Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label adat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label adat. Tampilkan semua postingan

Kamis, 12 September 2019

Singgah ke Sade

Gerbang masuk Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat

"Terimakasih atas kunjungannya!", ucap Pak Mesah usai mengantar kami keliling dusun. Aku bergegas menuju Bandar udara untuk kembali ke Jakarta.

Mengunjungi Lombok rasanya tidak lengkap bila tidak ke Dusun Sade. Sade adalah salah satu Dusun di Desa Rembitan, Pujut, Lombok Tengah. Berlokasi di pinggir jalan raya yang hanya berjarak 13 km atau sekitar 30 menit ke arah Bandar Udara Praya. Dusun ini masih mempertahankan Adat Suku Sasak. Mereka memegang teguh tradisi sejak pemerintahan Kerajaan Pejanggik di Praya, Kabupaten Lombok Tengah. Diperkirakan dusun ini ada sejak tahun 1907, dihuni kurang lebih 150 kepala keluarga dan telah 15 generasi berlangsung.


Rumha Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat
Setelah mengisi buku tamu, kami diajak keliling dusun mengunjungi salah satu rumah penduduk. Bangunan rumah mirip dengan Joglo, rumah Adat Khas Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Rumah adat ini bernama Dalam Bale Tani.Rumah perpaduan bilik dinding bambu dan pintu dari kayu yang menyangga rumah. Pintunya terlihat pendek dan kecil. Menurut penuturannya, ketika kita masuk rumah dengan menundukkan kepala untuk menghormati tuan rumah. 


Dalam rumah di Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat
Ruangan depan/ Bale Luar sebagai tempat menerima tamu dan tempat tidur laki-laki. Bale dalam diperuntukkan sebagai tempat tidur perempuan dan juga tempat melahirkan. Menuju Bale dalam kita akan menaiki tiga anak tangga yang mencerminkan tahapan-tahapan kehidupan. Tangga pertama, kelahiran. Tangga kedua, berkembang sebagai manusia. Tangga ketiga, tahap akhir atau kematian.

Atapnya terbuat dari alang-alang kering yang tersusun padat dan rapi. Tiap lima atau limabelas tahun sekali alang-alang keringnya diganti. Lantai dari tanah liat. Seminggu sekali lantai tanah dibersihkan dengan kotoran kerbau sebagai upaya mencegah nyamuk/serangga dan menjaga rumah agar tetap hangat.

Berpose Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat

Masjid yang bersedia hanya digunakan untuk tiga waktu sholat, karena penduduk Dusun Sade menganut "wetu tilu". Ada delapan bentuk bangunan di dusun ini, yaitu Bale Tani, Jajar Sekeran, Benter, Beleq, Berugak, Tajuk, Bencingah, Lumbung.


Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara BaratLumbung padi berbentuk lengkung terbuat dari kayu atau anyaman bambu. Disangga tiang kayu beratap alang-alang. Ada jendela kecil diatas yang berfungsi sebagai pintu masuk lumbung. Lumbung terbagi menjadi dua bagian. Bagian Atas tempat penyimpanan padi/gabah. Bagian bawah sebagai bale tempat duduk dan berkumpul. Lumbung padi hanya boleh dimasuki oleh orang yang telah kawin, menikah. 

Di kanan-kiri jalan setapak berjajar rumah-rumah penduduk yang juga menjual bermacam cenderamata, kerajinan khas Lombok, berupa kain tenun, syal, ikat kepala, topi anyaman, gelang, kalung dengan warna-warna yang cerah. Ibu-ibu sibuk menenun benang-benang agar menjadi kain.

Sejak usia sembilan tahun seorang gadis harus belajar menenun. Seorang gadis tidak boleh menikah kalau tidak bisa menenun, karena hasil tenunannya akan diberikan kepada suaminya kelak. Di sudut jalan depan rumah, tampak seorang nenek sedang menumbuk biji-biji kopi dengan alu. Hhmm harum wangi kopi menyegarkan. Aku jadi ingin membeli kopi khas Sasak ini.

Dusun Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat
Salah satu keunikkan Dusun Sade yaitu tradisi kawin culik. Kawin culik adalah tradisi pernikahan yang dilakukan pihak laki-laki dengan menculik perempuan calon istrinya tanpa sepengetahuan keluarga pihak perempuan. Setelah pihak laki-laki mengungkapkan isi hatinya kepada keluarga pihak perempuan, maka diadakan pernikahan dengan membawa calon pengantin perempuan kembali ke rumahnya.

Prosesi arak-arakkan pengantin disebut "Nyongkolan". Setelah acara Nyongkolan mereka akan menempati sebuah rumah kecil yang disebut Bale kodong sebagai tempat bulan madu. Kebetulan aku sempat melihat acara Adat Nyongkolan di jalan arah ke Sukarara. Wah meriah banget!

"Ini adalah pohon janji!" ujar Pak Mesah sambil menunjukkan sebuah pohon yang meranggas dan hanya tersisa batang, cabang ranting tanpa dedaunan. Biasanya pohon ini digunakan sepasang kekasih yang berjanji bertemu saat tradisi kawin culik. So sweet, aku rela diculik aahhaayyy!

Foto dan tulisan oleh Arum Mangkudisastro

Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 17 Maret 2019

Benteng Tujuh Lapis di Fulan Fehan

Saran Mot dari Benteng Tujuh Lapis

Kami celingukan di depan gerbang masuk Benteng Makes yang lebih dikenal dengan nama Benteng Lapis Tujuh. Sebuah bangunan yang berdiri di samping sebuah tiang dikitari pagar batu tampak kosong tak terurus, entah karena hari ini Minggu atau memang sudah tidak dipakai. Katanya untuk masuk ke dalam harus bersama penjaga yang akan melakukan ritual supaya kita diijinkan masuk.

"I believe that imagination is stronger than knowledge. That myth is more potent than history. That dreams are more powerful than facts. That hope always triumphs over experience. That laughter is the only cure for grief. And I believe that love is stronger than death." --- Robert Fulghum

Katanya, untuk memasuki benteng sampai ke pagar ke-tujuh yang disebut dengan Saran Mot ini, harus didahului dengan upacara adat yaitu meminta izin untuk membuka jalan menuju Saran. Ritual adat ini dilakukan oleh Tisi Antak Ne’an (kepala suku setempat). Ada lima tempat yang harus dilewati sambil membuat upacara adat untuk membuka jalan atau pintu menuju Saran Mot. Kalau niatnya berkunjung atau sekedar jalan-jalan menuju Saran, syaratnya bisa dengan beras yang dihambur – hamburkan sedikit demi sedikit di tempat-tempat yang sudah ditentukan oleh kepala – kepala suku, kemudian meletakkan sirih pinang dan uang kertas. Lain halnya kalau mau melakukan suatu upacara adat dalam Saran Mot itu sendiri, syaratnya adalah harus membawa beras, uang kertas, ayam jantan warna apa saja, tetapi khusus pintu terakhir masuk Saran harus ayam jantan warna merah dan sirih pinang.

Saran Mot dari Benteng Tujuh Lapis
Setelah beberapa saat bimbang, akhirnya kami masuk ke dalam setelah meletakkan beberapa uang koin dan sebatang rokok di samping pagar batu. Tentu saja dengan niat baik sekedar berkunjung. Lagian aku gak mungkin tebar-tebar beras, karena bisanya tebar-tebar mie instan hehehe.

Begitu masuk pagar batu pertama kami harus berjalan menyusuri pinggir untuk menemukan pintu pagar kedua, lalu setelah masuk pintu kedua kembali menyusuri gerbang kedua untuk menemukan pintu ketiga dan seterusnya. Hal ini disebabkan benteng memiliki lapisan-lapisan pagar dengan pintu yang tidak langsung. Entah mengapa dibuat seperti itu, kemungkinan itu adalah strategi supaya jika musuh masuk ke dalam tidak langsung bisa menjangkau pusat benteng sekaligus membingungkan musuh. Hanya perkiraanku saja.

Saran Mot dari Benteng Tujuh Lapis
Benteng Makes berada di bukit Makes yang masuk dalam wilayah Desa Dirun, Kecamatan Lakmanen, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur, dengan ketinggian sekitar 1200 Mdpl. Jarak dari Kota Atambua menuju Desa Dirun kurang lebih 40 km, dengan waktu perjalanan ± 1,5 jam. Benteng ini berada satu wilayah yang sebut dengan Fulan Fehan, sebuha padang sabana yang telah berkembang menjadi objek wisata alam. Tempat ini sudah dikenal dan sering dikunjungi oleh wisatawan Indonesia dan asing. Biasanya ramai kunjungan pada saat musim liburan. Bukit Makes dan padang sabana Fulan Fehan masuk ke dalam zona Hutan Milik Negara.

Cerita Singkat Benteng Lapis Tujuh
Benteng ini sebenarnya bernama Benteng Ranu Hitu atau yang biasa dikenal orang-orang lokal sebagai Benteng Lapis Tujuh, karena berada di atas bukit Makes maka sering disebut dengan Benteng Makes. Benteng ini adalah benteng utama Kerajaan Dirun pada waktu itu, benteng perang yang pada saat itu di pulau Timor masih sering terjadi perang antar suku.

Menurut cerita masyarakat setempat Benteng Ranu Hitu/Makes sudah ada sebelum penguasaan Portugis dan beberapa kali berpindah tangan sampai akhirnya dijaga oleh tiga pahlawan lokal dari 3 suku yaitu suku Loos, suku Sri Gatal, dan suku Monesogo. Benteng ini dulu merupakan tempat para Meo, atau pemimpin perang. Di dalam benteng inilah tempat mereka mengatur strategi atau bahkan melakukan tes kekebalan tubuh dengan cara memotong-motong tubuh mereka sendiri untuk membuktikan apakah tubuh mereka bisa kembali menjadi utuh sebelum maju ke medan perang.

Ada sebuah tradisi yang masih berlanjut dari Suku Uma Metan, menaruh sirih pinang di dekat makam raja. Hal ini merupakan adat istiadat masyarakat setempat. Sirih pinang memang identik sekali dengan suku-suku di Timor, bisa sebagai lambang persahabatan, lambang perdamaian juga lambang keakraban. Seakan dengan mengunyah sirih pinang menjadikan kita sebagai bagian dari keluarga masyarakat Timor. Selain itu sirih pinang juga merupakan simbol rasa hormat. Dengan menaruh sirih pinang di dekat makam raja. Suku Uma Metan percaya bahwa arwah leluhur masih banyak bersemayam di tempat itu. Benteng Ranu Hitu sendiri kabarnya dibuat selama tujuh hari tujuh malam, dimana pada siang hari dikerjakan dengan tenaga manusia dan pada malam hari dikerjakan oleh para arwah leluhur. Tidak heran suasana mistis terasa kental sekali saat berada di tempat ini.


Seperti apa Benteng Tujuh Lapis
  1. Seperti yang aku ceritakan di awal, benteng ini dibangun dari batu-batu yang disusun membentuk pagar dengan jumlah tujuh lapis pertahanan. Batu-batu yang disusun hanya diletakkan tanpa menggunakan semen atau bahan pengikat lain. Sampai saat ini bangunan ini masih kuat, pada musim hujan biasanya lebih berlumut namun mengering saat musim kemarau.
  2. Setiap lapisan pagar memiliki pintu letaknya yang tidak berada sebaris. Jadi untuk menuju ke pintu harus berjalan menyusuri gerbang lapis pertama sampai menemukan pintu kedua dan seterusnya.
  3. Di bagian pusat atau Saran Mot terdapat sebuah meriam tua yang diletakkan di depan pintu Saran Mot. Meriam tua itu katanya adalah peninggalan dari bangsa Portugis.
  4. Ada cerita yang mengatakan tentang Saran Mot, walaupun diameter lingkarannya tidak lebih dari 10 m, konon apabila melakukan upacara ritual adat dalam lingkaran kecil ini, walaupun ditempati lebih dari 500 sampai 1000 orang, akan tetap muat dalam lingkaran ini. Bagian ini cuma katanya lho ya, aku sendiri belum pernah membuktikannya.
Beberapa sumber tulisan yang aku gunakan untuk menulis ini:
  1. http://lopezdedhe22blee.weebly.com/benteng-makes.html
  2. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbali/situs-benteng-ranu-hitu-makes-desa-dirun-kecamatan-lakmanen-kabupaten-belu-provinsi-nusa-tenggara-timur
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 03 Agustus 2017

'Rumah Besar' Balla Lompoa

"Silahkan masuk!" ujar Pak Andi, pengurus Balla Lompoa sambil membuka pintu ruang pusaka dan mundur selangkah  memberi aku jalan masuk. Wow.. lady first, aku merasa tersanjung. Ruang pusaka yang juga ruang pribadi raja memang sehari-hari selalu terkunci dan hanya dibuka untuk tamu-tamu tertentu.


Di bagian depan museum Balla Lompoa
Menapaki karpet merah memasuki ruang pusaka. Salakoa, sebuah mahkota Raja Gowa yang pertama kali menarik perhatianku seakan menyambut. Salokoa diletakkan di tengah ruangan sebagai pusaka utama. Mahkota emas seberat 1.768 gram berbentuk kuncup bunga teratai berkelopak lima helai daun yang dihiasi batu-batu permata.

Menurut penuturan Pak Andi, konon mahkota tersebut pertama kali dipakai oleh Ratu Tumanurunga, seorang perempuan berparas cantik yang turun dari langit sebagai Raja Gowa pertama. Ratu Tumanurunga menikahi Karaeng Bajo dan menurunkan Raja-raja Gowa selanjutnya. Oleh karena itu setiap penobatan raja selalu ada ritual pemakaian Mahkota Salokoa. Setiap tahun diadakan pencucian mahkota dengan darah kerbau penanda kesakralannya.


Dibelakang Salokoa, terlihat kursi, lukisan dan patung Sultan Hasannudin. Sultan Hasanuddin adalah Raja Gowa yang dikenal sebagai Pahlawan Nasional melawan kolonial Belanda.

Disisi lain ruang pribadi raja terdapat perhiasan Kolara/Rantai Manila, sebuah kalung rantai emas hadiah dari Kerajaan Sulu (Negara Philipina) dan Tatarampang yaitu keris emas bertahtahkan permata hadiah dari Kerajaan Demak (Pulau Jawa). Disimpan juga Ponto Janga-jangaya (Gelang emas dua kepala naga), Sudanga (senjata sakti atribut raja yang berkuasa), Bangkarak Ta'roe (anting-anting emas), Gaukang (kancing emas). Ada juga Al Quran yang ditulis dengan tangan.

 

Balla Lompoa dalam bahasa Makassar berarti Rumah Besar. Balla Lompoa ini merupakan bangunan rekonstuksi dari Istana Kerajaan Gowa yang sekarang telah menjadi museum. Lokasi berada di Jalan Wahid Hasyim Nomor 39, Sungguminasa, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa. Berjarak 10 km dari Kota Makassar. Dibangun pada masa Raja Gowa ke-13 bernama I Mangngi-mangngi Daeng Matutu. Bangunan terbuat dari Kayu Ulin atau Kayu Besi yang besar dan kuat. Beratapkan Sirap, lembaran kayu yang dibentuk menjadi atap. Di atas atap diletakkan Kepala Kerbau. Bangunan terdiri dari Teras, Ruang Utama, Ruang Dalam. Kita harus melepas sepatu/sendal dan mengisi buku tamu sebelum masuk.


Ruang utama berfungsi sebagai balairung, ruang pertemuan atau ruang menerima tamu. Ada singgasana dan lukisan Raja Gowa di apit payung kebesaran. Meja-meja panjang di sisi kanan kiri. Bernuansa warna merah dan kuning emas.

Di sisi kanan terdapat sebuah pigura yang menggambarkan silsilah raja-raja Gowa dari raja pertama Tumanurunga yang dari pernikahannya dengan Karaeng Bajo melahirkan raja Tumassalangga Baraja sampai raja terakhir Sultan Mochammad Abdulkadir Aididdin Andi Idjo Karaeng Lalongan (1947-1957). Di ruang utama ini diletakkan panji-panji kerajaan juga meriam besi beserta pelurunya.


Di ruang dalam terbagi menjadi dua ruang, ruang kerajaan dan ruang pusaka/ruang pribadi raja. Di ruang pusaka/pribadi tersimpan koleksi baju tradisional, kipas kerajaan, alat-alat untuk upacara kerajaan berupa cupu, mangkok, piring keramik, lilin. Terdapat juga senjata-senjata yang dipajang seperti parang (Lasippo), badik, tombak rotan ekor kuda (Panyanggaya Barongan). Foto tiga tokoh pemimpin kerajaan Gowa, Bone, Wajo juga dipajang dalam ruang dalam.

Di teras rumah dipajang buku-buku yang menceritakan sejarah Sulawesi Selatan beserta adat istiadatnya yang dijual untuk umum. Pengunjung yang berminat bisa membelinya sebagai cenderamata/souvenir. Selain itu juga ada boneka yang mengenakan pakaian tradisional, kaos, kopiah khas Makassar, sarung, gelang dan batu-batu permata juga bisa dibawa pulang (tentu saja setelah kita membayarnya hehehe).

Foto dan Tulisan : Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 19 Juli 2017

Overland ke Tana Toraja

"Bu, packing baju buat tiga hari ya besok kita berangkat", kataku.
"Emang mau kemana? Ke tempat siapa?", tanya ibuku.
"Kita ke Makassar dan Toraja, jalan-jalan saja. Ibu sudah Arum belikan tiket", jawabku.

Ibuku tentu saja kaget karena beliau baru saja tiba di Jakarta setelah mengunjungi kakaknya di Balikpapan, Kalimantan Timur.

Landing di Makassar larut malam. Disambut teman kami, Kartini yang menjadi tuan rumah selama kami di Makassar. Kami pun segera beristirahat karena besok pagi berangkat ke Toraja.

Pukul 6 pagi kami telah dijemput Bang Ancu, pemilik mobil yang kami sewa. Dalam perjalanan menuju Toraja, kami melewati Maros. Dari jendela mobil terlihat sinar Matahari pagi menyembul dari sela-sela hamparan batuan karst yang berjajar di kejauhan. Wah pendaran cahayanya bagus banget! Di tengah perjalanan kami melihat Jeruk Bali yang dijual dipinggir jalan. Kami mampir untuk membeli beberapa buah sebagai bekal diperjalanan.

Sampai di Pare-pare kami mampir ke sebuah warung makan untuk sarapan Coto, daging sapi/kerbau dengan kuah dari air beras yang dimakan dengan ketupat/buras. Rasanya lebih enak daripada yang biasa aku makan di Jakarta. Pare-pare kota pesisir pantai barat yang juga dikenal sebagai kota kelahiran BJ Habibie, Presiden ketiga RI.


Belakang adalah Bukit Enrekang Di depan gerbang Maros
Kami istirahat di Enrekang untuk sekedar minum kopi, makan pisang goreng dan camilan jagung goreng atau Marning biasa orang Jawa bilang. Jagung goreng ini menjadi cemilan khas Enrekang. Itu sebabnya aku lihat banyak tanaman Jagung di lereng bukit kawasan Enrekang ini.

Warung kopi yang juga menjual cenderamata/souvenir ini berada tepat di muka pegunungan. Dari sini kita bisa minum kopi sambil melihat pemandangan Gunung Bambapuang atau lebih dikenal sebagai Gunung Nona. Landscape gunung yang mengundang berbagai imajinasi. Ada yang bilang bentuknya menyerupai area pribadi kaum hawa.Tergantung persepsi masing-masing mata yang memandang. Hohoho.

Akhirnya kami sampai di gerbang Tana Toraja. Setelah menempuh perjalanan selama 7 (tujuh) jam! Wajarlah karena jarak dari Makassar ke Toraja 350 km. Pastinya kami foto-foto dulu di gerbang sebelum lanjut menuju Pallawa.

Gerimis mengiringi kami menuju Pallawa. Butiran air hujan yang disinari matahari menjadi semburat pelangi. Melihat Pelangi sebagai pertanda keinginanku terkabul. Yes! Keinginan ke Tana Toraja.

Saat tiba di Pallawa, begitu aku membuka pintu mobil, gerimisnya langsung berhenti. Ajaib! Mungkin hujannya memberi kesempatan aku untuk foto-foto.

Suasana dalam rumahDesa adat Pallawa
Desa adat Pallawa berada di kawasan Rantepao adalah desa yang masih memegang kuat tradisi dan memiliki Tongkonan  tertua di Tana Toraja. Ada 11 Tongkonan yang ada di Pallawa.

Tongkonan, adalah rumah tradisional Toraja. Bentuk bangunan yang menyerupai sebuah kapal, beratap bambu yang ditutup rumbia. Bagian atap banyak ditumbuhi tanaman liar pertanda tua/lamanya bangunan itu berdiri. Tongkonan dihiasi ukiran khas dan didominasi warna hitam, oranye, merah. Tanduk kerbau di depan Tongkonan sebagai simbol pemilik rumah telah melakukan upacara Rambu Solo/ Aluk Rampe Matampu.

Penduduk desa sebagai pemandu wisata banyak memberikan keterangan tentang bangunan Tongkonan dan adat istiadat mereka. Konon tradisi kanibal pernah dilakukan saat perang antar kampung dengan memakan dan meminum darah lawan yang kalah. Perkembangan jaman telah merubah tradisi itu dan menggantinya dengan memakan ayam yang disebut Pallawa Manuk.

Bercengkrama dengan penduduk desa yang ramah, sambil sesekali memotret kegiatannya. Anak-anak suka sekali difoto meski tampak malu-malu. Tidak lupa kami membeli cenderamata hasil buah tangan mereka, berupa asbak yang berbentuk miniatur Tongkonan, patung kakek nenek dan gelang-gelang.

Meneruskan perjalanan kami ke tebing Lemo. Lemo adalah tebing yang dijadikan makam.Di depan dinding dipasang Tau-tau, yaitu boneka-boneka kayu yang diukir sebagai personafikasi orang yang telah meninggal dan dimakamkan di sana. Patung ini hanya dibuat untuk para bangsawan.

Biasanya sebelum dimakamkan, diadakan Upacara Rambusolo/Aluk Rampe Matampu.Terlihat pintu pada tebing Lemo terbuka. Sepertinya sedang ada persiapan untuk upacara Rambu Solo. Rambu Solo dalam bahasa Toraja berarti asap yang arahnya ke bawah. Maksudnya upacara ritus persembahan ini dilakukan saat matahari mulai bergerak menurun sesudah pukul 12 siang. Rambusolo selain sebagai penghormatan kepada jenasah, juga sebagai penghantar menuju gerbang arwah.

Sayang kunjunganku hanya singkat jadi tidak bisa memotret Rambu Solo. Semoga aku bisa kembali mengunjungi Tana Toraja.

Teks dan foto: Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 02 Mei 2017

Menjadi Putri di Istana Maimoon


Mau merasakan sensasi menjadi putri sehari? Coba datang berkunjung ke Istana Maimoon di Medan. Nanti ada ibu yang dengan senang hati memakaikan kebaya panjang, kain dan selendang berwarna keemasan ditambah mahkota di atas kepala (khusus untuk wanita, yang pria jangan coba-coba minta ya). Kemudian kita duduk di kursi singgasana ...sim salabim... jadilah Putri Kesultanan Melayu Deli. Jangan lupa setelah berpakaian putri lanjut berfoto-foto di sekitar istana untuk menambah aura keputrian anda. Anggap saja kita sedang bermain cosplay hehehe.

Menjadi ratu Maimoon selama satu jam hehehe
Istana Maimoon ini dibangun di Medan pada masa pemerintahan Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alamsyah. Beliau adalah Sultan ke-9 Kesultanan Melayu Deli. Pembangunan Istana Maimoon selesai dan diresmikan pada tanggal 25 Agustus 1888. Dahulu istana berada di daerah Labuhan. Pendiri Kesultanan Deli adalah Panglima Muhammad Dalik yang bergelar Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan yang saat itu masih dibawah Kesultanan Aceh Darussalam pada tahun 1632. Sultan Mahmud Lamantjiji Perkasa Alam sebagai Sultan Deli masa kini yang dinobatkan menjadi sultan ke-14 sejak tahun 2005.

Lokasi Istana Maimoon mudah dijangkau karena berada di pusat kota Medan tepatnya di Jl. Brigjend Katamso, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Medan Maimun. Berdekatan dengan Masjid Raya Al Mansun atau lebih dikenal sebagai Masjid Raya Medan. 

Bangunan istana begitu megah dengan posisi menghadap timur. Arsitekturnya perpaduan Moghul India, Timur Tengah, Belanda dan Melayu. Warna kuning keemasan mendominasi bangunan sebagai ciri khas Kesultanan Melayu Deli. Menurut Tengku Lukman Sinar, dalam buku "Riwayat Hamparan Perak" (www.melayuonline.com) Kapten TH Van Erp seorang tentara KNIL (Koninklitje Nederlandsche Indische Leger) adalah arsitek Istana Maimoon tersebut. 

Luas bangunan istana sekitar 2.772 m2 dengan luas halaman mencapai empat hektar. Bangunan istana berlantai dua ditopang kayu dan batu. Bangunan terdiri tiga bagian. Bangunan utama atau induk, Bangunan Sayap Kanan dan Bangunan Sayap Kiri.

Aku menapaki tangga menuju pintu bangunan utama. Didalamnya terdapat kursi kerajaan, perabot dan foto-foto keluarga sultan. Disana banyak wisatawan yang berfoto dengan memakai baju khas Melayu Deli. Sekarang Istana lebih banyak digunakan untuk acara-acara kerajaan, seperti pelantikan sultan, pernikahan, pertunjukan musik tradisional dan perayaan silahturahmi antar keluarga sultan.

Bangunan lokasi Meriam Puntung
Di samping kiri istana ada Meriam Puntung. Puntung berarti potong atau patah. Sayang saat aku ke sana, bangunan tempat Meriam Puntung berada sedang terkunci. Aku hanya bisa mengintip saja di sela-sela lubang dinding. Ketika aku sedang memotret bangunan sekitar, seperti ada yang memperhatikanku dari arah dalam Meriam Puntung. Tiba-tiba entah mengapa aku merasa sedih. Hhmm.. mungkin hanya perasaanku saja.

Berdasar tulisan di tugu dekat meriam disebutkan Mambang Khayali seorang putri, adik Putri Hijau yang merubah dirinya menjadi meriam demi menyelamatkan Putri Hijau dari serangan Raja Aceh. Namun ada legenda lain mengenai asal mula Meriam Puntung. Konon Putri kerajaan yang bernama Putri Hijau dilamar Raja Aceh. Tetapi kedua kakak sang putri, Pangeran Mambang Yasid dan Pangeran Mambang Khayali menolak lamaran tersebut. Raja Aceh pun menjadi marah dan menyerang istana. Ketika peperangan berlangsung pasukan istana terdesak. Pangeran Mambang Yasid merubah dirinya menjadi Naga untuk menyelamatkan Putri Hijau dan Pangeran Mambang Khayali merubah dirinya menjadi Meriam untuk menyerang Prajurit Aceh. Demikian banyaknya peluru yang dilontarkan meriam, menyebabkan meriam patah terbelah dan terpental jauh. Gugurlah Sang Pangeran.



Sebagai pelengkap perjalanan wisata, kita bisa membeli buah tangan/souvenir berupa sarung, selendang, gantungan kunci dan kaos dari kios yang berada di Istana Maimoon. 

Foto & teks: Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 10 Maret 2017

Huta Bolon Simanindo

Selepas sarapan di hotel yang berada di tepian Danau Toba, aku langsung meluncur bersama kakakku. Kami diantar Pak Edy, pemilik mobil yang kami sewa. Rencana hari ini selain mengunjungi Siallagan (Batu Parsidangan), aku juga akan menonton pertunjukan tari di Museum Huta Bolon Simanindo di Pulau Samosir. Berdasar informasi yang aku dapat dari Pak Edy dan browsing internet, pertunjukan tari pertama dimulai pukul 10:30.


Setelah dari Siallagan, aku pun bergegas ke Museum Huta Bolon Simanindo. Begitu sampai disana telah ada beberapa rombongan turis asing bersama pemandu wisata masing-masing. Dari percakapan yang aku dengar sepertinya mereka turis dari negeri tulip - Belanda dan negeri mafioso - Itali.

Huta Bolon Simanindo adalah rumah adat warisan peninggalan Raja Sidauruk. Sejak tahun 1969 Huta Bolon Simanindo mulai dibuka sebagai museum. Di bagian depan Huta, pada bangunan sebelah kiri terdapat beberapa koleksi museum. Koleksi tersebut berupa kapal yang dulu biasa digunakan raja, Parhalaan, Pustaha Laklak, Tunggal Panaluan dan Solu Bolon. Ada juga peninggalan perlengkapan adat untuk upacara alat musik tradisional, aneka mainan tradisional seperti dalu putar dan janggar yang tersimpan dan tertata dengan baik.


Huta adalah kampung tradisional orang Batak yang dikelilingi oleh benteng dan tanaman bambu menjulang tinggi untuk menghalangi musuh masuk. Huta ini hanya mempunyai satu pintu masuk.
Rumah di dalam huta berjajar di sisi kanan kiri rumah raja atau disebut Rumah Bolon. Di seberang rumah raja dibangun lumbung padi yang disebut Sopo.

Di halaman tengah antara Rumah Bolon dan Sopo dulu sebagai tempat Mangalahat Horbo (tempat acara adat memotong kerbau dan memukul gondang). Di tengah halaman ditancapkan sebuah tonggak (Borotan) yang dihiasi oleh dedaunan yang melambangkan pohon suci (Beringin). Kerbau pun digiring dan disembelih di Borotan.

Tibalah saatnya pertunjukan tari dimulai. Pertunjukan tari sebenarnya adalah rangkaian pesta adat "Mangalahat Horbo".
Diawali dengan Gondang Lae-lae (tarian seremonial), adalah tarian yang menggambarkan doa kepada dewata agar kerbau tidak berontak ketika digiring ke Borotan. Gerak-gerik kerbau sebagai cerminan baik buruknya upacara yang akan berlangsung bagi yang berpesta.

Selesai tarian Gondang Lae-Lae, para penari melanjutkan tarian dengan Gondang Mula-mula. Gondang Mula-mula adalah tarian doa kepada pencipta bumi, langit, alam semesta agar diberikan keturunan, kekayaan, menjauhkan dari bala, menyembuhkan segala penyakit. Kemudian dilanjutkan dengan tari Gondang Mula Jadi, adalah tarian yang sebagai pemberitahuan bahwa doa yang dilakukan telah dikabulkan Tuhan.

Tarian selanjutnya adalah Gondang Shata Mangaliat, yaitu orang-orang yang berpesta menari dengan mengelilingi tonggak/borotan. Kerbau yang diikat di borotan kemudian disembelih dan dagingnya dibagikan kepada yang berpesta. Danberlanjut ke tarian Gondang Marolop-olopan, tarian sambil memberi salam kepada sesama tamu pesta.

Selain itu ada juga tarian Gondang Siboru, merupakan tarian jejaka, ketika sang jejaka menari datanglah para gadis yang berharap ada jejaka yang datang melamarnya. Kebalian dari tarian Gondang Siboru adalah tarian Gondang Sidoli. Gondang Sidoli adalah tarian gadis, ketika sang gadis menari datanglah jejaka mendekati gadis yang dicintainya dan memberi uang sebagai bukti cinta.

Tarian Gondang Pangurason, adalah tarian sebagai pertanda datangnya roh nenek moyang dalam pesta dan merasuk pada salah seorang gadis untuk memberkati mereka.

Sorak sorai penonton begitu riuh ketika mereka diajak menari bersama dengan tuan rumah yang mengadakan pesta. Tarian bersama dilakukan menjelang berakhirnya acara tersebut. Aku hampir saja larut untuk ikut menari tapi segera ingat nanti momen memotretku hilang. Jauh-jauh datang ke Pulau Samosir demi untuk event ini. 

Dilanjutkan tarian Tortor Tunggal Panuluan. Tari yang dilakukan oleh seorang dukun untuk berkomunikasi dengan dewata dengan cara memukul telur dengan tongkat. Biasanya permintaan seperti hujan, keturunan dan kesuksesan dalam kehidupan.

Mengisi sumbangan di patung Sigale-gale
Diakhiri dengan Gondang Sigale-gale. Tarian ini menggunakan boneka Sigale-gale yang terbuat dari kayu menyerupai bentuk manusia. Pada jaman dahulu kala seorang raja mempunyai anak laki-laki tunggal. Anak tersebut jatuh sakit dan meninggal dunia. Raja sangat sedih atas musibah itu karena anaknya diharapkan menjadi penerus kerajaan telah tiada. 

Untuk mengenang anaknya sang raja memerintahkan rakyatnya untuk membuat patung yang mirip dengan anaknya. Bila sang raja rindu anaknya, maka raja akan mengundang rakyatnya berpesta dan saudara perempuan Sigale-gale juga akan menari sebagai ungkapan kerinduannya.

Tarian Gondang Sigale-gale sebagai penutup rangkaian pertunjukan tari. Penonton dapat memberikan sumbangan sukarela kepada para penari pada wadah yang disediakan di Boneka Sigale-gale. Tiap kali penonton ada yang memberikan sumbangan, para penari langsung berseru "Horas!".

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 28 Februari 2015

Pasola, Kampung Toda, dan Daging Rusa

Ruang memasak berada di tengah-tengah rumah dan kamar-kamar berada di pinggir.
Lanjutan dari cerita Pasola .............
Aku mundur ke belakang setelah penonton di belakang terus merangsek ke depan ingin melihat lebih dekat. Karena acara Pasola makin seru makin sulit polisi dan aparat desa mengatur penonton sudah tidak mendekat. Biasanya ulah penonton ini tanpa sadar sering membuat lapangan menyempit sehingga jarak pemain makin dekat. Tapi ini juga sekaligus membuat penonton di barisan depan rawan ikut terkena lemparan lembing.
Untungnya di depan mudah mengambil foto seperti ini tanpa terhalangi
Ada satu keuntungan jika kita ke acara-acara seperti ini membawa kamera biasanya petugas tidak melarang jika kita berdiri di depan dari garis yang dibolehkan. Aku lihat rata-rata pemotret bebas mendapatkan tempat duduk di depan sehingga leluasa mengambil angle acara. Apalagi kalo pakaiannya rompi macam wartawan mau cari berita hahaha..
Ternyata aku tinggal berdua sementara teman-teman yang lain entah kemana. Dicari-cari ternyata mereka berteduh di bawah pepohonan. Wuih ternyata samping kanan kiri jalan telah dipenuhi para pedagang dengan segala macam dagangannya, pada umumnya makanan minuman sih. Cuaca saat ini memang terik sekali, bahkan hawa panas itu sudah terasa sejak pagi. Kalau kataku, di Sumba Barat Daya ini setelah malam itu langsung siang tanpa pagi karena matahari pagi langsung terang tanpa basa basi dulu hehehe.

Suasana rumah di kampung Toda
Yang asyik di perjalanan kami ditawari mampir pak Jostom mampir ke rumah mantan bupati Sumba Barat Daya di kampung Toda. Kebetulan pak Jostom sekarang lagi ditugaskan jadi sekcam di Kodi dan yang saat ini termasuk seksi sibuk dengan adanya acara Pasola seperti ini. Ternyata di kampung Toda ini sudah banyak berkumpul orang sehingga di tengah kampung dipasangi terpal. Seperti biasa aku lebih memilih duduk-duduk di salah satu rumah penduduk. Seperti pernah aku ceritakan sebelumnya, rumah asli Sumba ini nyaman. Tipikal rumah model panggung dengan balai-balai terbuka di sekelilingnya ditambah dengan atap asli dari jerami membuat rumah terasa sejuk walaupun cuaca panas menyengat. 
Kubur batu di kampung Kodi
Rupanya acara Pasola ini bagi orang Sumba merupakan hari besar, biasanya ini waktu mereka yang telah terpisah jarak menjadi ajang kumpul. Seperti rumah yang aku duduki ini ternyata dimiliki 25 kepala keluarga. Memang mereka tidak tinggal semua disini karena mungkin sudah punya rumah di tempat lain, tapi hak dan kewajiban mereka atas rumah itu tetap ada. Dan saat acara seperti inilah tempat mereka kembali ke rumah inang mereka menjadi satu. Menu pembuka yang disodorkan ke kami adalah jagung rebus. Jagung pulut istilah mereka memang paling enak dibuat jagung rebus. Ditambah teh panas, jadilah perbincangan dengan penduduk kampung Toda terasa mengasyikkan. Sayang aku lupa membawakan mereka sirih pinang, padahal lebih asyik lagi kalau aku bisa ikut makan pinang bersama mereka. Jadi inget waktu ke Kodi beberapa tahun lalu saat aku mencoba makan sirih pinang disini.
Saat undangan makan adalah saat yang tidak dapat kami lewatkan, dan ternyata kami mendapatkan suguhan daging istimewa: Rusa Timor yang mereka pelihara sendiri. Daging rusa yang manis dan bertekstur lembut ini tentu tidak kami sia-siakan walaupun kalau aku lihat tega. Putra dan Fathul beruntung, sementara teman-teman lain mungkin sampai saat ini belum pernah melihat Pasola merasakan nikmatnya daging rusa, mereka sekali kesini langsung mendapatkan keduanya. Hahaha... sepertinya bekal nasi padang yang kami bungkus bakalan sia-sia karena perut kami sudah dipenuhi makan siang dengan daging Rusa.
Danau Weekuri, ada yang lebih doyan motret dong :P
Sekitar jam satu kami kembali meneruskan perjalanan ke Weekuri karena kebetulan 2 orang dari rombongan yaitu Fathul dan Eko belum pernah ke Weekuri. Weekuri itu sebuah danau, seperti apa danau itu bisa dibaca di tulisanku sebelumnya.
Dan seperti biasa perjalanan ke Weekuri tidak mudah, kami bahkan sempat berjalan memutar balik kembali tanpa sadar. Walaupun kami pernah ternyata tetap tidak mudah mencapai tempat ini karena masih sangat minimnya papan informasi penunjuk jalan. Aku sendiri kenapa masih semangat ke Weekuri karena memang Weekuri itu tempat yang gak membosankan. Bahkan Putra kali ini semangat sekali mau mandi. Walhasil memang kami berhasil mandi di danau Weekuri, sayangnya justru teman-teman dari bepeka tidak mandi hanya duduk sambil menunggu teman-teman lain yang juga mau ngumpul dari Sumba Tengah dan Sumba Barat. Kali ini aku lebih siap dengan membawa celana dan kacamata renang. Danau Weekuri memang asyik untuk dinikmati bahkan sekedar untuk duduk-duduk saja apalagi kalau mandi.
Hujan yang menghentikan kami berenang
Sayang aku tidak bisa mandi lama karena langit yang sedari tadi tampak gelap berubah menjadi hujan. Sementara teman-teman yang tidak mandi langsung berlari ke mobil, aku tentu tidak bisa dengan kondisi basah. Akhirnya aku, Fathul dan Putra memilih berlindung di sebuah cekungan batu. Tidak terlalu tinggi sehingga kami harus agak menunduk tapi cukup lapang setidaknya sambil menunggu hujan reda.
Karena hujan ini akhirnya kami membatalkan mampir ke pantai Watu Mandorak. Ternyata hujan memang reda sebentar setelah itu makin kencang. Padahal waktu Pasola tadi langsung masih biru. Aku jadi ingat kata seorang kawan, saat Pasola walaupun musim hujan tetap waktu acara cuaca akan cerah karena mereka juga akan menggunakan semacam pawang untuk menghalau hujan. Hal itu sudah aku alami beberapa kali, walaupun Pasola terjadi di musim yang masih ada hujan namun tiap Pasola langit tetap cerah.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 29 Agustus 2013

Gambar-Gambar dari Pameran Budaya Sumba Barat

Suasana pagi di dalam rumah yang dibangun dengan bahan alam tanpa paku
Pas bener, minggu kemarin pas lewat tanggal 17 Agustus dapat penugasan ke Sumba Barat selama seminggu. Kebetulan bukan tugas yang berat, walau harus mengumpulkan banyak data dari seluruh Dinas dan Badan di Kabupaten Sumba Barat. Kebetulan pula ada kegiatan untuk perayaan untuk memperingati hari kemerdekaan yang masih tersisa, karnaval budaya dan pameran budaya yang baru dilaksanakan Minggu ini.
Suasana rumah dari kampung Lamboya
Yang istimewa kali ini dari pameran budaya yang biasa di gelar di lapangan umum kota Waikabubak adalah bangunan-bangunan untuk pameran. Jadi dari informasi, ada instruksi dari Bupati kalau pelaksanaan pameran kali ini seluruh peserta diwajibkan membangun tempat pameran berupa bangunan rumah khas Sumba dengan tatacara orang Sumba asli membangun rumah. Apa bedanya dari rumah-rumah biasa? Selain bentuk rumah Sumba yang khas, pembangunan itu juga unik karena selain menggunakan kayu dan bambu sebagai tiang, pasak, dan bubungan seluruh kayu/bambu yang ini dihubungkan dengan tali dan tidak menggunakan satu pun paku. Bahan untuk membuat talipun bukan tali-tali plastik yang biasa ada di toko tapi dari bahan-bahan yang mereka cari di hutan. Katanya berasal dari akar atau kulit pohon tertentu, mereka banyak mengerti tentang jenis-jenis pohon yang kulit pohonnya bisa digunakan untuk membuat tali. Memang tampak sekali waktu itu kesibukan orang-orang yang sedang membangun itu, namun terus terang aku tidak sempat mengunjunginya.
Hari Kamis, sesuai acara untuk pembukaan pekan pameran budaya ini dibuka dengan sebelumnya didahului acara karnaval, entah acara karnavalnya yang diundur atau memang begitu, namun biasanya acara karnaval 17-an dilakukan sehari sebelum atau sesudah tanggal 17-an. Nantinya setelah seluruh peserta karnaval masuk ke dalam arena pameran budaya barulah Bupati yang duduk di rumah paling besar atau biasa disebut Umakalada membuka pameran. Sepertinya semua kegiatan memang didekatkan dengan tata cara membangun dan masuk rumah baru dalam tata cara orang Sumba.

(kiri) Karakter wajah Sumba yang tegas dari seorang penonton pawai
(kanan) Peserta pawai dari Dinas Koperasi dan UKM memamerkan hasil karya tenun ikat mereka
Acara pameran yang dibuat spesial ini juga rencananya akan digunakan sebagai tempat untuk dikunjungi peserta Sail Komodo yang rencananya akan datang kesini tepat pada acara pembukaan. Sayangnya sampai saat selesai acara, aku tak juga menemukan para peserta Sail Komodo datang ke tempat ini.
Sekitar jam tiga, aku bersama Imam datang ke arena pameran namun rupanya susah juga mencari tempat kosong karena sebagian besar masyarakat tumpah ruah memenuhi tempat pameran bahkan sampai rumah-rumah tempat pameran tak ada tempat tersisa. Sebenarnya aku sudah janjian dengan mas Joni Trisongko, namun hari ini dia harus memotret pelaksanaan kegiatan pameran dan karnaval oleh client-nya. Sambil menunggu peserta karnaval memasuki lokasi pameran aku mencoba berjalan-jalan di sekitar sekaligus mengambil gambar beberapa masyarakat yang datang juga dengan dandanan khas Sumbanya.

(kiri) Gerak rancak gembira para peserta pawai, (kanan) Gerak tari pedang dari peserta pawai Wanokaka
Aku beruntung juga, walaupun batas-batas daerah penonton telah ditentukan dan diawasi ketat oleh petugas dari Satpol PP namun orang-orang yang membawa kamera DSLR diperbolehkan lalu lalang untuk memotret momen acara ini. Tampaknya memang banyak fotografer yang ikut acara ini terlihat dari banyaknya orang-orang yang berlalu lalang di bagian depan yang sebagian menenteng kamera dan lensa panjang.
Umumnya peserta berasal dari instansi-instansi yang ada di Kabupaten Sumba Barat, namun juga ada beberapa perkumpulan-perkumpulan pendatang yang ikut ambil bagian dalam acara itu seperti: perkumpulan dari Bali, Jawa TImur, Ende, Nagekeo, Lembata, Sabu. Banyak juga sekolah yang ikut dalam karnaval ini. Cukup ramai, dan sebagian peserta menampilkan acara yang cukup atraktif. Setiap peserta yang hendak menampilkan tarian pasti didahului sebuah teriakan yang sangat khas Sumba yang disusul suara-suara menghentak "HAAA!!" lalu dimulailah para lelaki menarik parang panjang dari sarungnya dan sambil bergerak tari mengacung-acungkan parang. Dan biasanya kalau ada peserta yang semangat menari sampai jalan tanah debunya naik terbang oleh hentakan-hentakan kaki mereka, MC menambahkan "ba abu ba abu" yang maksudnya mau berdebu ya ayo saja. 

Para penari yang mengawali pembukaan oleh seribu penari
Rupanya tarian ini juga dilakukan oleh peserta-peserta yang masih SD, dan mereka saat mengacungkan parang dalam tarian menggunakan parang asli. Walaupun asyik menikmati tontonan ini, ngeri juga melihat anak-anak kecil memainkan parang asli. Tapi budaya Sumba Barat memang telah lekat dengan parang tipis panjang. Jadi hal lumrah kemana-mana bertemu dengan pria yang membawa parang di pinggang bahkan anak kecil sekalipun.
Awal-awal acara cukup lancar juga, aku bisa berdiri di batas terluar batas pengunjung. Sebenarnya boleh juga kita maju ke depan namun kalau pun itu harus dilakukan tetap harus memperhatikan kenyamanan fotografer lain kecuali untuk beberapa fotografer dan video-man yang memang ditunjuk resmi untuk mendokumentasikan acara ini. Awalnya hanya beberapa anak mencoba melihat lebih dekat namun segera dihalau oleh petugas.
Namun saat ada beberapa peserta karnaval tampil dengan dandanan dan gaya yang atraktif dan menarik beberapa fotografer mulai merangsek ke depan. Yang mulai menjadi masalah mereka tampak sekali tidak mengindahkan bahwa di belakang mereka ada beberapa fotografer yang sudah berdiri lebih dahulu. Jika saja setelah memotret dengan memasang posisi yang menghalangi fotografer itu hanya sebentar itu mungkin masih bisa dimaklumi, namun sayang dengan pongahnya mereka setelah memotret tetap berdiri disitu. Aku masih bisa melihat kaos-kaos mereka yang berwarna hitam dengan tulisan "FLASH FAST photographer". Mungkin tulisan di kaos itu membuat mereka percaya diri bahwa mereka berhak menenteng kamera dan bebas menghalangi fotografer lain, termasuk petugas shooting video yang memang harus mendokumentasikan acara.
(atas) Anak-anak tak mau kalah ikut menari dengan parang terhunus
(bawah) Para penari dari Wanokaka dengan tarian yang menasional
Entah siapa yang memulai, saat peserta dari Wanokaka menampilkan tarian berkelompok dua baris, penonton mulai merangsek ke luar batas dan itu tak bisa dibendung lagi sehingga jalan masuk untuk peserta menjadi menyempit. Dua baris kelompok penari ini sebelah kanan terdiri dari para pria dengan berselempang kain tenun putih dan menggunakan penutup kepala dengan bahan bulu ayam, sedangkan penari sebelah kanan adalah para perempuan dengan menggunakan kain berwarna biru terang dan ikat kelapa berhias logam kuningan berbentuk bulan sabit dan lilitan kain selendang kuning di pinggang. Aku awalnya masih mencoba bertahan namun karena penonton semakin memenuhi jalan peserta aku jadi kesulitan mencari angle untuk memotret.
Akhirnya aku menyerah dan memilih keluar dari sana untuk ke belakang. Keadaan ini sayangnya tidak diantisipasi, akibatnya setiap peserta menjadi kesulitan mencari jalan untuk masuk ke dalam arena pameran. Acara terus berlangsung karena ada lebih dari seratus peserta yang ikut acara pawai kali ini.
Setelah seluruh peserta pawai masuk (kalau tidak salah hampir jam setengah enam sore), barulah acara pembukaan dimulai yang diawali dengan dibawakannya tarian adat Sumba Barat oleh seribu penari dari tingkat SD sampai dengan SMA. Untuk tarian utama yang dibawakan peserta di bagian depan merupakan penggabungan tiga tarian.
Sebenarnya acara seperti pameran ini seringkali menjadi lebih ramai saat malam hari dimana orang sudah terbebas dari rutinitas pekerjaan. Namun justru pertimbangan itu pula aku tidak melihat atau memotret acara pameran pada malam hari, di samping karena tata pencahayaan yang tidak bagus untuk memotret juga karena aku kurang suka dengan suasana yang ramai pada malam hari. 
Memamerkan alat-alat yang dimilikinya 
Namun aku menyempatkan mengunjungi pada pagi hari. Sayangnya mereka baru memulai acara selepas jam sembilan pagi sehingga praktis tempat ini sepi saat itu. Saat aku mengunjungi bangunan dari kampung Wanokaka, aku hanya bertemu dua orang yang memang berjaga di tempat itu. Sambil berbincang-bincang santai, mereka menunjukkan isi rumah yang ternyata dibuat miniatur sampai ke dalam rumah seperti keberadaan dapur di bagian tengah. Namun tentunya tidak bisa sama seperti rumah-rumah adat Sumba yang umumnya besar dimana dibagian sisi-sisi ada kamar-kamar, maka di rumah miniatur ini tidak terdapat kamar-kamar seperti itu. Bagian depan rumah-rumah ini juga dipasang beberapa tanduk kerbau yang menjadi ciri khas bagian budaya Sumba. Mereka juga menunjukkan benda-benda yang berupa tombak dan parang yang biasanya baru mereka keluarkan menjelang acara di kampung mereka. Logam-logam dari benda itu memang telah berkarat namun tampaknya mereka menggunakan logam yang lebih kuat dari logam yang digunakan untuk membuat parang sekarang.
Sebuah alat penenun tampak kosong tak ada yang menggunakannya, mereka bilang yang menenun belum datang baru nanti siang mereka memulai kegiatannya sehingga aku tidak berkesempatan memotret kelincahan para ibu memainkan alat tenun ini untuk membuat kain. Sebenarnya selain pameran budaya ini juga ada acara pertandingan balap kuda, sayangnya aku tidak memiliki waktu cukup untuk mengunjunginya. Sepertinya melihat pacuan kuda yang dibawakan para joki cilik akan menjadi wishlist-ku selanjutnya jika bertandang lagi ke Sumba.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya