Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label terumbu karang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label terumbu karang. Tampilkan semua postingan

Rabu, 31 Oktober 2018

Mekko: Asa Dari Laut

Jump!! Meloncat dari perahu ke dalam Kolam raksasa | WWF Indonesia
Sudah dua malam aku menginap di rumah pak Jabar, dan selama itu pula aku merasakan sedikit menjadi orang Mekko. Setidaknya aku sudah tidak mandi dua hari ini hahaha... tidak usah terlalu melankolis, Nisa yang menjadi satu-satunya cewek dalam rombongan kami saja juga sukses tidak mandi. Yang para lelakinya gak usah ditanya lah. Kami kebetulan menjadi volunteer dari WWF untuk membantu masyarakat Mekko mengabadikan keindahan Taman Laut Mekko. 

Pak Bakri yang menjadi leader di Bangkit Muda-Mudi Mekko
Ada banyak cerita yang akan kami dengar hari ini: utamanya dari mereka yang sekarang tergabung dalam kelompok Bangkit Muda-Muda Mekko. Kelompok yang digawangi pak Bakri ini awalnya berangkat dari kelompok sepak bola di kampung Mekko. Tiap tahun mereka akan bertanding, kesulitan pertama adalah mengumpulkan dana untuk membiayai kegiatan mereka. 

Dari kelompok yang semula hanya berurusan bagaimana mencari dana untuk kegiatan sepak bola mereka, menjadi upaya mereka untuk dapat membuat pendanaan mandiri. Dan mata mereka melihat lebih jauh dari balik kampung ini. Mereka tinggal di tempat yang dikaruniai banyak potensi yang bisa mereka garap. Dan mereka yang menjadi pemilik dari semua keindahan itu hanya menjadi penonton selama ini. 

Ya, terbatasnya akses ke kampung mereka membuat masyarakat Mekko tidak bisa mengharapkan wisatawan yang berkunjung ke Mekko mendatangi kampung mereka. Itu baru masalah akses jalan dan alat transportasi, masalah utama yang mereka lawan justru dari kampung mereka sendiri. Menyadarkan nelayan untuk menghentikan penangkapan hiu adalah salah satu upaya tak mudah yang mereka lakukan. Upaya mereka untuk terlibat dari manfaat ekowisata laut Mekko bukannya jalan cepat, tapi jalan panjang yang harus mereka lalui beberapa tahun ini. 

Salam hiu dari Bangkit Muda-Mudi Mekko
Jauh sebelum upaya ini, dulu mereka juga bermasalah dengan penggunaan bahan peledak untuk menangkap ikan. Memang sekarang sudah tidak ada yang melakukannya lagi karena mereka sudah tahu kalau hal itu masuk kejahatan yang dapat dipidana. Namun sebagian terumbu karang di Mekko telah terlanjur hancur.

Dan saat ini adalah gong pertama yang mereka tabuh untuk memperkenalkan bahwa dari kampung ini telah siap orang-orang untuk memandu para wisatawan yang ingin menikmati keindahan Mekko. Leaflet tentang Muda-Mudi Mekko bisa klik disini.

Sebenarnya di Mekko tidak hanya bicara tentang gosong pasir yang putih menawan ataupun terumbu karangnya, atau tempat-tempat yang akan menghasilkan foto-foto yang 'instagramable'. Tidak seluruh yang indah dan menarik difoto kawasan Mekko bisa didatangi begitu saja oleh wisatawan. Ada beberapa tempat yang membutuhkan perlakuan khusus seperti kawasan anakan hiu, misalnya.  Ini beberapa destinasi yang ada di Mekko:


Pulau Pasir Putih 
Gosong pasir di Mekko yang ada hanya air, pasir putih dan langit
Ini adalah destinasi pertama yang paling dikenal masyarakat luar tentang Mekko. Ada yang menyebutnya gosong pasir. Gosong pasir adalah istilah untuk pulau pasir yang muncul saat laut surut. Namun memang gosong pasir di Mekko ini tidak benar-benar hilang walau saat puncak pasang, hanya saat pasang tinggi sekali saja seluruh pulau akan hilang. Jika pasang biasa, umumnya tidak seluruh gosong pasir ini hilang. Jadi gosong apa pulau? Ah, entahlah. 


Karena berupa gosong pasir, tentu saja seluruh kawasan ini berupa pasir putih saja di tengah laut dikelilingi warna air tosca dan kawasan terumbu karang di sekitarnya. Jika berkesempatan, para wisatawan bisa melihat kawanan burung yang memenuhi gosong pasir ini. 

Keindahan kawasan ini jempolan, terbukti daerah ini sering didatangi kapal wisata dan wisatawan asing. Wisatawan lokal lebih jarang karena faktor transportasi menuju ke tempat ini. Tentu keberadaan pemandu wisata lokal dari Mekko bisa membantu wisatawan menjadi lebih mudah menjangkau tempat ini. 

Di sebelah pulau pasir ini terdapat pulau Keroko yang katanya jika puncak surut dapat dilewati dari pulau Pasir Putih ke pulau Keroko. Sebenarnya di sekitar pantai ini pernah menjadi kawasan terumbu karang yang indah, namun sepertinya harus menunggu lebih lama sebelum kalian bisa menikmati terumbu karang di sekitar gosong pasir.

Kolam Renang Raksasa 
Kalau sudah masuk ke dalam jadinya lupa diri
Jangan bayangin ada yang bangun kolam renang di Mekko ya.. istilah kolam renang raksasa ini karena di tengah laut di depan pulau Keroko terdapat sebuah perairan luas yang dangkal dengan pasir putih rata. Jadi jika berada di sana serasa masuk di kolam renang yang besar. Kolam renang raksasa ini paling enak dinikmati bersama keluarga karena umumnya berombak tenang dan tentu saja tidak dalam. Bahkan pada saat puncak pasang sebagian besar perairan ini kedalamannya tidak lebih dari dua meter. 

Betah berendam di sini karena tidak kuatir tenggelam atau kaki terinjak karang. Hampir seluruh kawasan itu hanya berupa pasir putih saja, jadi tidak perlu kuatir kaki terluka karena menginjak karang yang tajam atau terkena bulu babi. Cerita tentang binatang ini, dulu aku pernah merasakan tertusuk durinya. Duh rasanya pegel gak ilang-ilang, jauh lebih pegel daripada nungguin bini belanja muter-muter di toko hahahha.

Hanya saja kadang-kadang dari batas kolam suka ada hiu yang lewat. Tapi tak usah kuatir, umumnya hiu di kawasan itu bukan tipe agresif yang menyerang manusia. Kadang kala beberapa hiu yang masih kecil yang lewat, tapi kemarin sempat lihat juga hiu yang sudah cukup besar lewat di pinggir kawasan ini.


Terumbu Karang Mekko 
Dengan kondisi perairan seperti Mekko ini, tentu saja keberadaan terumbu karang yang indah bukan hal yang mustahil. Dan di Mekko ini ada beberapa spot yang menawarkan keindahan terumbu karang. Ada spot terumbu karang yang cocok dengan snorkeling terutama yang kedalamannya di bawah tiga meter, dan ada spot terumbu karang yang lebih cocok untuk diving yang kedalamannya lebih dari tiga meter. 

Dulu kalau berniat ke Mekko untuk menikmati pemandangan terumbu karangnya, mau gak mau harus membawa peralatan sendiri. Inilah salah satu yang ditawarkan dari pemandu wisata dari Bangkit Muda-Mudi Mekko, mereka juga menyiapkan peralatan snorkeling lengkap sehingga wisatawan tidak perlu membawa peralatan sendiri. Oh iya ada pelampung juga terutama buat yang tidak bisa berenang, jadi walau tidak mahir berenang tetap bisa menikmati keindahan terumbu karang. Rugi lho kalau ke Mekko gak bisa menikmati keindahan terumbu karangnya. 

Kalau untuk yang berencana diving, memang tetap harus menyiapkan peralatan sendiri karena dari kelompok saat ini belum memiliki peralatan untuk diving. Mungkin saja mereka suatu saat nanti siapa tahu mereka dapat berkembang lebih jauh untuk menyediakan peralatan diving. 

Kawasan Anakan Hiu 
Ada kawasan yang menjadi habitat tempat tumbuhnya anakan hiu. Sebenarnya kawasan ini bukannya tempat wisata, jadi memang yang berniat untuk ke tempat ini harus dengan pemandu yang memahami karakter kawasan ini. Jika wisatawan dibiarkan ke tempat ini tanpa arahan, maka justru wisata akan berubah menjadi ancaman bagi keberlangsungan ekosistem di kawasan ini. 

Jadi untuk lokasi ini, wajib hukumnya menggunakan jasa pemandu, agar wisatawan tidak melakukan sesuatu yang kontraproduktif dengan tujuan wisata itu sendiri. Tentu saja, pemandu yang diperbolehkan seharusnya juga yang telah memahami benar bagaimana memperlakukan kawasan ini. Untungnya para pemandu wisata di Mekko telah dibekali kemampuan memandu di kawasan itu. 

Namun begitu, tetap diperlukan campur tangan pemerintah untuk bisa menetapkan area habitat anakan hiu ini sebagai kawasan konservasi sehingga wisata di tempat ini dibatasi sehingga mengganggu perkembangan habitat anakan hiu tersebut. 

Aku jadi teringat bagaimana susahnya perjalananku pertama ke tempat ini. Waktu itu aku hanya sampai di Waiwuring saja karena akses ke desa Pledo yang tidak dapat dilewati pada musim hujan. Dengan perahu laut dari Waiwuring kami menempuh perjalanan ke pulau Mekko selama satu jam-an. Aku hanya mengunjungi tempat-tempat wisatanya dan tidak berkunjung ke kampung Mekko. 

Dan kini, aku di atas mobil pickup yang mengantarkan kembali ke Larantuka. Kembali melewati jalanan yang langsung tertutup debu begitu roda mobil menggilasnya. Namun sekarang jauh lebih lebih baik, ruas jalan telah diperlebar. Akses jalan ke tempat ini sebentar lagi semoga akan bagus. Ada informasi katanya setelah pelebaran akan dilanjutkan dengan pengaspalan. Semoga...

Duh, aku akan merindukan tempat ini. Mungkin saat kembali ke sini aku tidak akan menemukan nikmatnya tidak mandi selama tiga hari. Juga nikmatnya hidup tanpa melihat smartphone yang sinyalnya susah dicari karena terlalu sering berlari. Juga menikmati perjalanan melibas debu tanah dengan mobil pickup di bawah terik matahari. Tak apalah, saat semua akses itu ada, kesempat mereka untuk menikmati air untuk mandi, sinyal untuk menelepon... dan aku kembali mencari tempat susah sinyal untuk didatangi. 

Om Ayom yang kalau sudah petik gitar suka lupa diri
Mekko telah jauh meninggalkan kami, tersamar pandang oleh debu tanah yang tergilas roda. Namun keindahannya dan keramahannya tak pernah hilang. Bait-bait syair yang didendangkan om Ayub di pinggir pantai tentang Mekko kembali terdengar: 

Ayo ke Mekko.. 

Mekko di Pledo 
Pulau Pasir di Mekko .. 
Habitat Hiu di Mekko 
Terumbu karang terjaga 
Hamparan bakau terjaga 
Begitu indah alamnya, menenangkan jiwa 

Ayo ke Mekko 

Pulau kalong di Mekko 
Jingga senja menawan 
Menikmati alamnya bersama-sama penghuninya 

Alam Mekko yang indah 
Kami selalu menjaga 
Demi generasi kita 

Ayo bersama jaga Ayo ke Mekko..  Mekko di Flotim 

nb. Terima kasih untuk temen-temen yang bersama-sama berbagi cerita yang tidak pernah terlupakan tentang rasanya tidak mandi, tidak pake hape dan makan nasi pake kopi: kang Tardi Sarwan dan blognya Bentang Alam Semesta, Nisa Syahidah, pungga telusuri.id yang always selalu berkaos merah om Syukron, dua videografer yang bersedia foto 'nude' Yanuar dan Chafiz 
Sebagian foto yang bukan milik sendiri telah mendapatkan persetujuan WWF Indonesia untuk digunakan di tulisan ini.
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 23 Januari 2016

Mengejar Pasir di Kepulauan Mekko

Bersandar di pulau Meko Adonara
Bersandar di pulau Keroko salah satu  pulau di Kepulauan Meko, Adonara
Gosong lagi gosong lagi... dan lagi-lagi perjalanan kali ini bikin gosong kulit, bahkan rasa terbakar di tengkuk, tangan dan kaki masih terasa lebih dari dua hari. Tapi itu sepadan dengan perjalanan seharian yang aku lakukan di pulau Adonara. Apakah karena lokasinya bagus? Ya emang lokasinya bagus tapi bukan karena itu. Saat kita memilih berjalan, sebenarnya perjalanan itu sendiri tujuannya. Lokasi yang dituju itu hanya persinggahannya toh akhirnya juga balik bukan menetap di lokasi itu kan.


Perjalanan kali ini yang punya hajat temen pak Dib yang sudah dikenal dengan sebutan 'pakde'. Pakde ini yang lagi ngotot-ngototnya pengen ke Adonara, mau kemana aja asal udah menginjakkan kaki ke Adonara. Lah waktu aku tanya di Adonara mau kemana juga dia gak tau pokoknya sampai Adonara. Aku curiga Pakde nih lagi menggenapkan nadzar-nya buat menginjakkan semua pulau di Nusa Tenggara Timur sebelum balik ke Surabaya. Menurutku sih posisi bulan yang baru separo bukan waktu yang tepat karena posisi puncak surut pasti terjadi tengah hari. Semangat Pakde memang udah diubun-ubun jadi kita ngalah aja, yah tapi tetep happy lah.. siapa sih yang gak happy jalan-jalan biar pun udah kebayang panasnya saat bulan-bulan begini. 
Buat yang belum tau, di wilayah NTT saat ini sedang dilanda badai el Nino yang kata para ahli di BMKG mengakibatkan penurunan curah hujan dan itu bisa terjadi sampai akhir Februari. Bayangin aja gilanya kalau NTT yang udah pasti lebih panas saat musim penghujan bakalan tambah lebih panas kalau hujannya juga ogah turun. Padahal matahari di NTT itu lebih deket dari pada di Jawa, iya beneran.. bulan Desember-Januari kan posisi matahari lagi di puncak miring ke Selatan. Ah lagian ngapain aku ngurusin panas yang emang dari sono begitu.. pokoknya kita jalan...

Gagal Nyeberang ke Waiwerang
View laut di salah satu tiang dermaga di Waiwerang
Hari Sabtu pagi, setelah sarapan nasi goreng di hotel kita berempat: aku, Pakde, Idil dan Yudha meluncur ke Pelabuhan Larantuka sekitar jam tujuh lewat pakai motor pinjeman: tanpa plat dan gak ada esteneka. Udah kuatir aja sih karena ke dermaga musti melewati kantor polisi. Belum lagi cuma dapet pinjeman dua helm, artinya cuma yang di depan yang pakai. Yang depan pakai helm, yang belakang pakai doa "moga-moga selamat". Sempat mampir cari topi karena serba dadakan jadi gak ada yang bawa topi. Aku yang bahkan kemana-mana selalu pake topi jelajah pun gak tau kemana tuh topi tiba-tiba hilang saat dibutuhkan seperti ini. Emang gitu, saat dicuekin nongol melulu, giliran dibutuhin sok jual mahal pakai menghilang segala.
Pas nyampe di Pelabuhan untungnya kapal yang jadwalnya dari Larantuka - Waiwerang - Lewoleba masih ada yang memang jadwalnya berangkat jam setengah delapan pagi. Sayangnya bagian dek kapal dua lantai sudah penuh dengan motor jadi hanya orang yang bisa masuk. Daripada menunggu kapal berikutnya yang baru tiba nanti siang, akhirnya kami memutuskan naik perahu lebih kecil menuju ke Tobilota. Kalau dari Pelabuhan Larantuka menuju Waiwerang sekitar satu setengah jam, dari Pelabuhan ke Tobilota hanya sekitar sepuluh menit. Ya jauh lebih dekat karena cuma menyeberang saja, berbeda dengan Waiwerang yang letaknya di Adonara Timur jadi harus memutari setengah pulau Adonara. 

Menyeberang dari Larantuka ke Tobilota
Duduk di depan perahu yang menuju dermaga Tobilota
Cuma ya itu, dari Tobilota menuju ke Meko itu sama dengan perjalanan membelah Adonara. Ada yang menyarankan kita dari Tobilota ke Waiwerang lewat Terong yang bisa ditempuh satu jam tapi kondisi jalannya katanya jelek (akhirnya kami buktikan saat kembali). Karena arah tujuan kami Meko, seorang bapak-bapak yang ngajak ngobrol kami di kapal menyarankan kami menuju Witihama karena kebetulan bapak itu juga tinggal di Witihama.
Perjalanan dari Tobilota ke Witihama kita tempuh sekitar hampir tiga jam, karena walaupun beberaa ruas jalan sudah diperbaiki tapi jalan-jalan di perkampungannya masih banyak yang sudah rusak. Ada jalur menurun yang paling sulit dari kampung Kelubagolit ke Witihama karena itu jalan hanya bisa dilewati satu arus karena kondisinya yang sangat rusak. Kami harus menunggu kendaraan dari bawah naik semua baru kendaraan searah arus kami bisa lewat. Aku sampai minta Idil untuk turun karena kondisi jalan yang sulit seperti itu.
Dalam perjalanan kami terus bertanya ke penduduk jika sudah mulai kebingungan. Kami bertemu seorang pria muda yang asli dari Adonara yang katanya kerja Larantuka di penagihan kredit. Untungnya dia dengan suka rela mengantar kami bahkan sampai masuk ke dalam. Di pertigaan, dia tunjukkan arah jalan ke Meko tapi dia menyarankan tidak lewat kesana karena walau bisa ditempuh pakai motor tapi kondisi jalannya parah banget. Dia lebih menyarankan aku ke arah Waiwuring yang tidak seberapa jauh lagi.

Pasir Putih di Kepulauan Meko
Narsis di Nuha Pasir Putih di wilayah Adonara
Narsis ria di pulau pasir putih yang kepulauan Meko
Kami diantarkan ke seorang nelayan di kampung Waiwuring yang menyebut namanya Mat, katanya berasal Sulawesi di daerah Wakatobi. Karena perjalanan ke sana sekitar memakan satu jam jadi kita sepakat harga 250ribu. 
Sekitar jam sebelas lewat kami berangkat dengan perahu kecil milik pak Mat. Supaya seimbang, dua harus di depan dan dua lagi di belakang. Untuk perjalanan berangkat, aku dan Pakde kebagian di depan, kata pak Mat biar gampang buat ngambil foto. Pakde pakai jaket sementara aku pake rompi dan baju lengan pendek. Gara-gara pakaian ini dan duduk di depan perahu saat terik yang akhirnya sukses membakar kulit lenganku sampai gelap naik 5 level dari gelap menjadi guelaaaap bangeeeeetttt.
Perjalanan pakai perahu dari Waiwerang sampai ke kepulauan Meko memakan waktu 50 menitan. Tanning 50 menit memang joss, mau coba? Sepanjang perjalanan itu aku menemukan beberapa pasir putih yang timbul di tengah laut dan dipenuhi burung belibis dan bangau.

View dari satu-satunya bukit di pulau Keroko
Di kepulauan Meko ini terdapat 4 pulau, dua pulau yang pertama tampak yaitu pulau Konawe dan Ipet. Kedua pulau ini tampak seperti satu pulau yang terpisah dengan dibatasi bakau. Sedangkan dua pulau kecil di bagian luar yaitu pulau Keroko dan Watupeni. Nah diantara pulau ini ada sebuah daratan pasir putih yang hanya muncul saat laur surut yang mereka sebut "Nuha Pasir Putih". Pulau ini di foto teman termasuk pulau yang sering dipenuhi burung-burung seperti belibis dan bangau berkumpul. Dan benar saja, justru siang ini pas puncak surut sehingga pulau pasir itu jadi tampak luas, sayangnya minus burung-burung itu. Mungkin perahu yang datang terlebih dulu sebelum rombonganku yang membuat burung-burung di pulau itu kabur. Disekeliling pulau ini dipenuhi warna toska dan kehijauan menunjukkan daerah ini banyak yang merupakan perairan dangkal. Tapi memang kami gak bisa berlama-lama, gak tahan merasakan panasnya di pulau yang hanya berupa pasir putih tanpa ada satu tumbuhan pun. Tak lama kemudian setelah Pakde bernarsis kekinian kami naik kembali ke perahu. 

Bersandar di salah satu pulau di kepulauan Meko
Bersandar di pulau Keroko yang jernih
Saya minta ke pak Mat supaya ke pulau depan yang juga berpasir putih yang ternyata bernama pulau Keroko. Karena perairan dangkal sekali kami tidak bisa langsung lurus tapi berputar keluar di perairan yang lebih dalam. Setelah agak dekat barulah mesin perahu dimatikan dan dari depan pak Mat menggunakan galah bambu untuk mendorong perahu ke tepi. Mendekati pulau, kawasan ini tampak berserakan di bawah air terumbu-terumbu karang yang masih cantik. Memang di daerah yang sangat dangkal banyak kumpulan warna hitam yang berisi puluhan bulu babi yang kalau terinjak serasa ditusuk sengat lebah.
Di sini pun kami tidak lama karena sekarang harus mengejar kapal dari Lembata-Larantuka yang singgah Waiwerang. Sesuai jadwalku sebelumnya, biasanya kapal terakhir menuju Larantuka itu jam setengah tiga. Perjalanan pulang sempat kena gerimis, untungnya tak berubah menjadi deras, aku gak bisa membayangkan asyiknya perjuangan perahu melewati selat yang dikenal arusnya ini jika ada hujan lebat di tengah lautan.

Mampir ke Pantai Inaburak Sebelum Pulang
Pantai Inaburak saat mulai pasang kembali
Kamu sudah balik ke Waiwerang jam hampir mendekati jam jarum tiga. Awalnya mau mampir ke rumah pak Mat supaya bisa duduk-duduk, solat dan makan siang sebentar namun karena itu berarti kita tidak akan mendapatkan kesempatan mengejar kapal di Waiwerang. Akhirnya kita berempat sepakat langsung berangkat ke Waiwerang. Kata pak Mat ke Waiwerang tidak sampai satu jam karena kondisi jalan sekarang sudah bagus.
Sebenarnya ada jalan potong yang pernah aku gunakan dulu waktu ke Waiwuring tapi sayangnya medannya lewat perkebunan kelapa dan lewat sungai. Terus terang aku sendiri tidak bisa mengingatnya. Akhirnya kami memilih jalur balik Witihama sampai Kelubagolit baru belok ke kiri menyusuri jalan aspal yang kadang-kadang bagus, kadang-kadang jelek, dan sebagiannya lagi jelek sekali.

Di atas puncak salah satu karang pantai Inaburak
Di atas puncak salah satu karang pantai Inaburak
Walaupun sudah dikejar, ternyata kami baru sampai sekitar jam dua lewat 50 menit. Dan itu artinya kami kehilangan kesempatan naik kapal. Duh harus jalan darat lagi ke Tobilota untuk sampai ke Larantuka. Gak ada pilihan, kami tetap harus ke Larantuka karena besok Minggu pagi-pagi kami harus naik pesawat untuk kembali ke Kupang. Kata penduduk setempat, kalau di Tobilota ada banyak kapal sampai jam tujuh malam.
Karena sudah terlanjur akhirnya aku menyarankan supaya bisa mengunjungi satu lokasi lagi sebelum ke Tobilota dan itu adalah pantai Inaburak yang pernah aku tulis disini: Pantai Ina Bura di pulau Adonara.. Pantai ini kalau dari Waiwerang tidak terlalu jauh mungkin sekitar 20-30 menit saja. Jadi kita bergerak balik ke arah Witihama, nanti ada pertigaan jalan aspal pilih ke kanan ke arah kecamatan Ile Boleng. Sekali lagi tanya penduduk saja karena tidak papan petunjuk ke sini. Jika nanti melihat papan petunjuk jalan lokasi Pantai Watutena nah berarti satu percabangan di depan itu setelahnya itulah pantai Inaburak. Kedua pantai ini sebenarnya bersebelahan cuma dipisahkan batu karang.

Suasana pantai Inaburak, Adonara
View Inaburak yang aku foto sebelumnya
Perjalanan balik ke Tobilota melewati Lamahala dan Terong memang lebih dekat sekitar satu jam lebih sedikit. Cuma jalannya emang hancur banget, aku yang sekarang jadi pembonceng harus merasakan bijiku rasanya mau lepas saat motor yang seenaknya melibas jalan yang aspalnya udah berantakan terkelupas tanpa rem. Untung bijiku cuma dua, kalau bijiku banyak kayak anggur jangan-jangan juga rontok semua. Biji apa sih kaka? Biji mata ..... :D
Untungnya kapal terakhir yang ternyata kapal yang sama mengantarku ke sini masih ada. Emang jodoh, dia katanya juga nunggu-nunggu motor untuk naik. Akhirnya memang kapal itu cuma angkut dua motor punya kita makanya minta 70rebu untuk dua motor dan penumpangnya. Udahlah, yang penting kita bisa jalan balik biar gak ketinggalan pesawat.
Kalau dihitung jumlah kecamatan yang kami singgahi ternyata sudah enam: Adonara Barat, Adonara, Adonara TImur, Klubagolit, Witihama dan Ile Boleng. Hahaha sungguh perjalanan asyik hari itu bisa mengelilingi Adonara selama seharian.
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 26 April 2015

Kembali Menikmati Alam Bawah Laut Kupang

Underwater in the Tenau Beach, Kupang
Dengan kedalaman yang begini sudah dapat menikmati terumbu karang warna warni yang cantik tersusun
Bertemu kembali dengan ikan Nemo yang masih tetap lucu dengan warna merah oranye yang cantik, kerinduanku melihat taman laut seperti terlampiaskan. Bagi yang sering snorkling pasti juga tahu kalau ikan badut (clown fish) ini adalah ikan yang penakut, makanya mereka bermain tidak pernah dari anemon. Anemon adalah tempat sembunyi yang pas buat si ikan badut ini, sulur-sulurnya yang panjang lembut terasa agak lengket menyedot jika tersentuh. Bagi yang menyentuh anemon ini, rasanya seperti tersengat padahal hanya efek rasa lengket menyedot. Kalau gak percaya tempelin aja itumu ke anemon nanti rasain sendiri sensasinya. Maksudnya itu yang disini bang?? (tunjuk itu).. Iya, yang itu... Masih gagal paham?? Ya udah, gak usah dibahas lagi.  

Clown fish in Tenau beach
Ikan Nemo kecil ini tak akan beranjak dari anemon
tempat bermain sekaligus tempat teraman baginya
Sudah cukup lama aku gak masuk ke dalam air untuk snorkling. Terakhir aku inget bareng Kadek cs mungkin udah sekitar 2 tahunan. Yang aku inget terakhir snorkling itu gagal karena peralatan buat nyelam bocor karena karet kacamata menjadi terlipat kaku. Mungkin karena terlalu lama dibiarkan. Tak ada teman lagi untuk snorkling setelah perpindahan mereka sehingga beberapa tahun aku melupakan rasanya bermain di laut melihat terumbu yang tersusun dengan indah. Warnanya itu lho, bikin rasanya pengen lagi lagi dan lagiiiii...
Namun Tuhan memang maha baik, mati satu tumbuh satu.. (ya iyalah, tumbuh seribu kebanyakan keles)... akhirnya aku punya kesempatan untuk snorkling lagi setelah bertemu dengan Ardi, Imam dan cs-nya yang punya minat sama. 

Tenau sea's underwater
Terumbu-terumbu bersusun indah dipenuhi ikan-ikan kecil
Awalnya kita mencoba peruntungan di daerah Bolok di pantai bawah kantor balai konservasil laut apa gitu. Namun sayang saat itu laut pasang dan agak keruh. Entah aku yang salah lokasi atau informasinya yang gak update ternyata dalam radius beberapa puluh meter aku memutari daerah ini tidak melihat kawasan terumbu ini. Padahal ini berdasarkan informasi salah seorang mbak-mbak berjilbab yang menjadi pegawai di balai itu saat ketemu gak sengaja di Sabu (iyalah gak sengaja, kalau sengaja namanya nge-date). Akhirnya percobaan pertama yang gagal ini kita ambil hikmahnya (salam lekum ustat), jadilah acaranya ngajari teman-teman lain yang baru pertama kali snorkling. Macam Imam misalnya, satu-satunya gaya berenang yang dikuasai cuma gaya batu.

Tenau sea's underwater
Karang-karang besar menjadi tempat strategis terumbu hidup
Kali kedua aku memilih ke Tenau, karena beberapa titik disini aku kenal cukup baik. Anak-anak lain sempat bertanya apakah aku akan snorkling dari jalanan turunan di depan Gua Monyet. Aku bilang gak, karena aku tahu persis di sana terumbunya sudah hancur cukup banyak terutama di perairan yang dangkal. Asli parah banget, mirip korban kecelakaan setelah dijampret trus dipukuli pake sapu dan disiksa digelitiki bulu ayam sampai kencing di celana.  Ibarat kasus penganiayaan pasti udah masuk kategori pembunuhan dengan kekerasan. Ah masak iya?? Gak, boongan!
Sumpah, sebenarnya aku gak mau ragu tau jalannya karena ragu apa kalian nanti kalau kesini abis snorkling trus naksir berat sama terumbu dan ikan-ikannya trus kalian ngambil terumbu atau ikannya buat dibawa pulang. Atau lebih parah seperti mereka yang tiap kali air surut datang ke sini membawa tombak untuk mencari ikan dan mereka dengan santainya menginjak-injak terumbu karang hingga menjadi rusak tak karuan. Tapi kalau aku gak aku kasih tau, nanti dibilang hoax. Apa foto seperti di bawah ini tidak cukup menjelaskan??

Tenau sea's underwater Underwater in Tenau sea
Terumbu menjadi tempat ikan kecil tumbuh Terumbu mulai tumbuh memenuhi karang
Untungnya memang lokasi itu masih terjaga karena bentuk pantainya hanya beberapa meter yang landai sehingga menghindari orang-orang untuk mencari ikan dengan menombak disini. Itu juga menguntungkan karena cukup berenang tak sampai sepuluh meter kita sudah bertemu dengan banyak terumbu karang yang indah.
Hanya memang lokasi di sini agak sulit karena berupa karang-karang yang terjal dan tajam, di beberapa titik ada tempat untuk turun ke pantai tapi itu harus dilakukan hati-hati karena sedikit saja kita salah melangkah dengan mudah karang akan melukai kaki.
Free dive under Tenau sea's
Yang tampak paling lihai snorkling tentu saja di Irmeng, lengkap dengan baju wet dry yang spesial untuk diving bahkan membawa baju untuk pemberat di badannya. Beberapa foto ini sebenarnya adalah foto yang diambil oleh Irmeng dan Yudha yang berenang lebih ke tengah. Yudha sendiri menurutku cukup mahir dan tenang namun masih kesulitan untuk melakukan free diving di awalnya, maklum karena dia sendiri belum banyak bermain snorkling. Aku sendiri biasanya bermain di tengah namun karena harus mendampingi anakku Shiva yang juga baru pertama kali ikut snorkling sehingga memilih bermain di daerah yang tidak terlalu dalam. Namun karena sudah pintar berenang dengan cepat dia bisa melakukan snorkling dengan mudah bahkan sudah mulai bisa melakukan free diving.
Dan terakhir, inilah foto para peserta snorkling itu, termasuk anakku Shiva yang menjadi snorking termuda. Semoga foto dan tulisan ini membuat banyak orang di Kupang berminat dengan alam bawah lautnya yang sebenarnya sangat menarik. Tapi tentunya dengan diiringi tanggung jawab untuk menjaganya. Mulai saat ini, berhenti membuang sampah sembarangan di laut, karena setiap kalian membuang sampah sedikit demi sedikit perairan akan menjadi tercemar. Cieee, sok ngingetin.. ya gitu deh, pokoke happy snorkling. 

Before snorkling in Tenau sea Underwater in Tenau sea
Poses sesaat sebelum snorkling Shiva, si kecil diantara para cowo gede
Thanks buat teman-teman yang telah bersama-sama snorkling beberapa waktu lalu baik yang sudah disebutkan namanya atau yang aku lupa menyebutkan (gak sengaja nih men ceritanya). Juga thanks buat mbak Arin (si Mak Ketjeh) buat informasi lokasinya walau sampai sekarang belum sempat dikunjungi karena masih bingung hehehe.... Dan tentu saja tunggu hunting lokasi selanjutnya.
Buat kalian yang berminat dengan lokasi snorkling di Kupang, sekarang sudah ada komunitas snorkling dan diving di Kupang, silahkan kalian cari saja via fesbuk, kalau gak nemun juga boleh kontak aku nanti aku hubungkan dengan mereka yang lebih mengenal daerah snorkling di Kupang.
Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 27 November 2013

Seri Alor: Kalabahi dan Sisi Barat

Anak-anak yang ikut kami berenang di pulau Kepa berpose sebelum pulang
Begitu tiga buku di tangan mereka, kerumunan anak-anak itu langsung berpencar dalam kelompok-kelompok kecil mencari tempat. Antusias sekali mereka, buku-buku cerita bergambar ini dieja dengan jelas sekali terdengar di telingaku. Ah, mereka haus dengan bacaan tetapi dengan kondisi seperti ini sepertinya bacaan bukan hal yang mudah mereka dapatkan. Beberapa anak yang sedang asyik mandi di laut ikutan berkerumun. 
Pak Sueb bersama anak2 yang baca buku sumbangannya
Itu buku-buku terakhir yang dibagikan pak Sueb, kepala kantorku yang kebetulan lagi bareng tugas di Alor. Beberapa buku sebelumnya dibagikan di jalan tiap kali lihat anak-anak kecil berjalan di pinggir jalan. Tidak semua menerima sih, ada beberapa yang malah takut gak mau dikasih. Semua buku yang dibagikan memang buku cerita bergambar, karena pak Sueb berpendapat jika ingin mengubah manusia di sebuah tempat ubahlah lebih dahulu dari anak-anaknya.
Aku gak nyangka juga idenya, coba kalau aku tahu mungkin aku bisa ikut nyumbangin buku untuk mereka. Masalahnya bukuku udah jarang yang buku anak-anak. Koleksi buku cerita Tintin dan Donald Bebek udah raib entah kemana. Kan gak mungkin aku kasih buku "Pemikiran Kirim di Indonesia" atau novel macam "Da Vinci Code", bisa-bisa buku-buku itu jadi tambahan untuk masak air. Aku lupa di desa mana saja buku-buku itu dibagikan, tapi perkiraanku ini masih di pertengahan antara Kalabahi dan Alor Kecil. 
Begitu melihat antusiasme anak-anak seperti ini, beberapa buku yang dibawa jadi terasa tampak kurang. Pak Sueb sendiri bersemangat untuk lain kali membawa lebih banyak buku-buku seperti ini. Semangat pak! Kalau perlu nanti bawa satu kardus, aku bagian bawain aja deh hahaha..... 

Alor Kecil: Al-Qur'an Tertua di Asia Tenggara
Hari ini Jum'at, pak Sueb sudah bilang dari kemarin kalau kita hari ini mau sholat Jum'at di Alor Kecil sekaligus mau membuktikan tentang keberadaan Al-Qur'an tua dari kulit kayu yang masih tersimpan rapi di sini. Karena jarak dari Kalabahi tidak terlalu jauh, baru sekitar jam setengah sebelas kita berangkat. Langit terbilang cerah, walau gumpalan-gumpalan awan masih juga berserakan di langit. Semoga hari ini tidak hujan seperti dua hari kemarin.


(1) Mushab Al-Qur'an tua dari kulit kayu yang masih utuh tersimpan
(2) Gambar perahu layar Tuma Ninah di salah satu lembar Al-Qur'an
Beberapa meter setelah dermaga rakyat di Alor Kecil ada sebuah masjid yang tampaknya baru dipugar, belum selesai sehingga sebagian besar masih berwarna semen. Namanya masjid jami Babussholah, masjid berlantai dua ini tampak kontras dengan kondisi di sekeliling masjid.
Kami masuk ke jalam samping masjid dan memarkirkan kendaraan persis di belakang masjid. Jalanan disini terbilang kecil sehingga jika kendaraan roda empat saling melintas harus mengurangi kecepatan, jadi tidak bijaksana memarkirkan kendaraan di pinggir jalan.
Di seberang samping masjid terdapat sebuah rumah kecil dan di depannya ada sebuah kamar kecil, disitulah tempat diletakkan sebuah Al-Qur'an tua itu.
Empunya rumah keluar dan menyambut kami. Setelah kami berbasa basi sejenak, pak Sueb menyatakan tujuannya. Empunya rumah masuk ke bilik kecil itu dan tak lama kemudian membawa sebuah Al-Qur'an yang telah terbuka. Di bawahnya ada sebuah kotak kayu yang menjadi tempat untuk menaruh Al-Qur'an. Al-Qur'an ini terbuat dari kulit kayu berwarna putih kekuningan.
Menurut cerita, pada tahun 1523 lima orang bersaudara dari Ternate pada masa Kesultanan Babbullah bernama Iang Gogo, Ilyas Gogo, Djou Gogo, Boi Gogo dan Kimales Gogo disertai seorang mubaligh lainnya bernama Abdullah. Mereka memiliki misi yang sama dengan Mukhtar Likur, yaitu menyebarkan ajaran Islam di kepulauan Alor. 
Masjid jami masyarakat Alor Kecil
Mereka menyinggahi daratan Alor untuk pertama kalinya di Vetelei (Tanjung Bota, Desa Alila). Setelah itu mereka meneruskan perjalanan kembali dan singgah di suatu tempat bernama Tangtang (sekarang bernama desa Aimoli) yang kemudian bertemu dengan raja Baololong I (Raja Bungabali). Dalam pertemuan ini mereka saling bertukar cinderamata yaitu kelima Gogo memberikan sebuah Nekara dan Raja Baololong I memberikan pisau khitas kepada kelimanya. Dari Tangtang, mereka berpisah dengan janji akan bertemu kembali di Pusung Rebong (pusat kerajaan Bungabali). Saat di Bungabali terjadi kesepakatan bahwa salah satu satu dari kelima Gogo bersaudara tersebut harus tetap tinggal di Bungabali untuk menyebarkan agama Islam, yang kemudian dilaksanakan oleh Iang Gogo dengan bekal sebuah Al-Qur'an dari kulit kayu dan pisau khitan. Iang Gogo menikah dengan seorang puteri bangsawan kerajaan Bungabali bernama Bui Haki.
Keempat Gogo lainnya berlayar kembali dan menunaikan tugas penyebaran Islam di beberapa tempat, yaitu: Ilyas Gogo menetap di Tuabang, Djou Gogo menetap di Baranusa, Boi Gogo menetap di Solor, dan Kimales Gogo menetap di Kui, Lerabaing. 
Menurut cerita, ada gambar perahu di dalam Al-Qur'an yang merupakan perahu layar yang mereka tumpangi untuk berlayar yang mereka namai Tuma Ninah yang berarti "Singgah/Berhenti Sebentar".
Aku sempat menanyakan adanya sedikit warna gelap (agak gosong) di beberapa halaman awat dan pinggiran Al-Qur'an. Menurut empunya sekarang, tahun 1982 pernah terjadi kebakaran yang memusnahkan seluruh pondok dan isi rumah termasuk seluruh benda-benda peninggalan Iang Gogo yang dibawa dari Ternate (Maluku Utara), tetapi anehnya Al-Qur'an tua ini tidak terbakar dan utuh. 
Katanya ini Al-Qur'an tertua di Indonesia bahkan di Asia Tenggara karena diperkirakan usia Al-Qur'an ini sudah sekitar 800 tahun. Cukup awet juga mengingat penyimpanan barang ini tidak seperti penyimpanan di perpustakaan yang untuk benda-benda berharga seperti ini.

Menatap Senja di Alor Kecil
Candra tertawa denganku, tangannya mengacungkan huruf V saat aku memotret rombongan yang sedang mengangkat peti mati menuju perahu. Candra Saleh, nama lengkapnya dan sekarang dia sudah kelas satu di SMP dekat sini. Dia bersama Andika dan Saleh menemaniku menikmati senja di pinggir dermaga. 
Sore itu tidak banyak aktivitas perahu, hanya ada satu rombongan beberapa orang yang mengangkut peti mati itu. Katanya mereka mau membawanya ke pulau Pantar. Cuma Andika yang masih kelas empat SD, namun dialah yang paling semangat bercerita. Orang tua Andika tinggal di samping dermaga yang membuka warung untuk para penumpang yang akan dan ke pulau Pantar dan pulau Pura.
Candra, Andika dan Saleh: anak-anak Alor Kecil
Dari pinggir dermaga yang saat ini sedang surut, tampak bayangan pulau Pantar di seberang, mungkin hanya beberapa ratus meter dari sini. Dibelakang pulau Pantar tampak bukit tinggi yang awalnya kukira juga bagian dari pulau Pantar namun tertanya adalah pulau lain, yaitu Pulau Pura. Pulau Pantar sendiri letaknya paling jauh, masih tampak dari sini namun hanya tampak seperti bayangan gelap saja.
Ada beberapa pulau lain yang dengan fasih disebutkan oleh Andika yang aku sendiri sudah susah mengingatnya. Andika juga bercerita tentang bagaimana pulau-pulau ini membentuk bagian-bagian tubuh naga. Ada satu pulau Ternate yang ditunjuk oleh Andika. Nama ini berbeda dengan nama Ternate yang kita kenal, namun punya sejarah yang berhubungan dengan orang-orang yang menemukan pulau ini. Asyik juga bercerita dengan mereka. Anak-anak yang masih polos ini bercerita banyak hal tentang kampung mereka, tentang cita-cita dan keinginan mereka suatu waktu nanti saat mereka besar.
View pulau Kepa senja hari, bukit di belakang adalah Pulau Pura
Sebenarnya aku kemari sehari sebelum pak Sueb kemari. Waktu itu rombongan kantorku baru akan datang esok harinya. Karena tidak ada aktivitas siang itu akhirnya aku sendiri ke Alor Kecil ini sementara Arif yang menemaniku masih tertidur nyenyak. Aku sendiri gak enak mau membangunkannya. Langit sedang mendung berat saat itu dan ada kemungkinan hujan seperti hari kemarin. Aku sih nekat saja, berharap justru dengan situasi seperti ini aku bisa mendapatkan foto yang lebih dramatis walaupun punya risiko kehujanan.
Rumah dan warung Andika di samping dermaga
Candra menawarkan perahu milik pamannya kalau ingin mengunjungi pulau Kepa yang ada di seberang itu. Aku mengiyakan tapi tidak untuk kali ini, karena menurutku sudah terlalu sore. Di samping itu, aku juga lupa tidak membawa celana dan kacamata renang.
Di bawah dermaga tampak air yang berwarna bening berkecipak, namun di pinggir dinding dermaga banyak sekali mahluk laut berwarna hitam dengan duri-duri panjang yang menyeruak memenuhi seluruh badan mereka. Mahluk laut inilah yang biasa disebut Bulu Babi. Jangan meremehkan mahluk itu, jika sampai kalian tertusuk maka sangat mungkin kamu akan merasakan rasa pegal dan kebas beberapa hari. Mungkin ada semacam racun tertentu yang mengakibatkan rasa itu, sangat berbeda dari sekedar tertusuk benda runcing. Banyaknya binatang seperti ini juga pertanda kalau terumbu karang di daerah itu sudah banyak mengalami kerusakan.
Namun Candra dan Andika menyakinkanku, kalau masih banyak tempat yang memiliki terumbu karang yang bagus. Salah satunya pulau Kepa di depan kami. Bahkan tak jauh-jauh, di seberang kanan dermaga ini juga masih banyak terumbu karangnya.

Berenang di Pulau Kepa Dengan Mereka
Pak Darto berhati-hati menaiki perahu yang masih suka oleng kecil kekiri kanan dihempas riak-riak kecil. Jangan tanya dengan Danu, Candra dan beberapa anak lain yang dengan lincah meloncat ke atas perahu. Perjalanan ke pulau Kepa bukan cuma kami sendiri. Selain kami berempat, anak-anak dari pulau Kepa juga turut. Tak kurang dari tujuh anak ikut, termasuk Candra dan Danu. Suasa perahu menjadi ramai oleh anak-anak. Sayang Andika dan Saleh tidak bisa ikut, padahal kemarin rencananya mereka juga mau ikut. Perahu yang aku gunakan ini milik ayah Candra yang kami sewa dua ratus ribu untuk pulang balik. Sebenarnya kalau mau menawar masih bisa mendapatkan harga seratus sampai dengan seratus lima puluh ribu rupiah.

Anak-anak di atas perahu yang sudah rusak
Selesai sholat Jumat kami memang tidak langsung berangkat karena dirasakan masih terlalu panas. Untuk membuang waktu, mobil yang kami tumpangi sempat berkeliling menelusuri sisi Barat dari kepala Alor. Walaupun sebagian besar dari tempat ini berpasir putih, ada beberapa tempat yang walaupun memiliki pasir putih, namun ada batuan berwarna hitam.
Perjalanan tak lebih dari sepuluh menit dan langsung merapat ke dermaga yang berada di sisi berhadapan dengan dermaga Alor Kecil. Begitu perahu mendekati dermaga, air berwarna biru tosca langsung menyambut mataku. Pemandangan terumbu karang jauh di bawah air terlihat jelas, mungkin karena airnya sangat jernih dan laut mulai surut.
Pak Sueb di pantai masih di bagian kepala Alor
Tapi anak-anak mengajak aku ke tempat lain karena menurut mereka arus di depan dermaga sangat kencang dan sering terjadi perpindahan arus laut. Aku sendiri pernah menyaksikan video dari fenomena unik dari tempat ini saat terjadi arus laut. Pada bulan-bulan tertentu sekitar satu atau dua kali ada arus bawah laut yang menjadi perairan ini sangat dingin yang mengakibatkan banyak ikan yang teler dan pindah ke pinggir. Saat hal itu terjadi, di video aku menyaksikan segala jenis ikan memenuhi pinggir pantai. Sangat banyak bahkan aku sampai bilang kalau pada saat itu ikan tampak lebih banyak dari air laut. Dengan segala benda yang ada, kaos, jaring, topi, semua menjadi alat untuk mengambil ikan dengan mudah. 
Aku dan teman-teman mengikuti anak-anak, mereka menelusuri sisi utara hingga bertemu dengan sebuah resort dengan rumah-rumah berbahan kayu dan atap ilalang dan berpagar kayu. Resor ini katanya milik seorang bule yang telah lama menjadi pemandu wisatawan asing yang ingin melakukan penyelaman di Kepa.
Sekedar informasi, Alor ini punya lokasi penyelaman yang disebut-sebut salah satu terbaik di dunia. Tentu saja hal ini tidak bisa aku buktikan sendiri karena aku tidak punya lisensi dan pengalaman menyelam. Bule ini sangat ketat persyaratan, mereka tidak akan pernah mengijinkan kita menyelam jika tidak punya lisensi. Apalagi di beberapa titik penyelaman yang viewnya sangat indah juga terkena berbahaya.
Kegembiraan anak-anak yang begitu polos
Aku melihat sendiri bagaimana arus dari selat ini membuat dua orang penyelam pencari ikan (dengan alat panah) harus berjuang menepi karena terbawa arus laut. Dari resor itu, anak-anak berjalan ke samping pagar dan melewati rerimbunan pepohonan.
Akhirnya kami dibawa disebuah pantai yang menurut mereka menjadi favorit para bule untuk menyelam. Sayangnya tidak untuk snorkling karena karang landainya jauh, jadi kami harus berjalan beberapa puluh meter sebelum menemukan kawasan terumbu karang.
Akhirnya kami balik lagi ke tempat semula. Memang di tempat semula kami tidak bisa berenang terlalu jauh karena kondisinya pantainya curam, beberapa meter ke depan langsung laut dalam. Aku juga sempat merasakan air tiba-tiba berubah dingin, hal yang menjadi kan Pak Sueb mengalami kram kaki sehingga berpindah ke pinggir. Yang paling asyik adalah Danu, dia berkesempatan banyak menikmati alam bawah laut dengan kacamata pinjaman kami. Anak-anak tampak begitu tertarik, padahal kami kira mereka sudah sangat biasa dengan pemandangan seperti ini.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 09 Desember 2010

Manggarai Barat: Menuju Ikon Dunia

View dermaga Labuan Bajo senja hari dari Puncak Waringin (picture taken 29/11/2010 18:39:36)

Bagi yang pernah singgah di Labuan Bajo, tidak akan heran bila mengetahui bahwa Labuan Bajo, ibukota dari Kabupaten Manggarai Barat ini memiliki hotel berbintang yang lebih banyak daripada hotel di Kupang, ibukota dari Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sebuah alam yang menjanjikan wisata alam luar biasa, potensi yang mulai dilirik olah para investor baik dalam negeri maupun investor asing.

Senja hari di daerah pendinginan ikan
Kabupaten yang berada diujung pulau Flores ini memiliki kontur alam yang membuat kita mengganggukkan kepada betapa banyak potensi yang mungkin tergali dari daerah ini. Kabar terkuat belakangan ini justru dari keberadaan pulau Komodo yang sedang dalam pertarungan di dunia untuk menjadi satu dari keajaiban alam.
Sebuah pesawat bermesin baling-baling mendaratkan rodanya di bandara Komodo saat kulirik jam 09.00 WITA, aku menunggu kedatangan seseorang hampir setengah jam sampai akhirnya memastikan bahwa pesawat tiba saat keudengar bunyi sirine dari menara pengawas bandara. Ini adalah hari ketiga aku di Labuan Bajo, sebuah tugas dari kantor telah membawaku ke tempat ini. Bukan pertama kali aku kesini, tapi mungkin saat inilah waktu terpanjang aku kesini setidaknya sampai seminggu ke depan.

Pasir putih dan kawasan terumbu karang di P. Bidadari
 Walaupun lebih dari seminggu aku disini, bukan hal gampang untuk mempersiapkan perjalanan. Total sampai hari ketiga ini, aku belum melakukan perjalanan jauh. Aku hanya bolak-balik ke mampir dermaga pelabuhan atau sekedar berjalan-jalan ke arah pasar ikan. Di depan pasar ikan banyak berdiri lopo-lopo yang seharusnya digunakan untuk orang duduk-duduk tapi justru digunakan pedagang untuk berjualan makanan dan minuman. Tapi kalian harus rela menahan napas jika kendaraan berat lewat karena kondisi jalan yang rusak dan banyak timbunan tanah membuat debu tebal berterbangan begitu kendaraan besar lewat.
Kalo sore dan langit tidak terlalu mendung, maka aku akan menyempatkan diri naik ke atas bukit dimana terdapat satu tempat yang menarik untuk melihat kota Labuan Bajo, namanya Puncak Waringin. Di Puncak Waringin ini berdiri bangunan yang dibangun oleh pemerintah setempat dan sekarang tempat ini telah menjadi hotel dan restauran. Sayang sekali, padahal tempat ini sangat menarik jika dijadikan ruang publik dan tidak ada bangunan seperti hotel ini. Dari atas Puncak Waringin ini, dapat kulihat kontur Manggarai Barat yang berbukit-bukit dengan banyak pulau-pulau seperti saling menutup menjadi perairan disini terlindung dari gelombang laut. Bahkan sering sekali laut di sini terasa tenang sekali seperti air danau.

Suasana pagi hari di dermaga pelabuhan
Untunglah akhirnya aku mendapatkan sebuah motor pinjaman yang dapat kugunakan untuk berjalan-jalan sore hari sepulang tugas kantor. Perjalanan darat pertama aku mencoba menyusuri kawasan jalan menuju pantai Pede, sebuah ikon wisata lokal yang sama sekali tidak menarik menurutku. Sebuah tempat wisata lokal yang pantainya telah kotor tercemari sampah penduduk yang tinggal di perkampungan Bajo di sebelah pantai Pede.
Tapi disamping pantai Pede sendiri terdapat bangunan hotel New Bajo Beach yang tampaknya sudah lama berdiri. Beberapa bangunan lama seperti villa-villa berdinding bambu tampak menganggur dan dalam kondisi rusak, padahal dulu aku sering melihat bule (wisatawan asing) backpacker tinggal disini.
Sebuah bangunan baru juga tampak baru dibangun di sebelah kanan pantai Pede, katanya teman yang bekerja di pemerintahan, bangunan itu adalah calon hotel bintang lima. Sebuah hotel lain yang akan melengkapi keberadaan hotel berkelas lain seperti hotel Bintang Flores dan hotel Jayakarta. Dari bangunan dan jalan yang baru dibangun, tampaknya arah pembangunan hotel dan tempat hiburan akan diarahkan ke tempat ini. Bangunan-bangunan baru yang berdiri ini seperti mengisyaratkan kesiapan investor untuk menjadi daerah tujuan wisata kelas dunia. Apalagi jika pulau Komodo nantinya berhasil menjadi salah satu ikon keajaiban alam dunia.
Disepanjang jalan utama dari Labuan Bajo banyak dipenuhi hotel dan tempat-tempat yang menawarkan jasa travelling dan tempat kursus diving karena memang salah satu yang menarik dari Manggarai Barat adalah banyaknya lokasi-lokasi terumbu karang yang indah di sepanjang alur pantai di pulau-pulau.
Saya juga sempat menikmati perjalanan darat ke arah perbukitan sebelah barat Labuan Bajo dimana mengantarkan saya sampai ke tempat pendinginan ikan. Sebuah dermaga kayu kecil memanjang yang digunakan nelayan-nelayan yang akan menyetorkan ikannya ke tempat ini. Arinya begitu tenang dengan ikan-ikan warna-warni yang begitu mudah ditemui mata. Sayang sekali, sekali lagi saya menemukan pantai yang begitu banyak sampah padahal jika di tempat ini bersih dari sampah, saya akan menemukan tempat yang menarik untuk disinggahi.
Baru pada hari kedelapan, saat bersamaan tim kerja memiliki waktu longgar kita bisa merencanakan perjalanan ke luar pulau. Sebenarnya awal kita akan merencanakan perjalanan ke pulau Komodo tapi berhubung jarak tempuh yang sekitar 4 jam sedangkan hari ini ada tim yang harus kembali ke Kupang, maka kita memutuskan untuk mengunjungi pulau Rinca. Pulau Rinca adalah pulau lain yang juga menjadi habitat hidup Komodo.


Pak Arman di atas perahu memasuki Loh Buaya
  Kami menggunakan perahu motor teman bernama pak Armansyah, yang kebetulan juga memiliki sebuah kapal wisata bernama Sibanaha, sebuah perahu bergaya pinisi yang juga berfungsi sebagai penginapan terapung. Sebuah sensasi yang layak anda coba jika suatu ketika kesini, perjalanan anda ke pulau-pulau dengan pantai nan eksotis dan diving diantara terumbu-terumbu karang yang tersebar di pulau Bidadari, Seraya Besar, Seraya, Rinca, Komodo, Kanawa dan beberapa pulau lain tak akan terlupakan, apalagi menikmati makan malam berlatar matahari terbenam disebuah kapal pinisi yang tertambat di tengah laut yang begitu tenang.
Perjalanan ke pulau Rinca ditempuh dalam waktu sekitar 2 jam, di antara jarak itu, mata kami disuguhi landskap Manggarai Barat dan beberapa pulau yang begitu indah. Laut yang begitu tenang terbelah mesin perahu motor kami. Suara raungan moto perahu seperti tidak terdengar karena aku begitu terpaku pada setiap view yang lewat di depan mata. Setelah melewati selat Molo, sebuah tempat yang harus diwaspadai karena arus yang kadang sangat kencang, tak lama kemudian kami mulai memasuki ceruk ke dalam melewati Loh Timah menuju ke Loh Buaya.

Seekor anak komodo mengintip dari rerumputan

Komodo tertua di P. Rinca yang dipanggil the Big Boss
Loh Buaya terletak di ceruk pulau Rinca sehingga laut di sini tenang sekali, perahu kami seperti membelah sebuah kaca raksasa karena pantulan pulau-pulau begitu sempurna tergambar. Sederetan hutan bakau menyambut kami menyusul pemandangan sebuah dermaga yang bertuliskan Selamat Datang di Pulai Rinca menyambut kami. Kami melihat beberapa kano bersandar disebuah sisi perahu yang agak besar. Menurut pak Arman, kano-kano modern ini yang sering digunakan olah wisatawan asing untuk menjelahi pulau Rinca dari perairan. Sensasi petualan yang ingin saya jajal nanti.
Beberapa ekor monyet bertengger di pohon bakau menyambut kedatangan kami, dari dermaga masuk ini kami harus berjalan sekitar 400 meter menuju sebuah kawasan bangunan milik penjaga. Beberapa ekor komodo tampak tak antusias menyambut kami, setidaknya itulah yang kami inginkan, karena kami tak ingin menjadi santapan mereka. Sebuah anak komodo kecil menarik perhatianku, ukurannya yang seperti biawak dewasa tampaknya menarik apalagi dengan gerakannya yang cenderung lebih gesit dari pada induknya. Dengan ditemani seorang penjaga yang selalu memegang tongkat bercabang seperti ketapel, kami memasuki ke kawasan yang lebih dalam kami disambut beberapa ekor komodo yang ukurannya jauh lebih besar. Menurut penjaga tersebut, komodo di pulau Rinca ini ukurannya lebih kecil daripada ukuran yang ada di pulau Komodo. Sebenarnya dua habitat berbeda ukuran ini adalah satu jenis, namun berbedaan ekosistem tempat habitat mereka rupanya mempengaruhi ukuran tubuh komodo.
Sebelum kami kembali ke Labuan Bajo, kami menyempatkan diri berenang di pulau Kelor, sebuah pulau yang malah sebenarnya tidak ada pohon Kelor. Entah apa makna dari nama pulau Kelor ini. Hamparan pasir dan laut yang begitu jernih menyambut kami, kesempatan yang tidak kami sia-siakan tentunya walaupun ada yang harus kami tebus: kulit yang makin terbakar. Ah, kesenangan yang tidak tergantikan dengan hanya sebuah kulit yang terbakar matahari. Siang tidak menjadi penghalang kaki-kaki mengayuh di beningnya air Pulau Kelor.
Inilah Manggarai Barat, potensi-potensi wisata luar biasa yang terbentang dengan keterbatasan-keterbatasan infrastruktur dan prasarana seolah saling bertarung untuk menentukan: apakah Kabupaten ini berhasil mengatasi hambatan infrastruktur dan menjadi menjadikan salah satu pulaunya menjadi ikon wisata dunia ataukah menjadi sebuah kota yang nyaris menjadi tempat wisata dunia yang ditinggalkan.
Rasanya dibutuhkan hubungan yang lebih baik antara pemerintah dan komponen masyarakat yang peduli wisata di Manggarai Barat untuk membuatnya menjadi tempat yang layak untuk dikunjungi. Mari kita dukung pulau Komodo menjadi salah satu keajaiban dunia.

Vote Komodo!
http://www.new7wonders.com/community/en/new7wonders/new7wonders_of_nature/voting

catatan: Jika anda tertarik untuk menyewa kapal motor "Sibanaha" yang bergaya pinisi untuk menikmati perjalanan anda di wilayah Nusa Tenggara Timur atau Nusa Tenggara Barat, silahkan hubungi saya atau pemilik langsung kapal Sibanaha.

Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya