Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label megalitikum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label megalitikum. Tampilkan semua postingan

Selasa, 01 Februari 2011

Eksotika Alam Sumba dan Marapu

Pantai Watumandorak, warna torquis (hijau kebiruan) begitu mendominasi warna air laut


Pantai Watumandorak dengan paduan alamnya yang eksotis

Menyebut Sumba seperti menyebut kata kuda itu sendiri. Begitulah kentalnya kuda sebagai bagian dari Sumba, seolah-olah semangat dan kekuatan kuda melahirkan putra-putra Sumba. Sebuah pulau yang keberadaannya berada di dekat perbatasan laut Indonesia-Australia, Sumba begitu identik dengan kuda dimanapun kaki menginjakkan kaki di tanah ini. Benak itu pula yang melingkupi setiap orang yang pertama menginjakkan kaki di Sumba.

Pantai Kita memiliki deretan pasir putih yang panjang

Tapi sesungguhnya Sumba melebihi dari itu, sekali kaki melangkah ke ujung-ujung tanah Sumba maka kita seperti dilemparkan kembali ke masa lalu. Kepercayaan Marapu yang masih kental melingkupi penduduk Sumba yang terutama tinggal di perkampungan seperti mencampakkan modernitas kita di tanah yang masih begitu asli. Ruh-ruh orang mati yang memiliki kemampuan untuk memberkati maupun mengutuk tanah Sumba menciptakan irama kehidupan yang kental bagi penduduk Sumba dalam berbagi keharmonisan dengan alam. Dari penampilan luar, akan terlihat bagaimana rumah-rumah dibangun, upacara-upacara dilakukan dan bentuk kubur batu yang berdiri menandakan bahwa kekuatan masa lalu masih memiliki akar dengan Sumba saat ini. Dan cobalah masuk lebih dalam, maka kekuatan bangunan, filosofi dan struktur hubungan masyarakat Sumba dengan alam begitu mewarnai jalan dan cara mereka beritndak.

Karang di Pantai Pero dan air laut berwarna torquis

Beberapa kali saya berkunjung ke kampung penduduk yang masih memegang kepercayaan Marapu namun mungkin perjalanan mengunjungi salah satu kerabat teman ke kampung Waikahumbu daerah Kodi terasa begitu berbeda karena membawa saya merasakan energi hidup orang Sumba.
Berjarak tempuh sekitar  satu jam ke arah utara dari kota Tambolaka sampai menuju pinggir laut di daerah Kodi Utara. Sebelum ke perkampungan, kendaraan mampir ke pantai Pero. Pantai Selatan daerah Sumba ternyata dipenuhi banyak karang namun juga hamparan pasir putih yang sama banyaknya.  Ombak yang tak terlalu besar memecah sebelum mencapai tepian, beruntung saat ini ombak selatan tidak terlalu besar.  Gugusan karang yang terjal ini menawarkan pemandangan lain, setidaknya anda bisa menikmati sunset berlatar semburan air laut yang masuk ke dalam celah lubang karang dan menyemprot saat menambrak dinding dalam. 
Bukan perjalanan yang pertama aku lakukan namun tetap saja memuntahkan decak setiap saya menginjakkan ujung-ujung tanah ini.  Hamparan pasir-pasir putih seperti melingkupi seluruh pantai Sumba, warna air laut hijau kebiruan bukanlah pemandangan langka. Karena terlalu terik dan mengingat tujuan sebenarnya, maka kami meneruskan perjalanan.

Rumah ada Sumba dan kubur batu tua di Waikahumbu

Menyusuri jalan aspal yang dipenuhi lubang-lubang dan sebagian jalan tanah di sepanjang  jalur pantai, kami melewati beberapa lokasi lapangan luas yang biasanya dipergunakan untuk pagelaran acara Pasola. Acara upacara adat berperang yang tiap tahun diadakan di Kodi sebagai bagian dari acara Pasola tahunan. Pasola adalah upacara untuk mengenang perang yang pernah terjadi antar kampung. Dalam pasola ini akan dapat disaksikan atraksi saling melempar tombak kayu dari atas kuda yang berlari. Tahun 2011 ini rencanya Pasola di daerah Kodi akan dilaksanakan tanggal 24 Februari sampai dengan 27 Februari yang biasanya diakhiri dengan acara Nyale.
Tengah hari kendaraan kami masuk ke kampung halaman teman. Beberapa rumah ada beratap ilalang dengan bentuk khas dan berdinding bambu tampak berdiri mengelilingi beberapa makam berbentuk persegi sedangkan bagian atasnya dipasangi batu persegi.  Satu bentuk penguburan yang berbeda dari orang Sumba adalah posisi orang mati. Jika umumnya orang mati dikubur tidur maka di penduduk Sumba yang masih memegang kepercayaan Marapu maka orang mati dikubur dengan posisi duduk dan kaki dilipat. Dengan bentuk seperti itu, satu kubur batu berbentuk persegi bisa diisi beberapa orang dalam satu keluarga.  Jika dikota kubur batu ini dari bentuk masih mempertahankan bentuk kubur batu persegi namun berasal dari semen maka di kampung masih bisa ditemui kubur-kubur batu yang masih menggunakan batu asli.

Anak-anak yang tinggal di kampung Waikahumbu

Saat mobil kami berhenti di depan salah satu rumah, beberapa anak berlarian mendatangi kami. Rupanya kami dikira penjual kredit yang biasanya mampir menawarkan dagangan. Suasana di rumah itu jadi terasa meriah. Dengan keramahan dan bentuk persahabatan yang tulus, tuan rumah menawarkan sirih pinang sebagai bentuk penerimaan dan perhargaan kunjungan tamu.
Di samping rumah ini terdapat rumah induk tapi secara adat hanya boleh dimasuki oleh keluarga besar adat dan orang dari luar tidak diijinkan sama sekali.
Rumah di Sumba ternyata tidak hanya memiliki atap yang unik tapi juga bentuk arsitektur yang unik dan menarik. Saya bahkan terkesan dengan cara mereka membuat tingkatan kamar-kamar dan ruang bersantai.  Bagian bawah tentu saja bagian yang digunakan untuk memelihara kuda dan babi serta persediaan kayu bakar. Bagian tengah adalah rumah tempat tinggal dengan kamar-kamar bagian pinggir sedangkan bagian tengah adalah dapur. Sedangkan tingkatan atas menjadi tempat menyimpan hasil kebun atau lumbung keluarga.
Disini penduduk sekitar belum menikmati listrik, jika ada rumah yang menikmati listrik biasanya berasal dari panel tenaga surya bantuan. Untuk kebutuhan minum juga biasanya masyarakat membangun sumur.

Pemiliki rumah bersama anak-anaknya

Setelah selepas melepas lelah sekaligus makan siang di sini, kendaraan kami melanjutkan perjalanan setelah singgah sebentar di pantai Waikahumbu. Menuju ke perjalanan ke arah Watumandorak kami menemukan kenyataan menyedihkan. Beberapa rumah adat yang hancur ditinggalkan pemiliknya. Dari informasi ternyata pemiliknya memilih membangun rumah ke kota dan meninggalkan rumah hingga hancur tanpa ada yang menjaga. Godaan modernitas secara pelahan mulai mengikis jiwa dari penduduk Sumba.
Melewati jalan bertanah yang tidak bisa dikatakan rata kami harus beberapa kali memutar balik kemudi karena terlewat. Perjalanan ini menjadi setengah petualangan karena ternyata tidak satu pun dari kami yang tahu persis tempat itu. Namun itu justru membuat perjalanan menjadi tambah menyenangkan. Kadang-kadang kita tidak perlu tahu dan membiarkan pikiran menebak sesuatu untuk membuat pengalaman kita lebih kaya.
Setelah lebih dari satu jam akibat kondisi jalan yang membuat kami menjalankan kendaraan dengna pelan akhirnya kami sampai di pantai Watumandorak. Sebuar pantai yang memiliki ceruk yang terhalang karang. Hamparan pasir putih dibalik ceruk begitu menawan berpadu dengan warna torquis yang begitu kental.

Salah satu rumah yang roboh ditinggal pemiliknya di Kodi

Sungguh kami harus mendecakkan bibir menemukan keindahan pantai ini. Sebuah bangunan khas Sumba berdiri anggun di atas karang di pinggir pantai dengan berpagarkan susunan batu putih. Menurut informasi, bangunan ini dimiliki oleh orang Perancis, bangunan yang sungguh elegan seakan melengkapi eksotika tempat ini.
Saat ini Sumba Barat Daya dalam gerakan membangun, sebagai sebuah daerah pemekaran baru. Napas pembangunan dan modernitas mulai bergulir. Entah apakah napas Marapu dari penduduk Sumba masih bisa dipertahankan terutama dalam filosofinya yang berdampingan dengan alam atau kah yang hadir adalah modernitas yang mengikis kekuatan hidup dan energi Marapu orang Sumba.

Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 13 Juli 2010

Di Ketinggian Kota Bajawa (1)


Sungai Waewoki diambil pada waktu menjelang petang pukul 18.12 dengan bukaan selama 13 detik

 Pesawat mendarat di bandara Turulelo Soa sekitar pukul 8 pagi, cukup cerah untuk dinikmati. Hawa sejuk cenderung dingin langsung menyergap kami, ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut membuat kota ini selalu diselimuti dingin apalagi pada bulan Juni-Juli. Beberapa lelaki hidir mudik di ruangan tunggu kedatangan menawarkan angkutan menuju kota Bajawa. Kebetulan karena kami sedang dalam tugas sehingga sudah ada yang menjemput kami, namun apabila tidak ada yang menjemput dengan biaya sekitar 50ribu-an sebuah mobil berplat hitam dapat mengantarkan anda ke ibukota Kabupaten Ngada ini.

View dari hotel Edelweis lantai 4 pada saat kabut tebal mulai menyelimuti

  Perjalanan menuju Bajawa yang berjarak sekitar 21 km dari bandara ini terasa menyenangkan, melewati perkampungan dan hutan-hutan yang rimbun membuat kendaraan yang melaju di jalan berkelok-kelok tidak terasa.

Kesan pertama begitu kami memasuki jalan masuk ke Bajawa seperti masuk di kawasan perumahan. Bagaimana tidak, kota Bajawa yang terletak di cekungan seperti sebuah piring yang dipagari barisan pegunungan. Akses jalan keluar dan masuk ya jalan ini, persis sebuah perumahan yang tertutup yang gerbang masuk keluarnya tunggal kan?
Perumahan di kota Bajawa sebagian masih bergaya lama, beberapa bangunan mengingatkan bahwa tempat ini pernah menjadi tempat persinggahan orang-orang Purtugis atau Belanda dulu.
 
Bunga-bunga kecil diambil di depan hotel Kembang

 Jam setengah sembilan, mobil carter kami memasuki areal hotel Edelweis. Beruntung saat itu tidak ada kendaraan terparkir sehingga mobil bisa masuk tidak harus berhenti di pinggir jalan. Hotel Edelweis memiliki gambaran seperti halnya losmen-losmen di Jawa, sama seperti halnya beberapa hotel yang tersebar di kota Bajawa ini. Namun yang paling menarik dari hotel yang berada di pinggir jalan keluar masuk kota Bajawa ini adalah kontur tanah berbukit yang menyebabkan posisi kamarnya bertingkat. Jika mau memilih kamar yang berada di belakang maka kita bisa menikmati pemandangan gunung Inerie yang sering tersaput kabut tebal bagian puncaknya pada sore hari. Maka kegiatan yang cukup menyenangkan di pagi atau sore hari adalah menikmati pemandangan kota Bajawa berlatar gunung Inerie di bagian paling belakang hotel di lantai paling atas. Bunga-bunga begitu segar di sekeliling hotel juga bagian yang saya nikmati dari hotel ini.

Pemandangan sungai Waewoki dengan pengambilan petang hari

Sore setelah selesai dengan pekerjaan pasti saya sempatkan berjalan-jalan mengelilingi kota ini. Rasanya tak lama untuk mengenal tempat ini, kota yang kecil yang mungkin tak lebih besar dari sebuah kawasan perumahan bertipe sedang di Jawa. Bahkan karena kecilnya kota ini, kaki saya sampai harus ajak berkeliling keluar agak jauh.

 Ada satu sungai yang mengelilingi separo kota Bajawa yang beberapa kali saya datangi. Sungai yang alirannya bening ini masih digunakan sebagian penduduk Bajawa yang terutama di pinggir kota untuk melakukan aktivitas seperti mandi, mencuci atau mengambil air. Di pinggir sungai ini dengan mudah kita temui pohon-pohon bambu yang batangnya panjang lurus yang menjadi salah satu bahan utama rumah penduduk di Bajawa. Bahkan atap rumah yang menggunakan bambu banyak saya temui disini, unik sekali. Oh iya, bambu di Bajawa ini ukurannya besar-besar dengan batang yang lurus dengan sedikit cabang. Dari kualitas bambunya sebenarnya bambu-bambu ini sangat berpotensi dikembangkan.

Pemandangan yang berselimut kabut dari gunung
Inerie diambil dari gunung Inelika

Sebenarnya saya senang sekali menikmati sungai yang airnya terasa dingin di kaki ini, namun dari banyaknya sampah tersangkut di pinggir atau di bekas-bekas kayu melintang menunjukkan masih adanya kebiasaan beberapa masyarakat yang membuang sampah ke sungai.

 Semakin kaki saya melangkah semakin banyak yang ingin saya kenal dari Kabupaten Ngada ini. Rasanya menyenangkan sekali menyaksikan penggalan masa lalu tercipta di sini karena di sini lah saya bisa menemukan budaya lama (Megalitikum) yang masih hidup bersama masyarakatnya.
Hampir semua tempat yang pernah saya kunjungi membuat saya terkesan. Seperti perjalanan tanpa bekal yang cukup yang membuat saya terkapar sendirian di tepi kawah gunung Inelika sampai harus memakan buah-buahan yang saya gak tahu namanya (rasanya asam manis yang biasanya pertanda buah yang tidak beracun) untuk mengambil airnya. Sayangnya saat itu, kawah gunung Inelika baru saja kering sehingga waktu disana saya hanya bisa menyaksikan kawah yang sedang kering dengan sisa-sisa pohon kering.

Susunan batu berlumut yang digunakan untuk tempat
menambatkan hewan piaraan. Lokasi Kampung Bena

Aliran percabangan air dingin san air panas di Sumber
Air Panas Soa, sekitar 13 km dari Bajawa

Meskipun sisa-sisa budaya Megalitikum masih bisa ditemui di banyak tempat, namun tempat yang masih kental nuansanya dapat di saksikan di Bena. Jika harus membuat daftar kunjungan wajib jika di Flores, maka Bena adalah salah daftar wajib yang harus anda kunjungi.

Di Bena, anda bisa menyaksikan sebuah perkampungan yang berbentuk melingkar dengan nuansa Megalitikum yang masih kental dan menyaksikan dari dekat bagaimana aktivitas yang mereka jalankan.
Ada juga air terjun Ogi yang sayang potensinya masih belum diperhatikan oleh pemerintah.
Air terjun yang terletak di celah bukit dengan debet air yang sangat kencang ini cukup menjanjikan suasananya. Sebenarnya air terjun Ogi ini bisa menjadi salah tempat tujuan wisata yang layak bila dibenahi. Untuk mencapai kesana waktu itu saya harus bersedia melewati pematang sawah sejauh hampir satu kilometer tanpa ada akses jalan sama sekali. Menurut informasi, sebenarnya disini pernah dibangun akses jalan, namun seiring kerusakan yang tidak ada perbaikan lama-lama jalannya terkubur tak berbekas.

Pemandangan laut di salah satu pulau berterumbu karang
di kawasan Taman Laut 17 Pulau di Riung, Bajawa

Bagi yang ingin merasakan air panas, maka daerah Detusoko menjanjikan tempat pemandian air panas di Soa. Sumber air panas yang letaknya dekat dari bandara ini memliki sumber air panas yang cukup besar. Tempat yang menyenangkan untuk berendam apalagi setelah merasakan dinginnya air di Bajawa yang membuat kita menjadi malas mandi.


Masih ada lagi potensi yang berkelas dunia di taman laut 17 pulau yang berada di Riung. Meskipun jarak yang cukup jauh dari Bajawa sekitar tiga jam dengan perjalanan darat yang berliku-liku, namun semua kesulita itu akan terbayar begitu kita menikmati alam Riung, pulau-pulau berpasir putih dengan keunikan masing-masing, taman lautnya yang begitu bening dengan terumbu karang yang memukau. Namun lagi-lagi yang harus saya ingatkan adalah keterbatasan fasilitas di tempat ini, jadi jangan lupa membawa peralatan sendiri termasuk alat snorkling atau peralatan selam jika anda tertarik ke tempat ini. Namun yang tidak pun tidak akan kecewa dengan keindahan pulau-pulau yang ditawarkan tempat ini.

Rasanya bercerita tentang Ngada tak akan cukup dengan satu kali tulisan, mungkin untuk lebih detil masing-masing tempat ini akan saya sajikan dalam gambaran tersendiri.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 26 Februari 2009

Kampung Megalit Bena

Kampung Megalit BenaKampung Bena, adalah salah satu perkampungan megalit(ikum) yang terletak di Kabupaten Ngada. Tepatnya di Desa Tiwuriwu, Kecamatan Aimere, sekitar 19 km selatan Bajawa.

Kampung yang terletak di puncak bukit dengan view gunung Inerie. Keberadaannya di bawah gunung merupakan ciri khas masyarakat lama pemuja gunung sebagai tempat para dewa. Menurut penduduk kampung ini, mereka meyakini keberadaan Yeta, dewa yang bersinggasana di gunung ini yang melindungi kampung mereka.

Kampung ini saat ini terdiri kurang lebih 40 buah rumah yang saling mengelilingi. Badan kampung tumbuh memanjang, dari utara ke selatan. Pintu masuk kampung hanya dari utara. Sementara ujung lainnya di bagian selatan sudah merupakan puncak sekaligus tepi tebing terjal.

Oh ya, karena sudah masuk dalam daerah tujuan wisata Kabupaten Ngada jadi kalau masuk ke sana jangan lupa isi dulu buku tamu. Syukur-syukur dilihat dulu. Ternyata kampung ini menjadi langganan tetap wisatawan dari Jerman dan Italia.

Ditengah-tengah kampung atau lapangan terdapat beberapa bangunan yang mereka menyebutnya bhaga dan ngadhu. Bangunan bhaga bentuknya mirip pondok kecil (tanpa penghuni). Sementara ngadhu berupa bangunan bertiang tunggal dan beratap serat ijuk hingga bentuknya mirip pondok peneduh. Tiang ngadhu biasa dari jenis kayu khusus dan keras karena sekaligus berfungsi sebagai tiang gantungan hewan kurban ketika pesta adat.

Kampung Megalit Bena
Salah satu acara adat tahunan yang digelar di kampung megalit ini adalah Rebha. (kenapa pakai h karena mereka menyebut ba dengan tekanan yang kuat).

Reba merupakan suatu prosesi adat dimana semua anggota keluarga berkumpul dalam sebuah rumah adat ( Sa’o ) dan melakukan syukuran atas apa yang telah diperoleh selama setahun dan memohon keberhasilan ditahun yang akan datang. Prosesi ini merupakan wujud syukur kepada Tuhan dan sekaligus sebagai ritual untuk menghormati nenek moyang, dan semua yang mengikuti ritual ini diwajibkan untuk memakai pakaian adat.

Selain sisi tradisional yang tampak dari kampung bena terdapat pula seni tata letak rumah adat ( Sa’o ) yang tampak seperti susunan anak tangga yang menambah keindahan kampung bena. Masyarakat kampung bena khususnya kaum wanita, memiliki keahlian untuk membuat kerajinan tenun ikat dengan corak yang berbeda.

Nah, tenun ikat ini salah satu cendera mata yang dapat dibeli di kampung ini.


Catatan tambahan (dari beberapa sumber):
Penduduk Bena termasuk ke dalam suku Bajawa. Mayoritas penduduk Bena adalah penganut agama katolik. Umumnya penduduk Bena, pria dan wanita, bermata pencaharian sebagai peladang. Untuk kaum wanita masih ditambah dengan bertenun.

Pada awalnya hanya ada satu klan di kampung ini yaitu klan Bena. Perkawinan dengan suku lain melahirkan klan-klan baru yang sekarang ini membentuk keseluruhan penduduk kampung Bena. Hal ini bisa terjadi karena penduduk Bena menganut sistem kekerabatan matriarkat.

Batu Megalit Kampung Bena
Pada saat klan baru akan terbentuk maka berlangsunglah suatu upacara yang diakhiri dengan pendirian ngadhu, berbentuk seperti payung (simbol pihak keluarga laki-laki) dan bagha, berbentuk seperti rumah (simbol keluarga perempuan).

Rumah keluarga pria menjadi sakalobo, sementara rumah keluarga wanita menjadi sakapu'u, keduanya menjadi rumah pokok klan baru tersebut. Sepasang rumah pokok itu menggambarkan prinsip hidup penduduk setempat bahwa di dunia ini manusia hidup berpasangan pria dan wanita. Secara umum prinsip ini juga dapat dibaca dari perletakan rumah di Bena yang berhadapan satu sama lain mengelilingi sebuah lapangan terbuka di tengah desa.

Karena ada sembilan klan di kampung ini maka terdapat sembilan pasang Ngadu dan Bagha. Pada dasarnya masyarakat Bena (sejak dahulu) sudah menganggap bahwa gunung, batu, hewan-hewan (anjing, babi, dll) harus dihormati sebagai makhluk hidup. Seperti Gunung Surulaki yang dianggap sebagai hak bapa, dan Gunung Inerie sebagai hak mama.



(tulisan ini berdasarkan pengalaman sendiri dan beberapa tulisan dan artikel di internet yang terkait)
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya