Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label nagekeo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label nagekeo. Tampilkan semua postingan

Minggu, 29 Maret 2020

Segelas Kopi dan Alunan "La Valse d'Amélie"

Injak gas, motor hidup sebentar lalu mati, injak lagi hidup sebentar mati lagi. Setelah beberapa kali dan tahan gas motor barulah motor bisa hidup. Lagi-lagi begini nih motor yang diseting hemat keparat, dibanyakin anginnya kurangi bensinnya akhirnya motor lebih sering kentut.
Kali ini aku tetap ingin menjadi yang membonceng saja, apalagi kalau bukan karena helm pinjaman punya aroma yang tidak mengenakkan.. maaf ya saya terlalu jujur untuk ini. Kalau rambutku gondrong mungkin cuma bau di rambut tinggal disampo habis perkara, tapi karena kepalaku botak bisa-bisa terpaksa cuci pake sabu deterjen untuk kasih hilang baunya hahahaha. 
Golongan darah B memang dikaruniai lebih tahan makan daging, tapi mungkin itu pula pemilik darah B kadang agak emosional. Tidak heran kalau begitu motor hidup Kadek maunya lari saja. Agak malas mendebat kali ini, aku biarkan saja dia sama kelakuannya. Untungnya kita segolongan walaupun beda tampang. Kadek tampan, kalo aku? parah hahahahaha....... (parah pangkal pandai)
Rencana hari ini mengunjungi pohon rindang satu biji di tengah padang lapang sabana di jalur jalan Mbay-Ende. Bukan mau bakar kemenyan buat minta rejeki tapi mau moto, apa lagi. Pohon itu lumayan bertuah, terbukti cukup banyak menyelamatkan orang dari panasnya Mbay seperti sekarang ini.
Sayangnya kondisi perbukitan lagi aneh, banyak rumput kering berwarna kuning pucat tapi sebagian masih nongol warna hijau. Asli, sebenarnya aku maunya cuma rumput berwarna kuning pucat seperti minggu kemarin, rasanya rumput-rumput hijau ini malah menggangu saja.Tak apa lah, masih ada kesempatan berikutnya. Rumput di sabana ini luar biasa, biar dikeringin sampai hitam, tapi begitu ada hujan dengan ajaib bakalan hijau kembali.Pasti gara-gara hujan kemarin.


Roda motor "Megapro" menggilas batuan yang berserakan di beberapa ruas jalur Aeramo. Ini berasal dari tumpukan batu-batu dan pasir yang banyak ditimbun di pinggir sepanjang jalan. Jalur jalan yang diapit kiri kanan dengan kawasan persawahan terluas di Nusa Tenggara Timur ini rupanya sedang direhabilitasi untuk pelebaran jalan. Suasana persawahan yang sebagian besar masih menghijau ini tampak asri, tampak rumah-rumah dibangun tidak di pinggir jalan tapi agak menjorok ke dalam. Jalan kecil menuju rumah berdiri berjajar pohon kelapa kiri-kanan selang seling.  Tempat menarik yang sepertinya sudah kumasukkan dalam memori untuk nanti aku jelajahi. selain areal persawahan yang asri, Kadek yang menjadi tulang ojek kali ini menunjukkan tempat-tempat lapang yang ditumbuhi pohon-pohon asam yang rindang, dia terkesan tempat ini untuk menjadi tempat foto prewedding atau model. 
Setengah jam berikutnya aku sudah sampai di pinggir pantai Marapokot. Bingung mau kemana, akhirnya motor aku arahkan masuk kembali ke daerah pantai melewati kawasan perkampungan nelayan sebelah dermaga TPI Marapokot. Di perjalanan aku bertemu dengan orang-orang yang mondar-mandir di suatu jalan. Berbincang-bincang dengan orang tua yang sedang bertelanjang dada dan membawa handuk berjalan ke timur aku mendapatkan informasi bahwa di pinggir pantai ini terdapat sumber air panas. Dan orang tua ini mau ke sumber air panas untuk mandi.
Tertarik untuk tahu seperti apa sumber air panas disini aku mengikuti bapak tua itu. Sekitar 200 meter setelah melewati sebuah muara kecil akhirnya aku sampai disebuah kubangan air dikelilingi pohon bakau. Bau lumpur dan belerang langsung menyergap hidung. Sayang sekali sumber air panas di sini berada di rawa lumpur tidak seperti di Pantai Hading di Flores Timur yang ada di pasir sehingga warnanya bening dan tidak berbau lumpur.
Walaupun airnya berbau lumpur tapi kalau sore atau pagi hari rupanya tempat ini ramai orang yang datang untuk mandi, sepertinya mereka tidak terganggu dengan aroma lumpur campur belerang ini. Beberapa orang sempat menanyakan kalau aku hendak mandi, tapi aku mengeleng dan menolak halus. Sempat aku mencelupkan tanganku untuk memastikan bahwa air disini panas. Wah, aku lupa khasiat air panas disini, siapa tahu bisa untuk pengganti luluran lumpur hehehe.
Dari pantai Marapokot, aku dan Kadek langsung mau pulang tapi ternyata tertahan karena beberapa kali mata Kadek terkena serangga-serangga yang biasanya beterbangan menjelang malam. Aku lupa kalau daerah ini daerah persawahan yang tentu saja bukan waktu baik untuk berjalan senja menjelang malam begini. Aku masih lumayan, setidaknya serangga tidak mungkin langsung mengenai mataku karena aku berkaca mata (kadang berkaca mata harus disyukuri juga).
Akhirnya Kadek membelokkan motor ke arah pelabuhan Marapokot sesuai arahanku. Pemilik warung seorang bapak tua berambut putih yang ditutupi peci menyapaku dengan ramah menawarkan minuman. Ini kali kedua aku mengunjungi warung ini, jika kemarin aku mendapatkan ubi goreng yang enak, kali ini di atas meja yang terhidang adalah mangga. Nagekeo memang lagi musim mangga, saking banyaknya mangga bahkan minta satu mangga bisa dapat satu tas besar mangga, manis-manis pula lagi. Jadi acara kali ini no mangga
Tak lama kemudian secangkir kopi jahe panas mampir ke meja dan semangkuk mie rebus. Kadek tidak makan mie waktu aku tawari, kemungkinan dia takut rambutnya yang sudah seperti sarang burung akan tumbuh seperti mie goreng kalau terlalu banyak makan mie. Seandainya alasannya itu tentu aku memaklumi walaupun agak tidak masuk akal. (lagi berpikir bikin penelitian hubungan rambut keriting dan mie instan)
Beberapa orang tertarik dengan gaya penampilan aku yang mirip wartawan "Comberan", hanya karena melihat rompi dan tentengan kamera yang seperti orang mau transmigrasi. Walaupun setengah ngotot akhirnya mereka percaya kalau aku bukan wartawan. Akhirnya acara di warung menjadi ramai setelah mereka ingin mencoba kamera DSLR yang aku punya. Ramai karena aku pastikan hasil fotonya gagal semua karena kamera aku masih set manual semua yang tentu saja tidak bisa dibuat moto begitu saja layaknya kamera poket (pelajaran hari ini: ternyata kamera poket lebih enak dan gampang). Sepertinya setelah ini mereka bakalan berpikir bahwa orang yang menggunakan kamera DSLR kurang kerjaan dan cuma buat menghabiskan uang saja. Seorang lagi yang kebetulan sering menyopiri mobil rental untuk mengantar tamu-tamu berwisata di Flores juga menambah suasana makin ramai. Ada satu cerita lokasi yang tampaknya membuat Kadek tertarik untuk melihatnya. Lewat senja baru aku dan Kadek kembali ke hotel.


Besoknya acara hunting foto kembali di mulai, apalagi setelah seorang teman dari NPC yang merupakan musisi handal Eddy Kribo eh bukan Eddy Due Woi protes gara-gara ke hotel tidak menemukan kami. Tentu saja tidak ketemu, kita sedang bahagia terdampar di Marapokot.
Kembali ke tempat yang sama di sabana Mbay, kali ini kita mencoba naik lebih tinggi. Di jam tanganku ketinggian tempat ini menunjuk ke angka 220 meter. 


Ternyata dari tempat ini saat ini adalah spot terbaik untuk menikmati perbukitan Mbay, perbukitan tampak bertumpuk-tumpuk dengan dibatasi warna kabut yang turun menjelang malam. Sayangnya matahari lebih dulu menghilang sebelum sampai ke tempat ini, spot terbaik namun belum menjadi momen senja terbaik.


Di balik punggungku ternyata bulan pucat sedang menggantung tertutup awan tipis putih. Aku baru menyadarinya benar-benar setelah mengemasi peralatan dan berbalik untuk mencari Kadek dan Eddy yang sudah menghilang entah kemana. Beberapa saat dua pertunjukan senja berlatar tumpukan perbukitan yang dipenuhi kabut-kabut tipis dan purnama yang muncul dari balik awan membuat kita duduk terpesona dengan suasana ini.
Otak cerdas dari rambut mirip mie dengan sigap memutarkan sebuah musik orkestra lembut yang menggambarkan suasana perjalanan hati yang sendiri.   "La Valse d'Amélie" seolah melontarkan imajinasi masing-masing menikmati spot terbaik di sabana ini. Semua yang direncanakan menjadi tidak terencana. Seolah-olah kita disini karena dilontarkan waktu untuk menikmati rumput-rumput berwarna putih kekuningan yang makin memucat disinari cahaya bulan purnama yang juga pucat. Nyamuk-nyamuk sukses berpesta menggigiti kaki dengan antusias tapi tidak berhasil menarik kita untuk pulang. Rasa gatal di kaki terlalu kecil dibanding  menikmati alunan langsung  "La Valse d'Amélie" dari sabana ini. Awan kelabu dan awan terang bergantian datang, kadang diam kadang bergerak cepat.
Ternyata lewat jam 9 malam barulah kita sadar kalau kita lapar, bahkan kita lupa ancaman pulang dengan tahi-tahi kerbau yang tampak sore hari, entahlah apakah kita akan sukses melewatinya saat malam begini. Orkestra "La Valse d'Amélie" terus mengalun mengiringi langkah-langkah kaki yang hati-hati melangkah menyusuri sabana yang diterangi bulan purnama. Ada jiwa yang sama yang mendendangkannya, begitu halus namun terasakan, seperti jarum yang begitu halus pelan menghujam. 


Mbay, 11 November 2011 (saat orang-orang demen pada nikah dan orok-orok pada dipaksa lahir lewat caesar, sungguh kasihan)
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 28 Oktober 2014

Logo Pemda NTT (1)

Agak keluar dari jalur, kali ini aku bukan mau menulis tentang foto atau perjalanan tapi mau sharing hasil iseng otak atik photoshop buat logo-logo pemda, udah jadi empat tapi yang satu masih belum puas karena masih ada gambar yang belum pas.
Ini gegaranya sih karena waktu cari2 di internet logo/lambang pemda di NTT gak dapet yang ukuran bagus jadi akhirnya iseng bikin sendiri. Format logo ini png, mungkin beberapa ukurannya besar jadi mungkin bikin lemot. Kenapa aku tampilkan di sini, karena kalo lewat pesbuk lagi-lagi harus puas dikonversi ke JPG dalam ukuran maksimal 900px, kalo gambar ini tidak akan pecah walau untuk foto baliho.
Logo ini asli bebas download dan digunakan tanpa harus permisi ke saya, mohon jika ada kesalahan gambar bisa beritahukan ke saya untuk diperbaiki.


Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 03 Februari 2013

Bajawa Lagi: Air Panas dan Foto Makro

Air terjun yang panas bercampur dengan air dingin: Pemandian Air Panas Mengeruda, SoA
Nyaris tiap hari mendung menutupi langit saat sore mulai menjelang, kadang pula pagi pun langit sudah dipenuhi mendung. Bajawa yang berada di ketinggian di atas 1.100 dpl memang bulan-bulan seperti ini harus rela menikmati mendung atau kabut seharian. Untungnya cuaca begini justru Bajawa tidak terlalu dingin. Aku yang tidak mempersiapkan untuk penugasan di tempat yang terkenal dingin tidak terlalu risau jika keluar dari hotel hanya memakai rompi saja. 
Sore yang sering berkabut dan hujan
Coba saja kalau kondisi begini terjadi di bulan Mei sampai dengan Agustus, mungkin aku tidak akan berani keluar dengan baju seperti itu. Meski hawa lebih hangat, tetap saja air yang mengalir dari kran kamar mandi serasa air es yang dicairkan. Jadi tetap saja pagi-pagi aku, Angga dan Putra teriak-teriak cari om Sipri yang menjaga hotel Kembang untuk minta disiapkan air panas. Wal hasil, mandi pagi dengan air panas menjadi rutinitas tiap hari, tapi cukuplah mandi sekali sehari. Malas juga kalau harus minta dibuatkan air panas sore hari.
Menu kopi pagi dan sore hari juga menjadi kebiasaan tersendiri jika di Bajawa. Memang aku sendiri tidak minum kopi tiap hari, namun aku mengambil setengah cangkir kopi pagi kadang-kadang. Aroma kopi yang sedap membuatku membiarkan aku keluar dari kebiasaanku, toh tidak setiap hari kulakukan. Jangan tanya Angga, bahkan dia bisa membawa satu termos kopi untuk diminum semalaman. Tak heran jika dia sering tidur di atas jam dua belas malam. 


Berita buruknya aku menjadi tak bisa keluar hotel untuk sekedar jalan-jalan, padahal aku berniat untuk kembali memotret sungai Waewoki yang aliran air sungainya mengelilingi sebagian kota Bajawa. Angga sendiri berminat untuk bisa mengunjungi kampung Bena. Aku juga mau kembali melihat air terjun Ogi. Putra tidak ada rencana karena memang dia baru sekali ini penugasan kesini sehingga tidak punya gambaran mau kemana. 
Setiap pagi, untuk memanaskan kameraku aku akhirnya lebih sering memotret di sekeliling hotel. Kebetulan bagian belakang hotel banyak dipenuhi tumbuhan merambat yaitu tanaman labu jepang dan ubi rambat, sehingga banyak sekali serangga seperti kutu, kepik, tawon juga bekicot namun yang berukuran kecil.
Yah, kegiatan kecil ini cukup menghiburku saat menunggu kendaraan yang menjemput kami datang. Kadang kalau sedang keasyikan berburu binatang-binatang kecil ini aku sampai harus diingatkan Angga bahwa kendaraan sudah menunggu.
Sampai akhir penugasan aku dan teman-teman tidak juga mendapatkan kesempatan. Akhirnya kami mencoba berspekulasi untuk mencoba mampir ke air panas Mengeruda di Soa yang berada satu arah dengan bandara. Kebetulan pesawat dari Bandara Soa ke Kupang berangkat jam 10.20 WITA, sehingga jika kami berangkat pagi-pagi kami dapat ke sumber air panas itu setengah atau satu jam cukuplah.
Hari Sabtu pagi cuaca cerah, kami sendiri sudah selesai berkemas-kemas. Namun celakanya acara makan soto pagi ini justru yang batal karena soto telah habis padahal itulah hal pertama yang harus kami lakukan jika hendak berendam di air panas. Dulu waktu pertama kali kesini, ada kejadian buruk menimpa teman kami. Selesai berendam dia pusing dan lemas sekali karena sebelumnya tidak makan. Mungkin karena sudah terlalu lemas sekembalinya ke hotel dia sempet sakit sampai muntah-muntah. Untunglah pagi ini ada tukang bubur lewat, semangkuk bubur kacang hijau campur ketam hitam langsung mengisi lambung kami.

Air Panas Mengeruda, SoA
Jam setengah delapan, aku berempat dengan Angga, Putra dan pak Joko mulai keluar hotel. Setelah kenyang dengan bubur dan roti tentunya. Dul sendiri yang menyetir kendaraan Innova, sehingga kendaraan bisa diambil dengan memotong jalan. Aku kurang tahu persis dari titik mana dia memotong jalan tapi lumayan juga waktu yang dihemat. Jam delapan lewat sepuluh menit kemudia kami telah sampai di pelataran parkir.
Sungai pertemuan air panas dan dingin
Hal pertama yang tampak adalah tempat ini sangat sepi bahkan penjaga pintu masuk dan petugas penjual tiket tidak ada sama sekali. Deretan tempat berjualan juga belum berisi satu penjual pun, padahal sudah jam delapan. Di depan pintu masuk dengan jelas terpampang jam buka lokasi jam 07.00 - 19.00. Kalau boleh dibilang ada penjaga, maka itu seekor anjing hitam yang sedang nyenyak tertidur di depan pintu gerbang sebelah kanan.
Untungnya pintu gerbang sebelah kiri masuk. Daripada menunggu penjaga gerbang, kami memutuskan masuk lewat gerbang kiri dengan pertimbangan nanti uang masuk bisa dibayar saat kami kembali.
Terlihat sudah ada beberapa bangunan baru yang berdiri dibanding beberapa waktu dulu aku kesini pertama. Namun sayangnya, justru beberapa bangunan lama banyak yang rusak. Rupanya masalah pemeliharaan memang menjadi momok bagi pemerintah daerah. Kegiatan pemeliharaan yang seharusnya lebih diutamakan sepertinya malah justru yang seringkali mendapat perhatian terakhir.
Kami berlimalah rombongan pertama dan sepertinya satu-satunya. Menurut pak Dul, memang pemandian air panas Soa ini hanya ramai di hari libur itu pun tidak pagi-pagi tapi siang dan sore harinya.
Pemandian Soa bagian tengah yang paling panas
Angga langsung memilih masuk ke kolam di tengah, sebuah cekungan yang berbentuk lingkaran yang sudah disemen di sekelilingnya, bagian tepat dimana sumber air panas itu muncul. Perjalanan sebelumnya aku menghindari bagian kolam yang di tengah ini karena menurutku memang panas sekali. Karena Angga sudah masuk terlebih dahulu akhirnya aku ikut masuk juga yang disusul pak Joko, sedangkan Putra memilih tidak mandi dan hanya mencelupkan kakinya saja. Air di sini awalnya terasa panas sekali dan bau belerang juga tercium walau tidak terlalu kuat, tapi setelah masuk ke dalamnya beberapa saat akhirnya tubuhku bisa menyesuaikan diri. Hampir lima belas menit kami berendam di sini, lalu kami mencoba pindah ke bawah. Jadi dari cekungan tengah ini, air mengalir ke bawah menuju ke sungai. Nah di bagian turunan bawah sini terjadi pertemuan air panas yang berasal dari cekungan dan air sungai yang dingin. Air panas yang turun terasa kencang sekali menunjukkan kalau saat ini memang debit air panas sedang tinggi. Mungkin itulah suhu bagian tengah tidak sepanas pada saat debit airnya tidak sebesar saat ini.
Aku baru merasakan lemas saat ganti baju, padahal aku hanya berendam tak lebih dari setengah jam. Untung saat di luar, aku melihat ada warung kecil yang sudah buka. Jam sembilan kami mulai meluncur untuk check-in di bandara. Sambil menunggu check-ini aku, pak Joko dan Dul mencari makan di sekitar bandara. Semangkuk soto Lamongan membuat tenagaku terasa kembali, padahal dari tadi aku merasa lemas terus walau sudah minum di warung di depan pemandian.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 22 Januari 2013

"Mbela" Jiwa Sang Ksatria Nagekeo

Hamparan tropis yang membentang dari sabang sampai merauke adalah mutiara yang terkandung dalam ibu pertiwi. Mutiara inilah yang selalu di junjung dan senantiasa dilestarikan setiap generasi. Disinilah, keragaman budaya masing-masing daerah kerap menjadi malaikat pelindung mutiara alam raya nusantara. 

Seperti halnya suku Mbare di Kabupaten Nagekeo, Flores, Nusa Tenggara Timur. Bagi masyarakat suku Mbare, tanah, air dan seluruh kandungan yang terdapat didalamnya adalah warisan leluhur yang pantang untuk ditentang. Sehingga, segala sesuatu yang berhubungan dengan alam selalu disertai dengan ritual adat. Jadwal prosesi adat saban tahun harus dipatuhi, sebab itu menjadi acuan untuk bercocok tanam, melaut termasuk pula berburu. Lewat prosesi pula, etnis Mbare lebih waspada menghadapi bencana atau malapetaka. Jika mengingkari aturan adat, mereka yakin musibah bakal melanda. Setidaknya, hal itulah yang diwariskan nenek moyang mereka sejak ratusan tahun silam.

 Salah satu tradisi suku Mbare yang tak lekang ditelan waktu adalah Mbela, sebuah prosesi tinju adat sebagai luapan rasa syukur atas hasil panen mereka. Pergelaran Mbela adalah puncak dari segala bentuk ritual adat yang dilangsungkan dalam setahun. Jika dikaitkan dengan kelender adat, Mbela biasanya dilaksanakan pada musim kemarau sesudah panen. Tradisi Mbela disertai juga dengan prosesi lain yang dapat menentukan jadwal tanam, melaut sampai berburu. Disinilah, tetua adat melihat pertanda akan baik buruknya kondisi alam maupun keberlangsungan hidup dalam suku dikemudian hari. Setidaknya, ini adalah rambu bagi warga Mbare untuk lebih waspada dengan alam maupun sesamanya.

Menjelang prosesi Mbela, masyarakat suku Mbare harus meninggalkan seluruh akifitasnya. Irama gong yang dipukul bertalu-talu memecah kesunyian malam, berkumandang mengajak seluruh warga suku berkumpul dalam kampung adat.
Mbela, bukanlah perkelahian jalanan. Ini adalah tinju murni warisan leluhur, yang dilakukan sejumlah suku di Nagekeo secara bergiliran sesuai peredaran bulan. Walaupun beberapa suku dikawasan kecamatan Boawae kabupaten Nagekeo menyebut tinju adat ini dengan Etu, seluruh prosesnya tidak jauh berbeda.
Pada setiap ajang pertarungan, lelaki Mbare yang ditunjuk harus siap melaksanakan perintah untuk memasuki arena. Mereka tak boleh mengelak, apalagi sampai menolak. Demi harga diri sebagai seorang ksatria, sang lelaki tak boleh gentar. Mereka harus menjadi lelaki sejati meski wajah babak belur.

Lelaki yang lahir dalam suku Mbare, tak akan bisa menolak takdir sebagai petarung. Dari belia, ritual Mbela sudah begitu akrab dengan mereka. Tak heran, ksatria cilik turut hadir menguji ketangkasan dalam pentas adu fisik ini. Inilah sebuah nilai kepercayaan suku Mbare yang ditanam kepada warganya semenjak belia. Tak ada urusan dengan rasa takut, para lelaki dan bocah Mbare paham betul menghormati tradisi tanpa melahirkan amarah dan dendam berlarut-larut.
Dalam Mbela, sang petarung menggunakan gwolet, sebagai alat meninju lawan yang terbuat dari lilitan nilon jala ikan dan didalamnya berisi tulang batang daun lontar. Ujung gwolet dilengkapi pula dengan butiran pasir yang direkatkan dengan getah pohon ara. Sudah tentu yang terkena pukulan gwolet, pasti bakal nyeri. Tapi mereka percaya, rasa sakit ataupun darah yang mengucur demi adat adalah penghormatan pada warisan leluhur.
Aksi petarung membakar emosi penonton diluar arena
Arena Mbela. Disinilah aksi sang ksatria lelaki Mbare mempertahankan warisan leluhur
 Penulis: Yanto Mana Tappi
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 29 Desember 2011

Ritual Adu Fisik Ala Nagekeo

Pertarungan fisik selalu selalu diidentikan dengan simbol keperkasaan seseorang. Mungkin jika ada yang kalah , lantas berdarah-darah, semua orang mencemoohkannya. Atau jika sang pemenang mengangkat kedua tangan sebagai tanda kemenangan, sontak yang menonton langsung bertepuk tangan, semuanya larut dalam suasana saling cibir, atau saling mengangungkan sang jagoan. Cerita selanjutnya bisa jadi yang kalah akan menyimpan dendam yang teramat sangat, atau sebaliknya malah penonton yang saling bertarung.
Namun,cerita seperti itu tidak akan terjadi jika sang jagoan berlaga dalam arena “Etu”, tinju adat di masyarakat Nagekeo, sebuah kabupaten baru mekaran dari kabupaten Ngada pada tahun 2006 silam. Bagi masyarakat suku Nagekeo yang berada tepat ditengah pulau Flores - Nusa Tenggara Timur ini, etu  adalah simbol keakrabaan dan persaudaraan.
Etu  adalah kesenian tradisional yang memperagakan adu ketangkasan antara para pria dewasa diwilayah persekutuan adat Nagekeo dan sekitarnya. Permainan adu ketangkasan ini selain merupakan arena pentas kesenian tetapi juga merupakan ritual adat untuk melengkapi siklus kehidupan masyarakat adat Nagekeo.
Menurut salah satu pemuka adat Nagekeo dikampung Boawae, Cyrilus Bau Engo, etu telah dipentaskan sejak puluhan tahun silam secara turun temurun. Namun, tidak ada satu sumber pun yang menyebutkan secara pasti sejak kapan etu mulai dipentaskan. Diperkirakan, kegiatan ini mulai dipentaskan sejak masyarakat persekutuan adat tidak lagi terlibat dalam perang antar suku (papa wika). Ada versi yang menerangkan bahwa kegiatan ini dibuat sebagai salah satu persembahan darah kepada bumi (ibu pertiwi), sehingga bukan hal yang baru jika ada petinju yang keluar dari arena dengan wajah lebam bardarah-darah. Diyakini oleh mereka, luka yang diderita akan segera sembuh jika di sentuh oleh tabib kampung.
Jika dikaitkan dengan kelender adat, etu biasa dipentaskan pada musim kemarau, atau pada masa senggang sesudah panen. Selama masa itu, etu dipentaskan pada beberapa kampung adat yang memiliki adat tinju yang dipegang salah satu suku yang mendiami kampung tersebut dan biasa disebut “moi buku ‘etu” (pemegang adat tinju). Giliran antar kampung ditentukan waktunya sesui perhitungan yang mendasarkan pada peredaran bulan sehingga etu selalu dipentaskan pada saat bulan purnama.
Para petarung akan memasuki sebuah arena ditengah kampung yang disebut “kisa nata”. Arena ini dibatasi oleh pagar dari tonggak kayu yang dirangkaikan dengan tali sehingga menjadi semacam ring tinju berlantai tanah yang dalam bahasa adat disebut “mada”  Mada membujur sesuai dengan tata letak kampung adat. Penonton yang menyaksikan etu berdiri diluar mada. Jangan berharap perempuan ada didalam mada, karena sudah tentu itu adalah hal yang “pamali” bagi sang petinju.
Jelang beberapa hari pada saat bulan terang sebelum tinju, digelarkan kegiatan pemanasan dan ajang latihan bagi petinju – petinju pemula, sekaligus pengumuman bahwa di kampung tersebut akan digelarkan etu. Selanjutnya, malam menjelang etu dipentaskan, seluruh masyrakat adat menggelar tarian dan nyanyian.  Rangkaian kegiatan ini adalah ungkapan yang menggambarkan tentang budidaya tanam padi sejak kerinduan menantikan kedatangan hujan sampai saat panen.  Menariknya, dalam tradisi ini , kaum muda mudi dapat menjadikannya sebagi ajang perkenalan. Sang pemuda akan melempar pantunnya, yang kemudian akan dibalas oleh sang pemudi. Sepanjang malam, kaum tua dan muda akan larut dalam tarian dan nyanyian.
Pagi – pagi sekali, pemegang adat tinju dan seluruh anggota suku yang laki – laki pergi ke “loka lanu” yaitu tempat berkumpul untuk menyampaikan persembahan kepada Tuhan dan para leluhur sambil memohon keselamatan bagi para petinju, sehingga para petinju yang terluka cepat sembuh dan dalam kenyataannya, luka karena bertinju adat, paling lama tiga hari sudah sembuh. Sesudah upacara persembahan dan doa di loka lanu mereka akan menuju kampung sambil menyanyi dan menari. Sampai dikampung akan melakukan semacam seremoni pembukaan dengan pura – pura bertinju dengan seseorang sebagai tanda bahwa acara tinju dapat dimulai.
Para penonton mulai berdatangan. Tidak sampai satu jam, arena etu sudah dipadati para penonton dari berbagai penjuru kampung. Ada juga yang datang dari luar kampung. Kebanyakan dari mereka memakai sarung adat, sedangkan kaum lelaki mengenakan ikat kepala. Disini, penonton tidak perlu ragu kemana harus mencari pengganjal perut jika lapar. Hidangan cuma-cuma akan diberkan kepada siapapun yang datang. Masayrakat adat di sekitar kampung akan menjemput dan mengajak kita menikmati makanan yang telah disiapkan disetiap rumah.
Kedua petinju pun mulai diperhadapkan oleh “Moi Seka”. Orang inilah yang akan bertindak sebagai wasit, sekaligus juri. Tidak seperti petinju yang kebanyakan kita tonton, disini para petinju akan dipasang kain pengalas dada, ikat pinggang dari kain, dan ikat kepala. Yang terakhir adalah alat meninju lawan atau dalam bahasa setempat disebut “Keppo”. Tidak seperti sarung tinju para profesional, alat gebuk ini berupa tali ijuk yang dipilin kecil-kecil, selanjutnya digumpal kira-kira pas dalam genggaman. Permukaan keppo kasar, siapapun yang terkena pukulan benda ini pasti akan berdarah.
Penonton semakin tidak sabar menjejal di sekitar arena. Dari ujung arena, sang petinju mulai kelihatan. Petinju ini akan dikawal oleh seorang “Moi sike”. Dia  berfungsi menjaga agar petinju tidak jatuh dan kadang kala bisa membantu menangkis pukulan yang diarahkan ke arah perut petinju. Orang ini harus lincah mengikuti gerak gerik petinju ketika menyerang maupun menghindari pukulan lawan. Moi sike harus maju dan mundur seirama dengan petinju.
Kedua petinju mulai merengsek maju ketika wasit menepuk tangan. Satu dua pukulan mulai dilontarkan, jauh dari kesan seorang petinju profesional. Moi sike terlihat kerepotan menarik kain pinggang masing-masing petinju ketika mereka mulai terbakar emosi. Sebuah pukulan telak berhasil didaratkan salah satu petinju di wajah lawan. Wasit langsung memisahkan keduanya. Petinju yang berhasil mendaratkan bogem mentahnya terlihat bangga, sambil melompat-lompat kegirangan, sesekali menepuk dada. Pihak lawan tak puas. Pertarungan kembali dilajutkan. Jual beli pukulan terjadi. Pelukan, saling tarik, menambah panas suasana. Teriakan penonton semakin membakar emosi sang petarung. Wasit pun tidak mau ambil resiko, pertandingan pun diakhiri. 

Seorang petinju dinyatakan sebagai pemenang. Kedua petinju di giring oleh sang wasit. Disini jelas kelihatan semuanya akan berakhir dengan perdamaian. Kedua petinju saling berpelukan. Luka dan darah di wajah ternyata bukan pemicu dendam di luar pertandingan. Sorak penonton mengiring sang jagoan keluar dari arena.”Kami bertinju untuk berdamai”, ujar sang petinju sambil melambaikan tangannya kepada penonton.
Pertarungan berikutnya mulai dipersiapkan. “Mosa laki” mulai melirik para pemuda di masing-masing kubu petinju.. Mereka ini ibarat “promotor” yang mencari para petinju yang ingin mengadu ketangkasan sebagai petinju adat di tengah arena. Biasanya ada jago tinju dari masing-masing kampung. Kejelian para mosalaki lah yang mempertemukan mereka di tengah arena. Caranya macam- macam, mulai dengan membujuk secara baik-baik, memanas-manasi bahkan kadang-kadang dipaksa dan diseret  ke “ring”.
Pada saat mosa laki sedang mencari petinju dan para pembantu menyiapkan petinju untuk tampil di arena, masyarakat dihibur dengan kesenian “melo ‘etu”. Ini adalah kesenian rakyat yang terdiri dari tarian dan nyanyian diiringi tetabuhan dari sebatang bambu yang diletakan didepan sekelompok penyanyi lagu adat sambil memukul – mukulnya dengan batang kayu. Mereka akan bernyanyi bersahut – sahutan dengan seorang penari yang berfungsi sebagai solois dan dirigen . Syair lagu berisikan kata – kata pujian dan nasihat bagi para petinju. Pada saat petinju sedang bertinju, rombongan melo etu  beristirahat. 
Kegiatan tinju dan melo etu akan terus digelarkan secara bergantian sampai tidak ada lagi petinju yang mau bertinju. Hari menjelang senja, sesepuh adat menyiramkan satu tempurung air ke tengah-tengah arena sebagai tanda orang harus bubar dan kembali ke kampung masing-masing untuk nonton lagi ke kampung-kampung lain yang ada adat tinju sesuai giliran waktu yang sudah ditentukan sesuai peredaan bulan.


Selamat Menyaksikan!


Terimakasih buat warga kampung Boawae dan Bapak Cyrilus Bau Engo atas semua informasi dan penjelasannya mengenai "ETU".


Seluruh isi tulisan dan photo telah mendapatkan persetujuan dari pihak penyelenggara ETU untuk di publikasikan. Foto-foto diambil oleh Yanto Mana Tappi pada bulan Oktober 2011 saat ETU dikampung Boawae-Kabupaten Nagekeo-Nusa Tenggara Timur 
Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 28 Desember 2011

"Sorongi'is" Ritual Pendewasaan Perempuan Suku Nagekeo




Menjadi seseorang yang dikatakan dewasa memang diperlukan sebuah proses yang panjang, entah itu dimulai dari proses meningkatnya usia sampai sikap dan cara berpikir. Sama halnya di Kabupaten Nagekeo, kedewasaan seorang perempuan harus melalui sebuah proses adat. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat suku Dhawe di Kabupaten Nagekeo. Proses pendewasaan seorang perempuan harus melalui sebuah ritual potong gigi, yang dalam bahasa setempat ritual adat ini disebut  “Sorongi’is”. Uniknya, ritual ini biasa dilakukan pada rentang usia pra remaja atau remaja, tergantung pada kemampuan orang tua anak. Ritual ini sebagai salah satu pelengkap dalam proses menuju jenjang pernikahan.

Dua orang anak perempuan berbusana adat nampak tengah berbaring di apit oleh sang nenek. Tidak lama kemudian, seorang bapak yang ditunjuk sebagai petugas potong gigi mendekat dan memegang rahang sang anak sambil memintanya untuk membuka mulut. Sebuah batu asah kecil langsung ditancapkan ke gigi sang anak. Kontan saja wajah sang anak meringis dan mengeluarkan rintihan menahan ngilu ketika batu asah tersebut di gosok berulang-ulang kali.

Setelah dirasa permukaan gigi telah rata, sang anak kemudian diserahkan ke salah satu ibu untuk diobati. Disini pengobatan hanya mengandalkan ramuan ala kampung berupa buah pinang yang masih mentah. Sang anak diharuskan mengunyah buah pinang tersebut beberapa kali sekedar menghilangkan rasa ngilu.

Inilah puncak dari semua rangkaian pendewasaan perempuan di suku Dhawe Kabupaten Nagekeo. Ritual Sorongi’is mengandung makna bahwa anak tersebut telah dewasa dalam hukum adat. Seperti yang di tuturkan Donatus Dua, salah satu tetua adat suku Dhawe, suatu saat jika sampai pada usia siap pinang, hukum adat sudah  merestui jika ada lelaki yang datang meminang,
Sebelum menuju ritual Sorongi’is, pihak keluarga harus menjalani beberapa rangkaian acara adat. Malam sebelumnya, pihak keluarga maupun undangan akan melaksanakan tandak. Mereka mulai menari,  bernyanyi dan berpantun mengelilingi api unggun sambil berpegang tangan.

Syair-syair dalam irama tandak mengisahkan tentang arwah nenek moyang dan sejumlah ajaran-ajaran adat dalam kehidupan. Sesekali di selingi dengan pantun yang diucapkan secara berbalasan dari kaum perempuan dan laki-laki. Isi pantun kadang bernada humor, yang mengundang gelak tawa dari para penonton. Untuk menambah semangat, seorang petugas akan terus menghidangkan sirih pinang dan moke, minuman khas Nagekeo kepada para peserta tandak. Dalam bahasa setempat, acara tandak ini disebut “Wai Sekutu”.

Tidak lama kemudian, anak yang akan potong gigi diboyong oleh orang tuanya untuk disertakan dalam tandak. Disini sang anak harus menggunakan busana adat dan menutup mulutnya dengan selempang. Selama mengikuti proses ini, anak tersebut senantiasa mendapatkan pengawasan dari pihak keluarga untuk tidak berkomunikasi secara langsung dengan siapa saja. Dalam acara tandak, sang anak hanya diberikan kesempatan lima kali berputar mengelilingi api unggun bersama peserta tandak yang lain. Kemudian kembali diboyong ke kamar untuk beristirahat. Acara tandak berlangsung non stop semalam suntuk. Seiring mentari terbit,  acara tandak pun bubar. 

Sebelum menuju acara potong gigi, pihak keluarga harus melaksanakan sebuah ritual lagi yaitu, mengantar sesajian kepada leluhur. Sesajian biasanya terdiri dari nasi, daging, sirih pinang dan moke. Sesajian ini sebagai bentuk ucapan syukur kepada leluhur sekaligus memohon berkat untuk penyelenggaraan acara.

Ketika tiba sampai puncak acara, sang anak dituntun keluar rumah oleh orang tuanya. Proses potong gigi harus dilaksanakan dirumah tetangga yang masih memiliki hubungan keluarga. Namun, sebelum rombongan menuju rumah tetangga, terlebih dahulu anak diberkati dengan sapaan adat oleh salah satu tetua adat. Sapaan adat diikuti dengan percikan beras sebanyak lima kali ke arah anak. Ritual pemberkataan ini di sebut “Resa Kuras”. Setelah itu, sang anak akan diayun oleh ayahnya sebanyak lima kali di atas seekor babi yang diletakan di depan rumah. Pada hitungan yang kelima,  anak tersebut diayun melewati babi dan siap berjalan menuju rumah tetangga tempat dilaksanakannya ritual potong gigi. Di rumah tersebut sudah menanti petugas potong gigi yang telah siap dengan sebuah batu asah kecil. Petugas ini harus berasal dari anggota keluarga.
 Salah satu petugas pencatat bingkisan dari sanak keluarga

Seluruh rangkaian acara ini boleh dibilang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Biasanya jauh-jauh hari pihak keluarga sudah menyiapkan segala kebutuhan acara, mulai dari hewan sapi, kerbau, babi dan kambing yang siap di korbankan untuk makan bersama. Bagi orang tua anak, persiapan acara ini mungkin bisa tertolong dengan bingkisan-bingkisan yang dibawa oleh para undangan. Namun, pihak orang tua pun harus memikirkan untuk bagaimana membalas kembali bingkisan-bingkisan tersebut. Karena sudah menjadi tradisi,  pihak keluarga selaku undangan yang membawa bingkisan berupa tikar, bantal ataupun beras akan menerima balasan berupa kambing ataupun babi. Sebaliknya, yang membawa bingkisan babi ataupun kambing akan menerima balasan tikar ataupun beras.

Bagaimanapun, dibalik semua proses Sorongi’is ini, terselip perasaan lega dan bangga. Setidaknya, tanggung jawab orangtua dalam hukum adat telah dilaksanakan,  walaupun secara ekonomis  biaya yang dikeluarkan cukup besar.

 Bermain kartu adalah salah satu menjalin keakraban.

Terimaksih buat warga suku Dhawe,dan khususnya keluarga besar Bapak Vinsen Dhoma yang telah berkenan mengijinkan saya untuk meliput secara langsung ritual Sorongi’is kedua puterinya.

Semua tulisan dan foto hasil liputan Yanto Mana Tappi,dan telah mendapat persetujuan dari pihak suku Dhawe untuk diterbitkan,
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 06 Desember 2011

Tapaleuk Nagekeo (Bagian II)

Tapaleuk Pantai Pipitolo
Jam dua lewat tiga puluh menit, aku bertiga dengan Kadek dan Eddy sudah siap di hotel, rencana perjalanan kita majukan supaya kita punya waktu lebih untuk mengeksplorasi daerah tujuan. Argumentasi yang masuk akal dari Eddy, sehingga begitu persiapan semua peralatan selesai kita langsung meluncur menjemput Didi. Pey yang biasanya menyetir mobil kali ini tidak ikut, sebagai gantinya untuk perjalanan berangkat Kadek lah yang menjadi driver. Kemarin Pey memang tampaknya lelah setelah pergi ke Mauponggo sehingga aku memutuskan menggunakan mobilnya saja. Dan ini adalah pengalaman pertama Kadek mengendarai ‘Ford Ranger’ menjelajahi medan Mbay-Nangaroro, jadi acara berdoa masing-masing dimulai sebelum perjalanan dilakukan hahahaha. 


Hari Minggu memang kadang agak menyusahkan, apalagi kalau bukan masalah perbekalan karena seluruh toko tutup hari Minggu seperti ini. Setelah mengisi perut terlebih dahulu dan mengisi solar di pom bensin, kendaraan ‘Ford Ranger’ kami langsung melesat membelah jalur lurus kota menuju ke arah jalur Mbay-Ende. Masalah kendaraan juga hampir kita salah isi, di depan pom bensin kita nyaris mau mengisi kendaraan dengan bensin, untung waktu telepon Pey diangkat jadi kita tahu kalau kendaraan ini berbahan bakar solar. Coba kalau sampai salah seperti kejadian dulu, alamat bakal hancur nih mobil hehehehe. 
Cuaca sepanjang jalan cerah walaupun di daerah Aigela mendung dan kita melihat bukit-bukit sedang diguyur hujan yang lebat namun untungnya jalan sendiri tidak ada hujan. Kita sempat juga menaikkan empat anak kecil dan seorang ibu yang sedang jalan kaki menuju ke perkampungan sebelah. Mereka naik di bagian belakang yang berupa bak terbuka, Eddy beberapa kali harus mengingatkan anak-anak itu supaya tidak duduk di pinggir atau berdiri di atap karena memang anak-anak suka dengan sensasi yang kadang kurang disadari bahayanya. 
Beberapa menit setelah melewati pertigaan Nangaroro, kendaraan kita berbelok ke kanan di pertigaan sebelum Puskesmas Nangaroro sampai menuju pinggir pantai, setelah menelusuri pantai beberapa meter Kadek menghentikan kendaraan di depan sebuah sekolah SD. 
Turun ke pantai kita disambut hamparan batu putih sebesar buah kelapa memenuhi sepanjang alur pantai yang sebenarnya berpasir hitam ini. Vegetasi pohon Waru, Pandan Hutan, Kelapa dan Cemara paling banyak ditemui di sekitar area pantai ini. Ombak pantai keras menampar bebatuan sebelum tertarik kembali ke laut, saat ini memang bulang baru separuh yang artinya sore hari justru sendang puncaknya pasang. Menurut orang yang nanti aku temui, pantai ini dinamakan Pantai Pipitolo. 
Sebenarnya, beberapa tahun lalu sebelum tahun 2000 Eddy sendiri pernah sampai ke sini dan pantai Pipitolo ini tidak ada bebatuan ini hanya sebuah hamparan pantai berpasir hitam. Mereka menyebut batu-batu putih yang kini memenuhi hamparan pantai muncul dengan sendirinya belakangan ini, fenomena ini belum ada penjelasannya sedangkan masyarakat sendiri lebih mudah menghubungkan kejadian seperti ini dengan hal-hal yang mistis. Kondisi beberapa tempat yang berupa bukit-bukit terjal memang memungkinkan batu-batu gunung runtuh ke laut dan berproses kembali sehingga menghasilkan batu-batu bulat berwarna putih ini. 
Sayangnya dari sini, matahari senja tenggelam di bagian lain pulau Flores yang menjorok ke laut sehingga kami tidak bisa benar-benar melihat matahari terbenam walau sebenarnya posisi saat bulan begini saat memudahkan daerah berpantai di sisi selatan melihat matahari terbit dan terbenam di cakrawala tanpa terhalangi seperti halnya di pantai Mbuu. 
Kami terus menelusuri pantai ke arah Timur karena di dekat sekolahan dan puskesmas banyak ditemui beberapa sampah berserakan walau tidak seberapa. Di daerah yang langsung berhadapan dengan perbukitan terjal barulah kami menemukan hamparan batuan yang masih bersih, sepertinya masih jarang orang yang sampai ke tempat ini. 
Acara hunting foto ini sedikit menimbulkan insiden. Insiden pertama menimpa Kadek. Awalnya aku yang pertama yang naik ke atas batu bertanah yang berbentuk kerucut tumpul terbalik untuk mendapatkan spot aliran air yang tertarik kembali ke laut setelah terhempas di bebatuan. Tak lama kemudian Didi menyusul di sambung Kadek. Aku terus menjepretkan kamera untuk mendapatkan gambar aliran yang bagus, kuhitung setidaknya ada lima belas foto di titik yang sama. Didi turun terlebih dahulu menyusul Eddy yang terus menyusuri pantai ke Timur. Aku turun terlebih dahulu sementara Kadek masih di atas batu, saat loncat itulah terjadi insiden. Entah pecahan kaca dari mana, saat turun tiba-tiba tangan Kadek menyentuh pecahan kaca, karena dalam posisi meloncat tentu saja tangannya menekan lebih kuat. Tak ayal, pecahan kaca itu mengiris kulit telapak tangan sampai ke daging. Karuan saja, darah segar langsung mengucur dari lukanya. Tapi dasar anak geblek, dia cuma cengar-cengir meringis sambil mengisap darahnya, takut rugi darahnya habis rupanya. 
Insiden kedua, saat aku hendak menyusul Eddy dan Didi ketemu Charles yang ternyata baru berenang. Ternyata waktu dia berenang, kunci motor ada di sakunya. Wal hasil, setelah berenang dia harus rela kehilangan kunci motor. 
Setelah beberapa lama berjalan tidak menemui jejak kedua mahluk itu, aku berhenti saja di bawah cemara yang tumbuh menjorok ke laut tempat Eddy pertama mengambil spot. Langit selatan tampak mendung pekat, kilatan-kilatan petir bersahutan menandakan hujan badai sedang terjadi di tengah laut. Akhirnya aku melihat Didi dan Eddy kembali, akhirnya kita kembali ke tempat semula. Dari Eddy baru aku tahu, kalau dia juga baru mengalami luka akibat mata kakinya terperosok ke batu. 
Memang kalau berjalan di sini harus ekstra hati-hati. Batu-batu bulat putih memang menarik untuk digunakan berjalan tapi sekaligus mudah bergerak sehingga rawan tergelincir. Aku sendiri beberapa kali nyaris tergelincir sehingga memilih menginjak batu-batu yang bentuknya agak ceper. 
Selesai berbenah aku ganti kebingungan karena tidak menemukan Didi, sepertinya Didi berjalan saat aku dan Eddy sedang mencoba peruntungan memotret kilatan-kilatan petir walau berakhir nihil. Setelah beberapa kali dikontak akhirnya Didi menjawab telpon dan meminta kita menjemputnya di puskesmas, rupanya Didi sedang mencari obat dan plester di puskesmas untuk Kadek. 
Karena tangan Kadek sedang terluka mau tidak mau aku yang harus ganti memegang setir. Sesampainya di depan puskesmas aku melihat Charles dan seorang montir sedang mencoba membongkar motor miliknya yang sudah hilang kunci. Karena hari Minggu agak lama juga menunggu perawat, aku menawarkan Kadek membungkus lukanya dengan daun Waru untuk menghentikan darahnya tapi rupanya dia memilih menunggu perawat. 
Aku dan Eddy sempat berbincang dengan ibu-ibu yang sedang rawat inap. Darinya aku mendapatkan cerita tentang pantai Pipitolo ini termasuk sebuah pantai yang katanya lebih bagus dari pada pantai Pipitolo. Katanya untuk ke sana dari pertigaan setelah jembatan Nangaroro masuk ke kiri menuju ke pantai sekitar tujuh kilometer ke arah Selatan. Dari pantai sana, kita bisa bebas melihat matahari tenggelam di cakrawala barat. 
Jam tujuh lewat tiga puluh menit, kami mulai berangkat kembali ke Mbay. Perjalanan pulang kami harus menambah seorang penumpang, teman Charles yang ikut menumpang ke Mbay. Perjalanan lebih santai karena dari awal aku bilang kalau aku menyetir cenderung santai tidak terburu-buru. Kebetulan pula beberapa ruas jalan sedang ada pekerjaan besar pemangkasan bukit sehingga ruas-ruas jalan menjadi menyempit karena sebagian badan jalan dipenuhi longsoran tanah dan batuan sehingga tentu tidak nyaman kalau memaksa kendaraan berlari. 
Karena perut yang kosong, kami memutuskan untuk berhenti di sebuah warung di Aegela yang merupakan persimpangan antara ke Bajawa dan ke Mbay. Setelah menghentikan kendaraan di depan sebuah terminal, kami berempat memesan mie telur rebus. Hawa agak dingin karena memang pertigaan ini agak di ketinggian. Untunglah penjual warung ini buka sampai jam sembilan malam, karena kalau tidak ada warung ini alamat kita harus menahan lapar satu jam lagi sampai di Mbay. Kami memasuki kota Mbay sekitar jam sepuluh lewat dua puluh menit.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya