Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label belu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label belu. Tampilkan semua postingan

Minggu, 17 Maret 2019

Benteng Tujuh Lapis di Fulan Fehan

Saran Mot dari Benteng Tujuh Lapis

Kami celingukan di depan gerbang masuk Benteng Makes yang lebih dikenal dengan nama Benteng Lapis Tujuh. Sebuah bangunan yang berdiri di samping sebuah tiang dikitari pagar batu tampak kosong tak terurus, entah karena hari ini Minggu atau memang sudah tidak dipakai. Katanya untuk masuk ke dalam harus bersama penjaga yang akan melakukan ritual supaya kita diijinkan masuk.

"I believe that imagination is stronger than knowledge. That myth is more potent than history. That dreams are more powerful than facts. That hope always triumphs over experience. That laughter is the only cure for grief. And I believe that love is stronger than death." --- Robert Fulghum

Katanya, untuk memasuki benteng sampai ke pagar ke-tujuh yang disebut dengan Saran Mot ini, harus didahului dengan upacara adat yaitu meminta izin untuk membuka jalan menuju Saran. Ritual adat ini dilakukan oleh Tisi Antak Ne’an (kepala suku setempat). Ada lima tempat yang harus dilewati sambil membuat upacara adat untuk membuka jalan atau pintu menuju Saran Mot. Kalau niatnya berkunjung atau sekedar jalan-jalan menuju Saran, syaratnya bisa dengan beras yang dihambur – hamburkan sedikit demi sedikit di tempat-tempat yang sudah ditentukan oleh kepala – kepala suku, kemudian meletakkan sirih pinang dan uang kertas. Lain halnya kalau mau melakukan suatu upacara adat dalam Saran Mot itu sendiri, syaratnya adalah harus membawa beras, uang kertas, ayam jantan warna apa saja, tetapi khusus pintu terakhir masuk Saran harus ayam jantan warna merah dan sirih pinang.

Saran Mot dari Benteng Tujuh Lapis
Setelah beberapa saat bimbang, akhirnya kami masuk ke dalam setelah meletakkan beberapa uang koin dan sebatang rokok di samping pagar batu. Tentu saja dengan niat baik sekedar berkunjung. Lagian aku gak mungkin tebar-tebar beras, karena bisanya tebar-tebar mie instan hehehe.

Begitu masuk pagar batu pertama kami harus berjalan menyusuri pinggir untuk menemukan pintu pagar kedua, lalu setelah masuk pintu kedua kembali menyusuri gerbang kedua untuk menemukan pintu ketiga dan seterusnya. Hal ini disebabkan benteng memiliki lapisan-lapisan pagar dengan pintu yang tidak langsung. Entah mengapa dibuat seperti itu, kemungkinan itu adalah strategi supaya jika musuh masuk ke dalam tidak langsung bisa menjangkau pusat benteng sekaligus membingungkan musuh. Hanya perkiraanku saja.

Saran Mot dari Benteng Tujuh Lapis
Benteng Makes berada di bukit Makes yang masuk dalam wilayah Desa Dirun, Kecamatan Lakmanen, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur, dengan ketinggian sekitar 1200 Mdpl. Jarak dari Kota Atambua menuju Desa Dirun kurang lebih 40 km, dengan waktu perjalanan ± 1,5 jam. Benteng ini berada satu wilayah yang sebut dengan Fulan Fehan, sebuha padang sabana yang telah berkembang menjadi objek wisata alam. Tempat ini sudah dikenal dan sering dikunjungi oleh wisatawan Indonesia dan asing. Biasanya ramai kunjungan pada saat musim liburan. Bukit Makes dan padang sabana Fulan Fehan masuk ke dalam zona Hutan Milik Negara.

Cerita Singkat Benteng Lapis Tujuh
Benteng ini sebenarnya bernama Benteng Ranu Hitu atau yang biasa dikenal orang-orang lokal sebagai Benteng Lapis Tujuh, karena berada di atas bukit Makes maka sering disebut dengan Benteng Makes. Benteng ini adalah benteng utama Kerajaan Dirun pada waktu itu, benteng perang yang pada saat itu di pulau Timor masih sering terjadi perang antar suku.

Menurut cerita masyarakat setempat Benteng Ranu Hitu/Makes sudah ada sebelum penguasaan Portugis dan beberapa kali berpindah tangan sampai akhirnya dijaga oleh tiga pahlawan lokal dari 3 suku yaitu suku Loos, suku Sri Gatal, dan suku Monesogo. Benteng ini dulu merupakan tempat para Meo, atau pemimpin perang. Di dalam benteng inilah tempat mereka mengatur strategi atau bahkan melakukan tes kekebalan tubuh dengan cara memotong-motong tubuh mereka sendiri untuk membuktikan apakah tubuh mereka bisa kembali menjadi utuh sebelum maju ke medan perang.

Ada sebuah tradisi yang masih berlanjut dari Suku Uma Metan, menaruh sirih pinang di dekat makam raja. Hal ini merupakan adat istiadat masyarakat setempat. Sirih pinang memang identik sekali dengan suku-suku di Timor, bisa sebagai lambang persahabatan, lambang perdamaian juga lambang keakraban. Seakan dengan mengunyah sirih pinang menjadikan kita sebagai bagian dari keluarga masyarakat Timor. Selain itu sirih pinang juga merupakan simbol rasa hormat. Dengan menaruh sirih pinang di dekat makam raja. Suku Uma Metan percaya bahwa arwah leluhur masih banyak bersemayam di tempat itu. Benteng Ranu Hitu sendiri kabarnya dibuat selama tujuh hari tujuh malam, dimana pada siang hari dikerjakan dengan tenaga manusia dan pada malam hari dikerjakan oleh para arwah leluhur. Tidak heran suasana mistis terasa kental sekali saat berada di tempat ini.


Seperti apa Benteng Tujuh Lapis
  1. Seperti yang aku ceritakan di awal, benteng ini dibangun dari batu-batu yang disusun membentuk pagar dengan jumlah tujuh lapis pertahanan. Batu-batu yang disusun hanya diletakkan tanpa menggunakan semen atau bahan pengikat lain. Sampai saat ini bangunan ini masih kuat, pada musim hujan biasanya lebih berlumut namun mengering saat musim kemarau.
  2. Setiap lapisan pagar memiliki pintu letaknya yang tidak berada sebaris. Jadi untuk menuju ke pintu harus berjalan menyusuri gerbang lapis pertama sampai menemukan pintu kedua dan seterusnya.
  3. Di bagian pusat atau Saran Mot terdapat sebuah meriam tua yang diletakkan di depan pintu Saran Mot. Meriam tua itu katanya adalah peninggalan dari bangsa Portugis.
  4. Ada cerita yang mengatakan tentang Saran Mot, walaupun diameter lingkarannya tidak lebih dari 10 m, konon apabila melakukan upacara ritual adat dalam lingkaran kecil ini, walaupun ditempati lebih dari 500 sampai 1000 orang, akan tetap muat dalam lingkaran ini. Bagian ini cuma katanya lho ya, aku sendiri belum pernah membuktikannya.
Beberapa sumber tulisan yang aku gunakan untuk menulis ini:
  1. http://lopezdedhe22blee.weebly.com/benteng-makes.html
  2. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbali/situs-benteng-ranu-hitu-makes-desa-dirun-kecamatan-lakmanen-kabupaten-belu-provinsi-nusa-tenggara-timur
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 26 Februari 2019

Matahari Terbit dari Fulan Fehan

Sunrise di Fulan Fehan
Bentang alam di depanku terlihat samar dalam kegelapan yang makin memudar. Cahaya kuning di langit timur mencoba menyibak awan dan kabut dingin yang melingkupi perbukitan Fulan Fehan. Bukit-bukit bertumpuk membagikan pemandangan siluet yang begitu mengagumkan. Tak ada pembicaraan pagi ini, dunia pagi ini milik burung-burung yang mencicit tanpa henti tanpa jeda. Sesekali angin yang bertiup di sela-sela dinding bebatuan menciptakan siulan panjang. 

"We need to find God, and he cannot be found in noise and restlessness. God is the friend of silence. See how nature - trees, flowers, grass- grows in silence; see the stars, the moon and the sun, how they move in silence... We need silence to be able to touch souls" -- Mother Teresa

Matahari Terbit dari Perbukitan Timor Leste
Pagi-pagi buta tiba-tiba aku merasakan urusan bagian tengah tak tertahan. Dengan mata masih berat oleh kantuk aku keluar tenda. Beberapa meter aku mencari area terbuka untuk menuntaskan hasrat pagi. Setelah agak lega barulah aku mulai memperhatikan di sekeliling. Untung tidak terlalu gelap, bulan masih tersisa di ufuk barat. Bagian atas tenda sudah basah kuyup oleh embun, termasuk tripodku yang aku tinggal semalaman di luar tenda. Aku masuk ke dalam tenda mencari termos air panas. Sambil duduk di atas batu, aku menyesap air panas yang sudah berkurang panasnya. Lumayan membantu menghangatkan badan sambil menunggu pagi.

Al dan Imam masih asik tidur, hawa pagi yang dingin membuat mereka makin menggulung badan ke dalam sleeping bag yang jauh lebih hangat. Percayalah, kalau tidak karena keinginan melihat matahari pagi tentu saja aku juga akan lebih suka bergulung di dalam sleeping bag. Lihat saja Imam, begitu aku mengosongkan tempatku langsung badan dia mengambil alih.


Selesai mengemasi peralatan kamera aku mulai beranjak keluar ke arah tebing untuk memotret pagi sebelum matahari terbit. Di pertengahan jalan aku baru teringat kalau filter kameraku masih tertinggal di tenda. Sementara warna kuning di langit timur mulai jelas. Galau.. antara kembali yang mungkin saja membuatku kehilangan momen matahari terbit ataukah nekat lanjut terus dengan mengandalkan filter yang sudah terpasang di kameraku. Duh sial, pilihan seperti ini selalu dilematis. 

Akhirnya aku memilih berbalik arah kembali ke tenda hijau yang dipasang di balik gundukan bukit, setengah berlari. Itu pun harus sambil berhati-hati, beberapa batang pohon kaktus dengan durinya yang kecil tapi tajam akan jadi malapetaka jika mengenai kulitmu. Aku merasakan saat lenganku terkena duri pohon kaktus, duh itu durinya nyusup kecil-kecil banyak. Itu duri sebagian masuk ke dalam kulit dan sulit diambil, rasanya itu gak karuan.. gak sakit tapi mengganggu.

Sunrise di Fulan FehanAkhirnya cuma aku dan Al yang balik ke ujung timur bukit Fulan Fehan. Untunglah sampai disana matahari baru juga naik ke atas. Belum terlalu tinggi lah, cahaya kuningnya juga masih tertangkap jelas. Sambil berjalan menuruni bebatuan tanganku sigap membuka tuas-tuas pengait tripod. Momen pagi seringkali berlalu sebentar saja, telat kita mempersiapkan alat.. ya sudah.. duduk ngopi saja sambil liat matahari pagi bermain-main cahaya ke arah perbukitan.


Sambil memotret, mataku sekali-kali melirik ke sebelah kiri. Tiba-tiba saat keasyikan mencari angle foto tiba-tiba kakiku sudah nyaris masuk menginjak batas area hutan. Ada sebuah hutan kecil di pinggir tebing, tapi disekelilingnya ada tulisan "pamali". Hutan itu katanya adalah Benteng Kikit Gewen, tempat dimana raja timor disemayamkan. Ukurannya tidak terlalu luas seperti sebuah hutan kecil di antara luasnya sabana Fulan Fehan. Antara hutan dan padang di batasi lapisan batu-batu karang yang disusun tidak terlalu tinggi menjadi semacam pagar pembatas.


Mataku mencoba menelisik ke dalam hutan yang masih agak gelap. Angin dingin yang bertiup dari arah hutan membuat bulu kudukku meremang, dingin. Satu sisi aku ingin masuk dan melihat hutan ini, namun aku tahu tidak bisa sembarang orang yang boleh masuk begitu saja ke tempat yang sangat disakralkan itu. Butuh seorang pemandu yang merupakan juru kunci tempat ini juga bisa masuk, itu pun dengan beberapa persyaratan. Al sendiri memilih berdiri agak menjauhi hutan itu.

Akhirnya matahari keluar juga dari lanskap pegunungan yang merupakan batas antara Indonesia dan Timor Leste. Rona jingga-nya mewarnai awan tipis yang menyelimuti langit pagi itu, membuat matahari tampak redup sehingga bentuk bulatnya tergambar jelas.

Lagi-lagi Al menjadi keisenganku, aku meminta dia menjadi obyek tambahan dengan syarat tidak memakai baju. Padahal saat itu hawanya masih terasa dingin. Biar kerasa laki, biar dingin-dingin tetap berani gak pake baju. Sayang perutnya dia gak six-pack terpaksa harus dipotret dari belakang hahahaha.

Kuda-Kudang yang Merumput
Saat kembali dari memotret Fulan Fehan, beberapa ekor kuda tampak di punggungan bukit membuat aku bertanya-tanya dalam hati kapan mereka kesini karena sepagian aku tidak melihat seorang pun yang datang mengembalakan kuda kesini.

Tak berapa lama, ada sekitar tiga ekor kuda lagi yang keluar dari gerumbulan pepohonan di belakang tempatku memasang tenda. Oh rupanya kuda-kuda ini memang tidak digembalakan tapi dilepaskan begitu saja. Jadi saat malam mereka masuk ke dalam hutan kecil dan keluar lagi di padang saat pagi hari.

Sayangnya agak sulit mendekati kuda-kuda ini tanpa ada pemiliknya. Setiap aku mendekat mereka akan berjalan menjauh. Karena beberapa kali gagal mendapatkan gambar kuda-kuda ini dari dekat, ya jalan termudahnya aku mengganti lensaku dengan lensa panjang sehingga membuat kuda-kuda bisa dipotret tanpa merasa terganggu.

Tak berapa lama dari balik hutan kecil itu muncul lagi tiga ekor ekor dengan seekor kuda yang masih kecil mengikuti salah kuda yang lebih besar, kemungkinan besar itu induknya. Entah ada berapa kuda lagi yang bermalam di dalam hutan kecil itu. Merekalah sejatinya pemilik tempat ini, karena merekalah yang menjaganya. Kitalah yang sibuk mengklaimnya.



Sayang, kegembiraan memotret kuda-kuda harus dihentikan karena urusan perut bawah. Waktunya memasak untuk mengisi perut. Dan tentu saja segelas kopi di pagi seperti ini adalah keharusan.

Temen ngopi dan nenda: Al-Buchori dan Imam 'Boncel'
Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 21 Juli 2017

Air Terjun Mauhalek: Juara!

Mauhalek Waterfall
Aku duduk di atas sebuah batu sambil menatap ke atas, ke arah sumber suara gemuruh bunyi air yang jatuh ke bawah membentuk sebuah pemandangan yang orang bilang air terjun. Mataku bisa menangkap beberapa pria muda dengan hanya celana pendek mencoba naik dari sela-sela batu menuju ke atas. Pria-pria muda sedang menikmati memacu adrenalinnya. Terlalu berbahaya sebenarnya, tapi siapa yang bisa melarang mereka naik ke atas. Penjaga hanya ada di pintu masuk di tepi jalan yang jaraknya masih 800-meteran jauhnya. Aku mulai bersiap-siap saat awan mulai bergerak pelan menutupi matahari. Momen siang seperti ini memang repot untuk memotret air terjun karena terlalu banyak spot yang bocor. Maka untuk mendapatkan gambar yang tidak terlalu buruk, aku bergantung sama kebaikan awan yang mau menutupi sebentar sinar pagi. Walau tetap saja, tidak akan mengalahkan cantiknya cahaya pagi matahari yang kekuningan. Itulah alasan aku lebih suka mendatangi lokasi-lokasi seperti ini saat pagi atau sore: golden moments.

Foto bareng di air terjun Mauhalek, Belu
Dari atas sini aku bisa jelas melihat Deva yang sangat menikmati mandi di air terjun. Bahkan beberapa kerabat istriku ikut menemani bermain air bersama Deva. Gara-gara dia berendam, akhirnya anak-anak kecil yang lain ikut nyebur juga. Dinginnya air terjun yang berada dikaki gunung Lakaan pasti tidak dirasakannya, maklum cadangan lemaknya banyak. Tidak terlalu ramai menurutku, mungkin karena lokasi tempat ini yang belum banyak dikenal orang. Atau cerita banyak orang yang masih menganggap kalau ke air terjun Mauhalek itu susah medannya.

Perjalanan naik ke atas saat mau makan siang itulah yang bikin barisan mak-mak nafasnya tinggal satu-satu padahal jaraknya tidak jauh. Bahkan dari tempat parkir kendaraan, air terjun Mauhalek masih dapat jelas dilihat. Berbeda saat turun ke air terjun yang pada semangat karena jalan setapak yang telah dibeton menurun terus, maka saat kembali artinya harus menikmati jalan naik terus. Deva yang turun semangat pun, harus disemangati untuk naik ke atas. Perut gendutnya sekarang jadi beban tambahan.. Ayo nak, semangatttt...

Suasana riuh pengunjung masih terdengar di bawah, semakin siang semakin ramai yang datang. Untung lopo utama sudah tidak ada penghuninya jadi bisa kami pakai. Lopo bulat dengan empat tiang khas lopo pulau Timor pun gak kalah ramai dengan suasana di bawah. Gemuruh air dan pemandangan air terjun masih tampak dari tempat aku duduk menjerang air yang tak kunjung memanas. Senang aku melihat Deva menikmati perjalanan kali ini, walaupun komunikasinya masih kalang kabut. Dia bicara dengan bahasan dan logat Inggris-nya sementara yang lain dengan bahasa Indonesia dan logat Belu-nya.

Ya, hari ini aku wisata bareng keluarga kakak perempuan istriku di Atambua. Salah satu alasan aku tidak membawa tripod saat diajak mudik ke Atambua, kupikir kita hanya akan pergi ke tempat-tempat biasa. Bakar ikan, sekedar duduk-duduk di pantai atau kolam susu yang penuh orang, atau apalah. Bagaimana dengan tempat wisata? Kalau ingin sekedar jalan okelah.. kalau ingin mendapatkan gambar bagus lupakan saja. Saat libur lebaran seperti ini, rasanya tidak akan ada tempat yang sepi selama masih bisa dijangkau mobil. Itu salah satu sebabnya aku kurang berminat mengunjungi tempat wisata saat libur lebaran. Kalaupun tiap tahun aku mengunjungi tempat-tempat wisata memang cenderung lebih untuk kepentingan anak-anak.

Lokasi Air Terjun Mauhalek
Air terjun Mauhalek adalah salah satu dari sedikit air terjun yang ada di pulau Timor. Mungkin karena faktor geografis dan kontur yang membuat pulau Timor tidak banyak ditemukan keberadaan air terjun. Berbeda halnya dengan pulau Flores atau Sumba yang memiliki lokasi air terjun lebih banyak.

Informasi keberadaan air terjun Mauhalek sendiri belum lama. Mungkin pula karena itu tak banyak orang yang tahu saat aku menanyakan keberadaan air terjun Mauhalek ke masyarakat Atambua. Untung ada keponakan yang kerjanya di PLN bagian lapangan yang ngurusi tower-tower tegangan tinggi jadi banyak tahu wilayah-wilayah terpencil.

Air terjun Mauhalek ini terletak di dusun Fatumuti, desa Raiulun. Desa Raiulun ini masuk kecamatan Lasiolat yang artinya wilayah ini terletak di wilayah kantong yang dikelilingi oleh wilayah Timor Leste. Berada di bawah kaki gunung Lakaan, daerah sekitar air terjun Mauhalek tergolong sejuk. Gunung Lakaan adalah gunung tertinggi kedua di Tanah Timor setelah gunung Mutis.

Gunung Lakaan sebenarnya tujuanku jika bukan libur Lebaran, tepatnya di daerah Fulan Fehan yang terkenal dengan lokasi Benteng Tujuh. Mungkin lain waktu aku akan kembali mengunjungi Fulan Fehan sekaligus mengunjungi kembali air terjun Mauhalek.

Kondisi jalan ke Mauhalek tidak terlalu sulit walau perjalanan selama satu jam penuh dengan tikungan dan tanjakan karena sudah sebagian besar jalan sudah beraspal. Tapi memang saat ini separo jalan sisi kanan dan kiri di banyak ruas sedang digali hampir sedalam satu meter untuk pemadatan dan pelebaran jalan. Beberapa bukit juga sudah mulai dipotong untuk mengurangi tinggi tanjakan. Tanah kecoklatan akhitnya membuat jalanan penuh debu. Balik dari Mauhalek itu mobil sudah sama warnanya dengan tanah. Mungkin kalau pekerjaan jalan sudah selesai, lokasi Mauhalek bisa ditempuh tak lebih dari setengah jam karena jaraknya tak lebih dari 30km.. beberapa orang mengatakan kalau jaraknya hanya 24km. Ah di tanah Timor itu bukan kilometer yang penting tapi berapa lama sampainya.

Pendapatku tentang Tempat Ini
Aku datang dalam kondisi air terjun sudah tidak terlalu besar debitnya. Airnya dari atas tidak langsung jatuh lurus tapi tapi jatuh ke lapisan batu di bawahnya sehingga pecah menjadi aliran-aliran yang lebih kecil. Kondisi itu membuat air terakhir jatuhnya tidak kencang. Karena itu batu-batu diantara air terjun ditumbuhi lumut dan tanaman-tanaman kecil.

View ini membuat pemandangan air terjun Mauhalek jadi indah dan mudah untuk diambil foto bahkan dari dekat sekalipun. Ini beda dengan tempat-tempat yang air terjunnya jatuh lurus ke bawah yang biasanya menciptakan uap air yang naik jauh ke udara membuat kamera mudah terkena uapnya. Sepertinya saat debit air terjunnya lebih kencang juga tidak akan membuat uap air yang terlalu tinggi.

Jika bersedia datang pagi sepertinya bisa menghasilkan foto air terjun yang juara.. sepertinya aku harus datang lagi kesini pagi-pagi sekali untuk mendapatkan momen terbaik. Apalagi saat pagi biasanya masih jarang orang yang datang. Paling-paling penduduk sekitar yang mau ambil air.

Jadi untuk pemandangan air terjunnya juara lah apalagi untuk difoto. Lain lagi dengan fasilitas pendukungnya. Jalan dari parkir menuju air terjun memang sudah dirabat beton, juga sudah ada sekitar tiga lopo yang dibangun, dan satu tolilet umum yang lebih sering terkunci. Yang agak mengganggu adalah bangunan toilet yang diletakkan pas di depan air terjun sehingga mengganggu pemandangan dari kejauhan. Di beberapa belokan juga harus hati-hati karena tidak dibangun pagar pengaman.

Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 28 Juli 2013

Antara Perbatasan Mota'ain dan Kolam Susuk

Orang memancing ikan di Kolam Susuk, tenang tapi banyak nyamuk
Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada topan tiada badai kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga, tonggak kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga, tonggak kayu dan batu jadi tanaman

Ada yang ingat tulisan ini? Ya, mungkin bagi yang pernah merasakan musik-musik di era 70-an yang juga masih terdengar di era 80-an masih bisa mengingat syair lagu ini. "Kolam Susu", itulah judul lagi yang diciptakan Koes Plus. Apa hubungan lagi ini dengan tulisanku? Nanti aku ceritakan lengkapnya.

Mota'ain: Perbatasan Indonesia-Timor Leste
Gaya narsis anak jaman sekarang, orang tua gak mau ketinggalan :p
Tulisan buat bulan Juli ini... dari kemarin mikir terus mau nulis apa, padahal liat di list gak ada tulisan sama sekali untuk bulan Juli ini padahal tanggalnya udah tinggal menghitung hari (Krisdayanti mewek...). Lagian bulan puasa, emang bawaannya males mau bikin tulisan.
Untungnya tadi sore kerjaan dah kelar trus temen yang ngajak buat mampir buat liat perbatasan Indonesia-Timor Leste di Mota'ain. Ya udah, sambil ngabuburit buat buka, aku iyain aja ajakannya, lagian aku juga punya rencana sekalian mau ngeliat Teluk Gurita. Kebetulan dapet pinjem kendaraan buat jalan.
Sekitar jam setengah tiga abis kerja kita balik sebentar ke hotel buat ganti baju sekalian ambil kamera. Kali ini aku cuma bawa kamera yang udah terpasang lensa wide 11-16mm, lensa tele 90mm fix yang biasanya aku bawa kelupaan di rumah jadi gak kebawa.
Ups... buat informasi yang gak familiar dengan perjalananku. Saat ini aku ada di Atambua, Kabupaten Belu tempat biniku dilahirkan. Jarak dari Kupang-Belu jika ditempuh lewat darat cukup lama sekitar enam sampai tujuh jam perjalanan (sekitar 270 km). Kalau mau lebih cepet bisa pake pesawat yang biasa terbang tiga kali seminggu, tapi pesawat kecil lho yang cuma muat paling banyak 12 orang.
Membuktikan diri kalau sudah meninggalkan Indonesia :D
Belu ini merupakan daerah yang menjadi kabupaten yang berbatasan langsung dengan negara Timor Leste. Nah daerah Mota'ain itu desa di Timor Leste yang berbatasan dengan desa Motamasin Kabupaten Belu. Dari Atambua, pak Nyoman yang menemaniku mengambil jalur potong melalui Haliwen-Mota'ain yang lebih cepat yang dapat ditempuh hanya setengah jam perjalanan. Sayangnya sebagian kondisi di jalur ini banyak yang  kondisinya kurang baik bahkan ada beberapa titik terdapat jalan yang mengalami patahan yang mengakibatkan jalan amblas beberapa puluh senti, lumayan harus bikin kendaraan hati-hati. Tapi memang jalur ini yang sering juga digunakan kendaraan travel untuk sampai ke Mota'ain karena jarak yang paling pendek. 
Setengah jam kemudian, aku sampai di perbatasan. Setelah lapor ke pos polisi yang berada tepat di pertigaan masuk perbatasan, kendaraan belok ke kanan menuju sebuah gerbang selamat jalan milik Indonesia. Tadi di pos, polisi memberitahukan supaya kami tidak melangkah melebihi garis kuning karena beberapa hari ini sedang ada ketegangan di Timor Leste. Mobil terlebih dahulu diparkirkan di area pasar perbatasan yang sudah ditutup, pasar gagal padahal sudah menghabiskan banyak biaya, sayang sekali.
Ternyata garis kuning itu dekat sekali, persis di ujung akhir jembatan. Waduh, padahal gerbang Timor Leste masih kelihatan jauh. Tapi berhubung ada beberapa rombongan cewek yang cuek melewati garis kuning akhirnya kami juga ikut juga, sambil bertanya-tanya sampai dimana batas boleh lewat. Emang penyakit narsis itu gawat juga, sampai batas aman juga dilewati demi mendapatkan bukti otentik sudah sampai ke perbatasan. Sepertinya batas itu menunggu bunyi dor hahhahaha.... 
Untung, sepertinya kondisinya gak setegang seperti informasi di pos polisi sampai akhirnya kami bisa mendekat sampai di dekat pintu gerbang pos perbatasan Timor Leste. Di tengah-tengah gerbang itu, rupanya banyak kambing yang berkeliaran, tapi gak tau berkewarganegaraan mana (lumayan bisa diculik buat jadi kambing guling). 
Lokasi perbatasan ini juga sering disebut dengan nama Batu Gade (Batu Gede), waktu aku tanya pak Nyoman asal kata itu, katanya di laut ada sebuah batu besar yang kemudian dikenal masyarakat untuk menamai daerah perbatasan ini.
Sebuah pantai di sebelah dermaga TPI Atapupu
Gak lama setelah di perbatasan, kami melanjutkan perjalanan ke Atambua tapi lewat jalur Atapupu. Jalur ini lebih jauh untuk sampai ke Atambua tapi kondisi jalannya jauh lebih bagus. Sebenarnya dalam perjalanan itu ada dua lokasi wisata yang satu dimiliki pemda dan satu lagi dimiliki masyarakat. Nah yang dimiliki masyarakat ini sebenarnya lebih enak suasananya, tapi aku gak mampir karena pernah punya pengalaman yang tidak menyenangkan. Itu terjadi beberapa tahun lalu yang saat itu permasalahan pengungi dari Timor Leste masih hangat. Waktu itu kami berempat sedang mencoba melihat daerah Atapupu. Waktu melihat lokasi ini kami mau turun, eh tiba-tiba ada orang (sepertinya pengungsi Timor Leste yang membangun gubuk di lokasi ini) mencegat kami dan meminta bayaran 20ribu per orang dengan wajah yang galak. Bayangkan waktu itu di sebuah lokasi yang jauh dari kata memadai hanya tempat untuk menikmati pantai tanpa fasilitas minta biaya 20ribu per orang... bah karuan saja kami langsung kabur.
Kami juga sempat diajak mampir ke TPI (Tempat Penjualan Ikan) yang sayang kondisinya sama seperti pasar perbatasan yang sama-sama sudah ditutup. Biaya milyaran yang berakhir tidak memberi manfaat apa-apa.

Kolam Susuk
Sebuah tulisan Kolam Susuk besar di atas bukit sebelah pintu masuk
Beberapa kilo mendekati jalur masuk ke arah kolam susuk ternyata ada jalan tampak melambat, ternyata ada rombongan yang sedang ada acara memindahkan patung Maria. Untungnya pertigaan ke kolam susuk sudah dekat jadi kami tak harus berlama-lama di dalam kendaraan yang bergerak seperti siput. Jalan kolam susuk sedang dalam perbaikan jadi kondisinya baru sebatas batu dihampar namun telah dilakukan perkerasan. 
Nah, syair yang ditulis Koes Plus ini ada hubungannya dengan tempat ini. Untuk informasi, kolam susuk ini pernah dikunjungi salah satu anggota Koes Plus, Yok Koeswoyo pada tahun 1971 yang kemudian menginspirasinya menciptakan sebuah lagu berjudul Kolam Susu pada tahun 1974 dan menjadi salah satu lagu hit yang pada intinya menceritakan keindahan dan kayanya bumi Indonesia (tapi masyarakatnya tetep miskin.. hiksss ). Tapi kolam susuk bukan artinya kolam susu lho, jauh... justru susuk itu artinya nyamuk, jadi kolam susuk itu jelas maksudnya kolam yang banyak nyamuknya hehehehe....


Tambak di sekitar Kolam Susuk
Kolam Susuk saat ini sudah ada kegiatan pemugaran walau kesannya hanya sekedar proyek menghabiskan uang yang tidak direncanakan dengan matang. Kendaraan tidak bisa masuk walau gerbangnya besar karena dibangun di tengah-tengah sebuah prasasti pendirian kolam susuk. Dan yang lebih lucu lagi ada tulisan besar keren yang dipasang di atas bukit macam seperti tulisan Hollywood. Kenap lucu, karena penempatannya yang jadi malah tidak terbaca. Jika tulisan itu dibuat besar kan pasti tujuan awalnya supaya bisa terbaca dari jauh, nah tulisan ini justru dibuat di atas bukit kolam susuk namun justru tulisan kolam susuk menghadap ke dalam bukan keluar jadi orang yang mau melihat tulisan ini harus masuk ke dalam kolam susuk. Apakah setelah masuk bisa membaca tulisan ini? Tidak, karena pohon-pohon akan menghalangi kita membaca tulisan itu. Jadi satu-satunya jalan anda harus naik bukit dan persis di depan tulisan kolam susuk itu baru bisa terbaca. Jadi buat apa dibuat besar-besar tulisannya hahaha.... Di foto itu, agar bisa terbaca kolam susuk, aku harus memotret dari belakang lalu aku baik fotonya karena kalau difoto dari depan susah terhalang pepohonan, lensa wide 11 mm membantu membuat tulisan ini bisa terbaca tapi kalau anda hanya memotret dengan kamera dengan panjang fokal biasa atau kamera hape, aku gak menjamin bisa mendapat foto seperti itu.


Matahari menjelang senja di Kolam Susuk
Tapi di luar itu suasana kolam susuk sebenarnya cukup menyenangkan. Aku melihat beberapa orang sedang asyik memancing di kolam ini. Katanya sih mereka memancing mujair, walau sebenarnya ada juga bandeng. Pada hari seperti ini memang kolam susuk cenderung sepi, hanya pemancing saja yang datang. Biasanya suasana menjadi ramai kala hari libur. Daerah sekitar kolam susuk adalah kawasan tambah bandeng, dan udang. Bandeng dari daerah ini dikenal enak rasanya karena tidak bau lumpur seperti umumnya bandeng di tempat lain. Jadi kalau kesini jangan lupa untuk mencari ikan bandeng sebagai oleh-oleh. Pernah satu kali aku makan bandeng yang dibakar langsung disini beberapa tahun lalu saat lebaran bareng saudara-saudara istriku waktu itu.

Teluk Gurita
Salah satu sudut lain dari teluk Gurita
Dari kolam susuk, karena satu arah jadi kendaraan sekalian melaju menuju ke teluk Gurita. Menurut informasi dari pemda, teluk Gurita akan digunakan sebagai tempat persinggahan para peserta Sail Komodo yang akan mampir ke Atambua. Teluk Gurita ini sebenarnya digunakan dermaga feri dahulunya tapi katanya sekarang sudah tidak dipakai lagi. Jika jalan dari pertigaan sampai ke kolam susuk sedang dalam peningkatan, maka jalan dari kolam susuk sampai ke teluk gurita masih belum ada perbaikan. Selain kondisi jalan yang sudah bolong disana-sini, ada satu titik dimana jalan di tepi pantai separo sisi sebelah pantai amblas termasuk tembok penahan pantainya.
Letaknya di teluk jadi suasana lautnya tenang, dan menurut pak Nyoman di teluk ini cukup dalam jadi cocok jadi tempat persinggahan peserta sail komdo karena umumnya kapal layar yang digunakan peserta punya ekor ke bawah yang cukup dalam yang berfungsi sebagai penyeimbang perahu.
Terdapat sebuah dermaga dan bangunan penumpang serta rumah penjaga yang sudah terbengkalai. Suasana di teluk gurita sepi, hanya ada beberapa rumah nelayan di ujung sisi teluk. 

Aku dan temanku kembali sekitar jam lima sore berharap dapat kembali ke Atambua sebelum waktu berbuka puasa. Perhitungan kami dari teluk Gurita sampai ke Atambua sekitar setengah jam saja atau paling telat 3/4 jam. Tapi ternyata di luar dugaan kami, kami harus bertemu kembali dengan rombongan pembawa patung Maria yang ternyata sedang prosesi akhir penyerahan kepada pihak penjemput sebelum dibawa masuk ke dalam gereja. Aduh ternyata prosesi ini cukup panjang, hingga akhirnya kendaraan harus berhenti di tepi jalan sampai prosesi berakhir sekitar jam enam sore. Lewat sudah kesempatan berbuka, karena memang aku tidak menyiapkan berbuka. Aku membatalkan puasa dengan memakan sedikit buah kom. Bagi yang tidak kenal buah kom, buah ini berasal dari pohon kom, pohon berduri dan berdaun kecil-kecil yang banyak tumbuh di sekitar pantai. Buahnya yang mentah berwarna hijau, sedang yang tua berwarna merah. Rasanya asam manis dan ada juga rasa sepatnya.
Akhirnya kendaraan baru bisa masuk Atambua jam setengah tujuh dan langsung kami menuju ke tempat makan untuk berbuka tanpa kembali ke hotel.

Catatan: Perjalanan dari Kupang ke Atambua bisa ditempuh lewat darat dengan naik bus biasa (bus mini) sekitar 60 ribu atau naik travel (Timor Travel) dengan biaya 95ribu yang berangkat pagi sekali atau siang hari. Kalau naik travel memang lebih mahal tapi tidak perlu ke pool-nya cukup telepon nanti ada yang jemput dan juga di tempat tujuan akan diantar sampai ke tempat yang kita tuju. Kalau dari Kupang langsung ke Dili biaya sekitar 200ribu, siapkan passpor kalau mau kesana.

Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya