Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label gua. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gua. Tampilkan semua postingan

Senin, 09 Maret 2020

Seplawan yang Menawan



Semut di seberang lautan kelihatan sedangkan gajah dipelupuk mata tak nampak. Begitu penggambaran diriku yang seringnya menulis kampung orang, sampai kampung sendiri terlupakan. Kebetulan tahun 2020 ini ditetapkan oleh Bupati Purworejo sebagai Tahun Kunjungan Wisata atau lebih dikenal dengan "Visit Purworejo Year 2020". Aku memilih menulis tentang Goa Seplawan yang dari dulu sering diceritakan Bapakku tercinta.


Tiga kali mencoba ke Goa Seplawan. Pertama kali ketika aku masih sekolah menengah pertama dengan naik sepeda.Aku bersama tiga kakak dan bapakku. Perjalanan dari rumah menjelang siang, baru setengah perjalanan hari sudah menginjak sore. Kami pun batal melanjutkan ke goa dan kembali ke rumah. 

Kedua kali dengan adik dan keponakanku mengendarai motor. Kami bertiga naik satu motor, keponakanku waktu itu masih duduk dibangku Sekolah Dasar jadi muat boncengan bertiga. Jalan yang curam membuat motor yang kami kendarai tidak kuat menanjak. Kami batal lagi ke goa seplawan.

Ketiga kalinya aku bersama kakak dan dua keponakanku mengendarai motor. Medan perjalanan yang naik turun, menanjak curam disarankan memakai motor kopling bukan matic. Dan bila berkendara dengan mobil pastikan ahli dan terampil. Mengapa aku bilang begitu? Well, sepanjang perjalanan aku lihat kerumunan orang dan anggota kepolisian karena kecelakaan yang menyebabkan satu truk terguling, satu mobil tergelincir dan dua motor jatuh. Meskipun di kanan kiri jalan dipasang papan peringatan untuk hati-hati berkendara.

Akhirnya aku sampai di Goa Seplawan. Sepasang patung besar perwujudan Dewa Siwa dan istrinya Dewi Parwati berwarna kuning emas berdiri dipinggir jalan setapak menuju goa. Patung ini sebagai maskot goa. Patung yang sama juga ada di bundaran taman goa Seplawan.

Ada dua tangga untuk memasuki goa.Tangga itu terbuat dari besi yang melingkar. Aku memilih tangga pertama sebagai pintu masuk dan keluar lewat tangga kedua. Begitu aku masuk mulut goa, tetesan air dari atas bebatuan staglatit menyentuh wajahku. Setelah melewati lorong yang gelap akhirnya disisi kiriku ada penerangan lampu. Di tempat itu dulu ditemukan Golek Kencono, sepasang arca emas berbentuk Dewa Siwa dan Dewi Parwati. Konon bau harum semerbak ketika dua arca emas itu diangkat. Dewa Siwa dan Dewi Parwati dianggap sebagai lambang kesuburan dan kemakmuran. Aku pernah melihat dua arca emas itu di Museum Nasional Jakarta.

Aku melanjutkan ke lorong lain goa. Goa ini terbagi dua. Ruang Pertama tempat ditemukan arca, Ruang Kedua di bagian belakang. Ruang pertama dan kedua dipisahkan dengan tangga kecil menuju atas. Untuk naik pengunjung melewati kolam genangan air yang berasal dari bebatuan staglatit. Beberapa pasang sepatu dan sandal pengunjung diletakkan dipinggir kolam. Mereka melepas sepatu dan sandalnya untuk menuju ruang kedua. Ruang kedua ini lebih luas. Seperti layaknya ruang pertemuan. Di ruangan yang luas ini sempat menjadi lokasi shooting program televisi Mister Tukul Jalan-jalan. Dari penelusuran Flashback Retrocognition-nya tim mereka, Goa Seplawan ini masuk dalam Kerajaan Galuh Wati/Galuh Purba.

Selepas dari goa hawa kantuk menyerang. Apakah karena aku lelah dari perjalanan ke Blitar, Malang dan Yogya? Atau mungkin hawa kantuk ini akibat aku kekurangan oksigen juga karena musim hujan kondisi goa dingin dan lembab yang membuatku ingin segera berendam di kasur hehehe.

Hampir lupa mengunjungi gardu pandangnya. Di dekat taman goa dibangun gardu pandang. Ternyata lokasi Goa Seplawan ada di perbukitan Menoreh yang berbatasan langsung dengan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Purworejo. Dari sini tampak laut Selatan jawa, hutan bukit yang menghijau, dan kota Purworejo dikejauhan. View-nya keren banget! Para leluhur tepat sekali memilih tempat ini yang berada di ketinggian untuk semedi bermeditasi guna mendekatkan diri pada Illahi. 



Goa Seplawan berlokasi di Katerban Desa Donorejo Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo. Goa Seplawan dikaitkan dengan "Parahiyangan" (alam tinggi para dewa) yang disebutkan dalam Prasasti Kayu Ara Hiwang yang ditemukan di Desa Boro Wetan di tepi Sungai Bogowonto ( Prasasti Kayu Ara Hiwang sekarang berada di Museum Nasional Jakarta). Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Maharaja Medang/Mataram kuno yang bernama Dyah Balitung Rakai Watukuro melalui pejabatnya yang ditunjuk.

Dalam Prasasti tersebut diungkapkan telah diadakan upacara besar pada Bulan Asuji Tahun Saka 823, Hari ke-5, Paro Peteng, Vurukung, Senin Pahing (Wuku) Mrgasira, bersamaan dengan Siva (tanggal 5 Oktober 901 M). Pematokan tanah perdikan/Sima atau tanah yang dibebaskan dari pajak karena daerah tersebut ada bangunan suci tempat "Parahiyangan".

Foto dan tulisan : Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 06 Januari 2019

Kolam Air Asin Liang Rangko

Hawa pengap sebentar membuat tubuhku bersimbah keringat, kecuali tiga lelaki yang berendam di dalam kolam yang airnya sebening kristal. Air bening berwarna hijau kebiruan ini airnya asin karena berasal dari air laut. Bergantian mereka menaiki stalagmit yang tingginya sekitar satu setengah meter di pinggir kolam. Lalu diiringi teriakan dan sorakan teman-temannya mereka meloncat ke dalam kolam. Salah satu meloncat terlalu tinggi, nyaris saja kepalanya menghantam stalaktit. Untung dia keburu memiringkan kepalanya. Adegan nyaris celaka ini tentu saja mengundang reaksi lebih heboh dari teman-temannya.

Untung saat ini lokasi masih sepi pengunjung sehingga mereka bisa bersantai berenang, seperti juga aku dan Pepe yang juga mudah mencari sudut foto. Bedanya aku mencari sudut foto mengabadikan saat mereka melakukan loncatan-loncatan tadi, sedangkan Pepe khas anak muda mileneal yang ngerekam wajahnya sambil cuap-cuap. Aku dapat membayangkan seperti apa suasananya jika saja ada pengunjung lebih dari 20 orang masuk ke dalam gua, pasti pengap sekali.

Dia menunjukkan lengannya yang penuh goresan, saat kutanya kenapa tidak berenang. Katanya itu goresan saat dia naik motor ke Liang Cara. Tidak mengherankan, aku melihat dari cara Pepe naik motor yang mirip pembalap liar: kenceng sambil seneng slip-slipin ban. Bule ini emang kayaknya langganan celaka.

Aku saja akhirnya menyerah, seperempat jam kemudian aku keluar dari gua dengan kaos yang basah kuyup. Meninggalkan Pepe yang katanya mau berenang di sana tapi dari tadi mondar-mandir gak jadi berenang. Tumben si Pepe tahan di dalam gua tanpa berenang, batinku. Eh tak lama kemudian dia nongol keluar.

Liang Rangko atau Gua Rangko orang biasa menyebutnya. Gua ini tidak terlalu luas, jauh lebih kecil dibandingkan dengan Gua Batu Cermin. Seperempat dari gua ini adalah kolam air asin itu. Untuk masuk ke dalam gua, ada sebuah tangga kayu untuk turun. Suasananya pagi sampai menjelang siang cenderung gelap. Tidak terlalu gelap, setelah kita masuk ke dalam gua tak lama kemudian juga mata kita bisa menyesuaikan. Yang sulit justru saat menggunakan kamera. Walaupun menggunakan ISO 3200 sekalipun, speed yang diperoleh untuk mendapatkan suasana gua tetap tidak lebih dari 1/25 detik. Kebayang kalau menggunakan kamera hape yang sensornya imut untuk memotret di gua ini. 

Pintu gua Liang Rangko menghadap ke arah Barat, jadi sebenarnya kalau mau mendapatkan view yang lebih nyaman sebaiknya datang setelah jam dua siang. Malahan kalau mau sore hari nanti pemandangan matahari menjelang terbenam bisa dinikmati di pinggir pantai. Di pinggir pantai? Jadi gua ini di pinggir pantai? Gak usah heboh begitu. Bukan cuma di pinggir pantai, pantai di Liang Rangko ini juga pemandangannya indah. Berpasir putih dengan air yang tenang dan tentu saja pemandangan matahari terbenam.

Perjalanan ke Liang Rangko
Berbekal motor hasil pinjam dari seorang teman, Minggu pagi aku berencana ke Gua Rangko setelah rencana mau nginep di pulau Padar gagal total. Pilihan Liang Rangko karena masih berada di satu daratan pulau Flores dan jarak tempuh yang 'katanya' tidak terlalu jauh. Petunjuknya sederhana saja, ikuti saja jalan baru yang menuju ke Tanjung Boleng. Tanjung Boleng itu adalah kecamatan yang letaknya di sisi Utara pulau Flores.

Awalnya aku gak tahu kalau untuk ke Liang Rangko harus menggunakan perahu. Waktu itu hanya diberitahu kalau jalan ke Liang Rangko sudah bagus. Dan memang, dari kota Labuan Bajo sampai ke desa Rangko bisa dibilang jalan mulus karena memang masih jalan baru. Satu-satunya jalan yang jelek adalah sepotong jalan sekitar 100 meteran di depan PLTMG. Ini bangunan pembangkit listrik PLN baru, katanya kapasitas listrik di tempat ini sekitar 20 MW, wah bakalan terang benderang tuh Labuan Bajo.

Sampai ke sebuah desa di wilayah Kecamatan Tanjung Boleng, ada sebuah papan petunjuk lokasi Liang Rangko di pinggir jalan mengarah ke sebuah gang kecil arah ke pantai. Aku pikir awalnya di pinggir pantai itulah ada gua Liang Rangko, eh ternyata salah. Rupanya papan petunjuk itu cuma tempat untuk sewa perahu sekaligus membayar tiket masuk. Selepas parkir di pinggir sebuah pohon beringin besar, aku diarahkan ke sebuah warung kelontong. Warung ini rupanya juga berfungsi sebagai tempat untuk membayar tiket masuk sekaligus sewa perahu.

Di dalam sudah ada seorang bule muda yang tadi aku menyebut namanya: Pepe. Pepe ini katanya berasal dari Spanyol, dia menyebutkan Barcelona kalau gak salah. Dia yang awalnya protes gak mau bayar apalagi waktu dia diminta bayar 50ribu sementara aku cuma 20ribu. Dia pikir mereka curang mau menipunya. Setelah ditunjukkan kalau memang tiket masuk antara wisatawan lokal dan mancanegara memang berbeda. Bule muda ini jadi satu-satunya temen sharing perahu yang sewanya 300ribu pulang-balik dibagi dua. Lumayan mahal karena jarak tempuhnya hanya 20 menit saja. Sebenarnya kalau berangkatnya ada 5-6 orang lumayan sih, jadi hanya kena biaya sewa antara 50-60ribuan.

Liang Rangko: Pantai dan Gua yang Ciamik
Ternyata perahu digunakan bukan untuk menyeberang ke pulau lain, melainkan menyisir pinggir pantai menuju ke arah tanjung. Kalau begitu kenapa harus pakai perahu?  Karena jalan menuju lokasi langsung belum ada. Jadi tanjung tempat Liang Rangko itu bisa dibilang masih kosong tanpa penghuni, dan akses jalan tentu saja.

Perjalanan menyusuri perairan dangkal membuat aku bisa mengamati kondisi sekitar tanjung yang lebih didominasi bukit-bukit karang tanpa pantai.  Perairan dangkal dengan pasir yang berwarna putih membuat air laut berwarna biru muda, cukup menyenangkan untuk dipakai berenang.

Pak Kahar, pemilik perahu yang aku tumpangi bareng Pepe menunjuk sebuah bangunan dermaga yang sedang dibangun. Dermaga itu sepertinya sudah hampir rampung itu menggunakan material kayu, cukup bagus untuk menjadi dermaga bagi wisatawan. Rupanya memang Liang Rangko sedang dibenahi supaya lebih menjual.

Perahu merapat ke pantai bukan ke dermaga karena belum selesai dibangun. Ternyata sudah ada beberapa petugas di sana. Aku baru paham, ternyata desa Rangko yang aku datangi bukan satu-satunya lokasi untuk membayar tiket masuk. Bagi wisatawan yang melakukan hoping island misalnya, mereka membayar langsung biaya tiket masuk di tempat ini.

Masuk akal mengapa Liang Rangko dikembangkan menjadi lokasi wisata. Karena selain keberadaan kolam di dalam gua, ternyata pantai di sekitar Liang Rangko juga indah. Mungkin di tanjung ini, itulah satu-satunya pantai yang memiliki pasir putih cukup luas. Pemandangannya cukup nyaman karena di halangi beberapa pulau karang kecil, membuat perairan di sana cukup tenang. Ditambah dengan posisinya yang menghadap barat, bagi yang bersabar bisa menikmati keindahan matahari terbenam di pantai ini.


Catatan:
  1. Jangan memaksakan masuk ke dalam gua jika sedang ramai. Daya tampung gua yang tidak terlalu luas sangat terbatas. Masuk lebih dari 20 orang saja akan terasa tidak nyaman. Tunggu saja di pantai yang pemandangannya juga tidak kalah indah. Kalau tidak berenang di kolam daya tahan seseorang di dalam gua tidak akan lebih dari setengah jam. Pengap dan panas coy.
  2. Biaya sewa perahu sekitar 300ribuan dengan daya muat sekitar 5-6 orang. Bagi pelancong sendiri seperti saya, alternatif untuk mendapatkan harga lebih terjangkau adalah jangan buru-buru, cari sampai ada rombongan lain sehingga bisa patungan biaya. Atau ikut nebeng bayar ke rombongan yang bisa diikuti. Cara ini efektif kalau sedang musim liburan, kalau bukan lagi musim liburan bisa-bisa kering nungguin perahu yang mau angkut rombongan hehehe.
  3. Alternatif lain, jangan berhenti di tempat yang ada papan petunjuk tapi lanjut terus sampai ke dermaga desa. Nah coba tanya-tanya untuk sewa perahu ke sana. Biasanya ada yang mau mengantar dengan perahu kecil. Jika beruntung kalian bisa mendapatkan sewa perahu sekitar 100ribuan.
  4. Di Liang Rangko ini informasi dari masyarakat diperbolehkan untuk menginap/memasang tenda. Namun perhatian semua perbekalan karena di sini jelas satu-satunya alat transportasi adalah perahu.
  5. Jika menginap di sana dan mau membuat api unggun gunakan kayu-kayu kering di sekitar jangan potong pohon. Kayu-kayu kering cukup banyak kok. Jangan merusak alam karena jumlah pohon di sana juga terbatas. Kalau mau lebih enak, prepare aja bawa kayu bakar dari desa terdekat.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 26 Mei 2016

Kolam Air Asin di Gua Kristal

Kolam air asin di gua Kristal Kupang
Warna kebiruan toska air kolam yang terkena sinar matahari
Kucoba membuka mataku ke dalam air saat menyelam bebas agar bisa menatap bebatuan di bagian bawah namun tetap saja tidak jelas.Anehnya, saat aku muncul ke permukaan aku tidak merasakan perih di mata sebagaimana kalau membuka mata di air laut. Mungkin kalian masih ragu, apa mungkin air yang rasanya masih tetap asin itu tidak perih di mata? Aku tidak tahu, tapi aku bahkan berani bilang kalau air tawar di kolam renang saja masih lebih perih dibanding air di dalam gua ini. Masih gak percaya juga? Aku tunggu kapan mau tes air di gua Kristal...

Lokasi yang Tak Terduga 
Letak gua Kristal tidak jauh dari kota Kupang, sekitar setengah jam waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke tempat ini. Tapi ada yang berubah dari informasi awal yang kudengar. Tidak ada petunjuk jelas gua Kristal karena jalan masuk tidak ada tanda sedangkan sekitar gua Kristal masih daerah yang dipenuhi pepohonan. Tapi tidak, ternyata di tempat kami parkir motor sedang berdiri puluhan rumah yang masih dalam proses pembangunan: perumahan. Imam yang jadi pemandu sempat kebingungan karena memang perjalanan ke tempat ini sebelumnya tidak dijumpai perumahan melainkan masih pepohonan. Untung ada sepotong tulisan penanda ala kadarnya "Gua Kristal 100 meter" yang membantu meyakinkan bahwa kita sudah di lokasi yang benar.

Bertujuh di dalam Gua Kristal Kupang
Cuaca bulan ini memang terasa terik, apalagi di sekitar tidak ada pepohonan besar. Tapi beberapa pohon yang tidak terlalu besar cukuplah menjadi tempat parkir yang dikelola oleh seorang anak muda yang mungkin tinggal disekitar tempat ini. Belakangan waktu pulang aku baru tahu kalau anak muda itu tidak cuma mengenakan harga parkir tapi juga ongkos masuk ke dalam, dan untuk itu kami harus membayar 5.000 rupiah per motor. Yah, setidaknya motor kami aman kami parkirkan di sini.

Lucunya papan penanda itu tidak menunjuk jalan apapun karena memang tidak ada jalan. Jadi kami ikut saja menerobos batu karang menjadi tempat yang kami bisa berjalan. Entah sebenarnya kami yang memang asal jalan atau memang jalan itu ada tapi kami tidak tahu. Waktu pulang kami baru tahu jalan itu ada tapi memang tidak terlalu jelas.

Cahaya dari mulut gua Kristal Kupang
Jangan bayangkan gua Kristal itu seperti gua-gua pada umumnya yang lubangnya besar tinggi. Gua Kristal dari luar tak ubahnya sebuah bongkahan batu yang berlubang. Sampai dengan titik tujuan memang tak tampak ada gua, karena memang gua Kristal ini lubang menurun ke bawah menuju sebuah kolam air asin.

Satu yang aneh lagi yaitu adanya toilet sekaligus kamar ganti yang dibuat persis di mulut gua.  Penempata itu saja sudah parah, ditambah dengan bahan untuk toilet dari tripleks yang menambah bentuk depan gua Kristal itu tampak acakadut gak jelas. Setelah masuk memang ruang gua kelihatan lebih besar. Mungkin itulah kenapa cahaya matahari tidak bisa masuk sepenuhnya ke dalam gua. 

Berada di dalam gua yang lubang masuknya tidak terlalu besar dan jalan yang menurun ke bawah, aku yakin kolam air asin di dalam gua Kristal ini terus tersembunyi dari matahari. Hanya pada siang hari saja matahari mampu menerobos ke dalam gua melalui satu-satunya lubang gua untuk keluar dan masuk. Itu pun sinarnya hanya sampai menembus sepertiga bagian gua. Untungnya sepertiga cahaya yang masuk ini memantul ke seluruh dinding gua sehingga setengah air yang lebih sering bersembunyi dalam bayangan gelap berubah lebih terang ke warna kebiruan yang pekat.

Seiring naiknya sinar matahari yang menerobos dari lubang masuk gua, warna air yang biru akan menjadi biru lebih terang, kadang-kadang tampak seperti biru toska. Entah apakah masih pas menyebut gua ini dengan nama gua kristal sementara aku tidak melihat warna berkilauan bebatuan yang tertimpa sinar matahari. Mungkin kilauan-kilauan yang muncul laksana kristal yang pernah mereka ceritakan telah hilang seiring warna bebatuan yang menjadi kusam. Tapi di sisi dalam, stalagtit dan stalagmit yang tidak terlalu besar masih tampak berkilauan dan basah. Mungkin jika sinar matahari sampai menembus ke stalagtit dan stalagmit yang di dalam aku akan melihat kilauan kristal.

Aku menghela napas panjang melihat tulisan-tulisan dari cat berwarna-warni di dinding batuan dalam gua. Kampret!! Mahluk-mahluk keparat ini memang tidak pernah tau keindahan. Tangan-tangan mereka sepertinya akan gatal seumur hidup jika lupa tidak membuat tanda-tanda graviti seperti ini. Dengan graviti yang ditulis sporadis memang jadi sulit untuk mencari tempat yang tidak menampakkan graviti mereka.

Kolam Air Asin yang Jernih
Air kolam di ujung gua memang tidak terlalu besar, pun tidak banyak tempat datar yang dapat digunakan untuk duduk menikmati pemandangan. Mungkin kolam ini masih jika dinikmati jika yang masuk ke dalamnya tidak lebih dari sepuluh orang.

Kolam air asin di dalam gua Kristal Kupang
Anakku lah yang teriak-teriak di air waktu aku masih asyik mengabadikan gambar gua. "Ayah.. ayah.. Shiva tadi matanya masuk air tapi gak perih lho. Tapi airnya dingin", katanya senang sekali waktu berenang di dalam airnya. Aku sendiri memang berniat berenang setelah menuntaskan memotret lokasi ini. Jadi Shiva ditemani pakde Dibyo dan pak Achmadi yang turun lebih dulu.

Tak dapat berlama-lama, akhirnya aku menyusul mereka memasukkan badan ke dalam air. Bener-bener air di gua ini segar. Dan seperti yang aku bilang di awal, walau airnya asin tapi tidak perih di mata. Hanya sesekali aku menggunakan kecamata untuk menyelam ke dalam air. Karena tidak terlalu banyak orang, aku jadi bisa menikmati nikmatnya berendam air di sini.
Kedalaman kolam sekitar tiga meteran aku rasa, tapi di bagian sisi batas gua ke bawah masih tampak bayangan hitam pertanda kalau di sisi itu lebih dalam dari tempat lain. Akun menduga di sisi itulah yang menghubungkan kolam ini dengan laut. Mungkin juga air di sini pasang surut seperti kondisi di laut, aku tidak terlalu yakin karena dari gua ini ke laut jaraknya lebih dari 100 meter.


Menunggu di depan mulut gua Kristal Kupang
Ada satu batu yang agak menjorong ke kolam. Tempat itu sering digunakan orang untuk meloncat ke dalam air karena memang air di bawahnya langsung dalam jadi aman. Namun hati-hati, jangan terlalu semangat meloncat. Jika kamu orang yang tinggi dan sembarangan meloncat bisa-bisa kepalamu terbentuk dinding atas gua yang tidak terlalu jauh tingginya dari batu itu.

Tidak seperti di bagian luar gua yang berupa batu karang hitam terjal dan kasar, bagian dalam gua batuannya berwarna putih kekuningan. Batu-batu itu terasa rapuh namun untungnya kesat sehingga tidak licin waktu diinjak. Hanya memang waktu untuk turun harus lebih hati-hati karena dari luar yang terang, maka di dalam gua tampak sangat gelap. Agak lama untuk membiasakan mata agar dapat melihat ke dalam gua lebih baik. Sayang tepat di tengah-tengah pintu gua ada batu besar yang menghalangi sinar matahari masuk lebih banyak.

Untuk amannya, jika ada yang mau ke sini bukan saat siang hari sebaiknya selalu bersiap-siap dengan senter atau lampu karena kemungkinan gua akan terlihat sangat gelap dan jelas akan mengecewakan perjalananmu ke tempat ini.

Hari Minggu itu Waktu yang Salah
Kami bertujuh mencari tempat duduk persis di belakang batu besar yang menutup pintu gua. Kami masih harus membiasakan mata karena di dalam gua selain warna biru air selebihnya adalah gelap. Memang terdengar celotehan pengunjung yang sedang mandi atau berenang di dalam kolam gua. Setelah agak lama dan mulai bisa melihat lebih jelas ke dalam gua, ternyata sudah ada beberapa anak muda yang berenang di dalam kolam, beberapa tidak berenang tapi seperti biasa sibuk mengabadikan diri. Istilah selfi sekarang memang kekinian dan tidak bisa ditolak.

Shiva di depan mulut gua Kristal Kupang
Jumlah anak-anak muda yang di dasar gua yang sudah puluhan jelas sudah tidak bisa ditambah sehingga aku dan teman-teman memilih mengalah. Itu pun dari belakang kami masih berdatangan beberapa anak lebih kecil yang turun dengan cepat ke dalam gua. Aku berpikir mereka anak-anak di sekitar sini yang sudah terbiasa dengan suasana gua.

Untungnya acara mandi mereka tidak terlalu lama. Setelah aku lihat yang berenang hanya tinggal tiga orang, maka kami mulai ikut turun ke bawah. Awalnya kami benar-benar harus hati-hati karena batuan di bawah yang basah tampak licin. Ngeri juga membayangkan stalagmit menyambut kami jika sampai tergelincir. Ternyata aku salah, batu-batu itu tidak licin walau terkena air dari anak-anak muda yang naik balik ke atas dalam keadaan basah.

Sialnya selepas siang, rombongan yang datang lebih banyak. Jelas itu waktunya kami berbenah untuk pergi. Dengan kedatangan rombongan baru sebanyak itu jelas berada di dalam gua tidak lagi menyenangkan. Benar seperti perkiraanku semula, mengunjungi tempat wisata hari Minggu adalah pilihan yang salah. Masih untung kami sempat merasakan saat kolam sepi, namun di banyak waktu lain, Minggu berarti siap-siap kecewa.



Bagaimana Menuju Kesana?
Sebenarnya lokasi ini tidak susah di jangkau. Bisa menggunakan kendaraan umum dengan setidaknya 2 kali ganti angkutan kota. Tapi menurut saya lebih enak menggunakan kendaraan pribadi (motor kalau saya). Rute perjalanan sebagai berikut:
  1. Dari kota Kupang arahkan kendaraan menuju arah Namosain, ikuti jalan sampai bertemu pertigaan Namosain yang ada tugu "Imperial Estate". Sebenarnya dua arah itu semuanya bertemu lagi di jalan yang sama pertigaan Bolok. Namun saya lebih menyarakan ikut jalur ke kiri menuju ke atas.
  2. Ikuti jalan terus sampai ke pertigaan Bolok (belok kanan ke pelabuhan Tenau), tetap terus sampai melewati jembatan. Setelah jembatan ada pertigaan belok ke kiri lagi (lurus sampai ke pelabuhan perikanan)
  3. Terus lurus melewati sampai ke pelabuhan Bolok tetap lurus, nanti sekitar satu km dari pelabuhan ASDP Bolok akan bertemu pertigaan yang menuju ke kantor DIT POLAIR POLDA NTT belok kanan.
  4. Berhenti di depan perumahan (100 meter sebelum kantor Polisi Perairan), parkirkan kendaraan di sekitar situ dan cari papan petunjuk menuju Gua Kristal.  
Terima kasih buat temen-temen yang ikut bersama ke gua Kristal: pakde Kushandoyo, pakde Dibyo, pak bos Sulih, pak Ahmadi, Imam 'Boncel' .
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 21 Maret 2016

Ups.. Ternyata Ada Pasir Putih di Borong

Senja di Pantai Liang Bala Borong
Rela pingsan menikmati ademnya pasir putih di pantai Liang Bala
Pantai Liang Bala adalah pantai yang pasirnya berwarna putih yang ada di sekitaran kota Borong. Keistimewaannya, selain berpasir putih, di pantai ini juga terdapat beberapa gua. Gua terdekat yang bisa dijangkau lewat pantai hanya bisa dicapai kalau sedang surut saja. Saat ini pantai ini masih belum dikelola oleh pemerintah, jadi masih gratis dan bebas. Iya bebas beneran kok mau ngapain aja asal bukan bebas buang sampah ya, kalau itu minta aku gosok kepalamu pake kaus kaki. Wisatawan lokal juga belum banyak yang ke tempat ini, entah karena belum dikenal atau karena kondisi jalannya yang kurang bagus. Tapi ada juga yang bilang begini: ah, sama kayak di sini kok om cuma pasirnya warna putih tapi sama saja. Wah ini orang mungkin belum tau kenapa ada salon #apahubungannyacoba.

Liang Bala dari atas
Tampak pasir putih pantai Liang Bala dari puncak
 Sebelumnya gak pernah mikir kalau di Borong itu ada pantai yang pasirnya berwarna putih. Iya beneran.. Aku gak ada ekspektasi bakalan mendatangi pantai yang memiliki pasir berwarna putih di sini. Dari pertama kali ke Borong sekitar tahun 2012-an (awal-awal Manggarai Timur lepas dari Manggarai, kabupaten induknya), aku cuma tahu pantai Watu Ipu yang memanjang dari dermaga Borong yang sebelah tenggara dibatasi sama bukit batu yang terjal itu pasirnya warna hitam. Bahkan salah satu lokasi wisata yang dari dulu dikembangkan sejak kabupaten induk yaitu kawasan pantai Cepi Watu itu pun juga pasirnya berwarna hitam cuma di sana ada lokasi yang banyak batu-batunya. Kelebihan Cepi Watu cuma satu, kalau lagi pas bisa lihat mbak-mbak bahenol jalan-jalan di pantai. Ternyata oh ternyata di Cepi Watu itu ada tempat karaoke.. mungkin mbak-mbak itu yang jaga parkir kali ya #sokculun. Karena itulah, wajar aku gak punya ekspektasi banyak kalau ke Borong. Tetap suka sih menikmati senja di pantai walau pasir hitam, karena senja tetaplah senja yang asyik dinikmati dari mana saja bahkan sambil boker aja nikmat #timpukboker.


View gua Liang Bala
Suasana tebing gua dari ujung lain gua
Katanya pantai Liang Bala ini belum lama baru diketahui keberadaannya baru sekitar dua tahunan ini. Mungkin saja pantai itu diketahui keberadaannya sejak kawasan bukit yang menghalangi pantai itu kena gusur sebagian jadi jalan. Iya, memang ada jalan baru yang harus memangkas samping bukit yang isinya batu-batu lempengan dan batu-batu besar segede gaban. Batu-batunya unik lho lempengannya lurus-lurus kayak baru keluar dari pabrik. Coba ada yang kreatif bisa langsung dibikin batu alam tuh. Yuk yang mau bisnis jualan batu kakak? Kakak yang potong batu, aku yang jual.
Ikhwal aku sampai ke pantai ini saat gak sengaja liat foto-foto pantai yang dipasang di salah satu restoran saat kita sedang makan siang. Di situ ketemu mas Eko - pinisepuhnya Tapaleuk Ukur Kaki #sungkem - yang kesasar sampai ke Borong. Dapat info dari teman-teman pemda yang sudah ke sana lebih dahulu kalau lokasi pantai itu ternyata dekat yaitu di balik bukit di pantai Watu Ipu. Waktu ngobrol siang itu juga belum kepikiran ke sana karena informasinya lokasinya masih susah dilewati. Mungkin kurang doa kali.


View dalam gua Liang Bala
View dari dalam gua pertama di pantai Liang Bala
Sore hari rencana awalnya mau jalan-jalan di pantai yang ada muara dari sungai Wae Bobo. Kebetulan sudah ada jembatan yang membentang tinggi melewati muara sungai Wae Bobo yang pas buat nikmati sunset. Masalahnya cuma satu motor, gak mungkin kan kita bonceng bertiga nanti bisa-bisa saingan sama alay-alay bekicot. Karena Trysu batal mau ikut (kayaknya memberi kesempatan aku dan mas Eko berduaan #halah), akhirnya kita merubah arah mau mencoba mendatangi pantai Liang Bala. Walaupun sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi informasi lokasinya lumayan belibet jadi memang harus rajin-rajin nanya sama penduduk sekitar kalau tidak mau kesasar ke tempat lain.

Salah satu cekungan air di gua Liang Bala
Kita melewati jalur baru yang memangkas sisi kanan bukit sehingga kondisi jalannya masih berupa jalan tanah berbatu. Sebelumnya di daerah ini mungkin sudah ada jalan namun masih berupa jalan setapak yang digunakan untuk masyarakat sekitar bukit. Karena memang pekerjaannya baru kondisi pemotongan bukit jadi kondisi jalannya masih amburadul. Selain kurang rata batuannnya pun gampang terlepas bisa bikin motor gagap. Untung aku duduk manis jadi pembonceng di atas motor Mega Pro yang ditunggangi sama mas Eko yang juga gedenya saingan sama motornya. Jadi mantep aja lewat jalan berbatu, itu batu saat digilas bukan melenting keluar tapi langsung amblas ke tanah. Mungkin kalau dilewati mas Eko beberapa kali itu jalan langsung mulus sendiri #digamparmaseko. Aku sendiri merasa miris tiap kali lewat di batuan yang berpasir. Rem gak boleh bener-bener ditekan kalau gak ingin motor slip. Setelah melewati dua tanjakan, di tanjakan terakhir itulah view pantai pasir putih nampak jelas. Bagian menurun inilah yang bener-bener harus hati-hati. Aku bener-bener gak nyaranin ke tempat ini pakai motor yang rodanya kecil. Di belokan menurun terakhir aku memilih turun dari motor karena selain belokan tajam juga jalan berlubang dalam. Sepertinya kalau habis hujan lokasi ini tidak bakalan bisa dilewati motor, cuma bisa pake kolor itu pun jangan bukan kolor ijo, halah.

Memotret air di Liang Bala
Lokasi yang cocok untuk memotret slowspeed
Angin dari laut langsung menerpa ke wajah begitu sampai di lokasi, menyengat-menyengat gurih gimana. Cuaca masih terasa gerah walau sudah sore karena saat ini memang wilayah NTT menjadi salah satu wilayah yang masih mengalami gejala El Nino - gejala penyimpangan (anomali) pada suhu permukaan lautan - makanya jadi terasa lebih kering dan panas walaupun sebenarnya saat ini seharusnya masih jatuh musim hujan. Untungnya laut masih surut walaupun belum terlalu turun. Dengan menyusuri pantai ke tenggara melewati pinggir tebing batu akhirnya bertemu dengan sebuah lubang besar. Gua Liang Bala yang pertama ini tidak terlalu dalam, lebih mirip sebuah ceruk besar. Dari posisinya, air laut akan membasahi sampai ke ujung gua saat puncak pasang. Di sekitar gua banyak cekungan-cekungan air dimana beberapa ikan kecil tampak terperangkap di dalamnya. Di antara pantai pasir putih dan gua ini ada tempat karang yang bagian bawahnya bolong sehingga saat ombak naik dari lubang-lubang itu keluar suara mendesis keras yang kadang-kadang disertai semprotan air yang kencang ke udara. Tidak banyak orang hari ini, hanya ada beberapa anak yang sepertinya merupakan anak-anak dari kampung ini juga sedang menggunakan tombak dan pancing. Di bagian tebing atas tampak sebuah bangunan pondok terbuka yang dibuat oleh penduduk. Ada sepasang suami istri yang tengah beristirahat setelah selesai menanam. Di bagian atas tebing itulah tanah mereka. Saat ini mereka sedang menanam jagung, ada beberapa pokok ubi di bagian samping yang mungkin sudah di tanam jauh sebelumnya.

Kolam di gua Liang Bala
Kolam-kolam di sekitar gua, banyak ikan kecil terjebak
Karena jaraknya tak jauh, dua hari berikut setelah mas Eko melanjutkan tour ke Ruteng, aku mengajak Trysu kembali ke pantai Liang Bala. Kebetulan dari siang, listrik di hotel yang pelayanannya ala kadar namun harganya ala mak, maka aku dan Trysu sudah mulai jalan sejak jam empat. Karena jalan kaki, aku dan Trysu memilih menyusuri jalan pantai yang sudah dilapis batu dengan jarak tempuh tak lebih dari lima belas menit. Dari dermaga pantai Watu Ipu, jalan ke arah bukit sangat terjal. Sepertinya tempat ini sudah beberapa kali longsor tampak dari beberapa pohon yang sudah tumbang jauh ke bawah. Sebenarnya waktu kembali dari pantai ini, penduduk ada yang bilang kalau kita bisa lewat bawah menyusuri bukit cuma aku kurang tahu dari mana mulainya makanya aku memilih lewat atas bukit saja. Di atas kami harus beberapa kali berhenti berteduh karena cuaca yang masih terasa terik walaupun sudah jam empat sore.

Awalnya aku mengajak Trysu ke atas bukit untuk menunjukkan view gua dari atas bukit. Saat berada di atas justru aku dikiranya mau ke gua yang lain jadi mereka memandu kami arah menuju gua lain. Wah memang rejeki, akhirnya malah tau cara menuju ke gua lainnya dan itu tidak perlu harus menunggu laur surut. Tapi masalahnya berganti. Dari atas bukit ini untuk turun ke bawah yang harus hati-hati. Turun pertama harus melewati kayu yang dibuat penduduk untuk turun ke bawah. Setelah beberapa meter menyisir pinggir tebing barulah kita harus kembali agak merangkak menyusuri tebing untuk sampai di bawah gua. Kondisi di sini kita harus hati-hati karena tipe batu di tebing bukan tipe karang tapi jenis batu cadas campur karang. Artinya tidak semua batu aman untuk dijadikan pegangan.

Senja dari tebing Liang Bala
Senja dari atas tebing pantai Liang Bala
Begitu sampai di gua bawah, pemandangan pasir putih di pantai ini lebih asyik. Bukan cuma karena tempatnya yang lebih tersembunyi tapi yang pasti juga lebih bersih karena sepertinya tidak semua orang yang berwisata ke pantai Liang Bala sampai ke pantai yang sisi ini. Ternyata di sini selain gua yang langsung kita temui saat turun juga masih ada dua gua kecil lain yang letaknya tak jauh tinggi dari pantai, yang artinya akan tergenang saat air mencapai puncak. Berarti hanya gua awal kita turun yang paling aman karena tidak akan terjangkau air walau sedang puncak pasang juga kondisi dalam gua yang berupa tanah landai bisa digunakan untuk berteduh. Hayo siapa yang berminat pasang tenda di sini. Gak rugi lah pokoknya kalau mau nenda di sini.

Perjalanan pulang aku dan Trysu sempat menyusuri lewat pingir pantai yang ternyata capek karena harus loncat dari satu batu ke batu lain. Ternyata waktu naik ke atas ada jalan setapak yang hanyak cukup satu badan. Walau kecil saja tapi jalan ini rupanya jalan yang paling cepat bila mau ke Liang Bala dengan jalan kaki. Motor tidak bisa melewati jalan ini ya karena di beberapa titik kita tetap harus melewati batu-batu besar. Gobloknya, dengan jalan kaki sejauh itu kira malah hanya membawa satu botol air putih ukuran kecil. Keruan saja kita pulang jadi setengah mati gara-gara kehausan di sepanjang jalan. Udah gitu warung yang biasa buka di pinggir dermaga entah kenapa juga tidak jualan hari ini.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 24 Juli 2012

Labuan Bajo: Melangkahi Daratan

Kembali lagi ke Labuan Bajo paling tidak selama seminggu harus mendekam di hotel lagi. Waktu yang cukup singkat mengingat jadwal kegiatan yang padat sehingga sampai beberapa belum tahu mau merencanakan perjalanan kemana yang tidak mengganggu jadwal. Jangan bilang berenang atau melihat Komodo deh.
Sepertinya bakal menghabiskan waktu seminggu ini di hotel saja sampai kemudian teman-teman dari Manggarai menawarkan perjalanan ke air terjun Cunca Wulang, sebuah air terjun yang terletak tidak begitu jauh dari Labuan Bajo. Namun sebelum ke air terjun, aku dan Kadek sempat juga mengunjungi Gua Batu Cermin walaupun kedua tempat itu kita kunjungi pada waktu yang kurang tepat.

Gua Batu Cermin
gua batu cermin
Pintu masuk ke atas menuju Gua Batu cermin
Sekitar hari Sabtu acara selesai jam 4 sore, Vian menawarkan jalan ke Gua Batu Cermin yang letaknya masih di sekitaran Labuan Bajo. Sebenarnya sudah beberapa kali aku ingin ke gua itu hanya entah kenapa belum-belum juga. Kesempatan baik walau secara waktu kurang tepat. Sebelumnya aku sudah mendapat cerita bahwa waktu terbaik ke gua itu adalah siang hari tepat dimana sinar matahari dapat masuk dari lorong bagian atas dan dinding-dinding gua yang berkilauan memantul-mantulkan cahaya layaknya cermin. Tak apalah, setidaknya aku mengenal dahulu seperti apa gua itu nanti baru bisa kembali lagi di waktu yang tepat.
Dari Labuan Bajo, kendaraan pak Vian berjalan ke Utara sampai melewati rumah jabatan Bupati dan di pertigaan berbelok ke Timur masuk ke jalan lebih kecil. Tak sampai 15 menit kami menemui sampai di lokasi.
Setelah membayar tiket masuk dan biaya untuk tour guide kamu mulai masuk ke dalam area. Jalan setapak ini menerobos semak-semak bambu berduri. Seekor ular kecil sempat menghalangi langkah kami. Melihat ukuran kepala yang lebih besar dibanding tubuhnya, aku memperkirakan ular berwarna coklat kemerahan ini jenis berbisa.
gua batu cermin
Di bagian atas gua
Sebuah batu tinggi tampak menjulang keras ditutupi rimbunnya pepohonan. "Itu pintu keluar pak, kita masuk lewat sana," tunjuk Tony sang guide menunjuk ke arah jalan lebih ke dalam. Tony yang ditunjuk menjadi guide kami berpenampilan rambut gimbal ala Bob Marley, dia masih bersekolah di SMK jurusan pariwisata sementara ini dalam rangka magang.
Dari depan pintu masuk menuju gua tampak tampak tangga menuju ke atas mengitari sebuah batu yang katanya terus tumbuh tinggi sepanjang tahun. Penambahan tinggi batu itu diakibatkan tetesan air yang membawa material dari atas.
Beberapa wisman asing tampak berdiri di depan sebuah ceruk gelap pendek, aku tidak bisa memastikan darimana wisman ini berasal namun sebagian mereka boleh aku katakan tua.
Rupanya gua Batu Cermin bukanlah gua bawah tanah, namun lebih ke adanya ruangan dari batu-batu yang bersusun.
Untuk menuju ke tempat dimana lokasi batu cermin itu berada kita harus masuk ke dalam ceruk di depan para wisman itu. Rombonganku sempat tertahan karena Tony hanya membawa dua senter dan itupun yang satu mati. Untung aku sendiri selalu membawa senter kecil di rompiku. 
Guide dari rombongan wisman asing sempat mengomel kepada kami. Ternyata itu karena kurang suka dengan keisengan salah satu wisman tua yang nakal menaruh tempat sampah di depan ceruk gua yang kecil ini. Katanya mereka tidak berani karena ceruknya terlalu kecil lalu memilih berdiri di depan ceruk itu.
gua batu cermin
Fosil kura-kura di atap gua
gua batu cermin
Kelelawar berukuran kecil

Setelah menyingkirkan tempat sampah Tony mulai merunduk masuk ke dalam ke dalam ceruk gua. Dengan tinggi ceruk tak lebih dari satu sepermpat meter dan lebar yang pas badan memang bisa menciutkan nyali apalagi yang berbadan besar. Diujung ceruk pertama Tony menunjukkan baru seperti payudara wanita yang dikatakan sebagai simbol ibu. Setiap pengunjung diharuskan mengelus batu ini, karena konon yang tidak mau memegang batu ini tidak bisa kembali. Setelah beberapa meter masuk kami harus melewati lubang ke bawah lebih sempit dengan ketinggian satu meter dan stalagtit-stalagtit runcing. Kali ini aku harus merangkak. Tony mengarahkan senternya ke arah salah satu stalagtit yang patah dan ada bekas darah. Katanya seorang wisman asing baru-baru ini terluka kepalanya sampai berdarah  dan mematahkan stalagtit itu.
Setelah melewati cerukan kedua tadi kami sampai di ruangan yang agak lebar. Ruangan ini benar-benar gelap, tanpa senter bener-bener hanya pekat. Itu dibuktikan Tony waktu kita kembali dengan mematikan semua senter, betul-betul pekat karena tak ada celah cahaya bisa masuk disini.
Laba-laba di gua batu cermin
Laba-laba di dalam gua
Batu berbentuk wanita di gua batu cermin
Batu berbentuk wanita di atas dinding gua
Setelah itu aku kembali harus memasuki celah yang lebih pendek, perkiraanku tingginya tidak sampai satu meter dengan lebar yang lebih sempit daripada cerukan pertama. Dengan merangkak kami masuk ke celah itu, selain stalagtit ternyata ada juga stalagmit walau tidak runcing.
Tebing di gua batu cermin
Tebing batu tinggi gua batu cermin
Sekeluarnya dari celah kami sampai ke dalam ruangan lebar dengan ketinggian sekitar dua meter sehingga tangan kami bisa menjangkau beberapa bagian langit-langit gua. Menurut Tony, gua ini dulunya ada di kedalaman laut dan itu dibuktikan dengan beberapa fosil yang terperangkap dalam gua ini. Sebuah tonjolan seperti kura-kura yang menurut Tony memang fosil kura-kura tampak di atas atap gua. Beberapa fosil dari terumbu karang juga jelas terlihat di samping kanan gua dan masih utuh, benar-benar bahwa itu adalah fosil terumbu karang. Untuk ikan memang harus memperhatikan dengan jeli baru kita bisa mengenali bahwa itu adalah fosil.
Aku juga ditunjukkan seekor laba-laba hidup dengan sebuah belalai seperti bulu di depan muka laba-laba itu. Kalau menurut ilmu pengetahuan, binatang yang bisa hidup dan tinggal dalam kegelapan total seperti ini tidak akan memiliki mata karena memang tidak ada manfaatnya bagi pertahanan hidup. Entah, mungkin bagian belalai seperti bulu itu yang menjadi indera penglihatannya.
Kami terus berjalan ke dalam sampai di ujung gua. Dibagian ujung gua dibagian atas terbuka celah sehingga cahaya dari atas bisa menerangi bagian dalam gua. Karena cuma dari ataslah cahaya yang bisa masuk maka hanya pada saat siang hari ketika matahari tepat berada di atas kepala. Saat itu keindahan gua ini bisa terlihat karena dinding-dingding gua yang berwarna putih dan berkilat-kilat seperti kristal akan memantulkan cahaya ke segala arah dalam gua. Menurut Tony, walau tampaknya putih Sungguh saat bukan waktu yang tepat.
Kami harus kembali karena memang gua ini buntu alias tempat masuk keluar dari arah yang sama.
Setelah kembali keluar dari gua, ternyata kami harus berjalan ke arah sebaliknya untuk keluar dari kawasan gua ini.


Air Terjun Cunca Wulang
Meloncat di air terjun cunca wulang
Seorang cewe bule (Ivanna katanya) meloncat dengan semangat
Hari Minggu jam delapan pagi rombongan kami mulai berangkat, terlambat satu jam dari jadwal yang disepakati awal karena menunggu Beny selesai ibadah minggunya. Perjalanan ke arah Timur menuju ke arah Manggarai. Satu jam awal kami masih berkendara di jalanan utama yang kondisinya masih baik walaupun sepanjang jalan dipenuhi kelokan dan tanjakan tajam, khas jalan di Flores. 
Jalan terus menanjang sampai ke daerah Kecamatan Sano Nggoang. Kendaraan kendaraan kami masuk ke pertigaan arah Warsawe. Saat itulah aku baru merasakan jalanan yang kecil rusak dan berkelok-kelok.
Setelah melewati sebuah kecamatan baru yang bahkan lebih kecil dibanding sebuah dusun, kendaraan harus melewati jalan yang baru dibuka masih berupa hamparan tanah merah. Untung kendaraan yang digunakan ketiganya cukup tangguh untuk medan disini.
Seorang penduduk bertindak menjadi guide kami karena ternyata kami harus melalui kawasan hutan negara.
Setelah perbekalan di atur cara mengangkatnya (kebetulan aku kebagian mengangkat minuman) kami mulai menerobos hutan menelusuri jalan kecil dengan akar-akar melintang menghadang jalan. Akar-akar ini sering kali bermanfaat menahan kakiku karena daerahnya yang cukup berbukit-bukit dan bertanah rawan membuat kaki terpeleset. Sebuah tongkat adalah pilihan bijak terutama untuk menahan langkah supaya tidak tergelincir. Menurut penduduk yang menjadi guide kami, jarak dari tempat berhenti menuju air terjun sekitar satu kilometer.
Genangan air terjun cunca wulang
Genangan air sungai dari air terjun
Cukup melelahkan dengan medan seperti ini, tapi suara air menunjukkan bahwa air cukup dekat memacu kembali semangat kami. Sayang ternyata itu hanyalah bunyi air sungai karena ternyata kami harus menyusuri sungai dulu untuk sampai di air terjun. Guide dengan lincah berjalan di antara batu-batu dan mengarahkan kami tempat menyeberang. Di beberapa titik terdapat genangan air yang tampak tenang dan dalam, itulah titik akhir dari air terjun Cunca Wulang.
Air terjunnya sendiri tidak bisa dilihat dari sisi bawah karena terhalang dari dinding-dinding batu terjal yang mengapit aliran airnya. Untuk bisa melihat air terjun maka kita harus naik kembali dari sisi kanan dimana terdapat batang-batang kayu saling diikat sebagai pegangan untuk naik ke atas, dan itu sangat membantu sekali karena tanahnya yang sangat terjal menjadi sulit untuk dinaiki. Setelah sampai di atas, kami baru bisa menyaksikan bentuk air terjun itu.
Ternyata air terjun Cunca Wulang bagian atasnya jatuh tepat di sebuah kawasan bukit batu berbentuk melingkar sehingga sulit untuk dilihat penuh. Aku dan Kadek hanya bisa memotret bagian atas saja. Menurut penduduk, cara melihat utuh air terjun ini adalah berenang dari sungai menuju ke cerukan air terjun itu tapi sayang kamera kami bukan kamera tahan air.
View air terjun cunca wulang
Dua bule mau berenang
Sekembalinya di bawah, terdapat rombongan tiga cewek bule datang disusul rombongan lain. 
Jika rombongan kami hanya berani loncak dari sisi bawah yang tidak terlalu tinggi maka cewek-cewek bule itu lebih berani. Setelah didahului oleh guide dari rombongan itu yang meloncat di ujung batu setinggi enam meter, dua cewe bule itu ikut menyusul. Adegan yang tentu saja tak terlewatkan kami.
Air dibawahnya yang berwarna hijau gelap langsung berdebum begitu tubuh-tubuh mereka mendarat di air. Menurut guide, kedalaman air sungainya sekitar tiga puluh meter entah benar atau kira-kira saja. Tapi memang melihat air yang permukaan bening namun didalamnya berwarna gelap bisa menjadi petunjuk bahwa di sini airnya dalam.
Sayang kami datang terlalu siang sehingga cahaya matahari kuat sekali. Walaupun suasana
di pinggir sungai yang terhalang pepohonan tetap terasa sejuk tapi tidak dengan hasil foto. Kontras yang tinggi sangat menyulitkanku mengambil foto-foto di air terjun ini.
Perjalanan yang cukup melelahkan ternyata membuat selera makan jadi meningkat tak pelak nasi bungkus yang kami bawa habis tandas dimakan dan terasa enak sekali. Apalagi makan di pinggir air terjun seperti ini.
air terjun cunca wulang
Air terjun dilihat dari atas, tidak terlihat sepenuhnya
Sayangnya saking asyiknya mengeksplore lokasi ini aku justru lupa untuk berenang, pas habis makan siang mau berenang semua sudah selesai berenang. Ada sebuah spot air terjun kecil yang sepertinya tergantung pada musim. Saat musim kering seperti ini memang hanya debit air kecil yang keluar
Perjalanan kembali menjadi perjalanan yang menantang, apalagi kalau bukan bayangan harus berjalan menanjak. Beberapa teman kembali dengan membawa beberapa tanaman pakis yang mereka diperoleh di pinggir hutan. Jika awalnya ke sini lebih bawah lokasi jalan yang menurun sekarang untuk kembali harus menapaki jalan menanjak. Cukup capek, untunglah masih ada minuman yang kami sisakan untuk kembali.
Sepertinya kami harus melakukan perjalanan kembali ke sini pada waktu yang tepat, semoga..


Selain lokasi-lokasi ini, masih terdapat beberapa lokasi lain di daratan Manggarai Barat yang layak dan harus dikunjungi seperti Danau Sano Nggoang yang sangat besar dengan kondisi airnya panas dan asam, kemudian ada juga air terjun Cunca Rami yang pernah digunakan untuk syuting salah satu iklan yang menunjukkan keindahan Indonesia Timur, serta kampung adat yang sangat menarik, Wae Rebo.

Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya