Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label sumba barat daya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sumba barat daya. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 28 Februari 2015

Pasola, Kampung Toda, dan Daging Rusa

Ruang memasak berada di tengah-tengah rumah dan kamar-kamar berada di pinggir.
Lanjutan dari cerita Pasola .............
Aku mundur ke belakang setelah penonton di belakang terus merangsek ke depan ingin melihat lebih dekat. Karena acara Pasola makin seru makin sulit polisi dan aparat desa mengatur penonton sudah tidak mendekat. Biasanya ulah penonton ini tanpa sadar sering membuat lapangan menyempit sehingga jarak pemain makin dekat. Tapi ini juga sekaligus membuat penonton di barisan depan rawan ikut terkena lemparan lembing.
Untungnya di depan mudah mengambil foto seperti ini tanpa terhalangi
Ada satu keuntungan jika kita ke acara-acara seperti ini membawa kamera biasanya petugas tidak melarang jika kita berdiri di depan dari garis yang dibolehkan. Aku lihat rata-rata pemotret bebas mendapatkan tempat duduk di depan sehingga leluasa mengambil angle acara. Apalagi kalo pakaiannya rompi macam wartawan mau cari berita hahaha..
Ternyata aku tinggal berdua sementara teman-teman yang lain entah kemana. Dicari-cari ternyata mereka berteduh di bawah pepohonan. Wuih ternyata samping kanan kiri jalan telah dipenuhi para pedagang dengan segala macam dagangannya, pada umumnya makanan minuman sih. Cuaca saat ini memang terik sekali, bahkan hawa panas itu sudah terasa sejak pagi. Kalau kataku, di Sumba Barat Daya ini setelah malam itu langsung siang tanpa pagi karena matahari pagi langsung terang tanpa basa basi dulu hehehe.

Suasana rumah di kampung Toda
Yang asyik di perjalanan kami ditawari mampir pak Jostom mampir ke rumah mantan bupati Sumba Barat Daya di kampung Toda. Kebetulan pak Jostom sekarang lagi ditugaskan jadi sekcam di Kodi dan yang saat ini termasuk seksi sibuk dengan adanya acara Pasola seperti ini. Ternyata di kampung Toda ini sudah banyak berkumpul orang sehingga di tengah kampung dipasangi terpal. Seperti biasa aku lebih memilih duduk-duduk di salah satu rumah penduduk. Seperti pernah aku ceritakan sebelumnya, rumah asli Sumba ini nyaman. Tipikal rumah model panggung dengan balai-balai terbuka di sekelilingnya ditambah dengan atap asli dari jerami membuat rumah terasa sejuk walaupun cuaca panas menyengat. 
Kubur batu di kampung Kodi
Rupanya acara Pasola ini bagi orang Sumba merupakan hari besar, biasanya ini waktu mereka yang telah terpisah jarak menjadi ajang kumpul. Seperti rumah yang aku duduki ini ternyata dimiliki 25 kepala keluarga. Memang mereka tidak tinggal semua disini karena mungkin sudah punya rumah di tempat lain, tapi hak dan kewajiban mereka atas rumah itu tetap ada. Dan saat acara seperti inilah tempat mereka kembali ke rumah inang mereka menjadi satu. Menu pembuka yang disodorkan ke kami adalah jagung rebus. Jagung pulut istilah mereka memang paling enak dibuat jagung rebus. Ditambah teh panas, jadilah perbincangan dengan penduduk kampung Toda terasa mengasyikkan. Sayang aku lupa membawakan mereka sirih pinang, padahal lebih asyik lagi kalau aku bisa ikut makan pinang bersama mereka. Jadi inget waktu ke Kodi beberapa tahun lalu saat aku mencoba makan sirih pinang disini.
Saat undangan makan adalah saat yang tidak dapat kami lewatkan, dan ternyata kami mendapatkan suguhan daging istimewa: Rusa Timor yang mereka pelihara sendiri. Daging rusa yang manis dan bertekstur lembut ini tentu tidak kami sia-siakan walaupun kalau aku lihat tega. Putra dan Fathul beruntung, sementara teman-teman lain mungkin sampai saat ini belum pernah melihat Pasola merasakan nikmatnya daging rusa, mereka sekali kesini langsung mendapatkan keduanya. Hahaha... sepertinya bekal nasi padang yang kami bungkus bakalan sia-sia karena perut kami sudah dipenuhi makan siang dengan daging Rusa.
Danau Weekuri, ada yang lebih doyan motret dong :P
Sekitar jam satu kami kembali meneruskan perjalanan ke Weekuri karena kebetulan 2 orang dari rombongan yaitu Fathul dan Eko belum pernah ke Weekuri. Weekuri itu sebuah danau, seperti apa danau itu bisa dibaca di tulisanku sebelumnya.
Dan seperti biasa perjalanan ke Weekuri tidak mudah, kami bahkan sempat berjalan memutar balik kembali tanpa sadar. Walaupun kami pernah ternyata tetap tidak mudah mencapai tempat ini karena masih sangat minimnya papan informasi penunjuk jalan. Aku sendiri kenapa masih semangat ke Weekuri karena memang Weekuri itu tempat yang gak membosankan. Bahkan Putra kali ini semangat sekali mau mandi. Walhasil memang kami berhasil mandi di danau Weekuri, sayangnya justru teman-teman dari bepeka tidak mandi hanya duduk sambil menunggu teman-teman lain yang juga mau ngumpul dari Sumba Tengah dan Sumba Barat. Kali ini aku lebih siap dengan membawa celana dan kacamata renang. Danau Weekuri memang asyik untuk dinikmati bahkan sekedar untuk duduk-duduk saja apalagi kalau mandi.
Hujan yang menghentikan kami berenang
Sayang aku tidak bisa mandi lama karena langit yang sedari tadi tampak gelap berubah menjadi hujan. Sementara teman-teman yang tidak mandi langsung berlari ke mobil, aku tentu tidak bisa dengan kondisi basah. Akhirnya aku, Fathul dan Putra memilih berlindung di sebuah cekungan batu. Tidak terlalu tinggi sehingga kami harus agak menunduk tapi cukup lapang setidaknya sambil menunggu hujan reda.
Karena hujan ini akhirnya kami membatalkan mampir ke pantai Watu Mandorak. Ternyata hujan memang reda sebentar setelah itu makin kencang. Padahal waktu Pasola tadi langsung masih biru. Aku jadi ingat kata seorang kawan, saat Pasola walaupun musim hujan tetap waktu acara cuaca akan cerah karena mereka juga akan menggunakan semacam pawang untuk menghalau hujan. Hal itu sudah aku alami beberapa kali, walaupun Pasola terjadi di musim yang masih ada hujan namun tiap Pasola langit tetap cerah.
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 21 Februari 2015

Pasola: Tarian Perang di Atas Kuda

Seorang petarung Pasola sedang memancing lawan (lok. Rara Winyo, desa Wura Homba)
Pasola berasal dari kata "sola" atau "hola", yang berarti sejenis lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan. Setelah mendapat imbuhan `pa' (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan.Jadi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan. Pasola merupakan bagian dari serangkaian upacara tradisional yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama asli yang disebut Marapu (agama lokal masyarakat sumba). Permainan pasola diadakan pada empat kampung di kabupaten Sumba Barat. Keempat kampung tersebut antara lain Kodi, Lamboya, Wonokaka, dan Gaura. Pelaksanaan pasola di keempat kampung ini dilakukan secara bergiliran, yaitu antara bulan Februari hingga Maret setiap tahunnya. (sumber: Wikipedia)

Akhirnya aku punya alasan untuk menulis tentang Pasola. Sebenarnya Pasola sendiri sudah aku lihat dua kali sebelumnya, dua-duanya di Lamboya. Yang pertama sudah lama sekali mungkin sudah lebih dari sepuluh tahun lalu. Tahu kan apa yang terjadi 10 tahun lalu? Yup, kamera masih jadi mainan mahal dan karenanya aku gak punya gambar-gambar Pasola yang aku lihat. Yang kedua beberapa tahun lalu, saat aku sudah punya kamera prosummer. Entah waktu itu Canon S5 IS atau Fuji S200 EXR. Yang pasti aku waktu itu inget bawa tripod dan perlengkapannya tapi justru malah lupa bawa kameranya.. uassyeeemm... wal hasil hasil nonton Pasola kedua nangkring di kamera China (mati kecemplung di pulau Kambing) dengan resolusi 0,3Mp..

Kecil tapi lincah di atas kuda Sambutan balik untuk para penantang
Menantang lawan sendirian Perang tombak terjadi
Nah yang ketiga inilah aku bisa dapet foto-foto Pasola. Mau ngambil foto dari internet gak asyik lah, lah asyiknya itu tuh ngeliat sendiri kok sekaligus moto sendiri. Mungkin sebagian orang sudah tidak asing karena Pasola sudah menjadi salah satu destinasi wisata yang dijual di luar negeri.
 
Jangan banyak-banyak nanya asal-usul Pasola dan ceritanya gimana ada Pasola ya, itu di om Wiki banyak banget ceritanya dari sejarah, prosesi sampe pendaftarannya.. eh terakhir gak ada ding.... :D Kalau aku jelasin satu, percaya deh pasti kalian akan nerocos nanya lebih banyak lagi, mending kalian baca om Wiki trus masukin barang-barang ke tas ransel dan cao ke Sumba mumpung sekarang masih belum abis Pasola-nya.. ayo buruan, keburu cuti abis buat ngorok doang.
Ini nih jadwal yang dikirim mas Eko lewat forum Tapaleuk Ukur Kaki tapi hanya untuk jadwal yang di Sumba Barat Daya.
10 Februari 2015Homba Kalayo, Desa Waikaninyo, Kec. Kodi Bangedo
13 Februari 2015Bondo Kawango, Desa Pero Batang, Kec. Kodi
14 Februari 2015Rara Winyo, Desa Wura Homba, Kec. Kodi
11 Maret 2015Maliti Bondo Ate, Desa Umbu Ngedo, Kec. Kodi Bangedo
13 Maret 2015Wai Ha, Desa Wai Ha, Kec. Kodi Balaghar
14 Maret 2015Wai Nyapu, Desa Wai Nyapu, Kec. Kodi Balaghar

Nah, aku dapet acara paling bontot di Februari di desa Wura Homba. Sayang aku gak dapat untuk jadwal acara di Lamboya dan Wanokaka. Kemungkinan sampai saat ini masih ada acara Pasola yang dapat dilihat di Lamboya atau Wanokaka.
Jangan tanya apakah jadwal itu pasti, termasuk kalau tahun depan ada jadwal serupa. Walaupun itu penting bagi wisatawan apalagi yang waktunya juga tidak panjang namun tak bisa dipungkiri bahwa Pasola bukan sekedar permainan yang bisa dimainkan kapan saja dan dimanapun. Untuk memulainya tergantung para Rato (tetua suku) yang akan berembuk setelah ritual Nyale. Ritual Nyale selalu mengawali acara Pasola, bahkan disanalah awal untuk menyebut apakah sebuah Pasola bisa dimulai.
Menunggu musuh mendekat Saling berhadapan siap perang
Kalau mau jujur, aku jauh lebih terkesan dengan Pasola di Lamboya. Pertama karena lokasinya yang di perbukitan yang terpisah dengan rumah penduduk sekitar. Yang kedua, hawa perang lebih terasa makanya sering kali acara Pasola menjadi rusuh. Teriakan-teriakan penonton dan pekikan khas begitu kuat membakar para petarung sehingga tak terelakkan acara ini kadang menjadi begitu panas. Di Lamboya, dua kali acara berakhir dengan kerusuhan yang melibatkan para penonton juga juga sering membawa lembing. 

Mila Ate, temen pns yang ikut acara Pasola
Dan selesainya acara diakhiri dengan raungan mobil dalmas yang berlari kencang mengejar penonton yang terlibat kerusuhan. Seru dan menegangkan.

Walaupun sekedar lembing kayu tumpul jangan anggap remeh, tak kurang beberapa kali aku melihat peserta Pasola terluka sampai darahnya bercucuran bahkan ada yang matanya buta. Tapi bagi mereka, cucuran darahnya itu justru akan menjadikan tanah mereka subur dan membuat mereka nanti akan panen besar.
Ketegangan juga kadang bertambah jika ajang Pasola diselipi dendam pribadi akibat kekalahan sebelumnya dari salah satu peserta. Jadi walaupun melihat Pasola mengasyikkan, tak bisa dipungkiri ada ketegangan di sana.. Tak ada yang menjamin penonton aman dari lembing peserta yang melayang apalagi jika memilih duduk di depan. Padahal justru itulah posisi yang dicari seorang pemotret.
Aku juga nyaris hampir merasakan kaki kuda jika tak lekas menyingkir. Pada saat mencari tempat memotret entah kenapa seekor kuda berwarna putih yang dikendarai peserta mendadak berontak. Beberapa kali kaki belakangnya menyepak ke belakang. Akibat ulah kuda ini beberapa kuda yang didekatnya ikut gelisah. Untung aku sempat menyingkir agak jauh sebelum akhirnya kudanya berhasil ditenangkan pemiliknya, itu pun dia sendiri sempat terjatuh satu kali.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 06 Maret 2014

Weekuri: Surga Minus Bidadari

Danau Weekuri, danau yang airnya asin dengan warna tosca-nya
Tempat ini menjadi lokasi yang aku incar untuk didatangi setelah mendapatkan kompor sebuah foto dari teman dengan judul yang sangat sangat provokatif: Pantai Weekuri, sebuah surga hanya bidadari yang tidak ada. Untuk menghormati betapa kompornya sangat dahsyat menyentil naluri hewani-ku maka itulah judul yang aku taruh di tulisan kali ini. Lebih pendek tentu saja karena siapa juga yang enak menulis judul sepanjang itu. Semoga tulisan ini juga ikut menyumbang provokasi untuk teman-teman lain yang tersesat mampir ke tulisan ini. Selamat membaca sambil bobo' (yang pake tab/smartphone tapi tolong jangan yang pakai notebook).

Malu Bertanya Sesat di Jalan
Lagi-lagi mengandalkan penugasan dari kantor, tapi bukan berarti aku gak kerja lho ya. Haram kalau mau nerima duitnya tapi gak mau kerjanya. Tentu saja hari Minggu adalah alasan paling masuk akal kalau jalan. Itu sudah aku rencanakan awal sampai disini dan tentu saja sudah ada teman disini yang siap mengantar perjalanan untuk membuktikan kebenaran kompor itu.
Tapi Minggu pagi saat aku konfirmasi ternyata ada kendala dengan kendaraan teman yang mau menemani karena katanya sedang bermasalah dan masih masuk bengkel. Untung masih ada alternatif lain, yaitu menyewa motor dari hotel.
Menyusuri Pantai Mananga Aba pada suatu sore
Pagi-pagi tanya ke manajer hotel ada gak dua motor untuk kami sewa, dan untung jawabannya melegakan tapi juga menyesakkan. Pertama, dua motor yang kami minta memang ada tapi kedua: tidak ada helm. Duh, puyeng nih. Masalahnya perjalanan kali ini bukan perjalanan jarak pendek seperti halnya kita mengunjungi Pantai Mananga Aba (baca: Pantai Kita) yang berjarak tak lebih dari 15 km dari kota Weetabula. Aku butuh helm bukan karena ditangkap polisi (walau kuakui berurusan tilang menilang dengan polisi juga mengjengkelkan) tapi lebih karena risiko jika harus naik motor tanpa helm. Aku terus terang kurang tahu perilaku berkendara orang-orang di Sumba Barat Daya. Memang sepengalamanku jarang aku temui orang yang naik motor ngebut tapi masih ada tukang ojek yang masih meragukan kemampuan mengendari motornya. Yang pasti aku harus antisipasi kemungkinan terburuk, lagian dengan jarak perjalanan satu jam lebih tentu lebih nyaman jika pakai helm. Stopppp..... kenapa aku bahas helm ya. Intinya aku mau pinjam tapi minta disiapkan helm, terserah mau helm sepeda atau helm becak (ada gak ya?!?). Untungnya menjelang siang manajer hotel bilang kalau helm udah ada. Sip, akhirnya aku dan temanku bisa memutuskan untuk jalan dan kupikir jam sebelas siang kita bisa start jalan. Sebenarnya bukan waktu yang tepat karena tentu saja masih sangat puanas dengan matahari yang berada tepat di ubun-ubun. Tapi kami logis aja, dengan kondisi jalan tanpa tau persis lokasi kami tak tau sampai jam berapa bisa sampai lokasi. Kami cuma tahu satu hal, Weekuri terletak di wilayah Kodi. Aku sendiri awalnya sempat tanya yang pernah kesini jalur menuju Weekuri sayang sinyal lebih dulu hilang sebelum ada jawaban.
Perjalanan awal lumayan lancar, aku dan Putra tinggal mengikuti rambu-rambu yang terpasang yang mengarahkan jalan ke Kodi dan itu artinya kami menuju ke ruas jalan menuju kantor bupati dan itu lanjut terus. Permasalahannya adalah ketika kami memasuki wilayah Kori, sebenarnya kami seharusnya berbelok ke kanan dari percabangan Kori namun kami justru terus. Tentu saja aku menggunakan GPS (Gunakan Penduduk Setempat) hehehehe.. dan itu memang efektif walau kami harus melewati jalan-jalan tanah dan berbatu. Jangan sombong walau anda punya GPS digital, karena GPS manual jauh lebih membantu karena memang sinyal bukan hal mudah akan diterima di sepanjang jalan. Jika di perkotaan saja masalah sinyal sering aku temui, tidak mengherankan jika itu juga terjadi dalam perjalanan kami. Jadilah setiap pertigaan yang meragukan kami harus bertanya, pokoknya kalau dihitung kami bertanya tak kurang dari 10 kali, lebih malah. Kondisi jalan walau tanah sebenarnya tidak jelek karena rata-rata tanahnya keras, hanya mungkin ada beberapa titik yang ada genangan air. Apalagi dengan menggunakan jalan potong hasil bertanya ke penduduk maka jalan yang kami lewati tentu saja lebih jelek dari jalan normal.

Pantai Karoso, Kesasar ke Pantai yang Menawan
Pantai Karoso, salah satu pantai yang cantik di Sumba
Sampai akhirnya kami sampai di pertigaan dimana yang dua sisi telah beraspal sedangkan yang sisi kami tanpa aspal (jalan potong). Dari jalan aspal kami terus lurus ke arah barat sesuai papan petunjuk yang bunyinya juga gak bilang itu pantai apa cuma tertulis "Dilarang mengambil bahan/material pasir di pantai". Dengan pede-nya kami anggap itu adalah pantai yang dimaksud. Jadilah aku terus melaju lurus walau seharusnya di persimpangan ada jalan perkerasan seharusnya aku berbelok ke arah itu. 
Akhirnya aku sampai ke sebuah pantai yang namanya tertulis pantai Karoso. Pantai berpasir putih dengan warna tosca. Pantai yang kalau saja bukan di Sumba tapi di Jawa mungkin sudah diserbu orang-orang untuk berwisata.
Ada sebuah gubug pendek terbuka beratap daun alang-alang di pinggir pantai, di dalamnya berkumpul beberapa lelaki tua-muda sedang duduk disekitar bara api yang tinggal menyisakan asap. Seorang bapak tua menemui dan berbincang-bincang dengan kami. Ternyata api itu berasal dari kegiatan bakar ikan yang mereka lakukan. Pantai Karoso ini juga rupanya menjadi tempat penjualan ikan.
Suasana pantai ini cukup teduh karena di sepanjang pantai banyak ditumbuhi Bakau dan pohon Ketapang. Ombaknya juga cukup tenang, padahal seharusnya ombak dari daerah selatan selalu keras terutama karena memang menghadap ke laut lepas Samudera Hindia Selatan.
Dari bapak tua itu aku ditunjukkan kalau kami terlewat, seharusnya sudah belok dari percabangan yang ada jalan perkerasan. Setelah kami memberi uang sedikit untuk membeli sirih pinang kami melanjutkan kembali. Kami kesasar tapi rasanya tempat kami kesasar juga tidak mengecewakan untuk dikunjungi.

Danau Weekuri: Tosca Everywhere
Sekitar tiga kilometer setelah kami menyusuri jalan perkerasan, akhirnya kami sampai di gerbang masuk danau Weekuri. Lima meter jalan di belakang kami sebenarnya terdapat percabangan masuk menuju lokasi Pantai Watu Mandorak. Sial banget, ternyata baru aku tahu kalau kedua tempat menawan ini sebenarnya bersebelahan. Padahal dulu aku pernah mampir ke Pantai Watu Mandorak yang sudah aku tuliskan di blog berjudul: Eksotika Alam Sumba dan Marapu.
Siapa bisa menolak untuk masuk ke airnya dengan air seperti ini
Ada sebuah pos jaga yang menyatakan jika semua tamu diharap lapor, sayang lagi kosong ditinggal penghuninya. Tempat masuknya sendiri masih alami hanya ada beberapa tugu penanda kalau kita sudah sampai di Weekuri, tapi belum ada tugu yang menjelaskan bagaimana danau weekuri ini terbentuk juga jika ada legendanya. Biasanya danau-danau seperti ini suka ada legenda yang menyelimutinya. Entahlah, setidaknya aku tidak mendengar legenda itu dari seorangpun yang tinggal di tempat ini.

Anak-anak kampung asyik berenang
Kedatanganku disambut oleh pemandangan beberapa penduduk kampung yang duduk bergerombol. Menyapa mereka menjadi salah satu kebiasaanku, selain untuk berakrab ria dan beramah tamah kadang dari mereka kita bisa tahu lebih dalam suatu lokasi yang kita kunjungi. Bagi seorang yang memang pecinta jalan-jalan, wajib hukumnya untuk selalu GPS (Gunakan Penduduk Setempat) hehehehe.....
Beberapa anak kecil dengan hanya bercelana pendek tengah asik bermain di air danau. Dan air danaunya....... busyettt.... tosca yang begitu bening sangat menggoda imanku untuk ikut nyemplung dan bermain bersama mereka. Batu-batuan di dasar danau yang tidak terlalu dalam tampak jelas dari permukaan. Pepohonan hampir seluruhnya menutupi area ini kecuali beberapa daerah di ujung yang menjadi pembatas antara danau ini dengan laut lepas.
Jangan tanya aku apakah indah atau tidak? Mulutku saja sampai keluar kata-kata makian yang tidak sopan aku tulis disini. Tiada kata yang pantas kuucapkan, lebih aku bengong sebentar daripada maki lagi kan. Keinginanku untuk nyemplung tentu saja aku tahan dulu. Aku bahkan turun sebentar dan mencoba rasa airnya untuk meyakinkanku bahwa airnya asin.
Aku dan Putra mencoba berjalan memutari kawasan yang tidak terlalu luas ini. Mendekati ke arah ujung batas laut dan danau terdengar debur keras ombak yang menghantam karang dan masuk ke celah-celah karang. Ternyata karang-karang yang aku pijak ini tidak benar-benar utuh tapi ada retakan. Aku dengan mudah bisa melihat dari celah retakan air yang mengalir masuk ke rongga karang di bawah kakiku.

Putra berdiri di atas karang pembatas danau dan laut lepas
Batu-batu karang yang mengumpul membentuk blokade ini bentuknya runcing-runcing sekali mengingatkanku pada batu karang yang ada di pulau Rote: Pantai Tiang Bendera. Aku yang hanya memakai sendal dari bahan empuk tentu saja harus rela merasakan sakit saat dengan tidak bersahabatnya karang itu menembus sendalku sampai ke kulit telapak kaki dan seenaknya meninggalkan rasa sakit disana. Lebih untung Putra yang memakai sendal berbahan bawah lebih keras sehingga lebih tahan untuk memijak karang. Namun itu setimpal, pemandangan dari karang pembatas paling menarik untuk mengabadikan keindahan danau Weekuri.
Diujung pembatas ada beberapa orang yang berdiri di karang-karang yang sangat terjal itu untuk memancing. Entah apakah mudah memancing ikan di tempat air yang gelombang keras seperti itu. Catatan, hati-hati melewati batu karang pembatas laut dan danau ini karena di beberapa tempat aku lihat batu karangnya bisa bergeser. Walaupun tidak bergeser yang mengakibatkan longsor namun kondisi karang yang sangat tajam akan mudah membuat kalian terluka bahkan hanya karena salah menginjak saja. Aku pernah mengalami kejadian seperti ini beberapa waktu lalu di lokasi seperti ini.
Eh, ingat ya Weekuri itu bacanya Waikuri. Ini khusus untuk orang-orang yang tidak terbiasa dengan cara mengucapkan kata seperti itu khas orang-orang Sumba Barat Daya. Makanya kalau kota Weetabula pasti terbacanya Waitabula.
Selesai memutari lokasi ini yang membuat kulitku sempurna gosong (tapi belum kurasakan perihnya) akhirnya kami bisa beristirahat sedikit di bangku yang dibuat dari susunan kayu. Sekantung plastik kacang seharga lima ribu rupiah yang kami beli dari penduduk yang menjual kacang disini mengisi perut kami selain pisang-pisang yang kami bawa dari kota.
Tak tahan melihat anak-anak mandi, aku yang lupa membawa celana renang tetap saja nekad masuk ke danau. Gobloknya, aku lupa melepas baju hanya melepas rompi yang memang berisi barang-barang yang tidak tahan masuk di air. Masuk ke airnya yang bening memang sedap sekali. Aku bahkan dengan mudah membiarkan badanku telentang mengapung sendiri. Mungkin jika aku mengantuk, aku juga bisa tertidur telentang di air tanpa takut tenggelam. Danau yang tanpa gelombang ini bener-bener speechless untuk diungkapkan. Aku harus akui kalau foto provokatif temanku itu benar, hanya bidadari yang gak ada. Karena bidadaripun bisa jadi hangus terbakar kalau disini karena mungkin akan berenang keasyikan siang-siang hahahaha.........
Warna tosca yang sangat jernih menjadi pemandangan yang tiada duanya di Weekuri
Selain pepohonan untuk berteduh, batu-batu yang melingkari sepanjang danau juga terdapat celah-celah berongga yang bisa digunakan untuk berteduh. Yang penting dimanapun anda berada di lokasi ini, jangan buang apapun termasuk sampah sembarangan. Jangan buat tempat yang begitu indah ini akhirnya menjadi tempat jorok.
Dari beberapa referensi ada yang menyebut bahwa danau Weekuri ini laguna karena merupakan wilayah perairan laut yang terjebak. Namun setauku biasanya laguna masih memiliki hubungan entah berupa rongga besar atau celah sempit yang terhubung ke laut sementara di danau ini celah itu tidak tampak selain dari celah sempit. Bisa dibilang tidak ada penghubung terbuka antara danau ini dengan laut.

Tambahan: Pantai Watu Mandorak
Sebenarnya informasi dari penduduk, ada jalan lain dengan langsung masuk terus yang nanti akan ketemu dengan jalan potong menuju Kori. Tapi karena ingin melihat kembali Pantai Watu Mandorak aku akhirnya memutuskan jalan balik.
Silahkan buktikan sendiri pantai pribadi ini, view Watu Mandorak dari sisi tebing sebelah utara
Oh iya, suasana di sepanjang jalan lebih banyak dipenuhi tanah-tanah kosong berumput alang-alang. Hanya satu dua rumah yang dibangun di pinggir jalan, sisanya tak lebih dari pemandangan kosong seperti itu.
Watu Mandorak tetap dengan pesonanya, tapi kiranya aku gak perlu menuliskan kembali panjang lebar tentang lokasi yang indah ini. Sebagai rangkuman, aku akan lebih senang menyebut Pantai Watu Mandorak ini seperti memiliki pantai pribadi.
Aku sebenarnya mau berenang kesini tapi karena takut basah di badan akan menjalar ke perangkat kameraku akhirnya aku memutuskan hanya berjalan-jalan saja. 
Kedua tempat indah ini masih jarang didatangi orang meskipun hari Minggu mungkin karena akses yang tidak mudah. Kalau menurut perhitunganku jarak antara kota Waitabula sampai ke tempat ini tak kurang dari 60 km, dengan kondisi jalan yang tidak semuanya cukup mulus dilewati walau pun tidak juga terlalu buruk untuk dicapai.

Perjalanan balik, kami mencoba mengikuti jalan besar dan itu ternyata tidak sulit tapi memang terasa berputar-putar jauh lebih mudah menggunakan jalan potong. Tetap memanfaatkan GPS membantu kami tidak tersesat. Jangan takut bertanya, umumnya masyarakat sangat welcome memberitahu arah ke sana walau tidak semua tahu dimana Weekuri atau Watu Mandorak.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 02 April 2012

Hamparan Putih Pantai Mananga Aba (Kita Beach)

Matahari mulai bergerak menuju ke cakrawala


Sekelompok anak mudah duduk saling berkeliling bernyanyi dan seseorang dengan gitarnya mengiringi nyanyian. Sebagian bersuara indah sebagian lagi bagai suara ke tujuh, lebih banyak lagi yang tergelak tertawa lepas dan semuanya bagai nyanyian burung gereja yang tak indah namun tetap nyaman dinikmati. Sekelompok jajaran pohon cemara di tepi pantai menjadi pelindung tepat matahari yang mulai menampakkan sinar senja namun masih menyilaukan mata.
Tak ingin mengganggu acara kebahagiaan mereka, aku memilih memarkirkan motor beberapa puluh meter dari mereka dibawah sebatang pohon cemara yang agak besar namun daunnya telah jarang.
Suasana Sabtu pagi di pantai Mananga Aba
Pantai dari sisi timur menjelang sore 
Begitu aku dan Edo turun ke pantai, pemandangan yang terbentang tampak memukau mata. Hamparan butiran pasir bagai bedak begitu luas terbentang memanjang. Warna pasirnya yang putih bersih tak pelak bagai pelengkap lanskap pantai menjadi tampak sempurna. Tampak beberapa batang pohon yang berserakan di pantai entah karena tumbang atau dipotong. 
Jika ada yang mengganggu mata, ya maka tentu saja sampah plastik jawabannya. Botol-botol plastik dan barang-barang plastik sisa tampak tertumpuk di beberapa sudut, mungkin di hempaskan ke pinggir pasir oleh ombak. Untungnya sampah itu tak terlalu banyak, tapi entah jika nanti tempat ini benar-benar menjadi tempat wisata utama. Jika tak ada kesadaran orang-orang yang berwisata ini untuk menjaga lingkungan pantai ini mungkin suatu ketika kita akan melihat pantai Mananga Aba lebih dipenuhi aneka sampah plastik di setiap jengkal pasir putihnya.
Suasana pagi yang tenang dan cemara di pinggir laut


Namun semua itu tidak mengurangi keindahan hamparan pasir putih membentang dan deretan cemara yang seolah menjadi pembatas kawasan pasir dan rumput. Air laut yang bening berwarna hijau tosca, ombaknya yang tidak besar menarik-narik pasir dan memancing aku untuk melangkah memasukinya sampai tanpa sadar celana pendekku setinggi lutut tiba-tiba harus basah terendam. Suasana begitu tenang dan hening, hampir tanpa suara kecuali angin, ombak dan burung-burung yang mencuit lemah di atas langit biru. Suara sekelompok anak-anak muda itu pun tidak terdengar karena tertelan bunyi debur ombak. Awan-awan di langit ujung barat mulai berubah warna saat matahari mulai mendekat ke garis cakrawala di antara deretan pohon cemara. 
Kami pulang saat langit memerah mulai menghilang, aku tahu aku kehilangan blue hour yang biasanya terjadi sesaat setelah golden hour muncul. Tak apalah karena aku berniat untuk kesini lagi pagi-pagi untuk menikmati matahari terbit dari cakrawala laut.


Perjalanan pulang sekarang lebih hati-hati karena senja begini biasanya jam binatang serangga mulai keluar sehingga aku harus mengendarai motor dengan kecepatan lebih lambat dibanding saat berangkat. Tak heran perjalanan darat dari Weetabula-Mananga Aba sejauh 15 km yang pada saat berangkat tak sampai 20 menit berubah menjadi lebih dari 30 menit. Bahkan beberapa kali saat ngobrol di jalan, aku harus rela binatang itu masuk ke mulut. Wuih rasanya aneh sekali.....


Hari Sabtu pagi-pagi sekali kami sudah janjian untuk berangkat jam 5 pagi, namun seperti yang saya duga waktu pagi-pagi ternyata Edo masih tidur. Aku memutuskan berangkat terlebih dahulu sementara Edo menunggu Ronald dan Detty. Sore sebelumnya Ronald yang mengantar aku dan Edo melihat sunset di Pantai Oro karena memang kalau dari Pantai Mananga Aba sunset tidak jatuh ke laut tetapi serong ke darat. Perjalanan ke pantai Oro akan aku ceritakan di lain kisah.


Langit masih gelap saat aku di atas motor. Dengan hanya mengenakan pelapis rompi, udara pagi yang dingin dan lembab membuat jari-jariku terasa agak kaku memegang stang motor. Untung aku mengendarai motor matic pinjaman dari seorang teman yang tinggal dan bekerja di sini. Jalan sangat lenggang, lampu-lampu merkuri di sepanjang jalan masih menyala. Di pertengahan jalan aku mulai kuatir akan kehilangan momen pagi karena langit tampak mulai berubah memerah. Aku mulai agak sedikit memacu motor berharap masih dapat menyambut datangnya sang mentari dari balik laut, beberapa burung tekukur yang sedang asyik dipinggir jalan terbang menghindar saat roda motorku menghampirinya. Bahkan saat kembali aku tidak bisa menghindar dari menabrak seorang ular sawah yang sedang melintasi jalan, untunglah waktu kulihat ke belakang ular itu masih bisa melata masuk ke persawahan.


Pohon yang tumbuh unik di tepi pantai
Sesampainya di pinggir pantai aku sedikit menelan kekecewaan karena sepotong awan berbentuk limas menutupi matahari. Namun suasana tetap terasa menyenangkan karena warna pagi dan karena suasana yang hening dan sepi. Aku punya kesempatan berjalan-jalan di sepanjang bibir pantai lebih jauh sekaligus mencoba mengeksplorasi titik menarik untuk aku foto. Sayang sinyal sedang tidak bagus sehingga Edo tidak tahu aku berada dimana, waktu aku sebuah pesan masuk dari Edo masuk ternyata dia dan Ronald telah berada di dermaga Waikelo yang lama. Praktis sekarang aku berjalan-jalan sendiri, merasakan butiran-butiran pasir yang begitu halus di telapak kaki, ombak yang menarik-narik pasir dan merayuku untuk mencumbunya. Sebuah perahu nelayan melintas pelan sepertinya hendak menangkap ikan. Di beberapa tempat tampak bangunan-bangunan kecil dan pendek dari kayu dan atap ilalang yang tampaknya dibuat oleh beberapa nelayan-nelayan dari tempat lain untuk singgah sementara.


Matahari mulai tampak keluar dari persembunyian awan saat jam menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit. Terlalu siang untuk dilakukan perburuan foto sehingga aku memutuskan untuk kembali lagi.


Thanks buat temen-temen yang udah mau nemeni acara jalan-jalan 
dan mau minjemi motor: Edo, Ronald dan Detty
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 27 Februari 2011

Waewini: Legenda Sebuah Kampung Yang Hilang


Nenek Wini Tange, begitulah nama perempuan tua itu. Penduduk biasa memanggilnya nene' Wini tapi beberapa perempuan lebih suka menyebutnya nene' Tange. Nenek Wini sama seperti penduduk kampungnya yang hampir seluruh hidupnya mengandalkan dari usaha berkebun dan bertani. Nene Wini juga memiliki beberapa ekor ternak peninggalan suaminya seperti ayam, babi dan kambing. 

Seperti halnya rumah-rumah di kampung ini yang berbentuk panggung, kandang ternak-ternaknya ada di bawah lantai rumah. Selain untuk kandang ternak, bagian bawah rumah juga digunakan untuk menyimpan kayu bakar dan peralatan-peralatan berkebun.

Mencari kayu bakar di hutan adalah kegiatan lain yang juga umum dilakukan penduduk kampung, demikian juga nenek Wini apalagi setelah suami yang dicintainya meninggalkannya sendiri.  Suaminya meninggalkannya saat umur nenek Wini belum tua dan hanya meninggalkan seorang anak perempuan. Karena ditinggal mati suaminya dalam umur yang belum tua, beberapa lelaki mencoba mendekatinya untuk menjadikannya istri. Namun kecintaannya pada suaminya tak pernah luntur di hati nenek Wini hingga ia memutuskan untuk tetap menjanda dan mengurus sendiri anak perempuan semata wayangnya. Hingga suatu ketika anak perempuannya menikah dan mengikuti suaminya, maka tinggallah nenek Winni sendiri di gubuknya.

Sepeninggal suaminya, nenek Wini mencurahkan kasih sayangnya pada seekor babi yang juga menjadi kesayangan suaminya. Kecintaannya pada sang babi karena nenek Wini percaya bahwa ruh suaminya tetap menjaga melalui babi yang dipeliharanya ini.

Namun ada seorang penduduk kampung yang mendendam kepada nenek Wini karena merasa keinginannya untuk memperistri nenek Wini dulu tidak kesampaian. Rupanya rasa malunya tidak tertanggungkan karena sebagai orang yang tergolong kaya di kampung ini rasanya pamali jika tidak bisa mengambil wanita yang disukainya. Hingga suatu hari saat nenek Wini pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar, datanglah beberapa penduduk kampung suruhan orang yang memendam kebencian kepada nenek Wini dan mengambil babi nenek Wini. Orang ini merasa karena babi nenek Wini-lah yang menyebabkan nenek Wini rela menjanda dan justru mengasihi babinya serta menolak untuk dia peristri.
Setelah menangkap dan mengambil babi nenek, laki-laki ini memutuskan membunuh babi ini dan dia sengaja membagi-bagikan daging babi ini ke seluruh penduduk kampung.

Singkat kata, saat senja nenek Wini pulang dan mendapati di kandang babinya tidak ada lagi babi kesayangannya. Dengan kaki tuanya nenek Wini mencoba bertanya ke tetangganya, namun tidak ada satupun penduduk kampung yang bisa memberitahukannya. Sebenarnya waktu kedatangan nenek Wini yang mencari tahu babinya yang hilang muncul syak wasangka bahwa daging pemberian yang mereka terima adalah babi nenek Wini namun karena mereka tidak berani memberitahu karena mereka terlanjur telah memasak dan memakannya.

Takut jika babi kesayangannya hilang membuat nenek Wini tetap mencari tahu kesana-kemari ke hutan dan penduduk sekitar namun semua menggelengkan kepala dan tidak ikut membantu mencarinya karena merasa bersalah telah ikut memakan daging babi nenek Wini.

Hingga menjelang tengah malam nenek Wini sampai di ujung rumah nenek Kawena yang merupakan temannya. Dan nenek Kawena bercerita bahwa dia kedatangan salah satu laki-laki yang memberikannya daging babi yang dari laki-laki yang dia tahu memiliki kebencian dengan nenek Wini. Karena merasa sesuatu, nenek Kawena menolak pemberian daging itu. Dengan menahan perasaan yang tak karuan nenek Wini pergi menuju ke rumah lelaki yang dulu pernah memintanya menjadi istri selepas ditinggal suaminya.

Namun seperti diduga, lelaki itu menolak kedatangan nenek Wini dan bahkan dengan kasar mengusirnya. Nenek Wini pergi ke belakang pekarangan rumah lelaki itu dan menemukan tulang-tulang yang dengan perasaan kuat hatinya dia bisa merasakan bahwa tulang-tulang itu adalah dari babi kesayangannya.
Dengan hati remuk redam dan cucuran air mata kesedihan nenek Wini membawa tulang-tulang itu ke gubuknya dan menguburkannya di samping rumahnya.

Setelah peristiwa itu nenek Wini menghilang menyepi ke tempat sepi karena rasa hatinya yang gundah gulana. Dalam penyepiannya itulah nenek Wini kedatangan seorang marapu yang menanyakan keberadaannya. Setelah diceritakan kesedihannya itu akhirnya sang marapu menyanggupi untuk membalaskan rasa sakit hatinya. Maka berpesanlah sang Marapu: "Besok sebelum matahari keluar dari peraduannya, keluarlah kamu dari kampungmu. Bawalah bekal sekedarnya dan ingatlah, sekali engkau meninggalkan kampung ini jangan sekali-kali menoleh ke belakang apapun yang terjadi."
Nenek Wini kembali ke kampungnya dan dalam perjalanan dia ingat akan keberadaan nenek Kawena, maka didatangilah nenek Kawena dan diceritakanlah pertemuaannya dengan seorang marapu. Nenek Wini mengajak nenek Kawena untuk ikut dengannya. 

Akhirnya. pagi-pagi buta nenek Wini telah siap dengan bekalnya dan menuju ke nenek Kawena agar bersama-sama pergi meninggalkan kampung ini. Namun ternyata nenek Kawena salah memasak bekal, ternyata waktu sampai di rumah nenek Kawena bakal bekal berupa ubi hutan yang sangat keras belumlah masak. 

Matahari hampir muncul saat bekal itu selesai dan mereka buru-buru berjalan meninggalkan kampung mereka. Baru beberapa waktu mereka berjalan, sang surya mulai menampakkan cahaya paginya dan bersamaan dengan itu terdengarlah suara gemuruh dari arah belakang mereka. Karena getaran dan suara yang sedemikian keras tanpa sadar nenek Kawena menoleh ke belakang untuk mencari tahu apa yang terjadi. Maka pada saat itu berubahlah nenek Kawena menjadi sebuah batu. Menyadari hal itu betapa sedih hati nenek Wini namun dengan berat hati tetap dilangkahkan kakinya menjauh dari kampungnya.
Maka kampung nenek Wini tenggelam ke dalam tanah dan menjadi sebuah danau, dan sebuah batu berdiri menjulang di atas tanah yang agak tinggi, itulah yang disebut sebagai batu Kawena.



Demikian tutur yang aku dapatkan dari perjalananku ke sebuah danau Waewini. Sebuah danau yang berair payau yang tidak berada jauh dari pantai. Uniknya danau ini bukannya berasal dari sungai namun demikian air di danau ini tidak pernah kering.
Danau yang walau berair agak payau namun bening ini dikelilingi pepohonan besar yang membuat suasana di danau ini terasa rindang. Danau ini juga digunakan penduduk sekitar untuk diambil airnya bagi keperluan rumah tangga sehari-hari.
Ternak seperti sapi, kerbau atau kuda juga sering kemari untuk minum atau kadang dimandikan pemiliknya di danau ini.
Saya mohon maaf jika ada perbedaan cerita dari kisah ini, karena namanya legenda tentu dapat berbeda antara satu penutur dengan penutur lainnya. Tapi dari balik cerita ini kita bisa menemukan bahwa di banyak tempat kita bisa menggali kekayaan cerita yang dapat memperkaya batin kita.

Jika anda singgah di kabupaten Sumba Barat Daya, anda dapat menyinggahinya karena lokasi danau ini tidak jauh dari kota hanya memang kondisi jalannya masih buruk.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 01 Februari 2011

Eksotika Alam Sumba dan Marapu

Pantai Watumandorak, warna torquis (hijau kebiruan) begitu mendominasi warna air laut


Pantai Watumandorak dengan paduan alamnya yang eksotis

Menyebut Sumba seperti menyebut kata kuda itu sendiri. Begitulah kentalnya kuda sebagai bagian dari Sumba, seolah-olah semangat dan kekuatan kuda melahirkan putra-putra Sumba. Sebuah pulau yang keberadaannya berada di dekat perbatasan laut Indonesia-Australia, Sumba begitu identik dengan kuda dimanapun kaki menginjakkan kaki di tanah ini. Benak itu pula yang melingkupi setiap orang yang pertama menginjakkan kaki di Sumba.

Pantai Kita memiliki deretan pasir putih yang panjang

Tapi sesungguhnya Sumba melebihi dari itu, sekali kaki melangkah ke ujung-ujung tanah Sumba maka kita seperti dilemparkan kembali ke masa lalu. Kepercayaan Marapu yang masih kental melingkupi penduduk Sumba yang terutama tinggal di perkampungan seperti mencampakkan modernitas kita di tanah yang masih begitu asli. Ruh-ruh orang mati yang memiliki kemampuan untuk memberkati maupun mengutuk tanah Sumba menciptakan irama kehidupan yang kental bagi penduduk Sumba dalam berbagi keharmonisan dengan alam. Dari penampilan luar, akan terlihat bagaimana rumah-rumah dibangun, upacara-upacara dilakukan dan bentuk kubur batu yang berdiri menandakan bahwa kekuatan masa lalu masih memiliki akar dengan Sumba saat ini. Dan cobalah masuk lebih dalam, maka kekuatan bangunan, filosofi dan struktur hubungan masyarakat Sumba dengan alam begitu mewarnai jalan dan cara mereka beritndak.

Karang di Pantai Pero dan air laut berwarna torquis

Beberapa kali saya berkunjung ke kampung penduduk yang masih memegang kepercayaan Marapu namun mungkin perjalanan mengunjungi salah satu kerabat teman ke kampung Waikahumbu daerah Kodi terasa begitu berbeda karena membawa saya merasakan energi hidup orang Sumba.
Berjarak tempuh sekitar  satu jam ke arah utara dari kota Tambolaka sampai menuju pinggir laut di daerah Kodi Utara. Sebelum ke perkampungan, kendaraan mampir ke pantai Pero. Pantai Selatan daerah Sumba ternyata dipenuhi banyak karang namun juga hamparan pasir putih yang sama banyaknya.  Ombak yang tak terlalu besar memecah sebelum mencapai tepian, beruntung saat ini ombak selatan tidak terlalu besar.  Gugusan karang yang terjal ini menawarkan pemandangan lain, setidaknya anda bisa menikmati sunset berlatar semburan air laut yang masuk ke dalam celah lubang karang dan menyemprot saat menambrak dinding dalam. 
Bukan perjalanan yang pertama aku lakukan namun tetap saja memuntahkan decak setiap saya menginjakkan ujung-ujung tanah ini.  Hamparan pasir-pasir putih seperti melingkupi seluruh pantai Sumba, warna air laut hijau kebiruan bukanlah pemandangan langka. Karena terlalu terik dan mengingat tujuan sebenarnya, maka kami meneruskan perjalanan.

Rumah ada Sumba dan kubur batu tua di Waikahumbu

Menyusuri jalan aspal yang dipenuhi lubang-lubang dan sebagian jalan tanah di sepanjang  jalur pantai, kami melewati beberapa lokasi lapangan luas yang biasanya dipergunakan untuk pagelaran acara Pasola. Acara upacara adat berperang yang tiap tahun diadakan di Kodi sebagai bagian dari acara Pasola tahunan. Pasola adalah upacara untuk mengenang perang yang pernah terjadi antar kampung. Dalam pasola ini akan dapat disaksikan atraksi saling melempar tombak kayu dari atas kuda yang berlari. Tahun 2011 ini rencanya Pasola di daerah Kodi akan dilaksanakan tanggal 24 Februari sampai dengan 27 Februari yang biasanya diakhiri dengan acara Nyale.
Tengah hari kendaraan kami masuk ke kampung halaman teman. Beberapa rumah ada beratap ilalang dengan bentuk khas dan berdinding bambu tampak berdiri mengelilingi beberapa makam berbentuk persegi sedangkan bagian atasnya dipasangi batu persegi.  Satu bentuk penguburan yang berbeda dari orang Sumba adalah posisi orang mati. Jika umumnya orang mati dikubur tidur maka di penduduk Sumba yang masih memegang kepercayaan Marapu maka orang mati dikubur dengan posisi duduk dan kaki dilipat. Dengan bentuk seperti itu, satu kubur batu berbentuk persegi bisa diisi beberapa orang dalam satu keluarga.  Jika dikota kubur batu ini dari bentuk masih mempertahankan bentuk kubur batu persegi namun berasal dari semen maka di kampung masih bisa ditemui kubur-kubur batu yang masih menggunakan batu asli.

Anak-anak yang tinggal di kampung Waikahumbu

Saat mobil kami berhenti di depan salah satu rumah, beberapa anak berlarian mendatangi kami. Rupanya kami dikira penjual kredit yang biasanya mampir menawarkan dagangan. Suasana di rumah itu jadi terasa meriah. Dengan keramahan dan bentuk persahabatan yang tulus, tuan rumah menawarkan sirih pinang sebagai bentuk penerimaan dan perhargaan kunjungan tamu.
Di samping rumah ini terdapat rumah induk tapi secara adat hanya boleh dimasuki oleh keluarga besar adat dan orang dari luar tidak diijinkan sama sekali.
Rumah di Sumba ternyata tidak hanya memiliki atap yang unik tapi juga bentuk arsitektur yang unik dan menarik. Saya bahkan terkesan dengan cara mereka membuat tingkatan kamar-kamar dan ruang bersantai.  Bagian bawah tentu saja bagian yang digunakan untuk memelihara kuda dan babi serta persediaan kayu bakar. Bagian tengah adalah rumah tempat tinggal dengan kamar-kamar bagian pinggir sedangkan bagian tengah adalah dapur. Sedangkan tingkatan atas menjadi tempat menyimpan hasil kebun atau lumbung keluarga.
Disini penduduk sekitar belum menikmati listrik, jika ada rumah yang menikmati listrik biasanya berasal dari panel tenaga surya bantuan. Untuk kebutuhan minum juga biasanya masyarakat membangun sumur.

Pemiliki rumah bersama anak-anaknya

Setelah selepas melepas lelah sekaligus makan siang di sini, kendaraan kami melanjutkan perjalanan setelah singgah sebentar di pantai Waikahumbu. Menuju ke perjalanan ke arah Watumandorak kami menemukan kenyataan menyedihkan. Beberapa rumah adat yang hancur ditinggalkan pemiliknya. Dari informasi ternyata pemiliknya memilih membangun rumah ke kota dan meninggalkan rumah hingga hancur tanpa ada yang menjaga. Godaan modernitas secara pelahan mulai mengikis jiwa dari penduduk Sumba.
Melewati jalan bertanah yang tidak bisa dikatakan rata kami harus beberapa kali memutar balik kemudi karena terlewat. Perjalanan ini menjadi setengah petualangan karena ternyata tidak satu pun dari kami yang tahu persis tempat itu. Namun itu justru membuat perjalanan menjadi tambah menyenangkan. Kadang-kadang kita tidak perlu tahu dan membiarkan pikiran menebak sesuatu untuk membuat pengalaman kita lebih kaya.
Setelah lebih dari satu jam akibat kondisi jalan yang membuat kami menjalankan kendaraan dengna pelan akhirnya kami sampai di pantai Watumandorak. Sebuar pantai yang memiliki ceruk yang terhalang karang. Hamparan pasir putih dibalik ceruk begitu menawan berpadu dengan warna torquis yang begitu kental.

Salah satu rumah yang roboh ditinggal pemiliknya di Kodi

Sungguh kami harus mendecakkan bibir menemukan keindahan pantai ini. Sebuah bangunan khas Sumba berdiri anggun di atas karang di pinggir pantai dengan berpagarkan susunan batu putih. Menurut informasi, bangunan ini dimiliki oleh orang Perancis, bangunan yang sungguh elegan seakan melengkapi eksotika tempat ini.
Saat ini Sumba Barat Daya dalam gerakan membangun, sebagai sebuah daerah pemekaran baru. Napas pembangunan dan modernitas mulai bergulir. Entah apakah napas Marapu dari penduduk Sumba masih bisa dipertahankan terutama dalam filosofinya yang berdampingan dengan alam atau kah yang hadir adalah modernitas yang mengikis kekuatan hidup dan energi Marapu orang Sumba.

Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya