Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label dermaga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label dermaga. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 28 Februari 2015

Menyapa Pagi di Kalabahi


Keheningan teluk Kalabahi dalam bingkai suasana pagi
Menyesap nikmatnya kopi pagi disebuah warung kecil di samping kiri pelabuhan ditemani semangkuk mie rebus yang asapnya masih mengepul. Tidak banyak aku temukan tempat minum kopi yang buka di pagi seperti ini di NTT, tidak seperti di Jawa yang dengan mudah kita temui warung-warung yang buka di pagi hari menunggu pembeli memesan kopi. Tapi bukankah kadang yang sulit dicari jadi nikmat sekali jika kita temui. Ah, aku jadi ingat teman yang pernah sampai ke kota ini dan berkata, sering merindui untuk datang kembali di kota ini. Jika sebagian orang ada yang datang sebentar menjadi jenuh, aku jadi ingat kata mantan bupati Alor, Ans Takalapeta: "Alor itu indah jika kita bisa menikmatinya". 

Perahu bertambat di dermaga
Bayangan pagi yang hening

Ya benar, jika kamu bisa berdiri disini menikmati terjebak dalam suasana kota lama, menikmati keheningan yang ada mungkin kamu akan mengangguk setuju pada sebuah spanduk pemda "Alor - Heaven on Earth". Aku sedang tak bicara tentang indahnya terumbu karang di perairan Alor yang menjadi incaran turis dari mancanegara bahkan para dive master level dunia. Aku juga tidak sedang berbicara tentang indahnya panorama pantai di sepanjang Alor. Tak perlu jauh-jauh teman, menikmati kopi di pagi hari atau sekedar mencangkungkan kaki di pinggir dermaga saja cukup alasan untuk menemukan sebuah keindahan jika kau paham maksudku.
Kota lama di depan pelabuhan
Suasana pertokoan dengan arsitektur gaya lama

Beberapa hari ini aku memang jadi rajin bangun lebih pagi karena bunyi adzan Subuh terdengar dari hotel yang jaraknya tak jauh dari hotel mungkin tak lebih dari 100 meter dan disusul oleh 2 masjid lainnya yang hampir bersamaan. Sebelum adzan sendiri biasanya aku mendengar lantunan qiro'ah mengalun dari pengeras masjid. Saat mataku bangun setengah terbuka aku serasa kembali ke kampung halaman dimana musholla hampir bisa ditemui disetiap gang kampung dan saat subuh suara-suara adzan itu terdengar susul menyusul. Aku jadi rindu kampung, masih kuingat saat puasa kami pagi-pagi dengan sarung terkalung di leher berangkat sholat Subuh dan dilanjutkan acara 'ngeceng' di alun-alun kota. Aku ingat, para gadis muda juga keluar bangun subuh. Mereka tidak keluar untuk sholat subuh tapi untuk jalan-jalan, dan alun-alun kadang menjadi tempat 'ngeceng' waktu subuh. Sekarang istilah 'ngeceng' sudah jarang dikenal, mungkin sebagian kalian yang masih dibawah 30 tahun tidak lagi mengenal istilah itu.
Asap tipis tanda aktivitas pagi dimulai
Menimba air laut dari perahu
Mungkin baru kali ini aku leluasa berjalan-jalan pagi di pinggir pantai bahkan saat langit masih gelap. Pagi masih hening selepas Subuh, hanya beberapa orang tua yang keluar agak telat dari masjid karena lebih lama berdzikir. Pun kesibukan di dermaga tak seberapa, hanya beberapa orang yang sibuk mengisi air bersih ke tong-tong perahu. Sepertinya mereka mau berangkat pagi ini. Beberapa kru kapal yang enggan bangun memilih menutup badannya dengan sarung dan meringkuk di pinggiran dermaga.

Patung Perjuangan Rakyat
Kalabahi adalah sebuah kota lama, salah satu kota yang terbentuk sejak awal berdirinya provinsi Nusa Tenggara Timur. Aku bisa mengenali wajah kotanya yang mengingatkanku pada kota lama di Jawa, pun demikian pula dengan kesibukannya. Toko-toko biasanya hanya buka sampai jam tiga sore dan jika buka lagi biasanya selepas jam lima sore. Toko-toko yang berdiri di sekitar pelabuhan masih menjadi pusat keramaian di Kalabahi, suasananya tidak banyak berubah dibanding lima belas tahun lalu.
Lautnya pun begitu tenang, nyaris tanpa gelombang. Jika kalian lihat peta, Kalabahi berada jauh di dalam teluk yang dikenal dengan nama teluk Mutiara. Air laut yang bagai pantulan kaca memantulkan bayangan hitam tanah Alor Besar yang dipenuhi bukit-bukit. Aku saat duduk di dermaga kadang suka membayangkan jika teluk ini adalah sebuah kota pasti malam hari akan melihat pemandangan yang luar biasa, mandi cahaya dari seberang yang yang bayangannya memantul bagai kaca di air laut.
Namun dibalik ketenangannya lautnya, pagi yang kedua aku duduk sendiri di dermaga aku tahu bahwa laut tetap menyimpan bahayanya sendiri. Dan pagi ini aku mendengar dari corong masjid yang memberikan kabar bahwa seorang anak yang masih kecil berumur 7 tahun meninggal tenggelam, seingatku bernama Raihan sekitar jam 19.00. Malam sebelumnya aku memang mendengar percakapan ibu-ibu saat ada kesibukan di dermaga bahwa mereka sedang mencari seorang anak yang hilang tenggelam dan belum ditemukan. Katanya anak itu bersama ibu bapaknya yang sedang memancing di dermaga. Selamat jalan Raihan, sepertinya Tuhan lebih menyayangimu nak walaupun kepergianmu tentulah menyakitkan hati bapak ibumu.

Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 16 Februari 2012

Jejak Pasir: Pantai Merah, Komodo, Kanawa

Suasana siang hari kala pasang di Pantai Merah, Pulau Komodo


Hari Minggu pagi tiba-tiba kami telah duduk di atas perahu membelah laut yang airnya selaksa kaca bening yang memantulkan bayangan pulau-pulau yang menutupi perairan Labuan Bajo. Semua terasa mendadak, berawal dari setengah rencana yang berubah cepat. Hari Sabtu malam memang aku sudah menelepon Arman, teman dari Bappeda tentang rencana kami Minggu mau jalan menggunakan perahunya.
Waktu itu kami masih merencanakan perjalanan ke Pulau Bidadari untuk  snorkling dan ke Pulau Rinca untuk melihat Komodo. Aku sudah sering pergi ke kedua pulau itu, Angga yang baru kali kedua ke Labuan Bajo belum pernah pergi ke kedua tempat itu.  Masalahnya ternyata kedua perahunya sekarang masih di dermaga untuk perbaikan, untungnya Arman punya banyak kenalan yang menyewakan kapal.  
View dermaga Labuan Bajo pada pagi hari
Baru duduk sambil kucak-kucak mata, tiba-tiba aku dikejutkan kedatangan Arman pagi-pagi ke hotel.  Kami masih sempat sarapan pagi dan minum teh karena sampai saat itu masih pada keputusan hanya akan ke Pulau Bidadari dan Pulau Rinca. Sempat terlontarkan ide mau ke Pantai Merah atau ke Pulau Kanawa, tapi perhitungan waktunya agak sulit. Tapi Arman menawarkan kami untuk jalan pagi ini, perhitungan dia jika memang memungkinkan berangkat harus sudah pagi-pagi jalan. Mencoba peruntungan, aku dan Angga langsung buru-buru mempersiapkan perlengkapan. Untung Kadek sempat meninggalkan peralatan snorkling, sehingga kami bisa membawanya sekarang.
Bulan-bulan begini kondisi pariwisata di Labuan Bajo masih terasa sepi, perahu-perahu yang biasa disewakan banyak parkir di dermaga.  Setelah Arman berbincang dengan salah satu pemilik kapal, akhirnya disanggupi untuk mengantarkan pergi ke Pantai Merah yang ada di Pulau Komodo asalkan jalan pagi ini juga karena dari perhitungannya kalau jalan saat ini mendapat keuntungan arus yang mendorong perahu bukan arus balik. Dengan kesepakatan biaya satu juta, aku, Angga dan Ferdi segera naik ke atas perahu. Sayangnya Arman tidak bisa ikut kami kali ini.

Melintasi Lautan Kaca
View pulau-pulau di perairan Manggarai Barat
Dan disinilah aku dan Angga sekarang, duduk di depan perahu menikmati perahu membelah lautan kaca. Dari view atas Labuan Bajo memang sudah tampak kalau laut di sini di penuhi oleh pulau-pulau kecil yang tersebar banyak sekali saling bertumpuk sehingga air laut lebih sering terlihat begitu tenang, permukaan hanya tampak layaknya air yang mengalun nyaris tanpa gelombang. Bayangan pulau-pulau tergambar jelas di air.
Perahu melewati puluhan pulau, ada beberapa pulau yang kuingat seperti Pulau Pungu, Pulau Kelor, Pulau Sembayun, Pulau Pasir Putih, Pulau Pasir Panjang, Pulau Rinca, dan beberapa pulau lain. Setiap pulau seperti menantang kita untuk mendatangi. Cerita pak Tayeb, pemilik perahu saat kami duduk-duduk di depan perahu, pada musim-musim ramai turis asing mereka sering menyewa perahu selama dua atau tiga hari untuk berkeliling pulau-pulau. Selain mereka menikmati keindahan pulau dan perairan di sekitar pulau, sepertinya mereka juga sedang mencari tempat untuk berinvestasi.
Angga di depan perahu menyusuri perairan Komodo
Luar biasa pesona pulau-pulau dan perairan di sini, dengan kondisi perairan seperti itu tak heran jika kawasan terumbu karang hampir dengan mudah ditemui di berbagai sudut. Koral-koral seperti mendapatkan tempat yang nyaman untuk berkembang, pasir-pasir putih menghampar di setiap pulau.
Namun seperti di katakan pemilik perahu, kita harus melewati Selat Sape untuk sampai ke Pulau Komodo. Nah di selat inilah yang paling ditakuti para pemilik perahu, mereka tidak bisa sembarangan lewat selat ini karena pada waktu-waktu tertentu maka kondisi perairan ini bisa muncul pusaran-pusaran ganas yang jika salah penanganan bisa membuat perahu karam. Para pemilik perahu yang sering melewati selat ini sepertinya sudah sangat paham dan mengerti kondisi di sini, mereka biasanya tahu jam-jam berapa kita bisa melewati selat Sape dan jam berapa kondisi selat tidak mungkin bisa dilewati.
Untungnya sesuai perkiraan, arus selat Sape sedang berpihak dengan kami, arusnya mendorong kami sehingga perahu bergerak lebih cepat. Namun perahu tetap harus hati-hati, beberapa kali perahu harus bergerak memutar menghindari arus air berputar.  Di seberang kami melihat sebuah perahu yang nyaris tidak bergerak karena arahnya menantang gerak arus. Menurut pak Tayeb jika sedang melawan arus selat Sape perjalanan yang cuma satu jam bisa menjadi tiga jam.

Short Trek: Pulau Komodo
View Pulau Komodo siang hari dari Frigate Hill
Satu jam kemudian kami berhasil melewati selat Sape, perairan kembali tampak tenang, kami kembali melewati lautan kaca. Perahu kami menerobos masuk ke dalam lekukan dalam pulau Komodo melewati kawasan pantai berpasir putih dengan air yang bening.
Perahu kami melewati kawasan Pantai Merah namun atas saran pak Tayeb, kami singgah dulu ke petugas Taman Nasional Komodo (TNK) sekaligus biaya masuk. Sebenarnya terumbu-terumbu yang tampak dari atas perahu seperti menarik kami untuk segera terjun seperti halnya beberapa orang asing yang sedang asyik snorkling.
Perahu kami terus masuk ke dalam dan menambatkan perahu ke dermaga kayu. Di sisi utara tampak bangunan dermaga beton yang sedang dibangun namun belum selesai. Di sebelah selatan tampak sekumpulan rumah-rumah, menurut keterangan petugas di situlah satu-satunya kawasan hunian yang diijinkan ada di Pulau Komodo ini. Kalau di Rinca biasa disebut dengan Loh Buaya, maka Pulau Komodo disebut dengan istilah Loh Liang.
Jembatan di jalur short trek menuju ke Frigate Hill
Selesai urusan administrasi, kami langsung di ajak seorang ranger yang bertugas mendampingi kami ke peta jalan. Disitu ada beberapa pilihan trekking yang dapat kami ambil: short trek, medium trek, long trek dan adventure trek. Sebenarnya yang paling menarik adalah Long Trek, karena di salah satu spot adalah lokasi dari sarang komodo (dragon nest). Cuma mempertimbangkan waktu, Angga lebih memilih jalur pendek. Kalau istilahnya, ini jalurnya wisatawan lokal dan orang-orang yang tidak mau susah hahahaha. Kalau wisatawan yang niat ke sini, biasanya ambil yang long trek atau sekalian adventure trek.
Sang ranger, Jacky namanya mengambil sebuah tongkat kayu yang ujungnya bercabang, dia juga meminta kami memegang tongkat itu. Jacky ini adalah penduduk asli yang tinggal di perkampungan yang kami lihat dari dermaga tadi. Menurut pak Tayeb, satu-satunya yang bahasa yang paling berbeda di Labuan Bajo adalah bahasa penduduk lokal Komodo.
Karena berjalan menuju ke titik pertama di Water Hole yang dikenal dengan nama Hutan Asam. Disini ada sebuah daerah genangan air yang dipakai binatang semacam rusa, babi, kerbau, sapi liar untuk minum air sehingga daerah ini mencari daerah utama perburuan komodo. Selain binatang itu, burung Kakatua Putih dan Gagak juga banyak ditemui di sini.
Pose di belakang seekor Komodo di water hole
Menurut penuturan Jacky, di Pulau Komodo masih terjadi beberapa kejadian komodo memangsa manusia. Terakhir kali dia cerita, seorang anak kampung mati digigit komodo saat buang air besar. Walaupun tidak disantap komodo karena berhasil ditolong warga namun dengan kondisi lukanya akhirnya nyawa anak itu tidak tertolong. Komodo disini masih dibiarkan dengan sifat aslinya, jadi dari awal ranger yang mendampingi akan memperingatkan pengunjung untuk berhati-hati dalam berjalan dan tidak berbuat sesuatu yang dapat memancing komodo salah satunya adalah dengan menggerak-gerakkan sesuatu benda. Menurutnya, gerakan berulang-ulang seperti tali terjuntai bisa mengundang insting komodo karena dianggap sebagai mangsanya. Saya kurang tahu, apakah ini ada hubungannya dengan ekor binatang. Karena komodo ini walau tampak sebagai binatang pemalas, bodoh namun juga cerdik dan licik. Kebiasaannya yang diam di satu tempat seperti batu kadang dianggap tidak berbahaya, padahal jika kita dalam jangkauan komodo bisa tiba-tiba bergerak cepat. Kecepatan larinya bisa mencapai 20 km/jam.
Seekor rusa liar yang sedang makan dan berteduh di depan restoran
Angga sempat menunjukkan perasaan jerih saat seekor ular hijau tampak di pepohonan. Kami beruntung, sampai di hutan asam kami menemukan dua ekor komodo yang diam layaknya batu di samping lokasi genangan air.
Dari lokasi Water Hole kami bergerak ke arah bukit Frigate Hill, dari atas sini kami bisa melihat view dermaga Komodo. Tampak beberapa ekor rusa sedang asyik makan di atas bukit. Sebentar di sini kami turun ke bawah ke arah perkantoran TNK dan tempat beristirahat. Di sini, kami melihat lebih banyak rusa yang sedang asyik berlindung di bawah pohon. Cukup banyak, rupanya tempat ini menjadi tempat yang aman bagi rusa-rusa liar ini karena pasti tidak ada pemburu liar yang berani memasuki kawasan ini. Cerita tentang pemburu liar, jumlah komodo yang terus menurun setiap tahun juga disebabkan oleh ulah para pemburu liar ini. Menurut Jacky, para pemburu umumnya dari Sape dan mereka sebagian besar memburu rusa baik untuk komsumsi sendiri atau dijual. Padahal komodo sendiri lebih menyukai berburu rusa dibanding dengan babi hutan.

Pantai Merah (Pink Beach)
Perairan yang jernih kehijauan di Pantai Merah
Aku kurang tahu apakah pantai merah ini sama dengan pantai pink (pink beach) yang disebut-sebut sebagai satu dari tiga pantai yang berpasir merah di dunia. Tapi tidak seperti dugaanku, Pantai Merah ini ternyata lokasinya tidak jauh dari dermaga Komodo dan masih dalam lintasan yang harus dilewati jika ingin ke Pulau Komodo. Air di perairan ini sangat tenang, namun sayangnya saat itu ternyata air baru pada posisi masih pasang. Terumbu karang berada di kedalaman empat sampai lima meter, dan yang paling menyulitkan adalah saat itu terjadi arus yang cukup kuat ke tengah di sisi selatan perairan. Hal itu aku rasakan saat aku dan Angga mencoba mencapai terumbu karang dari sisi selatan, tanpa bergerak ternyata badan kami terseret ke tengah dengan cepat. Menyadari situasi ini aku segera ke pinggir pantai setelah memberikan kode ke Angga untuk tidak ke pinggir juga. Angga sendiri sebenarnya ini menjadi pengalaman pertama snorklingnya, kondisi perairan seperti ini jelas berbahaya untuknya.
Walaupun saat ini siang hari dan cuaca terasa sangat panas, namun sebaliknya air yang mengalir jernih justru terasa dingin, kontras sekali. Mungkin pengaruh pergerakan arus di sini yang menyebabkan suhu air dingin.
Perahu kami tak bisa ke pinggir pantai, menurut aturan dari petugas Taman Nasional Komodo memang perahu besar dilarang ke pinggir pantai dan hanya menambatkan perahunya di tengah, untuk ke pantai harus dengan perahu kecil atau dengan motor boat yang biasanya dibawa serta di perahu besar. Sayang perahu kami tidak memiliki perahu kecil seperti yang digunakan para bule yang sekarang dengan kameranya asyik naik di atas motor boat ke pinggir pantai.
Pantai merah ini memang punya kawasan terumbu yang indah, jika beruntung bahkan kita bisa melihat Manta Ray, ikan pari raksasa dengan kepala terbelah dua. Kawasan pantai berpasir putih dengan aksen merah, yang rupanya berasal dari remukan terumbu karang merah yang telah mati. Kami hanya berenang sebentar di pantai merah karena posisi matahari yang berada di atas kepala terasa keras menyengat, sementara dari perhitungan pak Tayeb kami masih bisa singgah di Pulau Kanawa jika berangkat saat ini.
Pulau Kanawa (Kanawa Island)
View Kanawa Resort Island dari atas perbukitan dari sisi sebelah barat
Kami kembali melewati selat Sape yang kali ini arusnya terasa lebih kuat dari pada siang tadi. Beberapa lokasi tampak arus berputar melingkar membentuk pusaran dalam sehingga perahu harus bergerak menjauhi. Untung perahu kami cukup besar sehingga liukan-liukan perahu menghindari pusaran-pusaran air tidak begitu terasa. Arus balik kali ini juga membantu kami membuat perahu bergerak laju walaupun perahu juga tidak dapat bergerak lurus dengan adanya pusaran-pusaran itu.
Selepas selat Sape kami kembali merasakan menerobos lautan kaca, setelah melewati beberapa pulau, dua jam berikutnya kami akhirnya mendekat ke dermaga kayu di Pulau Kanawa. Karena saat itu sudah dalam kondisi cukup surut dari pinggir dermaga kami bisa melihat koral-koral di sepanjang pantai Kanawa. Sebuah tulisan dari bambu dicat putih membentuk tulisan KANAWA tampak di akhir dermaga.
View Pulau Kanawa dari sisi sebelah selatan
Pulau Kanawa ini sudah disewa oleh orang asing dan di atas pulau dibangun pondok-pondok kecil sebagai tempat menginap yang dikenal sebagai Kanawa Resort Island.  Namun pada bulan Februari ini situasi tempat ini tampak sepi, hanya beberapa pondok yang ditinggali oleh wisatawan asing, selebihnya adalah para pekerja di resort itu. Menurut seorang pemuda yang bertindak sebagai dive master di tempat ini, pada bulan-bulan begini memang hampir seluruh resor di pulau-pulau masih sepi karena kondisi perairan dalam begini memang cenderung lebih keruh. Biasanya wisatawan mulai datang pada bulan-bulan setelah hujan tidak banyak, yaitu sekitar bulan April ke atas. Alasan utama karena memang pada bulan begini perairan sering berubah agak keruh karena arus yang lebih kuat dibanding pada bulan-bulan itu.
Dermaga kayu menuju ke Kanawa Resort Island
Karena ingin melihat sekeliling, pekerja dari Kanawa Resort menawarkan kami untuk trekking ke atas bukit.  Tiga ekor anjing, salah satunya diberi nama Alvin dengan sigap mendahului kami dan menjadi penunjuk jalan. Sepertinya ketiga anjing ini telah dilatih sedemikian rupa untuk menjadi penunjuk jalan bagi orang-orang yang mau trekking.
Trekking ini paling pas untuk bisa melihat kondisi keseluruhan dari Pulau Kanawa sekaligus melihat kondisi perairan di seluruh perairan. Dari atas bukit ini kita bisa melihat sunrise dan sunset. Lokasi yang menawan.
Anjing yang menjadi penunjuk jalan kegiatan trekking kami
Jalan trekking menanjak 60 derajat dan hanya bagian bawah yang sudah disemen sementara bagian atas berupa jalan tanah. Cukup melelahkan dan menguras tenaga kami karena sebelumnya kami juga sudah capek trekking di Komodo. Anjing-anjing itu dengan lincah menyusuri jalan kecil, sesekali naik ke atas batuan untuk memastikan kami bisa melihat keberadaan mereka. Namun ternyata jalan yang harus dilalui makin sulit, beberapa batu langsung bergeser ketika diinjak membuat kami harus ekstra hati-hati.
Namun ternyata jalur trekking berhenti karena selebihnya belum dibuat jalur, karena waktu yang sudah semakin sore akhirnya kami memutuskan untuk turun kembali. Mungkin kami perlu kembali dan merencanakan perjalanan yang lebih baik agar bisa mengeksplorasi tempat-tempat ini lebih detil.

Labuan Bajo: Amazing View of Sunset
Menjelang malam saat kapal bersandar di dermaga di Labuan Bajo
Meskipun pulau-pulau di perairan Labuan Bajo, namun Labuan Bajo sendiri menawarkan pesona view yang tak kalah menawan. Walaupun belum infrastruktur belum lengkap namun pembangunan beberapa hotel berbintang empat dan lima menunjukkan bahwa Manggarai Barat memiliki potensi luar biasa yang akan terus mampu menyedot wisatawan untuk datang menikmati sensasi alam di Labuan Bajo.
View senja di Labuan Bajo dari Puncak Waringin
Pemandangan sore hari adalah pemandangan yang tidak bisa dibiarkan begitu saja, dan Labuan Bajo adalah tempat yang sangat tepat dengan keberadaannya di sisi barat pulau Flores, tarikan awan senja merah dapat anda nikmati dari hotel-hotel dan penginapan yang berdiri di sepanjang sisi miring tebing yang menghadap ke barat. Kafe-kefe dan restauran juga banyak dibangun dengan ketinggian yang memungkinkan kita leluasa melihat matahari terbenam menghilang diantara pulau-pulau yang tampak saling bertumpuk.
Sebuah negeri 1000 pulau yang benar-benar menjanjikan petualangan wisata laut yang luar biasa. Anda hanya harus membiasakan diri betapa tidak mudahnya sarana transportasi di tempat ini.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 08 Desember 2011

Senja di Pelabuhan Ende

Ke Kota Ende. Untuk beberapa urusan. Urusan kantor dan urusan cinta hehehe...
Setelah satu urusan rampung, aku berpikir untuk mencari ‘bahan’ untuk di potret. Beruhubung urusannya berlanjut esok hari. Sekitar jam 4 sore aku memulai ‘pencarianku’. Keliling kota ende yang kecil. Beberapa bibir pantia ku kunjungi untuk medapatkan ‘titik’ terbaik. Cuaca yang kurang mendukung sedikit mengganggu pencarianku.

Setelah berkeliling beberapa saat, perut mulai menunjukan gejala butuh ‘asupan’ logistik hehehehe... Bakso kotak menjadi pilihan untuk ‘merawat’ perutku ini. Semangkok bakso dan segelas teh hangat, plus sebatang dji sam soe memberikanku kekuatan lagi untuk melanjutkan pencarianku.

Mentok. Kalimat yang saat itu bermain di kepalaku. Atau aku yang kurang feel akibat kondisi cuaca. Dermaga Pelabuhan Ende akhirnya menjadi tujuan akhir untuk nongkrong. Sambil merokok tentunya. Menonton kecerian generasi penerus kota ende yang asik bermain sepeda di dermaga, loncat dari dermaga dan berenang ke tepian. Sungguh asik.
Setengah jam berlalu. Mendadak terjadi perubahan warna langit. Sebelumnya datar dan gelap, menjadi kemerahan dalam gulungan awan. Langit memang susah diprediksi keadaannya. Dan ini kesempatan yang tidak kusia-siakan tentunya.

Setengah jam mengabadikan senja di Pelabuhan Ende. Seadanya. Sesuai kemampuan... di bantu gradual ND dan grad-tobbacco TIAN YA...

Sebatang dji sam soe mengakhiri semuanya. Sambil menatap langit indah yang perlahan diselimuti malam. Pelabuhan Ende perlahan menjadi sepi. Tinggal riak ombak dan alunan suara musik melayu dari kapal barang yang sandar di dermaga. Saatnya pulang ke rumah.


------>Ende, 6 Desember 2011
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya