grup band asal Inggris.

Kelenteng Sam Poo Kong adalah petilasan atau bekas persinggahan. Pendaratan pertama Laksamana Zheng He  di Pulau Jawa pada tahun 1406. Pada persinggahan kelima tahun 1416 menurut cerita Laksamana Zheng He sedang berlayar melewati laut Jawa, namun saat melintasi Laut Jawa awak kapalnya banyak yang jatuh sakit termasuk Juru Mudinya yang bernama Wang Jing Hong, kemudian ia memerintahkan membuang sauh kemudian merapat ke Pantai Utara Semarang dan berlindung di sebuah goa di sebuah bukit batu/gunung batu. 
Kelenteng Sam Poo Kong
Sementara  Juru Mudi-nya menyembuhkan diri, Zheng He melanjutkan perjalanan ke Timur. Selama di Simongan wang Jing Hong Juru Mudinya menggarap lahan, membangun rumah dan mendirikan masjid dan tahun 1417 Wang  Jing Hong mendirikan patung Zheng He di Gua tersebut untuk dihormati dan dikenang masyarakat sekitar di tepi pantai yang sekarang telah berubah fungsi menjadi kelenteng. Bangunan tersebut berada di tengah kota Semarang karena Pantai Utara Jawa mengalami proses pendangkalan akibat adanya proses sedimentasi. Inilah awal mula pembangunan Kelenteng Sam Poo Kong. Tahun 1704 akibat hujan badai goa runtuh, kemudian masyarakat membangun goa buatan yang terletak disebelah makam Kyai Juru Mudi Wang Jing Hong.

Siapakah Laksamana Zheng He(Cheng Ho)? Laksamana Agung Zheng He/Cheng Ho yang juga dikenal sebagai Ma San Bao (1371 - 1437) adalah seorang Pelaut, Penjelajah, Diplomat dan Laksamana. Lahir di Kunyang, Yunnan, Tiongkok tahun 1371 dari pasangan suami istri Ma Hazhi dan Wen. Awal karir menjadi Kasim dibawah Kekaisaran Yong Le dari Dinasti Ming. Beliau memimpin armada muhibah mengunjungi negara-negara diseberang lautan sebagai duta perdamaian. Di tahun 1405 pelayaran Muhibah pertama beliau  memimpin 317 kapal megah dengan 28.000 personil, berangkat dari Suzhou, Pelabuhan Liujiagang mengunjungi Arab, Afrika Timur, Sri Lanka, Kalikut (India Barat) India, Brunei, Kepulauan Malaysia, Thailand, Champa, Sumatera, Palembang, Jawa. Dalam perjalanannya beliau mendapat banyak hadiah berupa Gaharu/Kayuwangi, Onta, Zebra, Jerapah. Beliau juga memberikan hadiah kepada daerah-daerah yang dikunjunginya berupa Emas, Perak, Porselen Keramik, Sutera. 

Kelenteng Sam Poo Kong
Gerbang masuk ke kelenteng Sam Poo Kong
Dalam tujuh kali pelayaran besar, beliau telah berhasil mengunjungi Selat Hormuz, Teluk Persia, Aden, Afrika, Mogadishu, Burawa (Somalia), dan Malindi (Kenya). Menurut Gavin Mendez, Sejarahwan Angkatan Laut Inggris, sejumlah kapal dari armadanya dibawah pimpinan Hong Bao telah mencapai Benua Amerika tahun 1421.

Beliau wafat tahun 1435 ditengah perjalanan pulang dari Kalikut (India Barat), meski di China  dibangun makamnya tetapi tanpa jenasah. Jenasah beliau diperkirakan dihanyutkan ditengah laut. Ada pula sejarahwan yang menyakini jenasah beliau dikebumikan di Semarang.

Sam Poo Kong dalam dialek Hokkian atau San Bao Dong (Mandarin) artinya Gua San Bao. Dalam dialek Fujian San Bao menjadi Sam Poo. Sam Poo Kong sendiri adalah gelar yang diberikan warga China Semarang kepada Laksamana Zheng He/Cheng Ho atas jasa-jasanya. Beberapa gelar lain yang disematkan kepada Zheng He adalah, Sam Poo Tay Djien (Laksamana), Sam Poo Tay Kang (Kasim), Sam Poo Tay Rin (Pembesar).

Kelenteng Sam Poo Kong
Panggung terbuka di kelenteng Sam Poo Kong
Komplek Kelenteng Sam Poo Kong terdiri atas sejumlah anjungan yaitu Kelenteng Besar dan Gua Sam Poo Kong, Kelenteng Tho Tee Kong tempat pemujaan kepada Dewa Bumi dan empat tempat pemujaan (makam Kyai Juru Mudi Wang Jing Hong, Kyai Jangkar tempat jangkar/sauh kapal Laksamana Zheng He, Kyai Cundrik Bumi tempat penyimpanan persenjataan dan Mbah Tumpeng tempat penyimpanan bahan makanan). Kelenteng Besar dan Gua merupakan bangunan yang paling penting dan merupakan pusat seluruh kegiatan pemujaan. Gua yang memiliki mata air yang tak pernah kering ini dipercaya sebagai petilasan yang pernah ditinggali Sam Poo Tay Djien (Zheng He).

Di Gedung Batu ada tanda yang berciri keislaman dengan ditemukannya tulisan berbunyi "marilah kita mengheningkan cipta dengan mendengarkan bacaan Al Quran". Disebut Gedung Batu karena bentuknya sebuah Gua Batu Besar yang terletak pada sebuah bukit batu, orang Indonesia keturunan China menganggap bangunan itu adalah sebuah Kelenteng mengingat bentuknya memiliki arsitektur bangunan China sehingga mirip sebuah Kelenteng. Sekarang tempat itu dijadikan tempat peringatan dan tempat pemujaan atau sembahyang serta tempat untuk berziarah. Untuk keperluan tersebut di dalam gua batu diletakan sebuah altar dan patung-patung Sam Poo Tay Djien. Laksamana Zheng He/Cheng Ho adalah seorang muslim tetapi oleh mereka dianggap dewa, hal ini dapat dimaklumi mengingat agama Kong Hu Cu atau Tao menganggap orang yang sudah meninggal dapat memberikan pertolongan kepada mereka.



Saranku bila kita mengunjungi kelenteng ini saat Imlek atau Perayaan Tahun Baru China dan kegiatan keagamaan lainnya karena lebih meriah dengan ornamen hiasan Lampion-lampion. Biasanya pada Bulan Agustus merupakan perayaan tahunan peringatan pendaratan Zheng He sebagai salah satu agenda wisata utama di kota Semarang. Perayaan ini dimulai dengan upacara agama di kuil Tay Kak Sie di Gang Lombok. Kemudian dilanjutkan dengan arak-arakan Patung Sam Poo Kong dari Kuil Tay Kak Sie ke Gedung Batu.

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya