Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label pasola. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pasola. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 28 Februari 2015

Pasola, Kampung Toda, dan Daging Rusa

Ruang memasak berada di tengah-tengah rumah dan kamar-kamar berada di pinggir.
Lanjutan dari cerita Pasola .............
Aku mundur ke belakang setelah penonton di belakang terus merangsek ke depan ingin melihat lebih dekat. Karena acara Pasola makin seru makin sulit polisi dan aparat desa mengatur penonton sudah tidak mendekat. Biasanya ulah penonton ini tanpa sadar sering membuat lapangan menyempit sehingga jarak pemain makin dekat. Tapi ini juga sekaligus membuat penonton di barisan depan rawan ikut terkena lemparan lembing.
Untungnya di depan mudah mengambil foto seperti ini tanpa terhalangi
Ada satu keuntungan jika kita ke acara-acara seperti ini membawa kamera biasanya petugas tidak melarang jika kita berdiri di depan dari garis yang dibolehkan. Aku lihat rata-rata pemotret bebas mendapatkan tempat duduk di depan sehingga leluasa mengambil angle acara. Apalagi kalo pakaiannya rompi macam wartawan mau cari berita hahaha..
Ternyata aku tinggal berdua sementara teman-teman yang lain entah kemana. Dicari-cari ternyata mereka berteduh di bawah pepohonan. Wuih ternyata samping kanan kiri jalan telah dipenuhi para pedagang dengan segala macam dagangannya, pada umumnya makanan minuman sih. Cuaca saat ini memang terik sekali, bahkan hawa panas itu sudah terasa sejak pagi. Kalau kataku, di Sumba Barat Daya ini setelah malam itu langsung siang tanpa pagi karena matahari pagi langsung terang tanpa basa basi dulu hehehe.

Suasana rumah di kampung Toda
Yang asyik di perjalanan kami ditawari mampir pak Jostom mampir ke rumah mantan bupati Sumba Barat Daya di kampung Toda. Kebetulan pak Jostom sekarang lagi ditugaskan jadi sekcam di Kodi dan yang saat ini termasuk seksi sibuk dengan adanya acara Pasola seperti ini. Ternyata di kampung Toda ini sudah banyak berkumpul orang sehingga di tengah kampung dipasangi terpal. Seperti biasa aku lebih memilih duduk-duduk di salah satu rumah penduduk. Seperti pernah aku ceritakan sebelumnya, rumah asli Sumba ini nyaman. Tipikal rumah model panggung dengan balai-balai terbuka di sekelilingnya ditambah dengan atap asli dari jerami membuat rumah terasa sejuk walaupun cuaca panas menyengat. 
Kubur batu di kampung Kodi
Rupanya acara Pasola ini bagi orang Sumba merupakan hari besar, biasanya ini waktu mereka yang telah terpisah jarak menjadi ajang kumpul. Seperti rumah yang aku duduki ini ternyata dimiliki 25 kepala keluarga. Memang mereka tidak tinggal semua disini karena mungkin sudah punya rumah di tempat lain, tapi hak dan kewajiban mereka atas rumah itu tetap ada. Dan saat acara seperti inilah tempat mereka kembali ke rumah inang mereka menjadi satu. Menu pembuka yang disodorkan ke kami adalah jagung rebus. Jagung pulut istilah mereka memang paling enak dibuat jagung rebus. Ditambah teh panas, jadilah perbincangan dengan penduduk kampung Toda terasa mengasyikkan. Sayang aku lupa membawakan mereka sirih pinang, padahal lebih asyik lagi kalau aku bisa ikut makan pinang bersama mereka. Jadi inget waktu ke Kodi beberapa tahun lalu saat aku mencoba makan sirih pinang disini.
Saat undangan makan adalah saat yang tidak dapat kami lewatkan, dan ternyata kami mendapatkan suguhan daging istimewa: Rusa Timor yang mereka pelihara sendiri. Daging rusa yang manis dan bertekstur lembut ini tentu tidak kami sia-siakan walaupun kalau aku lihat tega. Putra dan Fathul beruntung, sementara teman-teman lain mungkin sampai saat ini belum pernah melihat Pasola merasakan nikmatnya daging rusa, mereka sekali kesini langsung mendapatkan keduanya. Hahaha... sepertinya bekal nasi padang yang kami bungkus bakalan sia-sia karena perut kami sudah dipenuhi makan siang dengan daging Rusa.
Danau Weekuri, ada yang lebih doyan motret dong :P
Sekitar jam satu kami kembali meneruskan perjalanan ke Weekuri karena kebetulan 2 orang dari rombongan yaitu Fathul dan Eko belum pernah ke Weekuri. Weekuri itu sebuah danau, seperti apa danau itu bisa dibaca di tulisanku sebelumnya.
Dan seperti biasa perjalanan ke Weekuri tidak mudah, kami bahkan sempat berjalan memutar balik kembali tanpa sadar. Walaupun kami pernah ternyata tetap tidak mudah mencapai tempat ini karena masih sangat minimnya papan informasi penunjuk jalan. Aku sendiri kenapa masih semangat ke Weekuri karena memang Weekuri itu tempat yang gak membosankan. Bahkan Putra kali ini semangat sekali mau mandi. Walhasil memang kami berhasil mandi di danau Weekuri, sayangnya justru teman-teman dari bepeka tidak mandi hanya duduk sambil menunggu teman-teman lain yang juga mau ngumpul dari Sumba Tengah dan Sumba Barat. Kali ini aku lebih siap dengan membawa celana dan kacamata renang. Danau Weekuri memang asyik untuk dinikmati bahkan sekedar untuk duduk-duduk saja apalagi kalau mandi.
Hujan yang menghentikan kami berenang
Sayang aku tidak bisa mandi lama karena langit yang sedari tadi tampak gelap berubah menjadi hujan. Sementara teman-teman yang tidak mandi langsung berlari ke mobil, aku tentu tidak bisa dengan kondisi basah. Akhirnya aku, Fathul dan Putra memilih berlindung di sebuah cekungan batu. Tidak terlalu tinggi sehingga kami harus agak menunduk tapi cukup lapang setidaknya sambil menunggu hujan reda.
Karena hujan ini akhirnya kami membatalkan mampir ke pantai Watu Mandorak. Ternyata hujan memang reda sebentar setelah itu makin kencang. Padahal waktu Pasola tadi langsung masih biru. Aku jadi ingat kata seorang kawan, saat Pasola walaupun musim hujan tetap waktu acara cuaca akan cerah karena mereka juga akan menggunakan semacam pawang untuk menghalau hujan. Hal itu sudah aku alami beberapa kali, walaupun Pasola terjadi di musim yang masih ada hujan namun tiap Pasola langit tetap cerah.
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 21 Februari 2015

Pasola: Tarian Perang di Atas Kuda

Seorang petarung Pasola sedang memancing lawan (lok. Rara Winyo, desa Wura Homba)
Pasola berasal dari kata "sola" atau "hola", yang berarti sejenis lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan. Setelah mendapat imbuhan `pa' (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan.Jadi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan. Pasola merupakan bagian dari serangkaian upacara tradisional yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama asli yang disebut Marapu (agama lokal masyarakat sumba). Permainan pasola diadakan pada empat kampung di kabupaten Sumba Barat. Keempat kampung tersebut antara lain Kodi, Lamboya, Wonokaka, dan Gaura. Pelaksanaan pasola di keempat kampung ini dilakukan secara bergiliran, yaitu antara bulan Februari hingga Maret setiap tahunnya. (sumber: Wikipedia)

Akhirnya aku punya alasan untuk menulis tentang Pasola. Sebenarnya Pasola sendiri sudah aku lihat dua kali sebelumnya, dua-duanya di Lamboya. Yang pertama sudah lama sekali mungkin sudah lebih dari sepuluh tahun lalu. Tahu kan apa yang terjadi 10 tahun lalu? Yup, kamera masih jadi mainan mahal dan karenanya aku gak punya gambar-gambar Pasola yang aku lihat. Yang kedua beberapa tahun lalu, saat aku sudah punya kamera prosummer. Entah waktu itu Canon S5 IS atau Fuji S200 EXR. Yang pasti aku waktu itu inget bawa tripod dan perlengkapannya tapi justru malah lupa bawa kameranya.. uassyeeemm... wal hasil hasil nonton Pasola kedua nangkring di kamera China (mati kecemplung di pulau Kambing) dengan resolusi 0,3Mp..

Kecil tapi lincah di atas kuda Sambutan balik untuk para penantang
Menantang lawan sendirian Perang tombak terjadi
Nah yang ketiga inilah aku bisa dapet foto-foto Pasola. Mau ngambil foto dari internet gak asyik lah, lah asyiknya itu tuh ngeliat sendiri kok sekaligus moto sendiri. Mungkin sebagian orang sudah tidak asing karena Pasola sudah menjadi salah satu destinasi wisata yang dijual di luar negeri.
 
Jangan banyak-banyak nanya asal-usul Pasola dan ceritanya gimana ada Pasola ya, itu di om Wiki banyak banget ceritanya dari sejarah, prosesi sampe pendaftarannya.. eh terakhir gak ada ding.... :D Kalau aku jelasin satu, percaya deh pasti kalian akan nerocos nanya lebih banyak lagi, mending kalian baca om Wiki trus masukin barang-barang ke tas ransel dan cao ke Sumba mumpung sekarang masih belum abis Pasola-nya.. ayo buruan, keburu cuti abis buat ngorok doang.
Ini nih jadwal yang dikirim mas Eko lewat forum Tapaleuk Ukur Kaki tapi hanya untuk jadwal yang di Sumba Barat Daya.
10 Februari 2015Homba Kalayo, Desa Waikaninyo, Kec. Kodi Bangedo
13 Februari 2015Bondo Kawango, Desa Pero Batang, Kec. Kodi
14 Februari 2015Rara Winyo, Desa Wura Homba, Kec. Kodi
11 Maret 2015Maliti Bondo Ate, Desa Umbu Ngedo, Kec. Kodi Bangedo
13 Maret 2015Wai Ha, Desa Wai Ha, Kec. Kodi Balaghar
14 Maret 2015Wai Nyapu, Desa Wai Nyapu, Kec. Kodi Balaghar

Nah, aku dapet acara paling bontot di Februari di desa Wura Homba. Sayang aku gak dapat untuk jadwal acara di Lamboya dan Wanokaka. Kemungkinan sampai saat ini masih ada acara Pasola yang dapat dilihat di Lamboya atau Wanokaka.
Jangan tanya apakah jadwal itu pasti, termasuk kalau tahun depan ada jadwal serupa. Walaupun itu penting bagi wisatawan apalagi yang waktunya juga tidak panjang namun tak bisa dipungkiri bahwa Pasola bukan sekedar permainan yang bisa dimainkan kapan saja dan dimanapun. Untuk memulainya tergantung para Rato (tetua suku) yang akan berembuk setelah ritual Nyale. Ritual Nyale selalu mengawali acara Pasola, bahkan disanalah awal untuk menyebut apakah sebuah Pasola bisa dimulai.
Menunggu musuh mendekat Saling berhadapan siap perang
Kalau mau jujur, aku jauh lebih terkesan dengan Pasola di Lamboya. Pertama karena lokasinya yang di perbukitan yang terpisah dengan rumah penduduk sekitar. Yang kedua, hawa perang lebih terasa makanya sering kali acara Pasola menjadi rusuh. Teriakan-teriakan penonton dan pekikan khas begitu kuat membakar para petarung sehingga tak terelakkan acara ini kadang menjadi begitu panas. Di Lamboya, dua kali acara berakhir dengan kerusuhan yang melibatkan para penonton juga juga sering membawa lembing. 

Mila Ate, temen pns yang ikut acara Pasola
Dan selesainya acara diakhiri dengan raungan mobil dalmas yang berlari kencang mengejar penonton yang terlibat kerusuhan. Seru dan menegangkan.

Walaupun sekedar lembing kayu tumpul jangan anggap remeh, tak kurang beberapa kali aku melihat peserta Pasola terluka sampai darahnya bercucuran bahkan ada yang matanya buta. Tapi bagi mereka, cucuran darahnya itu justru akan menjadikan tanah mereka subur dan membuat mereka nanti akan panen besar.
Ketegangan juga kadang bertambah jika ajang Pasola diselipi dendam pribadi akibat kekalahan sebelumnya dari salah satu peserta. Jadi walaupun melihat Pasola mengasyikkan, tak bisa dipungkiri ada ketegangan di sana.. Tak ada yang menjamin penonton aman dari lembing peserta yang melayang apalagi jika memilih duduk di depan. Padahal justru itulah posisi yang dicari seorang pemotret.
Aku juga nyaris hampir merasakan kaki kuda jika tak lekas menyingkir. Pada saat mencari tempat memotret entah kenapa seekor kuda berwarna putih yang dikendarai peserta mendadak berontak. Beberapa kali kaki belakangnya menyepak ke belakang. Akibat ulah kuda ini beberapa kuda yang didekatnya ikut gelisah. Untung aku sempat menyingkir agak jauh sebelum akhirnya kudanya berhasil ditenangkan pemiliknya, itu pun dia sendiri sempat terjatuh satu kali.
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 24 Maret 2012

Sumba Barat (1): Pasir Putih, Gelombang dan Batu Kubur

View pantai Marosi sebelah kanan dan ombak dikejauhan


Pantai Kerewee di sebelah pantai Marosi
Bagi sebagian orang yang belum pernah menginjakkan kaki di Sumba, mendengar kata Sumba seperti mengingatkan pada daerah padang yang panas kering berdebu dengan kuda-kuda yang besar. Tapi tidak ketika anda mengunjungi Tambolaka, ibukota dari Kabupaten Sumba Barat. Daerah Sumba ini terletak di ketinggian sekitar 500 meter dpl, itu menurut perhitungan jam yang aku pakai. Dengan ketinggian seperti itu, Sumba Barat memiliki dataran dan perbukitan yang cukup hijau sepanjang tahun.

Namun tiga hari di Tambolaka nyaris menghabiskan hari dengan suasana kantor-hotel-jalan malam cari makan. Mendung nyaris tak pernah bergeser dari langit, rintik hujan sering lebih lama.  Dan itu masih ditambah lagi koneksi internet yang nyaris tidak bisa digunakan. 
Sebenarnya di belakang hotel Pelita yang aku tempati ada sebuah perkampungan adat yang bisa kudatangi tapi informasinya kalau musim hujan begini becek sekali karena kondisi tanahnya berlumpur.


Untung hari Minggu masih ada kesempatan jalan-jalan. Aku, Andri dan Aris yang menjadi guide lokal kami selama perjalanan. Peranakan Sabu-Rote dan terdampar di Sumba ini pula yang mengajak aku dan Andri mengunjungi Pantai Marosi. Pantai berpasir putih tentu saja, nyaris seluruh kawasan pantai di wilayah Sumba ini adalah pantai berpasir putih, tentu saja karena di Sumba tidak memiliki daerah gunung aktif.
Batu kubur di atas perbukitan Lamboya
Jam satu siang sesuai dengan janji, kami bertiga ditemani salah seorang staf di Sekretariat Daerah meluncur ke arah Lamboya. Kami sempat mampir di lapangan Lamboya yang sudah sepi. Acara Pasola (merupakan acara perang lempar tombak dengan menaiki kuda) sudah diadakan beberapa hari lalu di lapangan ini, tinggal dua lagi kegiatan Pasola yang tersisa, di Wanokaka dan Dhaura. Menurut agenda, hari Rabu depan ada acara Pasola di kampung adat Wanokaka padahal hari Selasa aku sudah harus balik ke Kupang. Belum keberuntungan, ungkap hatiku untuk mengurangi rasa kecewa.


Perbukitan hijau ini masih dipenuhi dengan sampah-sampah plastik baik bekas makanan dan minuman bekas penonton yang dibuang sembarangan. Kesadaran masyarakat tentang sampah masih kecil, masih perlu upaya lebih untuk membudayakan hidup bersih dan tidak membuang sampah sembarangan. Sayang, padahal kalau tidak ada sampah suasana tempat ini lumayan menyenangkan. Menurutku, tempat pertandingan Pasola yang paling bagus viewnya adalah disini karena di lapangan ini hanya rerumputan dan tidak ada bangunan lain, kubur batu hanya ada beberapa yang letaknya di gundukan atas pinggir lapangan.
Sekumpulan kerbau asyik berkubang tidak terganggu dengan kehadiran kami. Dari ujung lapangan tampak lautan yang ombaknya bergulung-gulung. Aris menunjuk beberapa pantai yang tampak di kejauhan.


Ombak dan hamparan pasir kehitaman di sepanjang pantai Kerewee
Karena ingin menikmati pantai Marosi sampai sore jadi kami memutuskan untuk mengunjungi dulu pantai Kerewee (baca: kerewe'i). Pantai Kerewee yang kami tuju rupanya pantai berpasir hitam walau warnanya tidak terlalu hitam. Mungkin di sini satu-satunya pantai yang berpasir hitam karena di deretan ini, pantai Nihiwatu, Nautil dan Marosi adalah pantai berpasir putih.
Dataran pasir kehitaman harus terhampar datar panjang sepanjang pantai. Tampak sebuah gugusan pulau karang kecil di sebelah kanan dan seperti sebuah bekas muara yang airnya telah kering. Waktu aku mendekati ternyata karang itu agak unik karena ternyata karang yang berlubang. Mendung di kejauhan pantai tampak garang menutup celah langit dari warna biru. Bener-bener waktu yang kurang tepat.


Pulau karang berlubang di pantai Kerewee
Suasana masih terasa tenang di sini, beberapa anak kecil datang membawa kelapa muda dan menawarkan kepada kami. Tentu saja penawaran yang sulit ditolak, untuk urusan tawar menawar maka Aris sangat bisa diandalkan. Dengan sigap, anak kecil ini memapaskan parangnya ke kelapa yang aku pesan. Wah kecil-kecil mereka sudah piwai memainkan parang. Tidak mengherankan, mengingat pasang seperti barang yang wajib mereka bawa tiap hari.


Beberapa pasangan tampak berdatangan di pantai ini selain juga ada rombongan namun suasana masih tidak ramai. Potensi pantai ini sekarang memang belum banyak dikenal, namun aku juga mendengar informasi yang masih kabur kalau ada beberapa investor yang berminat untuk membangun lokasi wisata dan peristirahatan di tempat ini seperti halnya lokasi Nihiwatu yang tidak jauh letaknya dari pantai Kerewee.
Hamparan pasir di sebelah kiri setelah muara pantai Marosi
Dari pantai ini kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Marosi tujuan awal kami. Ternyata letaknya tidak jauh dari pantai Kerewee, karena saat kami sampai ternyata anak-anak kecil yang menjual kelapa di pantai Kerewee kembali kami temui. Hamparan pasir putih di pantai Marosi memang panjang dan cukup lebar apalagi saat pantai tidak terlalu pasang tinggi. Karena letaknya di di daerah lepas pantai Selatan maka tidak heran jika ombak dipantai ini cukup besar walau pada musim-musim tenang sekalipun.
Karakter pantai yang pasti menarik kalangan wisaatawan mancanegara. Sepertinya pantai-pantai disini hanya tinggal menunggu investor untuk membuat kawasan pantai disini menjadi kawasan wisata kelas dunia. Nihiwatu telah membuktikan reputasinya sebagai tempat yang banyak orang terkesan dengannya.


Di sebelah kanan pantai Marosi terdapat sebuah gugusan karang dan muara yang airnya tidak dalam namun keras. Beberapa ratus meter dari muara itu adalah Sumba Nautil Resort. Ombak di kawasan sana memang terasa lebih kencang, tampak sekali karang-karang seperti tertutup kabut tipis akibat tempias ombak yang kencang. Jika di pantai Marosi ini ombak tidak terlalu keras karena beberapa ratus meter ke depan ada gugusan karang yang menjadi penghalang alami gelombang.


Kami pulang lebih awal dari rencana karena matahari tidak muncul seperti yang kami harapkan. Sumba masih tetap dengan mendungnya. Sebelum pulang Aris membagi-bagikan makanan yang kami bawa ke anak-anak karena tersisa banyak sekali. Acara bagi-bagi makanan cukup seru, ada saja akal Aris.
Besoknya, kami sempatkan mengunjungi kampung adat yang ada di kota Tambolaka yang merupakan kampung tertua dan menjadi pusat acara orang Loli yaitu kampung Weetabar dan kampung Tarung.

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 01 Februari 2011

Eksotika Alam Sumba dan Marapu

Pantai Watumandorak, warna torquis (hijau kebiruan) begitu mendominasi warna air laut


Pantai Watumandorak dengan paduan alamnya yang eksotis

Menyebut Sumba seperti menyebut kata kuda itu sendiri. Begitulah kentalnya kuda sebagai bagian dari Sumba, seolah-olah semangat dan kekuatan kuda melahirkan putra-putra Sumba. Sebuah pulau yang keberadaannya berada di dekat perbatasan laut Indonesia-Australia, Sumba begitu identik dengan kuda dimanapun kaki menginjakkan kaki di tanah ini. Benak itu pula yang melingkupi setiap orang yang pertama menginjakkan kaki di Sumba.

Pantai Kita memiliki deretan pasir putih yang panjang

Tapi sesungguhnya Sumba melebihi dari itu, sekali kaki melangkah ke ujung-ujung tanah Sumba maka kita seperti dilemparkan kembali ke masa lalu. Kepercayaan Marapu yang masih kental melingkupi penduduk Sumba yang terutama tinggal di perkampungan seperti mencampakkan modernitas kita di tanah yang masih begitu asli. Ruh-ruh orang mati yang memiliki kemampuan untuk memberkati maupun mengutuk tanah Sumba menciptakan irama kehidupan yang kental bagi penduduk Sumba dalam berbagi keharmonisan dengan alam. Dari penampilan luar, akan terlihat bagaimana rumah-rumah dibangun, upacara-upacara dilakukan dan bentuk kubur batu yang berdiri menandakan bahwa kekuatan masa lalu masih memiliki akar dengan Sumba saat ini. Dan cobalah masuk lebih dalam, maka kekuatan bangunan, filosofi dan struktur hubungan masyarakat Sumba dengan alam begitu mewarnai jalan dan cara mereka beritndak.

Karang di Pantai Pero dan air laut berwarna torquis

Beberapa kali saya berkunjung ke kampung penduduk yang masih memegang kepercayaan Marapu namun mungkin perjalanan mengunjungi salah satu kerabat teman ke kampung Waikahumbu daerah Kodi terasa begitu berbeda karena membawa saya merasakan energi hidup orang Sumba.
Berjarak tempuh sekitar  satu jam ke arah utara dari kota Tambolaka sampai menuju pinggir laut di daerah Kodi Utara. Sebelum ke perkampungan, kendaraan mampir ke pantai Pero. Pantai Selatan daerah Sumba ternyata dipenuhi banyak karang namun juga hamparan pasir putih yang sama banyaknya.  Ombak yang tak terlalu besar memecah sebelum mencapai tepian, beruntung saat ini ombak selatan tidak terlalu besar.  Gugusan karang yang terjal ini menawarkan pemandangan lain, setidaknya anda bisa menikmati sunset berlatar semburan air laut yang masuk ke dalam celah lubang karang dan menyemprot saat menambrak dinding dalam. 
Bukan perjalanan yang pertama aku lakukan namun tetap saja memuntahkan decak setiap saya menginjakkan ujung-ujung tanah ini.  Hamparan pasir-pasir putih seperti melingkupi seluruh pantai Sumba, warna air laut hijau kebiruan bukanlah pemandangan langka. Karena terlalu terik dan mengingat tujuan sebenarnya, maka kami meneruskan perjalanan.

Rumah ada Sumba dan kubur batu tua di Waikahumbu

Menyusuri jalan aspal yang dipenuhi lubang-lubang dan sebagian jalan tanah di sepanjang  jalur pantai, kami melewati beberapa lokasi lapangan luas yang biasanya dipergunakan untuk pagelaran acara Pasola. Acara upacara adat berperang yang tiap tahun diadakan di Kodi sebagai bagian dari acara Pasola tahunan. Pasola adalah upacara untuk mengenang perang yang pernah terjadi antar kampung. Dalam pasola ini akan dapat disaksikan atraksi saling melempar tombak kayu dari atas kuda yang berlari. Tahun 2011 ini rencanya Pasola di daerah Kodi akan dilaksanakan tanggal 24 Februari sampai dengan 27 Februari yang biasanya diakhiri dengan acara Nyale.
Tengah hari kendaraan kami masuk ke kampung halaman teman. Beberapa rumah ada beratap ilalang dengan bentuk khas dan berdinding bambu tampak berdiri mengelilingi beberapa makam berbentuk persegi sedangkan bagian atasnya dipasangi batu persegi.  Satu bentuk penguburan yang berbeda dari orang Sumba adalah posisi orang mati. Jika umumnya orang mati dikubur tidur maka di penduduk Sumba yang masih memegang kepercayaan Marapu maka orang mati dikubur dengan posisi duduk dan kaki dilipat. Dengan bentuk seperti itu, satu kubur batu berbentuk persegi bisa diisi beberapa orang dalam satu keluarga.  Jika dikota kubur batu ini dari bentuk masih mempertahankan bentuk kubur batu persegi namun berasal dari semen maka di kampung masih bisa ditemui kubur-kubur batu yang masih menggunakan batu asli.

Anak-anak yang tinggal di kampung Waikahumbu

Saat mobil kami berhenti di depan salah satu rumah, beberapa anak berlarian mendatangi kami. Rupanya kami dikira penjual kredit yang biasanya mampir menawarkan dagangan. Suasana di rumah itu jadi terasa meriah. Dengan keramahan dan bentuk persahabatan yang tulus, tuan rumah menawarkan sirih pinang sebagai bentuk penerimaan dan perhargaan kunjungan tamu.
Di samping rumah ini terdapat rumah induk tapi secara adat hanya boleh dimasuki oleh keluarga besar adat dan orang dari luar tidak diijinkan sama sekali.
Rumah di Sumba ternyata tidak hanya memiliki atap yang unik tapi juga bentuk arsitektur yang unik dan menarik. Saya bahkan terkesan dengan cara mereka membuat tingkatan kamar-kamar dan ruang bersantai.  Bagian bawah tentu saja bagian yang digunakan untuk memelihara kuda dan babi serta persediaan kayu bakar. Bagian tengah adalah rumah tempat tinggal dengan kamar-kamar bagian pinggir sedangkan bagian tengah adalah dapur. Sedangkan tingkatan atas menjadi tempat menyimpan hasil kebun atau lumbung keluarga.
Disini penduduk sekitar belum menikmati listrik, jika ada rumah yang menikmati listrik biasanya berasal dari panel tenaga surya bantuan. Untuk kebutuhan minum juga biasanya masyarakat membangun sumur.

Pemiliki rumah bersama anak-anaknya

Setelah selepas melepas lelah sekaligus makan siang di sini, kendaraan kami melanjutkan perjalanan setelah singgah sebentar di pantai Waikahumbu. Menuju ke perjalanan ke arah Watumandorak kami menemukan kenyataan menyedihkan. Beberapa rumah adat yang hancur ditinggalkan pemiliknya. Dari informasi ternyata pemiliknya memilih membangun rumah ke kota dan meninggalkan rumah hingga hancur tanpa ada yang menjaga. Godaan modernitas secara pelahan mulai mengikis jiwa dari penduduk Sumba.
Melewati jalan bertanah yang tidak bisa dikatakan rata kami harus beberapa kali memutar balik kemudi karena terlewat. Perjalanan ini menjadi setengah petualangan karena ternyata tidak satu pun dari kami yang tahu persis tempat itu. Namun itu justru membuat perjalanan menjadi tambah menyenangkan. Kadang-kadang kita tidak perlu tahu dan membiarkan pikiran menebak sesuatu untuk membuat pengalaman kita lebih kaya.
Setelah lebih dari satu jam akibat kondisi jalan yang membuat kami menjalankan kendaraan dengna pelan akhirnya kami sampai di pantai Watumandorak. Sebuar pantai yang memiliki ceruk yang terhalang karang. Hamparan pasir putih dibalik ceruk begitu menawan berpadu dengan warna torquis yang begitu kental.

Salah satu rumah yang roboh ditinggal pemiliknya di Kodi

Sungguh kami harus mendecakkan bibir menemukan keindahan pantai ini. Sebuah bangunan khas Sumba berdiri anggun di atas karang di pinggir pantai dengan berpagarkan susunan batu putih. Menurut informasi, bangunan ini dimiliki oleh orang Perancis, bangunan yang sungguh elegan seakan melengkapi eksotika tempat ini.
Saat ini Sumba Barat Daya dalam gerakan membangun, sebagai sebuah daerah pemekaran baru. Napas pembangunan dan modernitas mulai bergulir. Entah apakah napas Marapu dari penduduk Sumba masih bisa dipertahankan terutama dalam filosofinya yang berdampingan dengan alam atau kah yang hadir adalah modernitas yang mengikis kekuatan hidup dan energi Marapu orang Sumba.

Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya