Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label teluk. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label teluk. Tampilkan semua postingan

Jumat, 14 Desember 2018

Lengkung Pasir Putih Tarimbang

pantai Tarimbang, Sumba Timur
Pasir putih memanjang, melengkung mengikuti lekuk teluk dan diapit dua bukit kapur tinggi di kiri dan kanan. Tempat ini mungkin salah satu yang boleh disebut sebagian traveller sesat sebagai "surga tersembunyi" yang mulai menunjukkan diri. Letaknya yang berada di sisi Selatan pulau Sumba membuat pantai cantik ini memiliki kelebihan yang membuat para pecinta pantai tak bisa berpaling. Dan salah satunya adalah ombaknya yang besar untuk para pecinta surfing.

Pantai yang Baru Terbuka Aksesnya
Setelah sekian lama hanya terjamah oleh para pecinta surfing yang mendatangi lokasi ini melalui jalur laut, akhirnya sekarang traveller yang ingin mendatangi lokasi ini lebih mudah menjangkau lokasi ini melalui darat. Sebuah jalan baru yang dibuat menembus hutan yang masih masuk kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti adalah tiket murah menuju kesana dengan kendaraan, bahkan motor matik sekalipun.

Sebelumnya, duh lupakan deh kalau ke sana hanya pakai motor dan mobil biasa. Jalurnya bener-bener parah, minimal sekelas mobil dobel gardan atau motor trail yang bisa menjangkau daerah itu. Itu pun waktu tempuh dari Waingapu sampai ke pantai Tarimbang tak kurang dari 4 jam perjalanan. Namun sekarang, dengan menggunakan motor bebek saja bisa ditempuh sekitar 2 jam. Jalur jalannya sendiri tetap saja berkelok-kelok. Karena sebagian besar menyusuri punggungan bukit.

Perjalananku ke pantai ini yang kemudian membawaku mampir ke air terjun Laiwi yang aku tulis di sini: Sejuknya Air Terjun Laiwi. Jadi jika kalian mau ke pantai Tarimbang, jalur jalan dari kota Waingapu sampai ke pantai Tarimbang yang dapat kalian singgahi antara lain: bukit Wairinding dan air terjun Laiwi.

Praing Ngalung Spot, pantai Tarimbang
Apakah bisa mampir ke Taman Nasional Laiwangi Wanggameti, kan dekat jaraknya ke Tarimbang? Aku pun sempat berfikir demikian. Jadi rencana awal, sebelum ke pantai Tarimbang aku mau mampir dulu ke Taman Nasional Laiwangi Wanggameti karena di sana juga ada air terjun 2 buah, Laindamuki dan Laiwangi. Kalau mau sedikit lebih jauh ada air terjun Laputi yang bagian atasnya terdapat sebuah danau yang dikenal keramat. Duh tapi lupakan taman nasional itu kalau hanya menggunakan kendaraan biasa. Walaupun secara jarak di peta itu tampak dekat namun kondisi jalan ke daerah itu masih bisa rusak. Aku sendiri belum pernah ke sana tapi informasinya sekitar 7 jam untuk sampai ke air terjun itu. Jadi bisa dibilang pantai Tarimbang ini yang sudah diperbaiki akses jalannya sementara lokasi lain masih belum.

Di titik yang dulu disebut jalur paling sulit karena kemiringan jalan yang tajam terdapat sebuah bangunan gubuk ilalang terbuka yang tertulis 'Praing Ngalung Spot". Pemandangan di depan bangunan itulah pantai Tarimbang yang berada di teluk. Kata seorang penduduk yang lewat, gubuk itu milik pak Marthen yang punya homestay di dekat sini.

Jalur setelah ini memang harus ekstra hati-hati, rem harus bener-bener pakem karena di jalur belokan pun kemiringannya tetap terasa. Untungnya jalannya sudah mulus beraspal. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana sulitnya medan ini saat masih berupa jalan batu.

Pantai Pasir Putih yang Memanjang
Sekitar jam setengah tiga aku baru sampai ke pantai Tarimbang. Walaupun di perbukitan banyak yang sudah gersang namun di pantai ini masih banyak tanaman yang hijau. Justru karena banyak pepohonan dan angin yang cukup kuat membuat suasana di pantai ini terasa sejuk.

View pantai Tarimbang
Untungnya pantai sedang tidak ramai, mungkin karena jaraknya jauh atau mungkin juga karena bukan hari libur. di sepanjang area, aku melihat hanya ada satu mobil Avansa yang berisi serombongan anak-anak muda. Sambil mencoba mencari tempat untuk beristirahat, mataku mencoba menjelajahi suasana di sekeliling tempat ini. 

Dari deretan pasir putih memanjang dan air laut yang berwarna biru kristal, pandanganku akhirnya tertuju pada sebuah pohon berbatang putih satu-satunya yang 'nongol' di pasir pantai. Itulah pohon instagramable yang menjadi selalu masuk foto orang-orang yang berkunjung ke pantai Tarimbang. Dan sekarang, di atas pohon nangkring sesosok tubuh langsing dengan kulit putih bersih sedang berpose sementara temannya sibuk menjepretkan kamera ke arahnya. Angin laut kadang ikutan nakal menerbangkan kain yang melilit pinggangnya dan pemandangan selanjutnya bisa ditebak. Astaghfirullah... Alhamdulillah...

Setelah terlepas dari jerat pemandangan itu barulah aku kembali bisa menikmati keindahan pantai Tarimbang tanpa 'gangguan'. Aku dapat melihat gelombang besar di kejauhan yang memanjang. Sayangnya karena luas pantai dan waktu yang terlalu mepet, aku dan Imam tidak menjelajah dari ujung ke ujung. Padahal pemandangan tebing-tebing batu yang tampak tinggi menjulang di kejauhan sangat sayang dilewatkan.

Seorang bule yang berjalan dengan papan selancar datang menghampiriku. Ngobrol sebentar menanyakan apakah aku akan bermalam di sini. Mungkin karena dia melihat aku memasang hammock dan alat masak. Dia sendiri rupanya menginap di sini namun tidak tinggal di homestay atau rumah penduduk melainkan di atas kapal. Dia menunjuk ke sisi timur di mana tampak sebuah perahu di kejauhan. Duh enaknya yang punya perahu buat melancong.



Ternyata perkiraanku salah, karena pantai ini terletak di antara dua bukit tinggi jadi matahari tenggelam di balik bukit sebelah kanan. Mungkin lain kali aku harus naik ke salah satu bukit dan menginap di sini untuk mendapatkan pemandangan matahari terbit dan terbenam di pantai Tarimbang.

Catatan untuk yang ingin ke pantai Tarimbang:
  1. Bawa bekal makanan dan minuman yang cukup karena di lokasi belum ada penjual makanan/minuman. Namun jika membawa bekal makanan yang harus dimasak terlebih dahulu menggunakan kayu pilih-pilih lokasi yang aman karena angin yang lumayan kencang. Jangan tebang pohon, banyak kok kayu kering di sekitar yang bisa dipakai. Tapi setelah acara bakar-bakar jangan lupa untuk dibersihkan.
  2. Sebaiknya membawa plastik supaya bisa membawa kembali sampah yang kalian bawa karena disini belum ada bak/tempat pembuangan sampah. Lagian membawa sampah kembali jauh lebih bagus untuk membuat tempat ini tetap bersih. Apalagi sampah plastik, kalau tidak bisa menghindari ya bagusnya dibawa kembali.
  3. Jika mau menginap ada homestay milik pak Marthen tapi aku sendiri tidak tahu rate-nya. Silahkan googling aja. Alternatif lain ya nenda di pantai Tarimbang. Aman? Aman saja kok, setahuku masyarakat Sumba Timur sangat welcome. Bagaimana dengan air? Jarak dari pantai ke pemukiman terdekat tidak terlalu jauh kok jadi bisa mengisi air di pemukiman sekalian minta ijin.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 05 Juli 2018

Selamat Pagi dari Pantai Oa

Pagi melintas di Pantai Oa
Seorang nelayan melintas di pagi hari
Pelahan kabut di pantai mulai naik menutupi pemandangan perbukitan di kaki gunung Lewotobi. Bukan, kabut itu bukan dari atas tapi dari air laut dingin yang menguap terkena sinar matahari. Tidak terlalu tebal karena matahari masih sangat leluasa menerobos. Pemandangan pagi hari yang aku liat saat itu sungguh membuatku terdiam. Sering kutemui laut biru tosca dengan pasir putih tapi suasana seperti ini tidak setiap hari aku akan melihatnya.

Pemandangan Pantai Oa berlatar kabut dan gunung Lewotobi
Beruntung aku dapat menginjakkan kaki di putihnya pasir pantai ini. Pantai Oa seperti punya daya magis tersendiri, bagi kalian yang bersedia membuang kantuk dan menghampirinya. Walau memang ini bulan bukan waktu terbaik untuk melihat matahari terbit. Bulan Juni matahari terbit posisi sedang diantara celah pulau Solor dan Adonara sehingga aku tidak mendapatkan momen matahari terbit dari ufuk timur. Menurut pak Yan, sekitar bulan September ke atas barulah matahari bisa nampak jelas karena terbit dari horison laut.

Selamat Pagi dari Pantai yang Sunyi 
Pagi yang dingin di Pantai Oa
Pagi ini pantai Oa memang masih sepi, sebagian besar perahu masih tersimpan di masing-masing gubuk. Sedari aku bangun pagi tadi, hanya ada dua nelayan yang datang untuk melaut. Aku dan Tardi ikut juga membantu mengangkat perahu untuk memindahkannya ke pantai.

Apakah mereka malas melaut? Bukan, tapi hari ini adalah Minggu yang artinya masyarakat desa tentu masih harus pergi ke gereja sebelum menjalani aktivitas nelayannya. Menurut cerita pak Yan, dulunya jam gereja itu jam delapan sehingga masyarakat biasanya pagi-pagi bisa melaut dulu sebelum ke gereja. Namun rupanya ini menyebabkan jemaat gereka berkurang. Makanya dari kesepakatan desa Pantaioa, akhirnya jadwal ibadah ke gereja digeser ke jam enam supaya tidak ada warga yang tidak sempat pergi ke gereja. Pastilah saat ini mereka sedang ibadah di gereja.
 

Bahkan sampai matahari naik melewati celah antara pulau Adonara dan pulau Solor tetap tidak ada aktivitas nelayan. Selepas matahari meninggi pun hanya ada satu nelayan yang turun melaut dengan menggunakan jala di pinggir pantai.

Perjalanan Tak Direncanakan
Bekerja tak harus di kantor kan
Perjalanan ke pantai Oa sesungguhnya tak direncanakan, atau rencana dadakan. Sehari sebelumnya sekitar jam satu siang saat itu kami masih berdiri di atas perahu yang akan menghantarkan kami ke Larantuka. Lupakan gunung Batu Tara yang sudah kami rencanakan, ombak laut saat ini sedang tidak bersahabat. Teman kami, pak Said, seorang nelayan yang biasa mengantar tamu dengan perahunya sanksi kami bisa menjangkau Batu Tara saat ini. "Gelombang baru besar sekarang pak, taruhan nyawa kalau kesana," katanya.

Di kepalaku beredar beberapa tempat yang mungkin belum kukunjungi. Tak ada ide, beberapa tahun ini aku jarang menginjakkan tanah di pulau Flores membuatku sedikit pikun tentang lokasi-lokasi baru yang belum aku kunjungi. Tardi lah yang memberikan ide untuk menginap di pantai Oa. Pak Ayom yang pernah bertugas disana untuk pendataan. Katanya tempatnya bagus dan masih tenang, dan terutama masih belum banyak dieksplore. Apa yang paling menarik disana? Pasir putih, matahari terbit... bukan.. tapi disana masih belum ada sinyal.. asyik banget kan, karena seasyik-asyiknya tempat itu belum asyik banget kalau masih ada sinyal hihihi...

Gubuk untuk menyimpan perahu nelayan
Aku mulai jalan jam setengah empat, dengan jarak yang aku perkirakan sekitar dua jam-an mungkin sebelum gelap kami sudah sampai. Emang lagi sial, belum setengah jalan motor yang aku pinjam bannya kempes. Apesnya, posisi kami saat itu di tengah-tengah jalan yang jauh dari perkampungan. Aku lupa nama tempatnya. Akhirnya nelpon om Umbu buat dapet motor pengganti. Hampir satu jam menunggu barulah om Umbu datang sendirian.

Suasana pagi yang tenang di Pantai Oa
Selepas Maghrib barulah kami merasakan hawa dingin yang menyusup ke dalam jaket. Rupanya kami baru sampai Boru. Boru yang berada di kaki gunung Lewotobi memang hawanya sejuk sehingga tampak menghijau sepanjang tahun. Kami mampir makan di satu-satunya warung Padang yang menunya seperti warung Jawa di Boru.

Saat jalan malam itulah aku baru menyadari kalau lampu depan tidak ada covernya sehingga tidak ada reflektor pengumpul cahaya. Karuan saja aku gak bisa melarikan motor kencang. Bayangkan saja motor jalan malam dengan lampu yang jangkauannya pendek dengan kondisi jalan nyaris tanpa penerangan. Tambahan lagi jalannya tidak memiliki marka jalan yang berupa garis putih di sepanjang jalan untuk penanda.

Memasang Tenda Malam Hari
Kami memasang tenda sekitar jam sepuluh malam ditemui pak Yan. Untunglah bulan masih cukup besar sehingga menerangi pantai ini sehingga tidak terlalu gelap. Barulah setengah jam kemudian setelah ngobrol beberapa saat pak Yan pamit meninggalkan kami dengan janji besok pagi dia atau anaknya Elthon akan menemui kami.

Memasang tenda untuk bermalam di Pantai Oa
Saat kami tiba bulan sudah muncul. Kurang beruntung, padahal di jalan kami sempat melihat milkyway yang sangat jelas terlihat karena langit yang tidak berawan. Mungkin aku harus kesini lagi dan berharap keberuntungan berikutnya membuatku bisa memotret milkyway di Pantai Oa.

View pantai Oa diterangi bulan
Agak malam datang seorang pria tua dengan wanita muda yang sepertinya anak perempuannya. Dugaannya kami tidak keliru, saat ngobrol bapak tua itu mengatakan kalau mengantar anaknya ke pantai untuk menelepon. Pantas saja, sementara kami mengobrol, wanita muda muda itu tampak berkutat memencet-mencet hape di dekat salah satu pohon. Kata pak tua, di desa nyaris tidak ada sinyal. Untuk bisa mendapatkan sinyal harus ke pantai ini. Itu pun hanya beberapa titik dekat pohon yang bisa mendapatkan sinyal dan selebihnya hanya spot kosong. Mungkin kalian sangsi hal ini. Tapi percayalah saat kamu berkerumun di salah satu pohon untuk mendapatkan sinyal, saat itu kalian percaya bahwa sinyal juga pilih-pilih tempat nongkrong.

Setelah itu pantai kembali sepi dan menyisakan kami berdua ditemani bulan yang juga belum naik terlalu tinggi dari batas horison. Karena kami sudah kenyang tentu saja tinggal acara terakhir: Tidur.

Bagaimana Menuju Kesana
Entah kenapa, Google Maps tidak dapat menunjukkan petunjuk arah dari Larantuka menuju PantaiOa. Jadi untuk dapat memperkirakan jalur jalannya aku mencoba mencari arah jalan Larantuka - Pantai Waiokang baru aku perkiraan jika belok di titik tertentu.


Jadi jika berangkat dari Larantuka arahkan ke Selatan jalur Larantuka-Maumere, ikuti jalan sampai ke pertigaan Kantor BRI daerah Boru. Dari sana belok masuk ke kiri menuju ke pasar Boru.

Bulan mengintip di sela pepohonan
Dari pasar ikuti jalan ke kanan terus sampai nanti bertemu dengan pertigaan Desa Lewa. Ambil jalan yang sebelah kanan, kondisinya agak jelek beberapa puluh meter lalu jalan akan kembali bagus. Nanti selepas sekolah dan menara telekomunikasi akan bertemu cabang jalan didaerah persawahan/kebun berupa jalan rabat di sebelah kiri. Masuk ke jalan rabat tersebut beberapa kilometer nanti akan sampai ke desa Pantioa.

Desa pantai Oa sendiri terletak di daerah tanjung selatan Flores. Ada dua pantai di sana: (1) Pantai Oa yang berada di teluk menghadap ke Timur, cocok untuk melihat matahari terbit, (2) Pantai Roka, yang menghadap di sisi lain desa Pantaioa, cocok untuk melihat matahari terbenam. Tapi aku sendiri batal mengunjungi pantai Rako.

Jika kalian membutuhkan orang di desa Pantaioa yang dapat dikontak silahkan hubungi pak Yan (hape: 0822-4780-7816) atau anaknya pak Elton (hape: 0822-3697-2273 | email: nikolaus_tapun@gmail.com | ig: @nikolaus_tapun). Tapi sebaliknya kirim pesan dulu karena desa Pantaioa belum ada sinyal karena sinyal disana sangat pemilih.. nunggu yang cocok baru dia kasih sinyal. Dan satu lagi, jangan marah kalau balasannya lama, maklum harus nunggu dapat sinyal dulu kaka.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 31 Maret 2016

Terpesona di Teluk Nangalok

Menikmati teluk Nanga Lok
Menikmati view teluk Nangalok dari atas bebatuan
Beberapa orang sedang sibuk mengeluarkan perbekalan makan sore yang terlalu awal. Saat ini sedang jam 4, masih terlalu awal untuk mengeluarkan makanan. Bau ikan bakar yang baru disiapkan tidak terlalu menarik perhatianku. Tarikan mataku  tetap terbetot pada view di depanku: teluk Nangaloh. Mengikuti kata hati, aku hanya menyahut "Sebentar" saat mereka meneriaki untuk makan sore dulu sebelum turun ke teluknya.


View teluk Nanga Lok
View teluk Nangalok ke arah ujung teluk
Dari bebatuan di sisi barat, aku berdiri di batu paling ujung terpana dengan pemandangan teluk yang begitu eksotis di mataku. Untuk sebuah teluk, baru kali ini aku melihat teluk yang begitu cantik terbingkai oleh perbukitan savana yang mengelilinginya. Pemandangan pepohonan bakau yang memenuhi bagian pinggir pantai justru membuat paduan alam yang menyempurnakan. Saat ini rumput sedang menghijau walau belum memenuhi seluruh perbukitan. Warna biru kehijauan air laut saat ini menunjukkan bahwa pantai ini masih sangat bersih.

Teluk Nangalok berada di perbatasan antara desa Nanga Mbaur kecamatan Sambi Rampas dan desa Golo Lijun kecamatan Elar. Walaupun secara administratif masuk dalam pemerintahan kabupaten Manggarai Timur tetapi saat ini Borong bukanlah jalur paling dekat untuk mencapai daerah itu karena saat ini jalur dari Borong langsung ke Pota (ibukota kecamatan Sambi Rampas) kondisi rusak parah. Jadi jalur paling masuk akal justru dari Ruteng (kabupaten Manggarai) masuk ke arah Reo baru ke Pota

-----------------------------------

Perjalanan ke Sambi Rampas sebenarnya berkaitan dengan pekerjaan dimana ada dua lokasi pekerjaan irigasi yang harus aku cek yang kebetulan kedua-duanya ada di daerah Sambi Rampas. Sambil menyelam minum air, aku mencoba mencari tahu obyek apa yang aku nantinya bisa mampir selepas pekerjaanku kelar. Pencarianku di internet sempat memunculkan nama Pantai Watu Pajung. Aku tidak terlalu yakin tapi juga tidak mau terlalu memusingkan. Bukanlah yang penting perjalanan itu sendiri kalau ada lokasi yang bagus ya itu bonus bukan? 

Jadi teluk ini memang bukan daerah yang aku incar untuk didatangi karena memang tidak ada yang menginformasikan keberadaan lokasi ini sebelumnya. Hanya ada satu orang bilang ada pantai yang bagus di sana yang sudah diincar oleh wisatawan asing. Tapi mereka tidak mengatakan kalau itu teluk?!? Entah sebenarnya mereka maksudkan teluk ini atau memang ada pantai yang lain.

Senja di Reo
View senja dari salah satu lokasi di daerah Reo
Karena pertimbangan waktu tempuh yang lama, start perjalanan sudah dimulai sejak setengah delapan pagi dari Borong. Ingat, jika di daerah seperti NTT yang paling penting untuk ke lokasi itu waktu tempuh bukan jarak tempuh. Bisa jadi jarak 100 km bisa ditempuh dalam waktu tak lebih dari 2 jam. Tapi sangat mungkin juga jarak 15 km bisa ditempuh dalam waktu lebih dari 2 jam. Juga penting untuk mengetahui seberapa sulit medan yang harus didatangi karena bisa jadi sebuah perjalanan batal hanya karena medan yang cuma 1 km panjangnya tapi kerusakan jalannya parah sekali sehingga tidak bisa dilewati kendaraan. Dari Borong ke Ruteng jelas jalannya sudah mulus walaupun banyak tikungan tajam tapi bisa dijangkau tak lebih dari satu setengah jam.
Perjalanan dari Ruteng menuju Reo kondisi liukan jalannya lebih parah dibanding Borong-Ruteng atau malah bisa kubilang tidak ada jalan lurus lebih dari seratus meter. Cuma sekarang jalannya lebih sempit serta banyak ruas yang sudah mulai rusak jadi memang harus lebih hati-hati.
Perjalanan mulai lebih sulit lagi dari Reo menuju Pota. Bayangkan jalan meliuk-liuk dengan lebar tak lebih dari 3,5 meter tapi kita tidak tahu apakah ada bahu jalan atau tidak karena bahu jalan dan sebagian badan jalan tertutup pepohonan. Saat ini memang masih masuk bulan hujan sehingga daerah-daerah pesisir pun tetumbuhan liar tumbuh dengan suburnya.


Suara berisik terdengar dari sokbreker Ford Escapes yang menghantam bodi mobil. Frans - sang driver, bilang mobil emang sudah bilang sebelumnya kalau sokbrekernya memang sudah tidak bagus. Pantesan saja, jika menghamtam jalan yang batuannya menonjol agak keluar dengan kecepatan sedang langsung terasa ayunannya. Bila tidak diturunkan kecepatannya maka ayunan akan makin kuat dan terakhir akan terasa ban yang menghantam body mobil.

Persawahan di kawasan Sambi Rampas
Persawahan di kawasan Sambi Rampas
Jam setengah satu baru lah memasuki Pota, kota kecamatan Sambi Rampas. Daerah Pota ternyata sudah cukup ramai. Setidaknya sudah ada satu pom bensin di daerah ini termasuk sudah ada juga dermaga barang. Yang terbaru katanya juga sudah dibangun dermaga penumpang yang memungkinkan kapal penumpang bersandar. Daerah Pota ini penduduknya cukup heterogen, akses mereka justru banyak yang langsung ke Makasar mungkin karena jalur laut lebih lancar dibanding jalur darat yang seperti di atas kondisinya.

Tambahan informasi saja, daerah Pota ini ternyata daerah yang subur. Ada ratusan hektar sawah yang memiliki pengairan irigasi di daerah ini. Pantas saja di daerah ini walaupun kecamatan yang jauh dari ibukota kabupaten tapi tetap hidup suasananya.
 
Selepas pekerjaanku, rekan dari masyarakat lokal Sambi Rampas mengajakku makan sore sebelum kembali dengan pertimbangan di perjalanan belum tentu kami menemukan rumah makan. Dari ide itulah akhirnya mereka memperkenalkan teluk Nangalok ini.
Dari Pota menyusuri jalan ke arah timur, kami sempat melewati pantai Waju Pajung yang sepertinya sedang dipersiapkan oleh pemerintah daerah untuk menjadi salah satu destinasi wisata.


Sekitar seperempat jam melewati pantai Watu Pajung barulah kita mendapatkan view teluk Nangalok ini. Jalan yang kami lewati sepertinya baru dibuat (mungkin perbaikan dan pelebaran dari jalan sebelumnya) dan menurut mereka akan menghubungkan seluruh kabupaten di Flores melalui trans utara. Berarti jika jalan ini sudah benar-benar terhubung, daerah-daerah wisata yang keren di sisi Utara pulau Flores akan lebih mudah dieksplorasi.

---------------------------------------

Kejernihan air laut di teluk Nanga Lok
Kejernihan air laut di teluk Nangalok
Karena merupakan perairan tertutup, kondisi perairan teluk sangat tenang. Walaupun matahari teriknya saat itu lebih dari biasanya namun angin yang bertiup dari perbukitan terasa menyejukkan. Suasana masih begitu tenang di sini. Kalau pun ada suasana ramai, tentu mereka yang sekarang sedang asyik dengan makan sore ikan bakar dan entah apalagi di pinggir jalan sana.

Aku hanya sebentar menyantap makan siang ikan bakar. Mungkin jika waktunya pas menyantap ikan bakar segar di waktu seperti ini akan terasa nikmat sekali apalagi berada di alam terbuka yang begitu menawan. Sayang pikiranku sedang ke teluk itu sehingga sebentar kemudian aku menyudahi makan sore dan balik ke teluk di seberang jalan itu.

Rerumputan menghijau di teluk Nanga Lok
Rumput menghijau menghiasi view sekitar teluk
Ada beberap perkampungan di sekitar teluk ini. Pak Feliks menunjukkan sebuah kampung yang berada di ujung dalam teluk yang legendanya merupakan penjaga teluk ini. Dia bercerita bahwa kawasan ini di jaga oleh orang tua di kampung itu, aku sendiri lupa nama kampungnya. Dulu sudah beberapa kali ada kegiatan AMD (ABRI Masuk Desa) di daerah ini.
Ceritanya, pada saat itu ada kunjungan damdim ke lokasi ini. Para tentara ingin menyuguhkan daging rusa untuk pimpinannya. Dulu di daerah ini masih banyak ditemukan rusa (entah sekarang). Karena butuh banyak maka para tentara itu minta orang tua itu menyediakan rusa untuk mereka. Orang tua itu menyanggupi tapi harus menghabiskan rusa yang dia bawa. Para tentara itu menyanggupi, maka orang tua itu pamit ke hutan. Tak lama kemudian dia membawa rusa besar untuk mereka yang langsung menjadi santapan nikmat para tentara. Namun ternyata mereka tak sanggup menghabiskan dan pagi hari di tempat mereka maka bukan sisa rusa yang mereka dapat tapi sisa batang kayu.


Dia juga menunjuk satu tempat di ujung teluk satunya yang tampah ada bagian pasir putihnya. Katanya, di sana ada tempat yang dibangun bule. Menurutku lokasi di sana memang strategis sekali. Bayangkan saja, teluk yang begitu aduhai dan memiliki pasir putih dan perbukitan ala teletubbies dengan posisi menghadap ke barat untuk menikmati sunset. Untuk urusan lokasi strategis seperti itu entah kenapa bule-bule bisa cepet sampai duluan sebelum kita ya.

Tambahan:
Di daerah Sambi Rampas juga ada sebuah danau yang dikenal dengan nama Rana Tonjong karena di danau itu ada bunga Tonjong (Teratai) yang tumbuh subur menutupi seluruh danau. Sebenarnya aku mau diajak makan di sana namun karena pertimbangan bahwa di danau itu saat ini baru tumbuh belum sampai musim berbunga sehingga aku disarankan lain kali saja ke sana. Kata pak Feliks musim berbunga puncaknya di bulan Mei-Juni. Itu waktu terbaik untuk mendapatkan danau dipenuhi dengan bungai Tonjong (Teratai).
Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 23 November 2011

Mandi di Pantai Malam-malam

Ha! akhirnya aku berhasil mandi malam-malam di pantai, tustas sudah hasratku untuk bisa mandi di Pantai Kawaliwu ini malam-malam. "Lho apa sih nikmatnya mandi di laut malam, kan dimana-mana bisa" mungkin itu pikiranmu atau pikiran orang lain melihat aku semangat sekali menulis hanya untuk sebuah mandi malam di pantai lagi.
Kalau mandi malam sih memang biasa, mandi malam di laut juga sebenarnya pernah juga. Tapi untuk mandi di Pantai Kawaliwu ini lain ceritanya. Tak lain dan tak bukan karena di Pantai Kawaliwu ini ada banyak sumber air panas yang mengalir di celah bebatuan di pinggir pantai. Asyik kan, mau berenang malam-malam dingin sekali pun tidak masalah karena air panas alami selalu tersedia yang penting mau bikin lubang tampungan air saja. Cerita Pantai Kawaliwu tak perlu aku ceritakan lebih jauh ya karena sudah pernah aku tulis dua kali, yang pertama Sunset di Kawaliwu yang aku tulis di bulan Maret 2010 saat aku pertama kali mengunjungi tempat ini dan yang kedua Nyiur dan Senja yang ditulis bukan Juni 2011.


Sebenarnya ceritaku kali ini bukan cuma masalah mandi malam tapi juga pengalaman pertama naik pesawat kecil Cesna Grand Caravan dengan balik-balik satu biji di depan. Pesawat berpenumpang 12 orang inilah yang membawaku terbang dari Kupang ke Larantuka. Walaupun ada embel-embel propeler jet (memang agak beda dengan pesawat lama karena di bagian samping baling-baling satu biji terdapat knalpot besar) tetep aja rasanya berbeda jauh dengan pesawat jet. Tapi tetap lebih untung naik pesawat ini ke Larantuka daripada dua kali perjalanan, Kupang-Maumere disambung perjalanan darat Maumere-Larantuka.
Susi Air lumayan tepat waktu maklum jadwal penerbangannya padat terutama ke daerah-daerah yang sudah tidak diminati penerbangan komersil, bisa dikatakan Susi Air ini pesawat perintis komersil. Jam sembilan, aku bertiga bareng Kadek dan bos Joko sudah ada di ruang tunggu bandara Eltari, dan setengah jam kemudian suara merdu wanita memanggil penumpang untuk naik ke pesawat. Sebelum naik ke pesawat ternyata kami dikumpulkan di bawah untuk mendapatkan instruksi penyelamatan penerbangan oleh mas-mas. Jadi semua mendengarkan sambil berlindung di bawah sayap pesawat karena memang panas Kupang lagi bener-bener tidak bisa diterima akal sehat hehehehe. Untungnya mas-mas penganti pramugari menyadari kondisi itu sehingga cukup satu bahasa Indonesia saja, entah mungkin saja dia tidak lancar pakai bahasa Inggris. Ah tak masalah, yang penting masuk pesawat. Untung ini pesawat ini masih baru jadi tempat duduknya masih enak dan biar pun kecil hanya untuk 12 penumpang (14 orang kalau dihitung dengan pilot dan copilotnya) tapi rupanya tetep ada AC-nya. Karena aku dan Kadek baru pertama kali naik pesawat kecil begini, maka kita langsung mengincar tempat duduk di samping apalagi kalau bukan mau cari obyek foto dari atas pesawat.
Dan ini dia keuntungan kedua, karena pesawat kecil jadi terbangnya juga tidak terlalu tinggi tapi juga tidak rendah amat-amat lah bisa-bisa nabrak pohon kelapa dong. Pesawat menyusuri pinggiran pulau Timor ke arah Timur, perkiraanku sampai di bagian selatan SoE baru pesawat berbelok ke arah Utara menuju ke arah pulau Solor, dari pulau Solor pesawat bergerak terus ke utara menyusuri ujung Barat pulau Adonara hingga kemudian pesawat berbelok ke Barat untuk mendaratkan pesawatnya ke bandara Gewayantana. Begitu pesawat turun ke bawah, pilotnya yang bule mengucapkan kata-kata selamat jalan dan sebagainya dalam bahasa Indonesia dengan logat khas. 
Begitu mendarat aku harus mengucak-ngucak telinga yang terasa agak sakit, yah maklum saja itu pilot saja pake headset besar buat menutup telinganya lha kita penumpang malah rela  menelan semua suara bising pesawat bagaimana tidak jadi sakit. Untung aku tidak sedang pilek, kalau saja sedang pilek pasti penerbangan ini akan menjadi penerbangan yang menyiksa. Pelajaran hari ini, jangan lupa pakai headset besar dan setel musik kalau suatu ketika naik pesawat seperti ini.


Karena hari pertama terlalu lelah untuk perjalanan sehingga kita memutuskan kalau ada waktu akan kita set untuk perjalanan di hari kedua. Untung di hari kedua kegiatan hanya berlangsung sampai siang hari sehingga kita punya waktu longgar. Begitu jam empat kita sudah mulai siap-siap, celana renang langsung kupakai dan kurangkap dengan celana sepanjang butut hijau lumut sepanjang lutut. Pak Joko yang belum pernah ke Kawaliwu berhasil aku ajak untuk ke sana dan berenang sehingga masing-masing membawa handuk. Akhirnya setelah perjalanan setengah jam melewati bagian leher kepala pulau Flores sampailah kita di Kawaliwu dan seperti biasa, kendaraan langsung di arahkan ke tanah agak tinggi yang ada kumpulan batu-batu hitam besar menjorok ke laut.


Karena matahari masih terlalu panas, aku dan Kadek memanfaatkannya untuk memotret, sebenarnya bukan memanfaatkan karena dari awal memang salah satu tujuan kita kesini ya untuk memotret. Karena di Flores Timur, dari sini lah kita bisa leluasa melihat matahari terbenam. Tapi tidak seperti biasanya, rupanya kali ini posisi tenggelam  jauh ke arah pulau tidak seperti pada bulan Maret kemarin dimana matahari tenggelam tepat di horison laut. Aku terlupa kalau bulan November ini matahari lebih condong ke selatan. Aku sempat mendapati seseorang yang berdiri memancing di atas salah satu batu paling pinggir ke laut juga seorang tua berewokan bertelanjang dada dengan badan kurus tipis dan rambut keriting keputihan. Dengan posisi yang duduk diam tenang di atas batu hitam besar, sepertinya Kadek agak takjub, semoga saja dia tidak sedang mengira bertemu pertapa sakti seperti Dalsingh hahahaha.
Di bagian bawah tepat di tempat cerukan sumber air panas ternyata sudah ramai orang yang berkumpul disitu. Sepertinya mereka rombongan satu mobil lengkap dengan perlengkapan amunisi makanan. Jam sudah menunjukkan lewat enam saat rombongan itu mulai mandi di laut. Rupanya air laut sudah mulai pasang kembali, teringat aku menaruh peralatan kameraku di batuan pinggir laut agak jauh dari sini aku segera berlari mencari dengan bertelanjang kaki. Untung peralatan kameraku dan Kadek masih belum sampai terkena air laut walau sudah di pinggir sekali. Yang sial justru aku malah kehilangan sandal yang juga aku taruh di pinggir laut karena baru ingat setelah selesai mandi dan laut sudah pasang. 
Akhirnya aku dan pak Joko juga ikut menyusul terjun ke laut. Air lautnya sangat bening walau batuan dan pasirnya berwarna hitam, bahkan dalam keadaan gelap aku masih bisa melihat samar-samar kakiku di dalam air. Sekitar sepuluh menit aku dan pak Joko mandi sementara Kadek hanya berdiri di pinggir laut walaupun tadinya juga sudah berencana mandi. Rupanya dia baru ingat kalau badannya masih luka-luka akibat kecelakaan kendaraan minggu kemarin.
Sebenarnya berenang lebih lama lagi sudah masih enak karena kalau sudah mulai dingin tinggal kita berpindah di pinggir yang agak hangat karena bercampur antara air laut dan air panas. Aku kemudian ikut berkumpul bersama rombongan tadi duduk di pinggir sumber air panas. Salah satu rombongan kalau tidak salah salah satu bernama mas Dirga menawarkan gayung air. Begitu aku siramkan, spontan aku teriak. Busyet, kutu busuk seragunan, airnya memang terasa panas sekali. Ini pasti gara-gara aku dan pak Joko habis berenang di air dingin, pantas saja tadi juga aku dengan pak Joko berteriak ternyata memang panas. Tapi nekat saja, aku siramkan air yang terasa menyengat kulit ini beberapa kali ke tubuhku. Walaupun disini sumber air panas alam tapi airnya tidak berbau belerang, dan tetap tawar. Hanya kadang-kadang saja saat pasang naik tinggi sekali terutama bila purnama maka airnya menjadi agak payau karena bercampur dengan air laut.
Akhirnya tuntas sudah keinginanku untuk mandi di Kawaliwu, tapi sepertinya tetap akan menyenangkan berenang disini. Kapan lagi bisa berenang di laut dengan air panas alami yang bersih di pinggir laut.

Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya