Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label pantai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pantai. Tampilkan semua postingan

Rabu, 17 November 2021

Titik Nol Anyer

Penampakan mercusuar yang putih menjulang

"Kita mulai dari nol ya!" teringat jargon iklan mbak SPBU yang dulu sempat populer di TV saat ada ajakan ke Anyer. Jargon itu membuatku ingin ke titik nol Pulau Jawa. 

Anyer yang berada di wilayah Banten memang tempat wisata favorit masyarakat Jakarta selain Puncak Bogor karena jarak tempuhnya relatif dekat hanya sekitar 3-4 jam dari Jakarta. Well, Let's go!

Berangkat dari Jakarta, menjelang siang aku sudah tiba di Mercusuar Anyer. Dari gerbang masuk sudah terlihat menara  yang masih kokoh berdiri. Bangunan bercat putih tinggi menjulang. Aku langsung berjalan menuju ke mercusuar, berharap dapat naik ke atasnya. Di atas pintu menara terdapat tulisan tahun mercusuar ini dibangun. Sayangnya, pintunya masih tertutup sehingga aku tidak bisa masuk ke dalam. 

Tugu dari sisa menara yang pernah hancur dihempas tsunami

Mercusuar Cikoneng atau yang lebih dikenal sebagai mercusuar Anyer merupakan tempat Titik Nol Anyer berada. Lokasi tepatnya di Kampung Bojong, Desa Cikoneng, Kabupaten Anyer, Provinsi Banten. Awal berdirinya Mercusuar Cikoneng tahun 1806. Lebih awal dari pada saat jalan Anyer - Panarukan yang baru dikerjakan tahun 1825. Ketika Gunung Krakatau
meletus pada tahun 1883, mercusuar ini ikut hancur terhantam gelombang tsunami yang menyertainya. Sisa-sisa reruntuhan bangunan mercusuar hanya berjarak beberapa meter dari lokasi mercusuar pengganti yang baru. Mercusuar pengganti ini pun dibangun kembali tahun 1885 dan diresmikan oleh ZM Willem III Raja Belanda.

Foto tahun 2008 dibandingkan dengan saat ini

Aku sebenarnya agak kecewa karena tidak bisa masuk ke dalam menara mercusuar. Ya sudahlah, untuk mengobati kecewaku aku memilih mencari makan saja. Sebenarnya saat ini, belum ada warung atau kafe yang buka untuk menjual makanan. Jadi harus membawa sendiri atau membeli makanan dari luar. Tetapi aku 
sempat melihat penjual bakso menggunakan gerobak masuk ke sini.

Disekitar lokasi ada fasilitas gazebo dan teras yang bisa digunakan pengunjung untuk sekedar duduk, atau makan sambil menikmati pemandangan laut. Dari salah satu gazebo tempat aku makan, terlihat sekitar 7 atau 8 orang perempuan sedang asik mengambil foto di spot tulisan Titik Nol. Sekarang banyak tempat wisata ditambahi tulisan-tulisan berwarna-warni untuk penanda lokasi seklaigus biar lebih kekinian. 

Selesai makan, aku juga ingin berfoto di tulisan Titik Nol itu, tetapi sayangnya mereka masih sibuk berlama-lamat di spot itu. Dari dari cara berpakaian dan logat bicara yang aku perhatikan, aku menduga kalau mereka dari pengunjung yang berasal luar Pulau Jawa. Sambil menunggu giliran untuk bisa berfoto di lokasi itu, aku memotret reruntuhan mercusuar. Kelar motret, aku coba melihat ke arah spot Titik Nol. Ternyata mereka masih berfoto di spot yang sama.  Busyet! Setelah lama menunggu sampai purnama berganti 3 kali akhirnya aku dan rombonganku bisa ganti berfoto di spot wajib ini.

Terakhir kali aku mengunjungi mercusuar ini tahun 2008 bersama anggota komunitas Indonesia Backpacker (IBP) dimana waktu itu kami menginap di Wihara Avalokitesvara kota Banten Lama. Setelah sekian lama, tahun 2021 ini aku kembali mengunjunginya kembali. Sayang sekali akibat vandalisme yang terjadi membuat mercusuar ini sejak tahun 2014 tertutup bagi umum. Dulu kita bisa memasuki mercusuar ini menaiki tangga yang melingkar menuju atas tempat lampu mercusuar berada dan melihat pemandangan sekitar dari puncak mercusuar. 

Menara setinggi 75,5 meter terdiri dari 18 tingkat yang dihubungkan dengan 286 anak tangga. Pada puncak terdapat lampu yang berfungsi sebagai penunjuk arah bagi kapal-kapal yang melintasi perairan. Ruangan pada menara semakin keatas semakin sempit.

Pada bagian puncak mercusuar kita bisa menyaksikan beragam pemandangan. Dimulai dari Lautan lepas, Jalan Raya Anyer hingga perbukitan yang hijau. 

Foto dan Tulisan: Arum Mangkudisastro
http://befreetour.com/id?reff=X3KRF

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 24 Agustus 2021

Senja di Tanjung Kajuwulu

Tanjung Kajuwulu
Sebuah salib besar berlapis keramik putih berdiri di atas puncak bukit tampak kontras dengan pemandangan galaksi Milkyway yang masih malu-malu keluar dari ufuk timur. Pemandangan galaksi langit di bukit ini memang tidak terlalu jelas, namun warna putih memanjang selaksa awan putih bercahaya masih bisa terlihat mata. Pemandangan langit itu sudah cukup membekas bagi Arju yang baru kali ini bisa melihat dengan jelas galaksi, rumah bagi tata surya kita.

Tanjung Kajuwulu
Sekian lama aku bepergian ke Maumere, tempat ini selalu terlewati. Baru bulan Juni kemarin aku sempat datang melihat lokasi ini. Karena aku datang bukan pas di hari libur, jadi tempat ini masih sepi. Biasa memang tempat seperti ini ramai saat di hari libur, mungkin karena jaraknya yang lumayan jauh dari Kota Maumere.

Karena sudah sore tentu saja aku langsung naik ke atas bukit salib setelah memarkirkan kendaraan di area bawah tanpa mengunjungi pantai di bawah. Mungkin lain kali kalau kesini aku akan mencoba pantai di Tanjung Kajuwulu sekaligus mencoba snorkling. Kata orang dari Dinas Pariwisata, kawasan Tanjung Kajuwulu ini punya tempat snorkling yang bagus.

Senja di Tanjung Kajuwulu
Ada anak tangga naik dari beton menuju ke atas dengan pegangan besi yang menurutku dibangun ala kadarnya. Untungnya di jalur itu ada tiang-tiang lampu yang dipasang yang lumayan bermanfaat untuk pengunjung yang mau pulang lebih larut.

Tanjung Kajuwulu

Aku, Adis, dan Arju sendiri akhirnya pulang agak larut. Awalnya tentu karena ingin melihat matahari terbenam, terus lanjut ingin difoto langit senja dengan latar salib, terus lanjut lagi ingin melihat Milkyway. Dan ternyata lampu-lampu yang dipasang disepanjang jalan tidak menyala. Untunglah hape sekarang ada lampu yang bisa berfungsi sebagai senter.

Aku sendiri tidak merekomendasikan tempat ini untuk memotret bintang karena polusi cahaya di lokasi ini masih cukup kuat. Namun jika mau bersusah payah sedikit untuk naik lebih tinggi ke arah formasi batu tebing, sepertinya masih banyak spot untuk memotret langit malam menilik dari kontur perbukitannya. Rasanya bakal banyak tempat yang cukup terlindungi dari paparan cahaya sehingga bagus untuk memotret maupun mengamati galaksi Milkyway.

Atas Bukit Bawah Laut

Tanjung Kajuwulu
Tanjung Kajuwulu berada sekitar 26 km sebelah TImur Kota Maumere atau sekitar 30-40 menit perjalanan darat. Berada di sisi Utara pulau Flores, Tanjung Kajuwulu awalnya dikenal oleh masyarakat karena area perbukitannya. Memang di tanjung Kajuwulu ini, bukit dengan pemandangan hamparan padang rumput ini bisa menjadi salah satu tempat untuk melihat matahari terbit maupun matahari tenggelam yang keren. Karena selain padang rumputnya, perbukitan di wilayah ini memiliki formasi batuan alam yang juga menarik.

Namun sebenarnya, Tanjung Kajuwulu memiliki potensi alam lain yang juga gak kalah menarik. Ada hamparan pasir putih memanjang di area bawah tebing yang sekarang mulai dikembangkan pemerintah dengan membangun jalan setapak beton dan lopo-lopo. Kegiatan bersantai dan berenang bisa menjadi alternatif lain saat menikmati keindahan alam di Tanjung Kajuwulu.

Tanjung Kajuwulu
Juga yang sering luput dari perhatian adalah kawasan terumbu karang di wilayah ini yang masih lumayan terjaga. Hanya memang untuk dapat menikmati keindahan kawasan terumbu karang ini butuh sedikit usaha lebih, minimal peralatan snorkeling. Tentu akan lebih memuaskan jika menikmati kawasan terumbu karang ini dengan menggunakan peralatan diving. Tentu saja semua itu baru informasi yang aku dengar, belum afdol rasanya kalau belum mencoba sendiri melihat langsung terumbu karang disana.

Kawasan perairan Tanjung Kajuwulu ini sekarang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Penetapan kawasan ini menjadi daerah korservasi tentu sebuah upaya yang baik, karena tentu akan membuat kawasan ini akan terus terjaga kelestariannya. Walaupun telah menjadi kawasan konservasi, bukan berarti kegiatan penangkapan ikan dilarang sepenuhnya. Penangkapan ikan di kawasan ini tetap diperbolehkan hanya sebatas menggunakan alat pancing saja. Jadi kalian yang memiliki hobi memancing, masih dapat melaksanakan kesenangan ini di perairan Tanjung Kajuwulu.

Apa Yang Bisa Dikembangkan

Tanjung Kajuwulu
Pengembangan pariwisata di Tanjung Kajuwulu tampaknya masih ditujukan untuk menarik wisatawan lokal. Beberapa bangunan gazebo yang di letakkan di sepanjang jalur pendakian ke bukit salib (bukit tanjung kolisia), dan area bawah di tebing bagian atas dari kawasan pantai pasir putih. Bangunan ini pun masih apa adanya, tidak ada kesan kuat dari yang melihat tentang apa yang dijual di tempat ini. 

Akses jalan ke puncak bukit hanya berhenti sampai di tugu salib, selepas itu hanya ada jalan tanah yang mungkin sudah ada sebelumnya. Formasi tebing batu belum ada akses jalan yang terhubung dengan area ini, walaupun masih memungkinkan untuk didaki dengan menggunakan jalur jalan lama yang dulu dilewati penduduk yang menggembalakan ternaknya di tempat ini.

Di lokasi Tanjung Kajuwulu sendiri sebenarnya terkoneksi dengan beberapa area wisata yang masih dapat dikembangkan dan dihubungkan seperti kawasan wisata pantai Mangrove Ndete, mungkin pengembangan pariwisata ke depan akan mulai menghubungkan semua destinasi ini.

Supaya gak kelihatan ketinggalan banget, bolehlah aku sekali-kali membuat video lokasi ini. Silahkan cek videonya:

Catatan:

  1. Di sepanjang jalan menuju ke bukit dan beberapa area lain, masih ada sampah-sampah yang bertebaran. Hal ini menunjukkan masih banyak pengunjung yang belum memiliki attitude baik. Menurutku ini bukan masalah keberadaan tempat sampah, namun memang masyarakat belum teredukasi cukup baik tentang kebersihan.
  2. Aku pribadi melihat salib dengan keramik kurang menarik, coba seandainya dibangun dengan menggunakan kayu atau baru tanpa keramik mungkin akan lebih natural dengan jenis pariwisata yang ditawarkan.
  3. Di tempat ini belum ada lokasi penyewaan untuk peralatan berenang, snorkling, ataupun diving. Juga tidak ada tambatan perahu untuk disewakan saat snorkling atau diving. Sebenarnya di kota Maumere ada komunitas diving Maumere Divers COmmunity dan Maumere Freedive yang bisa menyewakan alat-alat seperti itu. Namun informasi itu masih terbatas sehingga hanya diketahui orang-orang yang sudah paham. Mungkin di pengelola perlu bekerja sama dengan mereka untuk menfasilitasi peminjaman alat seperti ini.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 22 Maret 2021

Surga Tersembunyi: Pantai Nawen

pemandangan pantai Nawen dari tebing

Duduk di pinggir tebing seperti ini mengingatkanku pada suatu tempat yang masih dapat samar-samar kuingat. Dia duduk di bawah pohon pandan laut dengan dua temanku yang lain, tersenyum manis di bawah arahan seorang tukang foto keliling dengan kamera polaroid. Aku bisa mendengar derai tawanya saat melihat hasil fotonya, lalu ia minta difoto kembali oleh sang tukang foto. Lalu dimana aku dengan kamera yang katanya suka moto-moto? Mengapa kubiarkan obyek seindah ini direkam gambarnya oleh seorang tukang foto keliling, bukan olehku? Lupakan kamera, itu adalah waktu baju putih dan celana pendek biru adalah cerita kebanggaan masa muda. Masa tertawa dan menangis sepenuh hati, tapi kamera masih analog dan bukan barang murah. Dari seluruh rombongan wisata, mungkin hanya ada dua kamera film saku yang dibawa. Satu dimiliki oleh seorang guru, satu lagi oleh seorang murid terkaya di sekolah.

pantai pertama dari pantai Nawen
Gelombang menderu-deru di bagian bawah karang membuyarkan lamunanku. Bunyi gelegak air laut yang menyusup dirongga karang yang membentuk lubang susuran bagaikan suara kerongkongan naga besar meminum air. Karang-karang tinggi di pantai ini memiliki beberapa celah lubang yang memanjang di bawah karang, dari sanalah bunyi gelegak air itu berasal terutama saat ombak besar datang.

Pantai ini disebut dengan nama Pantai Nawen. Nawen dalam bahasa Timor artinya penyu, jadi pantai Nawen bisa diartikan pantai penyu. Disebut pantai Nawen karena masyarakat sekitar pada waktu-waktu tertentu bisa melihat penyu yang datang berenang di sekitaran pantai kawasan itu. Pantai Nawen terletak di desa Poto, Kecamatan Batare, Kabupaten Kupang.

Perjalanan Seru Menuju Pantai Nawen

pantai Nawen pertama

Pantai Nawen ini jaraknya kurang lebih 90km dari Kota Kupang. Dari kota Kupang, kita mengikuti jalan trans Timor arah ke Soe. Selepas Oelamasi akan bertemu pertigaan jalan besar, ambil ke kiri arah ke Sulamu. Nanti setelah sampai desa Pantai Beringin akan bertemu pertigaan, lurus ke arah Sulamu, kekanan ke arah Barate. Ambil ke kanan ke arah Barate. Ikuti jalan sampai ke desa Poto, nanti dalam perjalanan kalian akan melihat sebuah bukit batu seperti Fatuleu. Nama bukit batu itu dikenal dengan nama Bukit Sonu. Sesampainya di desa Potu, sebelum kantor desa ada pertigaan, ambillah belokan ke kiri ke arah Puskesmas Poto.

pantai nawen batu berwarna
Dari kota Kupang sampai ke pantai Nawen, ada 3 sungai tanpa jembatan yang harus dilewati. Satu sungai besar ke arah desa Poto, satu sungai kecil ada di desa Poto karena jembatannya ambruk, dan satu lagi sungai besar dari Poto-pantai Nawen. Berbeda dengan dua sungai lainnya yang kering saat memasuki musim kemarau, sungai terakhir  menuju masih ada aliran airnya ada terus. Karena kendaraan harus turun melewati sungai, jadi tidak disarankan ke lokasi saat musim hujan. Bila terjadi hujan lebat dan sungai meluap, sungai jadi sulit dilewati kendaraan.

Dari Poto, sebagian jalan masih berupa tanah putih. Sebagian besar jalan tanahnya masih aman dilewati walaupun ada hujan. Tapi memang ada ruas tertentu yang masih berupa tanah liat yang saat bisa berubah jadi lumpur. Untungnya aku kesana pas masih musim hujan sudah lewat masanya. Walau kadang masih ada hujan turun tapi tidak terlalu deras jadi tidak kuatir sungai meluap.

Aku cuma berdua dengan Sani, jadi cukup berboncengan dengan satu motor saja. Untuk berangkatnya, Sani-lah yang mengendarai motor sedangkan aku cukup jadi pemboncengnya. Pulang nanti baru giliranku yang mengendarai, dengan pertimbangan kalau sampai harus pulang malam hari. Karena Sani ini bermata minus dengan silinder cukup besar jadi bermasalah jika harus melihat sorot lampu dari depan. Jadi lebih aman jika aku yang dibagian depan jika malam hari.

Dengan pengalaman nol ke lokasi ini, Google Maps sangat membantu. Yang pasti karena sinyal 'telkomsel' cukup kuat jadi posisi GPS masih akurat untuk menunjukkan lokasi. Namun untuk lebih amannya, aku dari awal sudah mendownload dulu petanya sehingga tetap bisa terbaca dalam kondisi off-line. Untuk informasi, banyak daerah blank spot di pulau Timor terutama di daerah pedalaman. Jika kalian tidak tahu lokasinya dan mengandalkan GPS, tidak ada salahnya mendownload peta terlebih dahulu. Berjaga-jaga jika ada lokasi yang kurang bagus sinyal komunikasinya.

Tiga Pantai

Ada tiga pantai berjajar di pantai ini yang masing-masing dibatasi dengan karang terjal. Pantai Nawen sendiri adalah pantai ketiga yang dijangkau dengan jalan kaki. Aku sendiri pernah bertanya langsung kepada salah satu penduduk yang lewat di tempat itu. Dia sempat menyebutkan sebuah nama tapi akun sendiri sudah lupa.

Masing-masing pantai punya keindahan dan pemandangan berbeda-beda. Jika dilihat dari atas, pantai-pantai di sepanjang tempat ini didominasi oleh tebing-tebing karang. Karena antara satu pantai ke pantai lain dipisahkan oleh batuan karang terjal, akses satu-satunya antar pantai hanya bisa dijangkau dengan jalan kaki. Untungnya ada akses jalan setapak yang terbentuk yang biasa digunakan masyarakat untuk beraktivitas berladang atau mencari ikan.

Pantai pertama, adalah lokasi satu-satunya lokasi yang dapat kita gunakan untuk memarkir kendaraan. Tidak ada akses lain ke pantai Nawen tanpa melalui pantai pertama. Itulah kenapa aku menyebut pantai pertama, karena memang itu akses utama untuk ke lokasi ini.

Kelebihan pantai ini di area sekitar parkiran tempatnya teduh karena banyak pepohonan, dan memiliki permukaan tanah yang cukup rata dibanding tempat lain. Jika ada aktivitas sampai malam hari, tentu saja ini adalah pantai yang paling disarankan untuk memasang tenda atau menginap. Area karangnya cukup tinggi sehingga aman untuk dijangkau pasang air laut. Pasir lautnya berwarna keputihan dengan sedikit warna merah bata di garis pantainya akibat keberadaan batu-batu merah.

Dari pantai pertama kita bisa menyusuri pantai dan menaiki bukit karang kecil untuk menjangkau pantai kedua. Pantai kedua ini tidak terlalu luas dan pasir pantainya berwarna putih dan didominasi batuan kecil. Sebenarnya pasir pantainya sendiri berwarna putih, hanya mungkin lebih banyak tertutup dengan batuan-batuan kecil.

Untuk menuju pantai ketiga kembali harus naik ke karang dan menyusuri jalan setapak yang membelah hutan terbuka dengan tanaman kayu putih atau dikenal dengan nama ampupu (Eucalyptus urophylla). Pantai ketigalah yang sebenarnya disebut pantai Nawen. Pantai ini memiliki pasir putih yang lembut dengan pemandangan indah batu karang yang mengapit kiri dan kanan. Warna air lautnya berwarna hijau kebiruan cenderung tosca, terutama saat siang hari. Di bagian tebing batu masih banyak tumbuh pohon santigi laut. Sementara Sani memilih berlindung di bawah salah satu karang, aku memutuskan naik ke salah satu tebing karang ke arah rerimbunan pohon santigi. Karena dari tebing ini pemandangan pantai Nawen lebih tampak indah.

Ngomongin jalan kaki untuk sampai di pantai Nawen ini, bagi Sani seperti sebuah perjalanan penuh penderitaan. Dengan jarak jangkau hanya sekitar 15-menitan aku harus membiarkan Sani beberapa kali berhenti untuk beristirahat karena sudah tampak ngos-ngosan. Kalau untuk urusan jalan, temanku satu ini memang payah sekali. Memang dari awal dia sudah mikir diajak jalan sampai ke pantai ketiga. Setelah ini pasti kalau ke pantai Nawen lagi, dia ogah jalan dan milih bersantai di pantai pertama.

Sambil menunggu matahari yang mau tenggelam, aku memasak air untuk membuat kopi. Sani dari tadi sudah hilang di dalam hammock yang sudah terpasang sedari tadi. Tak berapa lama, kopi panas dengan baunya yang harus telah tersaji di depanku sementara matahari mulai menguningkan langit. Ah, suasana seperti ini tidak pernah menjemukanku. Saat langit senja memerah, dan semerbak harum secangkir kopi panas di tangan, nikmat apalagi yang kamu dustakan?

Catatan:

  1. Jaga kebersihan! Bawalah tempat untuk menyimpan kembali sampah yang kamu buat. Di tempat pertama, sudah banyak sampah yang ditinggalkan pengunjung tak bertanggung jawab di tempat ini. Jika bisa bantu angkut sebagian sampah yang tercecer di tempat ini.
  2. Jangan menebang pohon! Jika membutuhkan kayu bakar untuk membuat perapian coba turun sebentar ke pantai. Di pantai pertama ada sebuah muara kering yang banyak meninggalkan kayu-kayu kering yang bisa digunakan untuk kayu bakar.
  3. Pertimbangkan baik-baik jika kesini pada saat musim hujan. Selain kondisi jalan yang masih berupa tanah putih juga masalah sungai yang rawan sewaktu-waktu terjadi luapan air dari daerah hulu.
  4. Mari jaga sama-sama menjaga lokasi-lokasi seperti ini tetap indah dengan tidak melakukan hal-hal yang justru merusaknya seperti: vandalisme dengan mencoret-coret bebatuan atau pepohonan dengan cat atau pisau, tidak mengambil tanaman sembarangan, tidak meninggalkan sampah.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 10 November 2020

Bira Bergembira


Elemen air selalu memberi kesegaran dan mood booster yang sempurna. Mandi, berenang, ataupun hanya mendengarkan gemericik air dan deburan ombak sungguh menyenangkan. Pilihanku berakhir pekan adalah pergi ke Pulau Bira. Kebetulan perjalananku ke Pulau Bira ini diorganisir sebuah grup trip.  

Titik kumpul kami di Pelabuhan Muara Karang, Jakarta Utara. Kapal kayu milik nelayan setempat yang disewa sebagai sarana transportasi kami. Sepanjang perjalanan dari pelabuhan ke Pulau Bira kami kadang memotret obyek foto yang menurut kami menarik. Namun jarak tempuh yang hampir 4 jam membuat aku mengantuk dan terlelap.

Aku terbangun saat sampai dermaga pulau. Tibalah aku di Pulau Bira besar dengan pasir putih yang cantik dan pepohonan teduh disepanjang pantai. Panitia segera membagi cottage/penginapan para peserta trip. Kebetulan saat pembagian cottage, aku mendapat cottage lumayan bagus. Rumah panggung kayu dengan kamar tidur yang dilengkapi AC, tempat tidur plus tirai kelambu pengusir nyamuk dan Kamar mandi yang ada bathtub shower-nya. Setelah pembagian cottage kami ke dermaga untuk snorkeling di sekitar Pulau Air sampai menjelang matahari terbenam.

Kecipak-kecipik suara hentakan kaki di air laut oleh mereka yang sedang berenang, snoorkling. Berenang-renang sambil bermain dan memberi makan remahan roti tawar pada ikan-ikan yang bersliweran kesana kemari. Ikan-ikan tipikal seperti dalam film animasi "Finding Nemo". Saat ikan-ikan berkumpul itulah momen yang tepat untuk memotret. Berfoto sambil berenang diantara ikan-ikan.

Kami telah sampai di dermaga Pulau Bira ketika matahari perlahan-lahan tenggelam. Pendaran warna merah jingga begitu menawan. Sunset selalu membuat sebuah hati mendadak romantis atau bisa juga menjadi mellow. Langkah kakiku pun menjauhi dermaga saat hari mulai gelap. Kegiatan malam diisi dengan makan malam bersama sambil memperkenalkan diri ke tiap peserta trip agar semakin akrab. Selepas makan malam lanjut tidur persiapan trip besok.

Rencana pagi-pagi aku ingin melihat matahari terbit. Lewat subuh aku bersama tiga orang teman, para perempuan berjalan menuju dermaga belakang. Aku pikir karena kemarin sore telah menikmati sunset jadi hari ini ingin menikmati sunrise. Kami Melewati rimbun semak belukar. Suasana masih gelap dan aku merasa ada yang memperhatikan dari arah semak-semak yang gelap itu. 

Jantungku berdegub kencang. Well, Something isn't right. Tetapi aku tidak bilang pada teman-temanku, khawatir nanti mereka panik dan histeris. Tiba di persimpangan kami bingung mau pilih jalan yang mana. "Balik ke cottage yuk!" Ajakku. Mereka pun langsung setuju.  Mungkin mereka merasakan hal yang sama denganku. Akhirnya kami kembali ke cottage. Di cottage aku masih memikirkan siapa kira-kira yang memperhatikan kami tadi. 

Aku kembali lagi ke dermaga belakang menjelang pukul 5.30 pagi bersama teman-teman ketika suasana mulai terang untuk menyaksikan matahari terbit. Perlahan-lahan cahaya keemasan menyembul dari balik cakrawala. Memecah langit dengan kilaunya. 

Setelah sarapan kami ke Pulau Atol yang tidak jauh dari Pulau Bira. Pulau Atol bekas karang yang terkenal abrasi dan menjadi dataran Pulau dengan pasir putih yang cantik. Pantulan sinar matahari membuat pasir terlihat berkilauan seperti mutiara. Serasa berada di kepulauan Maldives. Tidak ketinggalan kami berfoto dan snorkeling disekitar Pulau ini. Wah ada yang dapat bintang laut hasil snoorkling. Jangan lupa untuk mengembalikan ke biotanya lagi. Sayang menjelang siang kami harus kembali ke Pulau Bira untuk makan siang dan persiapan kembali ke Pelabuhan Muara Karang.

Mau tahu dimana Pulau Bira? Pulau Bira masuk dalam kawasan konservasi Kepulauan Seribu dan masih wilayah Provinsi DKI Jakarta. Pulau Bira terbagi menjadi dua, Bira Besar dan Bira Kecil. Kebetulan aku bermalam dalam cottage atau rumah kayu di Pulau Bira Besar. Ada dua dermaga di pulau ini, dermaga depan ketika kapal/perahu pertama singgah dan dermaga belakang tempat perahu bersandar untuk kegiatan snoorkling. Dahulu Pulau Bira termasuk private island, pulau pribadi milik seorang pengusaha/konglomerat ternama negeri ini. Di masa jayanya dulu ada kolam renang, lapangan golf 9 hole, 20 cottage, dan helipad. Sekarang yang tersisa hanya 8 cottage dan Pulau Bira telah menjadi milik Pemerintah DKI lagi. 

Ada sebuah tulisan di artikel salah satu blog wisata yang mungkin menjawab pertanyaanku selama ini. Pulau Bira pada tahun 1869 pernah punya mercusuar yang dihuni keluarga Belanda. Namun tidak diketahui keberadaan mereka selanjutnya. Dari cerita para penduduk sekitar Pulau keluarga Belanda itu menjadi hantu. Mereka sering melihat penampakan pria berjenggot, anak kecil dan perempuan. Apakah mereka yang memperhatikan aku kemarin di pagi buta itu? Kalau benar itu mereka, jadi mirip cerita film liburan di Pulau berhantu, Spooky. Well, buat para adrenaline junkies yang ingin uji nyali, this is your turn guys!

Foto & tulisan : Arum Mangkudisastro
http://befreetour.com/id?reff=X3KRF

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 22 September 2020

Sunset di Tanjung Toda


Aku tak sanggup beranjak dalam takjub, malam bergerak dengan ditutup pertunjukan senja yang memukau. Awan jingga menyaput biru kelam langit. Sebuah pelepasan yang begitu manis meski segelas kopi panas tak ada dalam genggaman tanganku, sudah tandas beberapa menit yang lalu. Ah senja dan kopi tidak selalu bersama ternyata.

Dua Jam 'Tanpa Arah'

Tak ada niatan sama sekali ke tempat ini, waktu itu cuma terpikirkan mau jalan saja. Terus mikir mau ngajak siapa yang bisa diajak jalan 'dadakan' tanpa perlu direncanakan dulu. Jalan seperti ini memang biasa bagiku karena beberapa kali perjalanan yang direncanakan malah berakhir batal atau tertunda lama. Apalagi kalau merencanakan perjalanan dengan teman yang tidak biasa jalan, duh dari awal emang harus siap untuk batal. 

Berdua sama temanku, Sani - orang Yogya yang hobinya juga jalan gak jelas- kami berdua berboncengan ke arah Timur. Kemana? Masih belum jelas. Ada beberapa rencana tempat seperti ke Fatuleu, atau ke Lelogama, atau sekedar ke Bendungan Raknamo. Entah, semua ide bersliweran tapi seperti gak 'nyantol' sampai selepas Oelamasi baru kepikiran untuk coba menjelajahi wilayah Sulamu.

Aku sendiri lupa-lupa ingat apakah pernah pergi ke Sulamu atau tidak, karena kalaupun pernah mungkin itu tahun 2000-an dimana kondisi jalannya masih ampun-ampunan. Sekarang sih sudah jauh lumayan bagus. Jadi aku bisa sampai ke sebuah kawasan yang penduduknya sangat padat yang berada di ujung utara teluk Kupang. Sebuah dermaga rakyat dengan mercusuar menjadi penanda kawasan itu. Tempat ini mengingatkanku pada kampung orang Bajo atau Buton cenderung rumahnya berdiri rapat.

Di depan dermaga tampak sebuah pulau kecil yang diberi nama pulau Tikus. Kalian mungkin sudah tahu kenapa pulau itu diberi nama pulau Tikus, ya karena jika dilihat dari atas tampak seperti tikus dengan ekor putih. Ekor putih itu sebenarnya adalah pasir putih, cuma itu adalah gosong pasir. Gosong pasir adalah istilah daratan berpasir yang hanya muncul saat laut surut. Pulau Tikus itu sebenarnya menarik perhatianku, bahkan seorang nelayan tua menawarkan untuk mengantarkanku ke pulau itu. Tapi dari kejauhan aku melihat pasir putih yang merupakan ekor pulau Tikus sedang tidak ada, yang artinya air sedang tidak surut. Dan satu lagi yang mengganggu, sepanjang pantai sampai ke pulau itu banyak botol mengambang yang artinya ada tanaman rumput laut. Artinya untuk pulau itu harus memutar perahu dulu tidak bisa tembak lurus langsung dari dermaga.

Karena tidak ada tempat yang tepat untuk melihat matahari terbenam, aku dan Sani meneruskan perjalanan ke arah barat melewati jalan kecil diapit rumah-rumah yang bersesakan. Membingungkan, aku bahkan harus bertanya beberapa kali untuk keluar dari kampung kecil ini. Jalan terakhir melewati jalan tanah di pinggir pantai, itu pun harus melewati lorong antar rumah yang sebenarnya bukan untuk motor.

Tanjung di Kecamatan Sulamu

Tanjung Toda, itu nama yang disebutkan oleh John. Pria berbadan kecil yang lebih sering menghabiskan hari-harinya di tempat ini mengurus rumput lautnya. Sebuah rumah beratap alang-alang pendek adalah tempatnya bermalam selama tinggal di sini. Kebetulan hari ini cukup banyak masyarakat yang berprofesi sebagai petani pembudidaya rumput laut yang memilih bermalam disini, bekerja sekaligus bersantai di hari libur.

Tanjung Toda ini namanya belum ada dalam pencairan google maps mungkin karena tak dianggap sebagai tempat wisata. Memang mungkin kurang cocok untuk menjadi tempat wisata karena sepanjang pinggir pantainya berupa batu karang. Ada pasir putih, hanya tidak lebar dan sebagian besar hanya muncul saat laut sedang surut saja seperti sekarang. Saat itu, pantai dapat digunakan untuk untuk mandi dan bersantai.

Di sepanjang jalur pantai Tanjung Toda banyak bangunan kecil beratap alang-alang yang digunakan oleh petani pembudidaya rumput laut, salah satunya John. Benar, sepanjang pinggir laut Tanjung Toda memang dipenuhi benda plastik minuman botol yang digunakan masyarakat untuk mengikat tali-tali yang dipasang rumput laut agar tetap mengambang di permukaan.

Sepanjang sore itu, beberapa pria dewasa tampak berjalan hilir mudik di laut yang airnya setinggi dada mereka. Mereka tampak menarik-narik sesuatu dari tali yang digunakan untuk mengikat rumput laut. Mungkin mereka sedang membersihkan rumput laut dari gulma/tanaman pengganggu. Sementara anak-anak yang kecil lebih banyak bermain di pinggir laut.

Rumput laut memang tampaknya telah menjadi mata pencaharian masyarakat Sulamu. Tanaman ini dibudidayakan di sepanjang pantai mulai dari dermaga perikanan Sulamu sampai ke Tanjung Toda ini. Alhasil, pemandangan botol-botol plastik mengambang menjadi pemandangan setiap hari di sini.

Sebuah Tempat Dimana Matahari Mengucapkan Selamat Malam

Ada daerah yang memiliki pantai dengan pasir putih yang tidak berada jauh dari tanjung Toda, tapi aku memilih tidak melihat sunset dari sana karena matahari tidak tenggelam di horison laut. Beda dengan tanjung Toda, karena matahari benar-benar tenggelam di horison laut. Di tanjung Toda ini, matahari selalu jatuh di horison laut apapun bulannya.

Siapa yang menyangka, tempat ini adalah tempat dimana matahari terbenam di laut yang akan selalu menyapamu. Tak banyak hiruk pikuk, karena hanya mereka petani rumput laut dan keluarganya yang menyapamu. Tak ada wisatawan yang suka memenuhi laut untuk menikmati senja yang kadang berisik dengan musik berdentam-dentam, dengan suara bass yang nyaris bikin copot jantungmu. Tidak, semua keriuhan semacam itu tidak ada saat ini. Hanya pekik teriakan anak-anak yang disahut oleh lengkingan balik burung-burung laut.


Kadang tempat yang tidak memiliki pasir pantai bisa begitu menyenangkan apalagi dengan begitu aku tak akan dipusingkan bahwa tempat ini akan didatangi banyak orang. Kupikir tidak, tempat ini tidak terlalu menarik untuk didatangi apalagi untuk wisata. Tapi bagi kalian yang ingin menikmati sunset, tempat ini bolehlah kalian kunjungi. Jangan lupa membawa kopi.

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 07 Juli 2020

Bukit Pandang Oemasi

Beberapa tanaman perdu mengering berubah menjadi berwarna putih


When traveling for an extended period of time, desirable changes - increased openness to experience, emotional stability, agreeableness, and creativity - emerge. Jaime Kurtz, The Happy Traveler

Bukit Pandang Oemasi, mungkin nama itu cocok aku sematkan  untuk nama tempat ini. Karena memang saat ini di Google Maps belum ada nama untuk tempat ini. Titik pandang ini adalah salah satu titik puncak perbukitan yang lebih dari dari perbukitan yang ada di kawasan ini. Kontur dari tempat ini mengingatkanku pada Ikan Foti yang juga tidak berada jauh dari tempat ini, mungkin saja keduanya berada di jalur yang sama.

Setelah jam setelah melewati pertigaan, ada sebuah jalan kecil berbelok ke sebuah tempat yang lebih tinggi daripada yang lain. Ada jajaran pohon cemara yang beberapa dahannya ditumbuhi tanaman parasit sejenis tanduk rusa. Beberapa batuan besar tampak mencuat ditutupi sekelilingnya oleh rerumputan yang pendek dan tampak rapi. Dari tempat ini, angin terasa sejuk walaupun matahari sedang garang-garangnya bersinar tanpa terhalang awan. Entah karena pengaruh bulan Juni, atau hawa di bukit kecil memang seperti ini. Hawa seperti ini memang racun. Angin yang berdesau seperti nyanyian Nina Bobo paling indah, lalu bisikan-bisikan untuk meletakkan sebentar kepala di rerumputan. Sesapan kopi hitam bahkan tak mampu melawan jika sudah di posisi seperti ini. Namun bunyi angin keras yang menabrak pepohonan cemara membuyarkan kantuk, suara seperti deru mobil truk terdengar keras memantul di bawah bukit. Ah iya, masih musim angin di bulan ini.

Y

ang sedikit mengganggu dari pemandangan di sini adalah batu-batu besar yang ada di tempat ini sudah dicoret-coret dengan cat biru oleh mahluk 'brengsek yang pengen eksis tapi tidak tahu cara yang benar'. Bahkan beberapa pohon cemara juga tidak luput aksi vandalisme mereka. Sekarang aku lagi berpikir cara untuk membuat mereka kapok melakukan vandalisme semacam itu, ada saran?

Karena siang ini adalah hari Sabtu, tidak ada seorangpun yang datang ke tempat ini. Hanya lalu lalang beberapa kendaraan roda dua dan pickup yang mereka sebut 'bis kampung' yang mengangkut penumpang dari desa sebelah ke Baun (ibukota Kecamatan Amarasi Barat). Tapi kedatangan mereka kadang-kadang tidak tidak terdengar, kalah dengan suara deru angin yang mirip suara truk tadi.

Bonusnya pada bulan begini adalah rerumputannya sering kali tidak hanya berwarna hijau tapi mulai kecoklatan (coklat terang agak kekuningan). Beberapa gerumbul tanaman liar juga mulai berubah warna memutih yang menjadikan bukit tampak berbeda.

Ada insiden yang cukup menyedihkan di lokasi ini, aku kehilangan lensa "Fujinon FX 50mm f2.0" yang belum lama aku beli. Ini gara-gara aku salah tidak memberitahu temenku Sani cara membawa tas kamera. Karena tas kameraku berbentuk slingbag, seharusnya cuma ada satu arah untuk membawanya, tapi Sani dengan enteng memutar dari depan ke belakang. Alhasil, resleting kamera jadi menghadap ke belakang. Entah resleting kurang kuat atau memang lupa tidak ditutup tapi itu yang mengbuat lensa terjatuh dan hilang dari tas tanpa kita sadari. Hiks, kalau memang rezeki anak soleh InsyaAllah itu lensa akan kembali lebih banyak.. hahaha...  ngarep. Boleh dong ah, daripada sedih bikin gak asyik.

Pas hari Minggu setelah kita jalan-jalan, aku sempat kembali ke tempat ini bareng istriku dan berharap masih akan menemukan lensa itu walaupun dengan harapan tipis. Apa daya waktu kembali ke sana ternyata tempat ini ramai waktu Minggu menjelang sore. Akhirnya aku tahu kalau tempat ini tidak sesepi yang aku kira. Rupanya banyak orang yang telah menjadikan tempat ini untuk berlibur terutama sih untuk mengambil foto walaupun belum ada nama tempat untuk bukit ini. Akhirnya aku coba mendaftarkan nama tempat ini ke Google Maps dengan nama "Bukit Pandang Oemasi", walaupun sampai dengan saat ini belum disetujui oleh Google.

Perjalanan Pertama Selama "Pandemi Corona"
Hari-hari ini akan menjadi kenangan yang tidak pernah hilang dari banyak benak orang. Ketika hari-hari tidak sama seperti yang sebelumnya kita alami. Dari yang biasa tiap malam pasti keluar walau cuma satu jam dua jam untuk belanja sekalian dengan cuci mata. Tiba-tiba tiap malam kita cuma bisa di rumah, karena jam malam tiba-tiba diberlakukan. Lampu-lampu kota yang biasanya menyala dimatikan, jam-jam tertentu mobile polisi dengan lampu biru berputar-putar patroli tiap beberapa jam. Beberapa tempat nongkrong di pinggir jalan langsung dibubarkan begitu tampak beberapa orang berkumpul. Tidak boleh, katanya.

Nama 'Corona' begitu menghebohkan dunia, virus yang konon katanya bermula dari sebuah pasar di Wuhan yang menjual daging kelelawar. Banyak kematian yang disebabkan olehnya, suatu saat hari-hari ini akan dikenang orang karena telah mengubah banyak wajah dunia.
Namun setidaknya kita harus bisa berdamai dengannya, begitu pesan pakde Jokowi padaku tempo hari. Tidak buatku sendiri sih, kamu juga.. kamu juga, kamu yang disana juga iya.
Stress juga kan kalau tiap hari terus kuatir memikirkan virus yang namanya sama dengan bentuknya ini. Udah bikin ekonomi jeblok ditambah lagi bahaya stress akut. Cukuplah petugas kesehatan rumah sakit yang kewalahan dipenuhi pasien Corona, jangan rumah sakit jiwa ikut penuh. Iya nggak gaess?? Salah satu obatnya ya jalan-jalan, tapi tetap dengan protokol kesehatan ya.

Catatan Kecil
Sebenarnya bukit pandang ini bukannya tempat tujuan, hanyalah sebuah rest area atau tempat singgah sementara dari kepenatan pantat dalam perjalanan dari Kupang menuju Pantai Nimtuka, yang mungkin akan aku ceritakan lain kali.

Tidak ada google maps sementara ini karena sampai saat ini tidak ada penanda lokasi. Aku sudah coba menambahkan tempat ini sebagai missing place namun sampai dengan saat ini masuk dalam status "review". Baru kali ini aku mendapatkan sebuah review yang cukup lama, rupanya efek corona sampai mempengaruhi di kecepatan google menambahkan lokasi baru.
Jika permintaanku menambah tempat ini sudah disetujui google maps akan langsung aku update lokasinya disini.
*update: Yeay... akhirnya google menyetujui penambahan lokasi ini.
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 06 Januari 2019

Kolam Air Asin Liang Rangko

Hawa pengap sebentar membuat tubuhku bersimbah keringat, kecuali tiga lelaki yang berendam di dalam kolam yang airnya sebening kristal. Air bening berwarna hijau kebiruan ini airnya asin karena berasal dari air laut. Bergantian mereka menaiki stalagmit yang tingginya sekitar satu setengah meter di pinggir kolam. Lalu diiringi teriakan dan sorakan teman-temannya mereka meloncat ke dalam kolam. Salah satu meloncat terlalu tinggi, nyaris saja kepalanya menghantam stalaktit. Untung dia keburu memiringkan kepalanya. Adegan nyaris celaka ini tentu saja mengundang reaksi lebih heboh dari teman-temannya.

Untung saat ini lokasi masih sepi pengunjung sehingga mereka bisa bersantai berenang, seperti juga aku dan Pepe yang juga mudah mencari sudut foto. Bedanya aku mencari sudut foto mengabadikan saat mereka melakukan loncatan-loncatan tadi, sedangkan Pepe khas anak muda mileneal yang ngerekam wajahnya sambil cuap-cuap. Aku dapat membayangkan seperti apa suasananya jika saja ada pengunjung lebih dari 20 orang masuk ke dalam gua, pasti pengap sekali.

Dia menunjukkan lengannya yang penuh goresan, saat kutanya kenapa tidak berenang. Katanya itu goresan saat dia naik motor ke Liang Cara. Tidak mengherankan, aku melihat dari cara Pepe naik motor yang mirip pembalap liar: kenceng sambil seneng slip-slipin ban. Bule ini emang kayaknya langganan celaka.

Aku saja akhirnya menyerah, seperempat jam kemudian aku keluar dari gua dengan kaos yang basah kuyup. Meninggalkan Pepe yang katanya mau berenang di sana tapi dari tadi mondar-mandir gak jadi berenang. Tumben si Pepe tahan di dalam gua tanpa berenang, batinku. Eh tak lama kemudian dia nongol keluar.

Liang Rangko atau Gua Rangko orang biasa menyebutnya. Gua ini tidak terlalu luas, jauh lebih kecil dibandingkan dengan Gua Batu Cermin. Seperempat dari gua ini adalah kolam air asin itu. Untuk masuk ke dalam gua, ada sebuah tangga kayu untuk turun. Suasananya pagi sampai menjelang siang cenderung gelap. Tidak terlalu gelap, setelah kita masuk ke dalam gua tak lama kemudian juga mata kita bisa menyesuaikan. Yang sulit justru saat menggunakan kamera. Walaupun menggunakan ISO 3200 sekalipun, speed yang diperoleh untuk mendapatkan suasana gua tetap tidak lebih dari 1/25 detik. Kebayang kalau menggunakan kamera hape yang sensornya imut untuk memotret di gua ini. 

Pintu gua Liang Rangko menghadap ke arah Barat, jadi sebenarnya kalau mau mendapatkan view yang lebih nyaman sebaiknya datang setelah jam dua siang. Malahan kalau mau sore hari nanti pemandangan matahari menjelang terbenam bisa dinikmati di pinggir pantai. Di pinggir pantai? Jadi gua ini di pinggir pantai? Gak usah heboh begitu. Bukan cuma di pinggir pantai, pantai di Liang Rangko ini juga pemandangannya indah. Berpasir putih dengan air yang tenang dan tentu saja pemandangan matahari terbenam.

Perjalanan ke Liang Rangko
Berbekal motor hasil pinjam dari seorang teman, Minggu pagi aku berencana ke Gua Rangko setelah rencana mau nginep di pulau Padar gagal total. Pilihan Liang Rangko karena masih berada di satu daratan pulau Flores dan jarak tempuh yang 'katanya' tidak terlalu jauh. Petunjuknya sederhana saja, ikuti saja jalan baru yang menuju ke Tanjung Boleng. Tanjung Boleng itu adalah kecamatan yang letaknya di sisi Utara pulau Flores.

Awalnya aku gak tahu kalau untuk ke Liang Rangko harus menggunakan perahu. Waktu itu hanya diberitahu kalau jalan ke Liang Rangko sudah bagus. Dan memang, dari kota Labuan Bajo sampai ke desa Rangko bisa dibilang jalan mulus karena memang masih jalan baru. Satu-satunya jalan yang jelek adalah sepotong jalan sekitar 100 meteran di depan PLTMG. Ini bangunan pembangkit listrik PLN baru, katanya kapasitas listrik di tempat ini sekitar 20 MW, wah bakalan terang benderang tuh Labuan Bajo.

Sampai ke sebuah desa di wilayah Kecamatan Tanjung Boleng, ada sebuah papan petunjuk lokasi Liang Rangko di pinggir jalan mengarah ke sebuah gang kecil arah ke pantai. Aku pikir awalnya di pinggir pantai itulah ada gua Liang Rangko, eh ternyata salah. Rupanya papan petunjuk itu cuma tempat untuk sewa perahu sekaligus membayar tiket masuk. Selepas parkir di pinggir sebuah pohon beringin besar, aku diarahkan ke sebuah warung kelontong. Warung ini rupanya juga berfungsi sebagai tempat untuk membayar tiket masuk sekaligus sewa perahu.

Di dalam sudah ada seorang bule muda yang tadi aku menyebut namanya: Pepe. Pepe ini katanya berasal dari Spanyol, dia menyebutkan Barcelona kalau gak salah. Dia yang awalnya protes gak mau bayar apalagi waktu dia diminta bayar 50ribu sementara aku cuma 20ribu. Dia pikir mereka curang mau menipunya. Setelah ditunjukkan kalau memang tiket masuk antara wisatawan lokal dan mancanegara memang berbeda. Bule muda ini jadi satu-satunya temen sharing perahu yang sewanya 300ribu pulang-balik dibagi dua. Lumayan mahal karena jarak tempuhnya hanya 20 menit saja. Sebenarnya kalau berangkatnya ada 5-6 orang lumayan sih, jadi hanya kena biaya sewa antara 50-60ribuan.

Liang Rangko: Pantai dan Gua yang Ciamik
Ternyata perahu digunakan bukan untuk menyeberang ke pulau lain, melainkan menyisir pinggir pantai menuju ke arah tanjung. Kalau begitu kenapa harus pakai perahu?  Karena jalan menuju lokasi langsung belum ada. Jadi tanjung tempat Liang Rangko itu bisa dibilang masih kosong tanpa penghuni, dan akses jalan tentu saja.

Perjalanan menyusuri perairan dangkal membuat aku bisa mengamati kondisi sekitar tanjung yang lebih didominasi bukit-bukit karang tanpa pantai.  Perairan dangkal dengan pasir yang berwarna putih membuat air laut berwarna biru muda, cukup menyenangkan untuk dipakai berenang.

Pak Kahar, pemilik perahu yang aku tumpangi bareng Pepe menunjuk sebuah bangunan dermaga yang sedang dibangun. Dermaga itu sepertinya sudah hampir rampung itu menggunakan material kayu, cukup bagus untuk menjadi dermaga bagi wisatawan. Rupanya memang Liang Rangko sedang dibenahi supaya lebih menjual.

Perahu merapat ke pantai bukan ke dermaga karena belum selesai dibangun. Ternyata sudah ada beberapa petugas di sana. Aku baru paham, ternyata desa Rangko yang aku datangi bukan satu-satunya lokasi untuk membayar tiket masuk. Bagi wisatawan yang melakukan hoping island misalnya, mereka membayar langsung biaya tiket masuk di tempat ini.

Masuk akal mengapa Liang Rangko dikembangkan menjadi lokasi wisata. Karena selain keberadaan kolam di dalam gua, ternyata pantai di sekitar Liang Rangko juga indah. Mungkin di tanjung ini, itulah satu-satunya pantai yang memiliki pasir putih cukup luas. Pemandangannya cukup nyaman karena di halangi beberapa pulau karang kecil, membuat perairan di sana cukup tenang. Ditambah dengan posisinya yang menghadap barat, bagi yang bersabar bisa menikmati keindahan matahari terbenam di pantai ini.


Catatan:
  1. Jangan memaksakan masuk ke dalam gua jika sedang ramai. Daya tampung gua yang tidak terlalu luas sangat terbatas. Masuk lebih dari 20 orang saja akan terasa tidak nyaman. Tunggu saja di pantai yang pemandangannya juga tidak kalah indah. Kalau tidak berenang di kolam daya tahan seseorang di dalam gua tidak akan lebih dari setengah jam. Pengap dan panas coy.
  2. Biaya sewa perahu sekitar 300ribuan dengan daya muat sekitar 5-6 orang. Bagi pelancong sendiri seperti saya, alternatif untuk mendapatkan harga lebih terjangkau adalah jangan buru-buru, cari sampai ada rombongan lain sehingga bisa patungan biaya. Atau ikut nebeng bayar ke rombongan yang bisa diikuti. Cara ini efektif kalau sedang musim liburan, kalau bukan lagi musim liburan bisa-bisa kering nungguin perahu yang mau angkut rombongan hehehe.
  3. Alternatif lain, jangan berhenti di tempat yang ada papan petunjuk tapi lanjut terus sampai ke dermaga desa. Nah coba tanya-tanya untuk sewa perahu ke sana. Biasanya ada yang mau mengantar dengan perahu kecil. Jika beruntung kalian bisa mendapatkan sewa perahu sekitar 100ribuan.
  4. Di Liang Rangko ini informasi dari masyarakat diperbolehkan untuk menginap/memasang tenda. Namun perhatian semua perbekalan karena di sini jelas satu-satunya alat transportasi adalah perahu.
  5. Jika menginap di sana dan mau membuat api unggun gunakan kayu-kayu kering di sekitar jangan potong pohon. Kayu-kayu kering cukup banyak kok. Jangan merusak alam karena jumlah pohon di sana juga terbatas. Kalau mau lebih enak, prepare aja bawa kayu bakar dari desa terdekat.
Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 14 Desember 2018

Lengkung Pasir Putih Tarimbang

pantai Tarimbang, Sumba Timur
Pasir putih memanjang, melengkung mengikuti lekuk teluk dan diapit dua bukit kapur tinggi di kiri dan kanan. Tempat ini mungkin salah satu yang boleh disebut sebagian traveller sesat sebagai "surga tersembunyi" yang mulai menunjukkan diri. Letaknya yang berada di sisi Selatan pulau Sumba membuat pantai cantik ini memiliki kelebihan yang membuat para pecinta pantai tak bisa berpaling. Dan salah satunya adalah ombaknya yang besar untuk para pecinta surfing.

Pantai yang Baru Terbuka Aksesnya
Setelah sekian lama hanya terjamah oleh para pecinta surfing yang mendatangi lokasi ini melalui jalur laut, akhirnya sekarang traveller yang ingin mendatangi lokasi ini lebih mudah menjangkau lokasi ini melalui darat. Sebuah jalan baru yang dibuat menembus hutan yang masih masuk kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti adalah tiket murah menuju kesana dengan kendaraan, bahkan motor matik sekalipun.

Sebelumnya, duh lupakan deh kalau ke sana hanya pakai motor dan mobil biasa. Jalurnya bener-bener parah, minimal sekelas mobil dobel gardan atau motor trail yang bisa menjangkau daerah itu. Itu pun waktu tempuh dari Waingapu sampai ke pantai Tarimbang tak kurang dari 4 jam perjalanan. Namun sekarang, dengan menggunakan motor bebek saja bisa ditempuh sekitar 2 jam. Jalur jalannya sendiri tetap saja berkelok-kelok. Karena sebagian besar menyusuri punggungan bukit.

Perjalananku ke pantai ini yang kemudian membawaku mampir ke air terjun Laiwi yang aku tulis di sini: Sejuknya Air Terjun Laiwi. Jadi jika kalian mau ke pantai Tarimbang, jalur jalan dari kota Waingapu sampai ke pantai Tarimbang yang dapat kalian singgahi antara lain: bukit Wairinding dan air terjun Laiwi.

Praing Ngalung Spot, pantai Tarimbang
Apakah bisa mampir ke Taman Nasional Laiwangi Wanggameti, kan dekat jaraknya ke Tarimbang? Aku pun sempat berfikir demikian. Jadi rencana awal, sebelum ke pantai Tarimbang aku mau mampir dulu ke Taman Nasional Laiwangi Wanggameti karena di sana juga ada air terjun 2 buah, Laindamuki dan Laiwangi. Kalau mau sedikit lebih jauh ada air terjun Laputi yang bagian atasnya terdapat sebuah danau yang dikenal keramat. Duh tapi lupakan taman nasional itu kalau hanya menggunakan kendaraan biasa. Walaupun secara jarak di peta itu tampak dekat namun kondisi jalan ke daerah itu masih bisa rusak. Aku sendiri belum pernah ke sana tapi informasinya sekitar 7 jam untuk sampai ke air terjun itu. Jadi bisa dibilang pantai Tarimbang ini yang sudah diperbaiki akses jalannya sementara lokasi lain masih belum.

Di titik yang dulu disebut jalur paling sulit karena kemiringan jalan yang tajam terdapat sebuah bangunan gubuk ilalang terbuka yang tertulis 'Praing Ngalung Spot". Pemandangan di depan bangunan itulah pantai Tarimbang yang berada di teluk. Kata seorang penduduk yang lewat, gubuk itu milik pak Marthen yang punya homestay di dekat sini.

Jalur setelah ini memang harus ekstra hati-hati, rem harus bener-bener pakem karena di jalur belokan pun kemiringannya tetap terasa. Untungnya jalannya sudah mulus beraspal. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana sulitnya medan ini saat masih berupa jalan batu.

Pantai Pasir Putih yang Memanjang
Sekitar jam setengah tiga aku baru sampai ke pantai Tarimbang. Walaupun di perbukitan banyak yang sudah gersang namun di pantai ini masih banyak tanaman yang hijau. Justru karena banyak pepohonan dan angin yang cukup kuat membuat suasana di pantai ini terasa sejuk.

View pantai Tarimbang
Untungnya pantai sedang tidak ramai, mungkin karena jaraknya jauh atau mungkin juga karena bukan hari libur. di sepanjang area, aku melihat hanya ada satu mobil Avansa yang berisi serombongan anak-anak muda. Sambil mencoba mencari tempat untuk beristirahat, mataku mencoba menjelajahi suasana di sekeliling tempat ini. 

Dari deretan pasir putih memanjang dan air laut yang berwarna biru kristal, pandanganku akhirnya tertuju pada sebuah pohon berbatang putih satu-satunya yang 'nongol' di pasir pantai. Itulah pohon instagramable yang menjadi selalu masuk foto orang-orang yang berkunjung ke pantai Tarimbang. Dan sekarang, di atas pohon nangkring sesosok tubuh langsing dengan kulit putih bersih sedang berpose sementara temannya sibuk menjepretkan kamera ke arahnya. Angin laut kadang ikutan nakal menerbangkan kain yang melilit pinggangnya dan pemandangan selanjutnya bisa ditebak. Astaghfirullah... Alhamdulillah...

Setelah terlepas dari jerat pemandangan itu barulah aku kembali bisa menikmati keindahan pantai Tarimbang tanpa 'gangguan'. Aku dapat melihat gelombang besar di kejauhan yang memanjang. Sayangnya karena luas pantai dan waktu yang terlalu mepet, aku dan Imam tidak menjelajah dari ujung ke ujung. Padahal pemandangan tebing-tebing batu yang tampak tinggi menjulang di kejauhan sangat sayang dilewatkan.

Seorang bule yang berjalan dengan papan selancar datang menghampiriku. Ngobrol sebentar menanyakan apakah aku akan bermalam di sini. Mungkin karena dia melihat aku memasang hammock dan alat masak. Dia sendiri rupanya menginap di sini namun tidak tinggal di homestay atau rumah penduduk melainkan di atas kapal. Dia menunjuk ke sisi timur di mana tampak sebuah perahu di kejauhan. Duh enaknya yang punya perahu buat melancong.



Ternyata perkiraanku salah, karena pantai ini terletak di antara dua bukit tinggi jadi matahari tenggelam di balik bukit sebelah kanan. Mungkin lain kali aku harus naik ke salah satu bukit dan menginap di sini untuk mendapatkan pemandangan matahari terbit dan terbenam di pantai Tarimbang.

Catatan untuk yang ingin ke pantai Tarimbang:
  1. Bawa bekal makanan dan minuman yang cukup karena di lokasi belum ada penjual makanan/minuman. Namun jika membawa bekal makanan yang harus dimasak terlebih dahulu menggunakan kayu pilih-pilih lokasi yang aman karena angin yang lumayan kencang. Jangan tebang pohon, banyak kok kayu kering di sekitar yang bisa dipakai. Tapi setelah acara bakar-bakar jangan lupa untuk dibersihkan.
  2. Sebaiknya membawa plastik supaya bisa membawa kembali sampah yang kalian bawa karena disini belum ada bak/tempat pembuangan sampah. Lagian membawa sampah kembali jauh lebih bagus untuk membuat tempat ini tetap bersih. Apalagi sampah plastik, kalau tidak bisa menghindari ya bagusnya dibawa kembali.
  3. Jika mau menginap ada homestay milik pak Marthen tapi aku sendiri tidak tahu rate-nya. Silahkan googling aja. Alternatif lain ya nenda di pantai Tarimbang. Aman? Aman saja kok, setahuku masyarakat Sumba Timur sangat welcome. Bagaimana dengan air? Jarak dari pantai ke pemukiman terdekat tidak terlalu jauh kok jadi bisa mengisi air di pemukiman sekalian minta ijin.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya