Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label sunset. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sunset. Tampilkan semua postingan

Selasa, 22 September 2020

Sunset di Tanjung Toda


Aku tak sanggup beranjak dalam takjub, malam bergerak dengan ditutup pertunjukan senja yang memukau. Awan jingga menyaput biru kelam langit. Sebuah pelepasan yang begitu manis meski segelas kopi panas tak ada dalam genggaman tanganku, sudah tandas beberapa menit yang lalu. Ah senja dan kopi tidak selalu bersama ternyata.

Dua Jam 'Tanpa Arah'

Tak ada niatan sama sekali ke tempat ini, waktu itu cuma terpikirkan mau jalan saja. Terus mikir mau ngajak siapa yang bisa diajak jalan 'dadakan' tanpa perlu direncanakan dulu. Jalan seperti ini memang biasa bagiku karena beberapa kali perjalanan yang direncanakan malah berakhir batal atau tertunda lama. Apalagi kalau merencanakan perjalanan dengan teman yang tidak biasa jalan, duh dari awal emang harus siap untuk batal. 

Berdua sama temanku, Sani - orang Yogya yang hobinya juga jalan gak jelas- kami berdua berboncengan ke arah Timur. Kemana? Masih belum jelas. Ada beberapa rencana tempat seperti ke Fatuleu, atau ke Lelogama, atau sekedar ke Bendungan Raknamo. Entah, semua ide bersliweran tapi seperti gak 'nyantol' sampai selepas Oelamasi baru kepikiran untuk coba menjelajahi wilayah Sulamu.

Aku sendiri lupa-lupa ingat apakah pernah pergi ke Sulamu atau tidak, karena kalaupun pernah mungkin itu tahun 2000-an dimana kondisi jalannya masih ampun-ampunan. Sekarang sih sudah jauh lumayan bagus. Jadi aku bisa sampai ke sebuah kawasan yang penduduknya sangat padat yang berada di ujung utara teluk Kupang. Sebuah dermaga rakyat dengan mercusuar menjadi penanda kawasan itu. Tempat ini mengingatkanku pada kampung orang Bajo atau Buton cenderung rumahnya berdiri rapat.

Di depan dermaga tampak sebuah pulau kecil yang diberi nama pulau Tikus. Kalian mungkin sudah tahu kenapa pulau itu diberi nama pulau Tikus, ya karena jika dilihat dari atas tampak seperti tikus dengan ekor putih. Ekor putih itu sebenarnya adalah pasir putih, cuma itu adalah gosong pasir. Gosong pasir adalah istilah daratan berpasir yang hanya muncul saat laut surut. Pulau Tikus itu sebenarnya menarik perhatianku, bahkan seorang nelayan tua menawarkan untuk mengantarkanku ke pulau itu. Tapi dari kejauhan aku melihat pasir putih yang merupakan ekor pulau Tikus sedang tidak ada, yang artinya air sedang tidak surut. Dan satu lagi yang mengganggu, sepanjang pantai sampai ke pulau itu banyak botol mengambang yang artinya ada tanaman rumput laut. Artinya untuk pulau itu harus memutar perahu dulu tidak bisa tembak lurus langsung dari dermaga.

Karena tidak ada tempat yang tepat untuk melihat matahari terbenam, aku dan Sani meneruskan perjalanan ke arah barat melewati jalan kecil diapit rumah-rumah yang bersesakan. Membingungkan, aku bahkan harus bertanya beberapa kali untuk keluar dari kampung kecil ini. Jalan terakhir melewati jalan tanah di pinggir pantai, itu pun harus melewati lorong antar rumah yang sebenarnya bukan untuk motor.

Tanjung di Kecamatan Sulamu

Tanjung Toda, itu nama yang disebutkan oleh John. Pria berbadan kecil yang lebih sering menghabiskan hari-harinya di tempat ini mengurus rumput lautnya. Sebuah rumah beratap alang-alang pendek adalah tempatnya bermalam selama tinggal di sini. Kebetulan hari ini cukup banyak masyarakat yang berprofesi sebagai petani pembudidaya rumput laut yang memilih bermalam disini, bekerja sekaligus bersantai di hari libur.

Tanjung Toda ini namanya belum ada dalam pencairan google maps mungkin karena tak dianggap sebagai tempat wisata. Memang mungkin kurang cocok untuk menjadi tempat wisata karena sepanjang pinggir pantainya berupa batu karang. Ada pasir putih, hanya tidak lebar dan sebagian besar hanya muncul saat laut sedang surut saja seperti sekarang. Saat itu, pantai dapat digunakan untuk untuk mandi dan bersantai.

Di sepanjang jalur pantai Tanjung Toda banyak bangunan kecil beratap alang-alang yang digunakan oleh petani pembudidaya rumput laut, salah satunya John. Benar, sepanjang pinggir laut Tanjung Toda memang dipenuhi benda plastik minuman botol yang digunakan masyarakat untuk mengikat tali-tali yang dipasang rumput laut agar tetap mengambang di permukaan.

Sepanjang sore itu, beberapa pria dewasa tampak berjalan hilir mudik di laut yang airnya setinggi dada mereka. Mereka tampak menarik-narik sesuatu dari tali yang digunakan untuk mengikat rumput laut. Mungkin mereka sedang membersihkan rumput laut dari gulma/tanaman pengganggu. Sementara anak-anak yang kecil lebih banyak bermain di pinggir laut.

Rumput laut memang tampaknya telah menjadi mata pencaharian masyarakat Sulamu. Tanaman ini dibudidayakan di sepanjang pantai mulai dari dermaga perikanan Sulamu sampai ke Tanjung Toda ini. Alhasil, pemandangan botol-botol plastik mengambang menjadi pemandangan setiap hari di sini.

Sebuah Tempat Dimana Matahari Mengucapkan Selamat Malam

Ada daerah yang memiliki pantai dengan pasir putih yang tidak berada jauh dari tanjung Toda, tapi aku memilih tidak melihat sunset dari sana karena matahari tidak tenggelam di horison laut. Beda dengan tanjung Toda, karena matahari benar-benar tenggelam di horison laut. Di tanjung Toda ini, matahari selalu jatuh di horison laut apapun bulannya.

Siapa yang menyangka, tempat ini adalah tempat dimana matahari terbenam di laut yang akan selalu menyapamu. Tak banyak hiruk pikuk, karena hanya mereka petani rumput laut dan keluarganya yang menyapamu. Tak ada wisatawan yang suka memenuhi laut untuk menikmati senja yang kadang berisik dengan musik berdentam-dentam, dengan suara bass yang nyaris bikin copot jantungmu. Tidak, semua keriuhan semacam itu tidak ada saat ini. Hanya pekik teriakan anak-anak yang disahut oleh lengkingan balik burung-burung laut.


Kadang tempat yang tidak memiliki pasir pantai bisa begitu menyenangkan apalagi dengan begitu aku tak akan dipusingkan bahwa tempat ini akan didatangi banyak orang. Kupikir tidak, tempat ini tidak terlalu menarik untuk didatangi apalagi untuk wisata. Tapi bagi kalian yang ingin menikmati sunset, tempat ini bolehlah kalian kunjungi. Jangan lupa membawa kopi.

Baca keseluruhan artikel...

Senin, 08 Juni 2020

Gunung Fatuleu, Nyaris Vertikal

Senja di gunung Fatuleu
Menatap langit senja dari puncak gunung Fatule'u
Jam lima, kami baru mencapai dua pertiga perjalanan. Bisa dibilang, dua pertiga perjalanan menuju puncak Gunung Fatule'u ini kami tempuh dalam waktu satu jam. Aku bisa melihat sorot mata penuh kegamangan dua orang temanku yang menatap dinding nyaris vertikal di depannya. "Nanti gimana turunnya?" Pertanyaan ini terlontar dari bibir Adis, satu-satunya cewek yang ikut di rombongan kami. Dan jawaban bahwa tempat kita naik inilah tempat kita turun nantinya membuat kami belum beranjak juga. Puncak Fatule'u dengan angkuhnya berdiri tegak seakan menantang nyali kami, akankah kami lanjutkan atau kembali dan membawa cerita gunung ini sampai di titik ini.

Istirahat di gunung Fatuleu
Istirahat di pemberhentian pertama gunung Fatule'u
Belakangan ini cerita tentang gunung Fatule'u menjadi hal umum di kalangan anak muda Kupang. Sampai-sampai muncul sebuah jargon "Jangan ngaku sudah pernah ke Kupang kalau belum ke Fatule'u". Beberapa teman yang lebih dulu kesana pun memposting foto-foto mereka, dari yang cuma memposting selfie berlatar gunung Fatule'u sampai yang berselfie berdiri di pucuk tertinggi. Untuk yang terakhir itu bagiku sangat konyol. Kalau kalian mau berpose di tempat berbahaya, coba minta orang lain yang memotret kalian jangan selfie karena posisi memotret selfie itu sangat tidak nyaman dan tidak aman. Jangan tambah potret-potret kekonyolan para selfiers yang berakhir di depan malaikat maut.

Entah gerangan apa yang membuat Fatule'u menjadi tempat anak muda menantang jiwa muda mereka sampai kemudian aku membuktikannya. Gunung itu indah, iya memang gunung itu indah dan bukan cuma gunung itu sendiri yang indah demikian pemandangan yang akan kamu lihat saat di atasnya. Dan gunung Fatule'u bukan cuma indah tapi begitu angkuh menantang nyali para pendakinya dengan dinding yang nyaris vertikal. Ketinggian puncak gunung sekitar 1.100 mdl, artinya sekitar 300 meter dari titik start pendakian bukan berarti itu sebuah perjalanan naik sederhana. Tidak ada start awal menanjak landai baru pelahan-lahan menanjak terjal sebagaimana kalau kita naik gunung. 

Dari awal perjalanan, kami langsung disuguhi perjalanan cukup ekstrim. Setelah kita berjalan sekitar dua ratus meter ke dalam pepohonan, maka kita akan langsung berhadapan dengan tebing batu yang harus didaki. Aku bisa melihat kegamangan di sinar mata kedua temanku yang baru pertama kali melakukan perjalanan dengan kondisi seperti ini. Mereka bukan takut untuk menaikinya namun gamang bagaimana nanti mereka turunnya. Mungkin karena efek awal jalur yang langsung memanjat tebing membuat mereka dengan segera merasakan capek yang luar biasa.Di sini, aku melihat seorang Imam yang bisa tampil menjadi penyemangat. Dia dengan sabar mengajak Adis dan Rei istirahat dulu dan tidak memaksakan diri. 

Menuju puncak gunung Fatuleu
Berhenti di setengah pendakian menuju puncak
Setelah mendaki satu kali lagi barulah kami memasuki hutan. Lebih landai memang tapi tetap menanjak dan beberapa titik tetap harus dipanjat. Jadi walaupun tampak dari kejauhan agak landai, jalan sesungguhnya tetap naik turun karena nyaris seluruh gunung ini adalah dari batuan karang. Untungnya memang batuan di sini tidak mudah bergeser sehingga meski ada tonjolan kecil kami berani jadikan pegangan kala mendaki.

Hengki, seorang anak muda yang umurnya mungkin tidak lebih dari 17 tahun menjadi guide kami dengan cekatan memanjat terlebih dahulu dengan sendal jepitnya. Jalur yang dilalui di banyak titik tidak memiliki jalur jelas untuk dilewati. Beberapa kali kami kecele waktu melihat jalur yang landai tapi diperingatkan oleh Hengki pada di ujung jalan itu justru menunggu jurang. Jadi memang peran Hengki untuk menjadi guide kami sangat berarti, aku bahkan belum berani kesini lagi tanpa guide. Karena Rei sudah kepayahan akhirnya Hengki yang membawakan tas milik Rei sekaligus tas tripod-ku. Kami berpapasan dengan beberapa orang yang telah selesai dan hendak turun ke bawah. Dengan jalur tunggal seperti ini, mereka mengalah menunggu kami semua selesai naik ke atas baru gantian mereka. Inilah kesulitan berikutnya jika gunung Fatule'u didaki ramai-ramai, bisa-bisa antriannya ngalahin kemacetan Jakarta.

Puncak pertama gunung Fatuleu
Akhirnya sampai di puncak pertama
Akhirnya sampailah aku pada titik dimana orang-orang muda suka menyombongkan diri jika sudah berhasil mencapai ke atas. Tebing tegak dengan kemiringan antara 70º sampai dengan 80º setinggi 200 meter berdiri di depan kami membuat kami terhenti. Ada kegamangan akankah kami berhenti disini atau melanjutkan perjalanan menuju puncaknya yang tampak angkuh menantang siapapun yang ingin menggapainya. Aku juga sempat memberikan pilihan jika mau berhenti di sini saja karena perhitunganku pastilah perjalanan kembali akan sampai malam hari. "Kita naik saja pak, sudah tanggung nih," kata Rei. Aku salut dengan mereka berdua yang tetap bertekad untuk tetap menyelesaikan pendakian ini sampai ke puncak. 

Dan dimulailah pendakian yang sungguh menegangkan. Hengki meminta kami merambat naik melalui patahan-patahan dinding batu. Pelan-pelan kami naik ke atas. Hengki yang terlebih dahulu naik terus membimbing Rei dan Adis, sementara Imam naik dari sisi lain sambil mengamati mereka berdua. Aku sendiri naik paling terakhir untuk mengabadikan perjalanan ini dalam rana kamera. Setelah aku mengemasi kamera, aku mulai ikut naik menyusul mereka. Namun karena aku terganggu dengan sendalku, akhirnya aku memutuskan melepas sendal dan mendaki dengan kaki kosong. Justru dengan cara ini aku dengan mudah bisa menapak di dindingnya dengan cepat. Beberapa orang yang mau turun heran melihat aku yang justru naik tanpa sendal. Hehehe, mereka belum tahu kalau kakiku ini masih kaki orang kampung paling udik yang lebih nyaman jalan nyeker daripada pakai sendal. Ini kulit kaki tebelnya aja ngalahin kulit badak (untung mukanya kagak muka badak).

Bersantai menikmati senja dari puncak kedua
Pelahan tapi pasti akhirnya satu demi satu kami berhasil mencapai puncak pertama. Di atas telah menunggu rombongan terakhir yang mau turun. Jadilah saat ini kami menjadi rombongan terakhir di puncak. Dan terbayarkan perjuangan di puncak dengan pemandangan sekitar yang memukau kami, apalagi kami di puncak tepat saat matahari tidak terik karena telah menjelang tenggelam di ufuk barat. Dari puncak pertama, kami bisa melihat laut Kupang di kejauhan dan beberapa bukit lain yang menantang untuk kami datangi lain waktu. Angin dingin langsung menerpa wajahku. Maklum dengan ketinggian sekitar 1.100 mdl yang artinya lebih tinggi dari SoE, makin mendekati malam tentu akan semakin dingin. Dua botol minuman kopi panas yang disiapkan istriku terasa nikmat sekali saat diminum di suasana seperti ini. Mungkin lain kali aku bisa membawa kompor gas ke atas sini. Masak mie instan sepertinya akan menjadi kenikamatan yang tiada duanya.

Tak seperti yang kami duga, ternyata di puncak tak ada tempat landai yang datar. Walau dari bawah, penampakan gunung bagian atas seperti rata ternyata itu merupakan tonjolan-tonjolan batuan yang formasinya sekilas seperti batu utuh. Akhirnya kami duduk seadanya di puncak di batu yang miring. Ada beberapa puncak yang untuk dicapai satu sama lain tetap harus berjuang menelusuri, seperti di bagian utara tampak bendera merah putih dan bendera lain seperti bendera pramuka terpasang. Juga di sebelah timur-nya ada bendera BRI yang juga terpasang. Sayang kami tidak membawa bendera supaya bisa ikutan nampang.


Berpose dengan latar belakang gunung Fatule'u


Tapi ada satu kejadian yang membuat aku sempat marah karena salah satu temanku tanpa babibu tiba-tiba membuang begitu saja botol bekas minuman. Saat aku marah dan memberitahunya justru Hengki membuat pernyataan yang mengejutkan. "Oh tidak apa-apa pak, pengunjung lain juga udah biasa kok membuang sampah ke bawah." Gantian aku yang langsung menceramahi Hengki supaya sebagai guide dia justru harus memperingatkan pengunjung lain supaya tidak membuang sampah sembarangan, jangan justru membiarkan seperti itu. 

Aku sengaja menceritakan kelakuan temanku bukan untuk mengolok, tapi biarkan ini menjadi kesalahan pertama dan terakhir dia. Aku berharap kejadian ini diingatnya, dan bahkan bisa ikut terlibat untuk memberikan kesadaran ke orang lain agar tidak sembarangan membuang sampah. Jika setiap orang yang naik ke atas gunung Fatule'u ini kita biarkan membuang sampah begitu saja, maka dalam 5 tahun ke depan mungkin gunung Fatule'u bukan hanya menjadi gunung batu tapi juga gunung sampah. 

View gunung Fatuleu
Hengki berlatar view gunung Fatule'u dari jalan masuk
Apakah saat pengunjung dipungut 5ribu per motor (2.500 rupiah per kepala), terus pengunjung punya hak untuk membuang seenaknya dan menjadi penanggung jawab petugas di sini sepenuhnya? Ingatlah, gunung, bukit, danau dan tempat wisata lain bukanlah tempat sampah, bawalah sampah yang anda buat, syukur-syukur kalau mau ikutan membawa sampah yang dibuang orang goblok lain.

Perjalanan kembali lebih menegangkan daripada saat naik, karena kami kembali jam tujuh kurang seperempat. Dari puncak memang warna langit masih tampak tapi di bawah sudah mulai tampak gelap. Rei sempat mengalami kram kaki mungkin karena secara mental dia kurang siap. Aku harus membantunya pelan-pelan melewati puncak vertikal itu untuk turun ke bawah dibantu Imam. Aku meminjamkan senter kepala pada Rei supaya dia bisa melihat jelas, untungnya selain senter kepala aku juga membawa senter tangan 2 buah lagi. Hengki sendiri sepertinya tidak kesulitan berjalan diantara bebatuan menembus gelap. 

Berpose di atas gunung Fatuleu
Berpose sebelum melanjutkan perjalanan naik vertikal
Kami bergerak turun pelan, apabila melihat mereka kecapekan maka kami minta mereka istirahat dulu. Kami tidak mempedulikan lagi waktu yang penting semuanya dapat selamat. Mungkin kecapean, Adis sempat tergelincir dua kali. Untungnya dia tergelincir saat berjalan di jalan tanah menurun bukan saat menuruni tebing. Malam ini angin sangat membantu kami, sepanjang perjalanan turun kami tidak merasakan hembusan angin yang kuat, padahal hal yang berbeda kami rasakan saat berada di puncak. Aku hari berhati-hati saat berdiri di tebing karena hembusan angin bisa membuatku tergelincir.

Jam delapan malam akhirnya kami sampai turun di bawah. Bapak penjaga helm terpaksa tidak bisa pulang karena menunggu kami kembali. Untungnya ada sebuah warung yang pemiliknya tinggal disitu jadi kami bisa memesan kopi. Sekitar jam setengah jam setengah sembilan barulah kami mulai berangkat kembali, menelusuri jalan yang terus menurun. 



Catatan: Naik gunung ini bukan lagi sekedar mendaki tapi sudah kategori rock climbing (memanjat tebing) sehingga disarankan untuk benar-benar berhati-hati. Jangan menantang teman kecuali mereka memang berniat untuk menaikinya. Walaupun bukan lokasi yang sulit dipanjat tapi kesalahan kecil yang diabaikan bisa berakibat fatal, persiapkan fisik dengan benar. Jangan sampai anda berangkat utuh, pulang tinggal nama. Jika lokasi ini dikelola betul, saya yakin tidak akan dibolehkan orang naik tanpa pengaman/tali. Tapi bukan karena tidak ada pengaman/tali artinya tempat itu bisa sembarangan didaki.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 26 Februari 2019

Matahari Terbit dari Fulan Fehan

Sunrise di Fulan Fehan
Bentang alam di depanku terlihat samar dalam kegelapan yang makin memudar. Cahaya kuning di langit timur mencoba menyibak awan dan kabut dingin yang melingkupi perbukitan Fulan Fehan. Bukit-bukit bertumpuk membagikan pemandangan siluet yang begitu mengagumkan. Tak ada pembicaraan pagi ini, dunia pagi ini milik burung-burung yang mencicit tanpa henti tanpa jeda. Sesekali angin yang bertiup di sela-sela dinding bebatuan menciptakan siulan panjang. 

"We need to find God, and he cannot be found in noise and restlessness. God is the friend of silence. See how nature - trees, flowers, grass- grows in silence; see the stars, the moon and the sun, how they move in silence... We need silence to be able to touch souls" -- Mother Teresa

Matahari Terbit dari Perbukitan Timor Leste
Pagi-pagi buta tiba-tiba aku merasakan urusan bagian tengah tak tertahan. Dengan mata masih berat oleh kantuk aku keluar tenda. Beberapa meter aku mencari area terbuka untuk menuntaskan hasrat pagi. Setelah agak lega barulah aku mulai memperhatikan di sekeliling. Untung tidak terlalu gelap, bulan masih tersisa di ufuk barat. Bagian atas tenda sudah basah kuyup oleh embun, termasuk tripodku yang aku tinggal semalaman di luar tenda. Aku masuk ke dalam tenda mencari termos air panas. Sambil duduk di atas batu, aku menyesap air panas yang sudah berkurang panasnya. Lumayan membantu menghangatkan badan sambil menunggu pagi.

Al dan Imam masih asik tidur, hawa pagi yang dingin membuat mereka makin menggulung badan ke dalam sleeping bag yang jauh lebih hangat. Percayalah, kalau tidak karena keinginan melihat matahari pagi tentu saja aku juga akan lebih suka bergulung di dalam sleeping bag. Lihat saja Imam, begitu aku mengosongkan tempatku langsung badan dia mengambil alih.


Selesai mengemasi peralatan kamera aku mulai beranjak keluar ke arah tebing untuk memotret pagi sebelum matahari terbit. Di pertengahan jalan aku baru teringat kalau filter kameraku masih tertinggal di tenda. Sementara warna kuning di langit timur mulai jelas. Galau.. antara kembali yang mungkin saja membuatku kehilangan momen matahari terbit ataukah nekat lanjut terus dengan mengandalkan filter yang sudah terpasang di kameraku. Duh sial, pilihan seperti ini selalu dilematis. 

Akhirnya aku memilih berbalik arah kembali ke tenda hijau yang dipasang di balik gundukan bukit, setengah berlari. Itu pun harus sambil berhati-hati, beberapa batang pohon kaktus dengan durinya yang kecil tapi tajam akan jadi malapetaka jika mengenai kulitmu. Aku merasakan saat lenganku terkena duri pohon kaktus, duh itu durinya nyusup kecil-kecil banyak. Itu duri sebagian masuk ke dalam kulit dan sulit diambil, rasanya itu gak karuan.. gak sakit tapi mengganggu.

Sunrise di Fulan FehanAkhirnya cuma aku dan Al yang balik ke ujung timur bukit Fulan Fehan. Untunglah sampai disana matahari baru juga naik ke atas. Belum terlalu tinggi lah, cahaya kuningnya juga masih tertangkap jelas. Sambil berjalan menuruni bebatuan tanganku sigap membuka tuas-tuas pengait tripod. Momen pagi seringkali berlalu sebentar saja, telat kita mempersiapkan alat.. ya sudah.. duduk ngopi saja sambil liat matahari pagi bermain-main cahaya ke arah perbukitan.


Sambil memotret, mataku sekali-kali melirik ke sebelah kiri. Tiba-tiba saat keasyikan mencari angle foto tiba-tiba kakiku sudah nyaris masuk menginjak batas area hutan. Ada sebuah hutan kecil di pinggir tebing, tapi disekelilingnya ada tulisan "pamali". Hutan itu katanya adalah Benteng Kikit Gewen, tempat dimana raja timor disemayamkan. Ukurannya tidak terlalu luas seperti sebuah hutan kecil di antara luasnya sabana Fulan Fehan. Antara hutan dan padang di batasi lapisan batu-batu karang yang disusun tidak terlalu tinggi menjadi semacam pagar pembatas.


Mataku mencoba menelisik ke dalam hutan yang masih agak gelap. Angin dingin yang bertiup dari arah hutan membuat bulu kudukku meremang, dingin. Satu sisi aku ingin masuk dan melihat hutan ini, namun aku tahu tidak bisa sembarang orang yang boleh masuk begitu saja ke tempat yang sangat disakralkan itu. Butuh seorang pemandu yang merupakan juru kunci tempat ini juga bisa masuk, itu pun dengan beberapa persyaratan. Al sendiri memilih berdiri agak menjauhi hutan itu.

Akhirnya matahari keluar juga dari lanskap pegunungan yang merupakan batas antara Indonesia dan Timor Leste. Rona jingga-nya mewarnai awan tipis yang menyelimuti langit pagi itu, membuat matahari tampak redup sehingga bentuk bulatnya tergambar jelas.

Lagi-lagi Al menjadi keisenganku, aku meminta dia menjadi obyek tambahan dengan syarat tidak memakai baju. Padahal saat itu hawanya masih terasa dingin. Biar kerasa laki, biar dingin-dingin tetap berani gak pake baju. Sayang perutnya dia gak six-pack terpaksa harus dipotret dari belakang hahahaha.

Kuda-Kudang yang Merumput
Saat kembali dari memotret Fulan Fehan, beberapa ekor kuda tampak di punggungan bukit membuat aku bertanya-tanya dalam hati kapan mereka kesini karena sepagian aku tidak melihat seorang pun yang datang mengembalakan kuda kesini.

Tak berapa lama, ada sekitar tiga ekor kuda lagi yang keluar dari gerumbulan pepohonan di belakang tempatku memasang tenda. Oh rupanya kuda-kuda ini memang tidak digembalakan tapi dilepaskan begitu saja. Jadi saat malam mereka masuk ke dalam hutan kecil dan keluar lagi di padang saat pagi hari.

Sayangnya agak sulit mendekati kuda-kuda ini tanpa ada pemiliknya. Setiap aku mendekat mereka akan berjalan menjauh. Karena beberapa kali gagal mendapatkan gambar kuda-kuda ini dari dekat, ya jalan termudahnya aku mengganti lensaku dengan lensa panjang sehingga membuat kuda-kuda bisa dipotret tanpa merasa terganggu.

Tak berapa lama dari balik hutan kecil itu muncul lagi tiga ekor ekor dengan seekor kuda yang masih kecil mengikuti salah kuda yang lebih besar, kemungkinan besar itu induknya. Entah ada berapa kuda lagi yang bermalam di dalam hutan kecil itu. Merekalah sejatinya pemilik tempat ini, karena merekalah yang menjaganya. Kitalah yang sibuk mengklaimnya.



Sayang, kegembiraan memotret kuda-kuda harus dihentikan karena urusan perut bawah. Waktunya memasak untuk mengisi perut. Dan tentu saja segelas kopi di pagi seperti ini adalah keharusan.

Temen ngopi dan nenda: Al-Buchori dan Imam 'Boncel'
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 06 Januari 2019

Kolam Air Asin Liang Rangko

Hawa pengap sebentar membuat tubuhku bersimbah keringat, kecuali tiga lelaki yang berendam di dalam kolam yang airnya sebening kristal. Air bening berwarna hijau kebiruan ini airnya asin karena berasal dari air laut. Bergantian mereka menaiki stalagmit yang tingginya sekitar satu setengah meter di pinggir kolam. Lalu diiringi teriakan dan sorakan teman-temannya mereka meloncat ke dalam kolam. Salah satu meloncat terlalu tinggi, nyaris saja kepalanya menghantam stalaktit. Untung dia keburu memiringkan kepalanya. Adegan nyaris celaka ini tentu saja mengundang reaksi lebih heboh dari teman-temannya.

Untung saat ini lokasi masih sepi pengunjung sehingga mereka bisa bersantai berenang, seperti juga aku dan Pepe yang juga mudah mencari sudut foto. Bedanya aku mencari sudut foto mengabadikan saat mereka melakukan loncatan-loncatan tadi, sedangkan Pepe khas anak muda mileneal yang ngerekam wajahnya sambil cuap-cuap. Aku dapat membayangkan seperti apa suasananya jika saja ada pengunjung lebih dari 20 orang masuk ke dalam gua, pasti pengap sekali.

Dia menunjukkan lengannya yang penuh goresan, saat kutanya kenapa tidak berenang. Katanya itu goresan saat dia naik motor ke Liang Cara. Tidak mengherankan, aku melihat dari cara Pepe naik motor yang mirip pembalap liar: kenceng sambil seneng slip-slipin ban. Bule ini emang kayaknya langganan celaka.

Aku saja akhirnya menyerah, seperempat jam kemudian aku keluar dari gua dengan kaos yang basah kuyup. Meninggalkan Pepe yang katanya mau berenang di sana tapi dari tadi mondar-mandir gak jadi berenang. Tumben si Pepe tahan di dalam gua tanpa berenang, batinku. Eh tak lama kemudian dia nongol keluar.

Liang Rangko atau Gua Rangko orang biasa menyebutnya. Gua ini tidak terlalu luas, jauh lebih kecil dibandingkan dengan Gua Batu Cermin. Seperempat dari gua ini adalah kolam air asin itu. Untuk masuk ke dalam gua, ada sebuah tangga kayu untuk turun. Suasananya pagi sampai menjelang siang cenderung gelap. Tidak terlalu gelap, setelah kita masuk ke dalam gua tak lama kemudian juga mata kita bisa menyesuaikan. Yang sulit justru saat menggunakan kamera. Walaupun menggunakan ISO 3200 sekalipun, speed yang diperoleh untuk mendapatkan suasana gua tetap tidak lebih dari 1/25 detik. Kebayang kalau menggunakan kamera hape yang sensornya imut untuk memotret di gua ini. 

Pintu gua Liang Rangko menghadap ke arah Barat, jadi sebenarnya kalau mau mendapatkan view yang lebih nyaman sebaiknya datang setelah jam dua siang. Malahan kalau mau sore hari nanti pemandangan matahari menjelang terbenam bisa dinikmati di pinggir pantai. Di pinggir pantai? Jadi gua ini di pinggir pantai? Gak usah heboh begitu. Bukan cuma di pinggir pantai, pantai di Liang Rangko ini juga pemandangannya indah. Berpasir putih dengan air yang tenang dan tentu saja pemandangan matahari terbenam.

Perjalanan ke Liang Rangko
Berbekal motor hasil pinjam dari seorang teman, Minggu pagi aku berencana ke Gua Rangko setelah rencana mau nginep di pulau Padar gagal total. Pilihan Liang Rangko karena masih berada di satu daratan pulau Flores dan jarak tempuh yang 'katanya' tidak terlalu jauh. Petunjuknya sederhana saja, ikuti saja jalan baru yang menuju ke Tanjung Boleng. Tanjung Boleng itu adalah kecamatan yang letaknya di sisi Utara pulau Flores.

Awalnya aku gak tahu kalau untuk ke Liang Rangko harus menggunakan perahu. Waktu itu hanya diberitahu kalau jalan ke Liang Rangko sudah bagus. Dan memang, dari kota Labuan Bajo sampai ke desa Rangko bisa dibilang jalan mulus karena memang masih jalan baru. Satu-satunya jalan yang jelek adalah sepotong jalan sekitar 100 meteran di depan PLTMG. Ini bangunan pembangkit listrik PLN baru, katanya kapasitas listrik di tempat ini sekitar 20 MW, wah bakalan terang benderang tuh Labuan Bajo.

Sampai ke sebuah desa di wilayah Kecamatan Tanjung Boleng, ada sebuah papan petunjuk lokasi Liang Rangko di pinggir jalan mengarah ke sebuah gang kecil arah ke pantai. Aku pikir awalnya di pinggir pantai itulah ada gua Liang Rangko, eh ternyata salah. Rupanya papan petunjuk itu cuma tempat untuk sewa perahu sekaligus membayar tiket masuk. Selepas parkir di pinggir sebuah pohon beringin besar, aku diarahkan ke sebuah warung kelontong. Warung ini rupanya juga berfungsi sebagai tempat untuk membayar tiket masuk sekaligus sewa perahu.

Di dalam sudah ada seorang bule muda yang tadi aku menyebut namanya: Pepe. Pepe ini katanya berasal dari Spanyol, dia menyebutkan Barcelona kalau gak salah. Dia yang awalnya protes gak mau bayar apalagi waktu dia diminta bayar 50ribu sementara aku cuma 20ribu. Dia pikir mereka curang mau menipunya. Setelah ditunjukkan kalau memang tiket masuk antara wisatawan lokal dan mancanegara memang berbeda. Bule muda ini jadi satu-satunya temen sharing perahu yang sewanya 300ribu pulang-balik dibagi dua. Lumayan mahal karena jarak tempuhnya hanya 20 menit saja. Sebenarnya kalau berangkatnya ada 5-6 orang lumayan sih, jadi hanya kena biaya sewa antara 50-60ribuan.

Liang Rangko: Pantai dan Gua yang Ciamik
Ternyata perahu digunakan bukan untuk menyeberang ke pulau lain, melainkan menyisir pinggir pantai menuju ke arah tanjung. Kalau begitu kenapa harus pakai perahu?  Karena jalan menuju lokasi langsung belum ada. Jadi tanjung tempat Liang Rangko itu bisa dibilang masih kosong tanpa penghuni, dan akses jalan tentu saja.

Perjalanan menyusuri perairan dangkal membuat aku bisa mengamati kondisi sekitar tanjung yang lebih didominasi bukit-bukit karang tanpa pantai.  Perairan dangkal dengan pasir yang berwarna putih membuat air laut berwarna biru muda, cukup menyenangkan untuk dipakai berenang.

Pak Kahar, pemilik perahu yang aku tumpangi bareng Pepe menunjuk sebuah bangunan dermaga yang sedang dibangun. Dermaga itu sepertinya sudah hampir rampung itu menggunakan material kayu, cukup bagus untuk menjadi dermaga bagi wisatawan. Rupanya memang Liang Rangko sedang dibenahi supaya lebih menjual.

Perahu merapat ke pantai bukan ke dermaga karena belum selesai dibangun. Ternyata sudah ada beberapa petugas di sana. Aku baru paham, ternyata desa Rangko yang aku datangi bukan satu-satunya lokasi untuk membayar tiket masuk. Bagi wisatawan yang melakukan hoping island misalnya, mereka membayar langsung biaya tiket masuk di tempat ini.

Masuk akal mengapa Liang Rangko dikembangkan menjadi lokasi wisata. Karena selain keberadaan kolam di dalam gua, ternyata pantai di sekitar Liang Rangko juga indah. Mungkin di tanjung ini, itulah satu-satunya pantai yang memiliki pasir putih cukup luas. Pemandangannya cukup nyaman karena di halangi beberapa pulau karang kecil, membuat perairan di sana cukup tenang. Ditambah dengan posisinya yang menghadap barat, bagi yang bersabar bisa menikmati keindahan matahari terbenam di pantai ini.


Catatan:
  1. Jangan memaksakan masuk ke dalam gua jika sedang ramai. Daya tampung gua yang tidak terlalu luas sangat terbatas. Masuk lebih dari 20 orang saja akan terasa tidak nyaman. Tunggu saja di pantai yang pemandangannya juga tidak kalah indah. Kalau tidak berenang di kolam daya tahan seseorang di dalam gua tidak akan lebih dari setengah jam. Pengap dan panas coy.
  2. Biaya sewa perahu sekitar 300ribuan dengan daya muat sekitar 5-6 orang. Bagi pelancong sendiri seperti saya, alternatif untuk mendapatkan harga lebih terjangkau adalah jangan buru-buru, cari sampai ada rombongan lain sehingga bisa patungan biaya. Atau ikut nebeng bayar ke rombongan yang bisa diikuti. Cara ini efektif kalau sedang musim liburan, kalau bukan lagi musim liburan bisa-bisa kering nungguin perahu yang mau angkut rombongan hehehe.
  3. Alternatif lain, jangan berhenti di tempat yang ada papan petunjuk tapi lanjut terus sampai ke dermaga desa. Nah coba tanya-tanya untuk sewa perahu ke sana. Biasanya ada yang mau mengantar dengan perahu kecil. Jika beruntung kalian bisa mendapatkan sewa perahu sekitar 100ribuan.
  4. Di Liang Rangko ini informasi dari masyarakat diperbolehkan untuk menginap/memasang tenda. Namun perhatian semua perbekalan karena di sini jelas satu-satunya alat transportasi adalah perahu.
  5. Jika menginap di sana dan mau membuat api unggun gunakan kayu-kayu kering di sekitar jangan potong pohon. Kayu-kayu kering cukup banyak kok. Jangan merusak alam karena jumlah pohon di sana juga terbatas. Kalau mau lebih enak, prepare aja bawa kayu bakar dari desa terdekat.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 12 November 2018

Bermalam di Atas Fatubraun

Matahari terbit di bukit Fatubraun
"Anak dari mana?" Pertanyaan pertama itu yang diajukan ibu pemilik warung saat kami mampir di warungnya. Dari Fatubraun bu, jawab kami.
"Oh, mancing di laut?" Ibu itu coba memperjelas, sambil memberikan minuman yang kami pesan. "Bukan, menginap di Fatubraun"
"Rumah yang di bawah," Ada keraguan dalam pertanyaannya, iya sepertinya merasa aneh dengan jawaban kami.
"Bukan, kami menginap di atasnya" Tanganku menunjuk ke arah bukit Fatubraun.
"Wii, betul di sana?"
"Mama saja lewat di jalan pas sore saja masih merasa merinding. Kalau masih bisa lewat jalan lain lebih pilih jalan lain. Jadi anak bertiga benar-benar menginap di sana?" Nadanya masih terkesan ragu bahwa kami tadi malam benar-benar menginap di atas bukit Fatubraun.

Rumah di bawah bukit Fatubraun
Aku pernah ke Fatubraun beberapa minggu sebelum yang aku tulis disini: Fatubraun, Melihat Pantai Selatan dari Atas. Tapi waktu itu bisa dibilang hanya sebatas mampir saja setelah menginap di Pantai Tebi. Jadi waktu ke Fatubraun hanya beberapa jam saja. Berbeda dengan perjalananku bareng Adis dan Imam kali ini yang memang diniatkan buat nenda di atas sana.

Lama gak keluar buat jalan-jalan memang bikin badan pegel semua. Pas waktunya mereka berdua gak lagi keluar tugas, ya udah aku ajak mereka naik ke Fatubraun buat nenda. Karena waktu pertama kali ke tempat itu, menuruku lokasinya bagus untuk mengambil pemandangan matahari terbit. Tapi kita juga bisa mengambil foto pemandangan matahari terbenam, hanya kita harus naik ke arah puncak tertinggi di sisi barat. Tapi itu pun matahari terbenamnya di balik perbukitan lain, bukan jatuh di laut.

Persiapan Ala Kadar
Menjelang malam di Fatubraun
Persiapan buat nenda udah disepakati cuma apa yang dibawa belum disepakati. Kita memang seperti itu, gak pernah mau ribet mikir apa yang mau dibawa atau disiapin. Pokoknya ya nanti deket-deket jalan baru atur. Kata Imam sih kalau terlalu banyak perencanaan lebih sering gagal. Sayangnya, Al sama Trysu yang aku ajak naik ke Fatubraun pertama kali justru lagi tugas keluar.

Untuk tenda, aku sama Imam memilih membawa tenda single layer yang cuma muat buat dua orang. Pertimbangannya sih karena bukan musim hujan jadi kecil kemungkinan kita menginap di dalam tenda. Aku sama Imam nyaris gak pernah menginap di dalam tenda kecuali waktu ada hujan. Jadi tenda biasanya lebih banyak dipake untuk mengamankan tas saja. Hanya untuk jaga-jaga aku tetap membawa flysheet kalau tiba-tiba cuaca tak terduga seperti yang aku alami saat nenda di Pantai Tebi.

Karena tujuannya cuma satu tempat dan dilanjutkan nenda, jadi kita bertiga memilih berangkat siang selepas jam tiga. Cukup dengan dua motor, dan karena aku yang naik motor sendirian jadi seperti biasa kebagian yang angkut semuanya.

Nenda di Puncak
Aku sendiri awalnya menawarkan buat memasang tenda di bawah di area parkiran saja yang lebih teduh suasananya, ini juga udah aku tulis di postingan sebelumnya. Pertimbanganku karena di bagian atas tempatnya langsung berhadapan dengan dinding jurang yang tentu lebih berbahaya. Cuma Imam dan Adis maunya sekalian nenda di atas saja. Ya udah, aku ngikut saja keinginan mereka. Enaknya sih kalau nenda di atas tentu lebih gampang untuk menikmati matahari terbit dibandingkan di bawah yang tertutup dengan pepohonan.

Awalnya Adis gak percaya kalau ke Fatubraun itu nanjaknya cuma sedikit, dia pikir dengan pemandangan tebing batu yang tampak jauh lebih terjal dibanding Fatuleu. Padahal beneran ke bukit Fatubrau gak sesusah dan semenantang naik ke Fatuleu. Baru setelah 10 menit udah sampai dia percaya kalau memang gak terlalu susah naik ke atas Fatubraun. Tapi tetap saja ada adegan keringetannya lha naik ke atas pake jaket.

Dari semua pilihan tempat akhirnya Imam memilih memasang tenda di pinggir jalan masuk dalam hutan, tidak masuk ke dalam hutan seperti saranku. Imam sengaja memilih tanah datar yang banyak rumput supaya agak empuk buat tidur. Hanya memang jadi terbuka, yang akan terasa sekali jika ada angin kencang.

Tenda baru aku pasang sekitar jam enam setengah enam sore setelah rombongan wisatawan terakhir pulang. Seingatku rombongan terakhir turun sebelum jam lima sore. Untuk informasi, bukit-bukit batu di sini rata-rata masih digunakan untuk pemujaan. Ada keyakinan kuat dari masyarakat Timor tentang kekuatan yang tidak kasat mata yang tinggal di bukit batu seperti ini. Jadi wisatawan yang berkunjung rata-rata sudah turun dari bukit sebelum malam. Itu salah satu sebab jarang yang memotret waktu terbaiknya di bukit seperti ini.

****
Bicara tentang kekuatan tak kasat mata di bukit Fatubraun ini, aku teringat cerita tentang kasus lama yang diceritakan masyarakat. Seorang mama tua pernah bercerita bahwa di atas bukit itu dulunya ada batu besar yang membentuk kepala orang. Masyarakat di Amarasi walau sudah memiliki agama namun masih kental dengan kebudayaan leluhur, salah satunya pemujaan kepada gunung/bukit-bukit besar. Sehingga pada saat-saat tertentu, masyarakat tetap membuat upacara dan memberikan persembahan di sana. Ada tim doa yang tidak suka dengan kondisi ini dan menyalahkan keberadaan bukit batu itu sebagai penyebab perilaku syirik di masyarakat.
Hingga suatu ketika diputuskan untuk menghancurkan batu-batu besar yang ada di sana. Rombongan naik ke atas dan menghancurkan beberapa batu terutama yang berbentuk kepala manusia supaya tidak digunakan lagi untuk pemujaan. Mereka memang berhasil menghancurkan bukit batu itu. Namun hal buruk terjadi setelah itu. Konon katanya satu demi satu orang yang menghancurkan bukit itu meninggal dengan berbagai macam cara.
****

Malam itu aku batal memotret milkyway seperti yang aku rencanakan karena langit yang ada awan walau tidak terlalu tebal. Dan terutama juga adanya bulan yang mendekati purnama. Entah aku yang makin bodoh, aku tidak menggunakan aplikasi seperti biasanya untuk mengecek posisi dan penampakan bulan. Biasanya aku selalu menggunakan aplikasi untuk mengecek posisi dan penampakan bulan dengan aplikasi yang selalu ada di hape android-ku.

Justru malam itu kita membuat foto-foto yang super duper gak jelas. Ya tapi lumayan buat asyik-asyik saja sih. Lumayan lah, setidaknya ada satu properti lampu flip-flop semeter yang cukup asyik buat bikin eksperimen foto bareng mereka berdua.

Matahari Terbit Tidak dari Horison Laut
Pagi-pagi aku terbangun, udah agak telat sebenarnya. Setengah enam pagi, langit udah agak terang. Cuma mereka berdua masih asyik meringkuk dalam selimut masing-masing. Adis ngorok di dalam tenda, sedangkan Imam bergulung dengan sleeping bag-nya di dekat nyala api unggun yang tinggal onggokan bara kecil.

Setelah memotret disekitar tenda, aku berencana memotret dari atas bukit sisi barat yang lebih tinggi. Ya udah, aku ke tenda untuk membangunkan Adis yang katanya tadi malam minta dibangunkan untuk ikut motret matahari terbit. Tapi membangunkan Adis kali ini lebih susah, rupanya dia terlalu lama melek tadi malam. Aku memang selalu tertidur terlebih dahulu daripada mereka berdua. Karena mereka berdua memang seringkali insomnia, baru mulai ngantuk menjelang pagi.

Karena gagal membangunkan Adis, akhirnya aku masuk ke dalam hutan sendiri untuk mendapatkan view yang lebih bagus untuk memotret matahari terbit. Aku tepat waktu, saat sudah berada di titik tertinggi sisi barat rupanya matahari belum terbit. Matahari pagi terbit beberapa saat kemudian dari balik perbukitan tampak cemerlang tanpa terhalang awan. Karena masih bulan April sehingga posisi matahari terbit masih di sisi selatan sehingga masih terhalang oleh perbukitan.

Tenang saja, walau tidak sempurna terbit dari balik horison laut, pemandangan pagi-nya tetep kece kok. Seperti aku tulis sebelumnya, dengan ketinggian hanya sekitar 400 mdpl, dapat dikatakan matahari pagi akan mudah tampak tanpa terhalang oleh kabut. Hal ini tentu berbeda dengan melihat pagi dari pegunungan yang tinggi, kadang bisa terhalang oleh kabut pagi. Dan cukup banyak spot di atas Fatubraun ini untuk menikmati matahari terbit.

Saat balik ke tenda, aku melihat Imam dan Adis tetep saya khusyuk sama mimpi indahnya. Busyet dah, tuh kedua anak emang mirip anaknya vampir yang melek malam hari tapi justru tidur pagi. Padahal bunyi burung ramai bercuitan terbang kesana kemari. Ya udah, aku akhirnya masak air untuk membuat kopi. Sayang rasanya kalau tidak menikmati pagi begini tanpa segelas kopi panas.
Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 20 Juni 2018

Camping Mutis: Usapikolen

Matahari terbit di bukit Usapikolen
Usapikolen pagi ini langitnya cerah walau dinginnya serasa menggigiti tulang. Sleeping bag yang aku kenakan sebagai selimut lumayan mengurangi rasa dingin. Tak ada kain hangat, bahkan saat ini pun aku cuma memakai sarung dan kaos oblong. Sambil mulai memasang kamera ke atas tripod sambil berjalan pelan dengan santai mencoba menjelajah pemandangan di sekeliling bukit ini. Masih cukup waktu untuk menunggu matahari terbit. Benar kata Tardi, bukit Upasikolen ternyata bukan cuma tempat yang paling pas untuk menikmati matahari terbenam tetapi juga matahari terbit.

Selalu ada pelangi setelah hujan
Beberapa kuda di bawah bukit makin bergerak menjauh menuruni perbukitan di sebelahnya. Suara ringkikannya mengingatkanku suara yang kudengar tadi malam di samping tenda. Dengusan yang begitu terasa dekat sekali yang membuatku bertanya-tanya apa yang membuat mereka tertarik mendatangi tenda kami. Tak cuma kuda, bahkan aku bisa mendengar bunyi lonceng sapi juga. Padahal kemarin sore mereka justru menjauh saat kami datangi. Aku sempat berpikir lain waktu terdengar dengusan dari luar tenda. Bahkan tanganku sempat meraih salah pisau lipat yang ada di samping tenda untuk berjaga-jaga. Hanya setelah aku yakin mereka cuma kuda dan sapi aku bisa melanjutkan tidurku. Mungkin mereka tertarik dengan bau masakan dari sisa piring-piring yang aku sengaja taruh diluar biar terkena hujan.

Menikmati matahari terbenam di Usapikolen
Dari tempatku berdiri aku bisa melihat jelas dua tenda yang terpasang kemarin sore di salah satu bukit. Satu tenda besar yang kami bertiga tempati: aku, Imam dan Al-Buchori. Dan satu lagi yang ukurannya lebih kecil ditempati sendiri oleh Tardi. Seorang teman yang baru kami kenal siang kemarin saat sedang mengisi BBM di Pom Bensin. Aku tersenyum sendiri membayangkan yang terjadi kemarin sore. Yah, tenda-tenda itu didirikan susah payah dalam kondisi hujan yang kencang. 


Matahari tenggelam di antara air hujan di rerumputan
Belok kanan.. belok kanan.. suara Tardi terdengar samar diantara deru hujan yang makin kencang. Tardi yang dari awal berada di depan kami membelokkan motor matic-nya ke arah perbukitan. Aku dan Imam yang membonceng Al mencoba mengikuti masuk ke arah perbukitan. Tardi sedari pertengahan jalan sudah mengenakan mantel hujan berbeda dengan kita bertiga yang justru tidak membawa peralatan terpenting itu di saat seperti ini. Setelah menghentikan kendaraan di salah satu tanjakan kami mulai berjalan ke arah bukit paling ujung untuk memasang tenda. Sayangnya di bukit kedua yang kita tuju telah dipenuhi dengan kuda dan sapi. Akhirnya kami mengalah memasang tenda di bukit pertama.

Jalan menuju Fatumnasi dari bukit Usapikolen
Jalan menanjak menuju Fatumnasi
Di tengah guyuran hujan yang tidak juga mereda, kami harus segera memasang tenda. Tardi dan Al merentangkan salah satu hammock-ku yang tahan air untuk menjadi pelindung saat aku dan Imam memasang tenda. Air hujan dan kabut yang datang cukup membuat acara memasang tenda jadi lama. Selesai kedua tenda terpasang, kami semua kecuali sudah basah kuyup termasuk tas-tas yang kami bawa. Sialnya baju dan celana ganti yang aku punya ada dibagian bawah yang ikut terkena rembesan air. Rupanya aku salah meletakkan posisi tas yang justru membuat rain cover tas bagian bawah menjadi tampungan air hujan. Yang paling terselamatkan tentu saja si Tardi yang dari awal menaruh semua barangnya ke dalam kantung dry bag.

Dan semalaman aku meringkuk tidur ke dalam tenda dalam kondisi tanpa baju alias bugil.. Widih, beruntunglah perjalanan kali ini isinya cuma mahluk berbatang semua. Coba kalau ada cewek yang ikut, bisa berabe nih urusannya tidur macam begini. Emang asyik kalau jalan gini pake kena acara kehujanan.


Pemandangan bukit Tunua dari Usapikolen
Lupakan acara api unggun yang selalu menyertai kami setiap kali nenda. Bukit Upasikolen ini adalah bukit yang hanya ada rumput tanpa pepohonan jadi tidak ada yang dapat kami jadikan api unggun. Kalau ingin mencari kayu bakar harus turun ke bawah bukit. Lagian dalam kondisi hujan seperti ini siapa juga orang gila yang mau bikin api unggun.

Dan sekarang lihat, pagi ini mereka belum ada yang bangun dari tidurnya. Kurasa mereka terlalu sayang meninggalkan kehangatan sleeping bag demi melihat sinar matahari pagi. Apalagi satu mahluk bernama Imam yang lebih mirip kelelawar, betah melek sampai pagi tapi justru tidur lelap saat pagi..

Kenapa kok kami di Usapikolen? Tardi lah yang membuat ide ini. Menurutnya, dari pekerjaannya yang lama berada di Fatumnasi. Usapikolen adalah satu satu tempat keren buat menikmati matahari tenggelam dan matahari terbit. Dari dulu dia ingin sekali nenda di sana tapi belum kesampean, jasi sekaranglah kesempatannya. Karena aku sendiri tidak paham dengan Fatumnasi (baru pertama nih) ya akhirnya pilih ngikut saja dengan pilihannya.



Buat yang belum tahu, Usapikolen ini adalah kawasan perbukitan yang letaknya sebelum masuk ke Fatumnasi. Usapikolen ini karena konturnya yang berada di perbukitan yang cukup tinggi dari sekitarnya jadi memang pemandangannya cukup lega. Jika naik ke salah satu bukit yang berada di bukit yang berada di sebelah kanan jalan, kalian bisa melihat sebuah bekas bukit yang warnanya putih rata di bagian atas. Itu adalah bukit Marmer Tunua yang dulu pernah menjadi lokasi pertambangan marmer. Itulah tempatku bermalam besok.
Jadi kalau nanti kalian ke Fatumnasi, bolehlah mampir sebentar ke
Usapikolen sebelum masuk Fatumnasi. Syukur-syukur kalau mau nenda disini.

Teman jalan ke Fatumnasi kali ini: Imam 'Boncel'; Al-Buchori; dan Tardi Sarwan
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya