Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label TTS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TTS. Tampilkan semua postingan

Kamis, 02 Mei 2019

Padang Sabana Gunung Mutis

Om Robby duduk di sebuah pokok pohon mati berselimut sarung menunggu kami yang duduk mengatur napas. Perjalanan selama 1 jam 20 menit di pagi buta dengan kondisi angin yang cukup kencang gagal membuat kami berkeringat. Aku yang tidak pernak merokok sampai meminta sebatang rokok ke Imam untuk membantuku mengurangi rasa dingin. Kami masih terselamatkan karena tidak ada hujan semalam. Jalanan tanah yang berlubang-lubang besar bekas ban mobil off-road akan menjadi kubangan air jika sampai hujan turun.

"Nature's beauty is a gift that cultivates appreciation and gratitude" ---Louie Schwartzberg

Pagi di Padang Sabana
Kami tepat keluar dari hutan dan menginjak padang sabana pertama Gunung Mutis saat matahari mulai keluar dari ufuk timur. Sayang pemandangan padang menghijau itu sebentar muncul sebentar hilang terhalang oleh awan-awan rendah yang bergerak begitu cepat.

Kami duduk beristirahat di sebuah bukit terbuka yang dipenuhi rerumputan hijau pendek rapi layaknya perbukitan-perbukitan di padang golf. Matahari yang sudah naik sepenggalan masih belum mampu mengusir rasa dingin di padang sabana ini. Tapi setidaknya berjalan selama satu jam-an lumayan membuat badan lebih hangat. Jelas perjalanan untuk mengejar matahari di puncak Mutis sudah gagal sehingga kami memutuskan untuk bersantai di padang sabana.

Sebelum kembali kami sempatkan turun ke sebuah aliran sungai kecil yang airnya super duper bening. Botol-botol air dengan segera terisi, termasuk tenggorokan kami dengan air yang segarnya mengalahkan air minum dalam kemasan.

Kami beruntung, bulan April ini beberapa pohon sedang bersemi. Pohon santigi sedang bersemi, pucuk-pucuk daun berwarna merah memenuhi ujung dahannya. Pohon santigi jenis ini mengingatku pada walpaper pepohonan di Jepang yang daunnya berwarna merah, hanya Santigi ini berwarna merah di bagian pucuknya saja. Tapi Santigi ini tak kalah indah, pohonnya yang meliuk-liuk adalah bonsai alam terbaik. Apalagi disini, pohon Santigi dipenuhi dengan lumut dan tanaman-tanaman yang tertempel di sekujur batangnya. 

Tidak beruntungnya, kami tidak menemukan banyak ternak yang mampir ke padang sabana. Hanya serombongan sapi dan kuda yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh ekor masing-masing. Entah karena sedang banyak angin, entah karena sedang dikandangkan pemiliknya. Padahal kalau melihat setiap meter pasti kami menemukan kotoran sapi atau kuda yang sudah mengering. 

Ada dua padang sabana di gunung Mutis, padang sabana pertama berjarak sekitar 1 jam perjalanan dari benteng dua putri. Titik akhir yang dapat dijangkau motor kami. Padang sabana kedua yang ukurannya lebih kecil hanya berjarak 20 menit perjalanan dari padang sabana pertama.

Di padang sabana kedua yang berada di ketinggian hampir 2000 mdl itulah, tempat yang tepat untuk melihat puncak gunung Mutis. Di sebelah barat daya, tampak puncak mengerucut yang ternyata gunung Timau. Ah baru kutahu, kalau puncak gunung Mutis dan gunung Timau itu sebenarnya berdekatan.

Berjibaku dengan Dingin di Fatumnasi
Benteng Dua Putri Gunung Mutis
Angin berkesiur tak karuan, suaranya bergemuruh tak henti-henti. Pukulan angin di tenda meninggalkan suara berderak-derak selaksa ingin menerbangkan tenda beserta isinya. Pasak-pasak yang kutancapkan di bawah Benteng Dua Putri untungnya cukup kokoh menahan tenda tetap tertahan di tempatnya. Padahal kami sudah memilih memasang tenda di tempat yang cukup terlindungi dari angin. Di sisi barat dan timur ada batu karang tinggi yang oleh masyarakat sekitar disebut dengan Benteng Dua Putri.

Tak heran jika tidak ada yang berminat berlama-lama di depan api unggun seperti biasa jika kami kemping. Angin terlalu dingin untuk kami lawan. Tak lama setelah selesai makan, satu demi satu dari kami masuk ke dalam tenda hingga menyisakan pak Robby sendirian di depan api unggun. 

Aku berusaha membungkus kakiku yang terasa dingin dengan sleeping bag, tak mempan! Suhu hari ini pasti di bawah 15 derajat celsius dan sialnya aku tak mengenakan kaos kaki. Keputusan yang salah besar, yang membuatku tidak bisa memejamkan mata semalaman. Aku bahkan kuatir akan mengalami hipotermia jika terus menerus seperti ini. Aku jadi menyesal tidak membawa kaos kaki dan kaos tangan.

Om Robby yang biasanya bisa tidur di luar dengan hanya berselimut sarung tenung di depan api unggun pun kali ini menyerah. Angin yang terus bertiup memang membantu api terus membara memakan pokok kayu yang sudah tumbang lama. Namun rasa dinginnya jadi menyusup ke seluruh tubuh. Om Robby akhirnya masuk ke dalam tenda bergabung denganku. Itupun dia tetap meringkuk kedinginan dalam bungkusan sarung.

Jam dua om Robby kembali bangun dan keluar tenda. Dari suara keributan di luar tenda aku perkirakan kalau om Robby sedang mencari kayu-kayu kecil untuk membuat besar kembali api unggun. Mungkin dia sudah tidak tahan harus bergelung dalam dingin di tenda. Kesempatan itu aku pakai untuk menarik sebagian sleeping bag untuk menutupi kakiku. Yah walau tidak membuat aku jadi merasa hangat dan bisa tidur setidaknya rasa dingin di kaki terkurangi.

Perjalanan ke Gunung Mutis
Bisa kemping di Mutis seperti sebuah pencapaian baru bagiku setelah kegagalanku rencana kempingku pertama kali kemari. (baca tulisanku sebelumnya di sini). Bukan obsesif sih cuma godaan kemping itu terus terngiang-ngiang di kepala tidak mau hilang.

Aku, Imam, Daud dan Rama berkendara sendiri-sendiri. Kami merasa aman untuk naik motor masing-masing karena kondisi medan yang kurang mendukung untuk berboncengan plus masing-masing membawa tas ransel besar. Lagi pula, jika ada masalah di salah satu motor kami, kami masih punya alternatif motor lain yang tidak bermasalah.


Ada insiden saat masuk ke Fatumnasi karena Daud sempat terjatuh dan tertimpa sepeda motornya saat berada di jalan tanjakan menuju ke Bukit Usapikolen. Tanjakan itu memang agak parah kondisinya baik yang dari dan ke Bukit Usapikolen. Untungnya tidak sampai luka, cuma mungkin setelah balik ke rumah baru rasain ngilu-ngilu. Biasanya begitu kalau sampai jatuh motor walau secara kasat mata tidak terluka.

Dari Kupang jam 8 pagi, kami baru sampai ke Fatumnasi sekitar jam 3 sore. Yang kami tuju seperti biasa adalah rumah pak Anis. Sayangnya pak Anis sendiri sendiri sedang sakit, katanya sudah beberapa hari ini demam jadi besok mau cek ke Puskesmas. Awalnya pak Robby sendiri tidak bisa ikut karena mau ke kantor desa untuk urusan pencoblosan. Namun karena tidak ada yang menemani kami, jadilah pak Robby memutuskan ikut dengan kami.

Setelah menandaskan segelas kopi yang disajikan di rumah pak Anis, kami langsung berangkat lagi dengan motor ke dalam kawasan hutan Mutis. Targetnya malam ini kami harus mendapatkan tempat untuk kemping.

For your information:
  1. Jalan dari Kapan sampai ke Fatumnasi banyak yang sudah diperbaiki, belum beraspal tapi sudah ditambah tanah putih sehingga jauh lebih mendingan. Motor matic sekarang bisa sampai ke Fatumnasi. Yah sedikit perjuangan ada di tanjakan sebelum dan sesudah Bukit Usapikolen yang batunya masih tinggi.
  2. Jika berencana ke puncak atau minimal sampai ke padang sabana sebaiknya gunakan guide karena tidak ada petunjuk jalan di dalam hutan Mutis. Jika mau ke puncak gunung Mutis jangan lupa bawa sirih pinang, karena serahkan ke guide-nya masalah penggunaannya. Ini bukan masalah kepercayaanmu, tapi menghormati adat dan kebiasaan setempat.
  3. Ada satu homestay disana yang dikelola pak Matheos Anin, biasanya bule-bule suka menginap disana. Aku sendiri lebih sering kontak ke pak Anis kalau ke Mutis. Ya dua-duanya oke saja, nanti mereka bisa menemani atau meminta orang untuk menemani kita.
  4. Perhatikan cuaca dan waktu kedatangan. Imam dulu pernak ke Mutis bulan Juni-Juli dan untuk sampai ke puncak sepanjang jalan cuma disuguhi pemandangan kabut, hujan dan kabut, dan endingnya ya berkubang dengan tanah.
  5. Persiapkan kendaraan sebaik-baiknya, tidak banyak yang bisa diharapkan kalau sampai ada masalah dengan kendaraan kita. Mungkin beberapa suku cadang yang kita tahu suka bermasalah dengan kendaraan kita sudah disiapkan.
Tim MLAKU kali ini, aku ditemani oleh:
  • Si Imam anak boncel, suka mencuri ketimun. Ayo lekas di kurung, jangan diberi sarung. ig: @mimamarifw
  • Ramadana, satria baja hitam yang baru saja ditugaskan di Kupang. ig: @nashrulummam
  • Daud yang jika naik motor serasa jadi "Dilan 1990", namun saat jatuh dari motor jadi "Dilanda Masalah"  ig: @daudgb

Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 30 September 2018

Nenda di Bukit Marmer Tunua

Pemandangan pagi dari Bukit Marmer Tunua

Segelas kopi panas dari air yang baru selesai dimasak menemani kami di atas Bukit Tunua. Duduk di ujung salah satu bukit dan menunggu matahari yang berbentuk sempurna bulat terbit dari ufuk timur. Oh, iya.. hawa pagi ini tentu saja masih dingin seperti biasa. Lagian mana ada tempat yang tidak dingin dengan ketinggian di atas 1.400 mdpl. Ditambah lagi yang kami injak adalah lantai marmer. Lantai marmer? Kalian tidak salah mendengar. Bukit Tunua sudah habis dipangkas bagian atasnya menciptakan sebuah bidang landai dari batu marmer. Menginjak lantai marmer siang hari saja tetep terasa dingin apalagi pagi seperti saat ini.




Andai saja kalian mengalami sendiri hujan yang mengguyur semalaman, kalian 
akan tahu betapa sempurnanya pagi ini untuk mentertawakan apa yang terjadi tadi malam. Kebahagiaan kadang sederhana, hadapi kesusahan dan setelah itu ijinkan kami merayakannya setelah berhasil melewatinya.

Perubahan Rencana Bermalam
Pasca batalnya rencana kemping di dalam hutan Mutis yang aku tulis sebelumnya disini, kami harus memikirkan kembali kemana kami harus bermalam hari ini. Terlalu sayang melewatkan tambahan libur paskah ini untuk langsung pulang.


Aku sendiri mengusulkan memasang tenda di bukit marmer Fatunausus. Pemandangan paginya menurutku keren di sana tapi tidak aku sendiri tidak yakin dijinkan atau tidak kalau memasang tenda di sana karena setauku bukit di Fatunausus masih ada yang mengelola. Lupakan rumah pak Anis untuk bermalam, kami sudah merencanakan naik kembali ke atas Mutis lain waktu supaya cita-cita memasang tenda di dalam kawasan hutan Mutis bisa terlaksana.

Akhirnya kami sepakat mau mencoba menginap di bukit marmer Tunua yang tampak bagai dataran berwarna putih dari atas bukit Usapikolen. Kebetulan pula Tardi punya teman sekantor yang rumahnya berasal dari daerah Tunua. Klop dah, jadi malam ini kita fix nenda di bukit marmer Tunua.


Habis makan siang di rumah pak Anis, sekitar jam 2 kami mulai turun dari Fatumnasi. Oh, iya kami tambah perbekalan dengan minta nasi putih ke pak Anis. Sebagaimana gantinya kami tukar dengan beras yang tidak jadi kami masak. Sebelumnya ada insiden kompor gasku patah sehingga tidak bisa digunakan. Cuma tersisa kompor Tardi dan Imam yang keduanya menggunakan bahan bakar spiritus. Masalahnya entah kenapa spiritus Imam bocor jadi menguap habis. Jadilah kami berbagi spiritus, jadi masak nasi bukan pilihan bijak.

Di kampung Tunua kebetulan baru ada petunjukan paskah di depan halaman salah satu rumah penduduk. Mereka sebenarnya tidak keberatan dengan rencana kami memasang tenda di atas bukit hanya mereka sebenarnya sudah mempersilahkan jika kami mau tidur di kampung mereka. Karena mereka khawatir hujan akan turun deras seperti beberapa hari ini. Tapi tentu saja kami lebih memilih memasang tenda. Godaan tidur di atas bukit marmer Tunua lebih menggoda.

Hujan Kembali
Memasang tenda di lantai marmer bingung cara mengikat tenda
Baru saja motor kami berhenti, langit yang sedari tadi mendung gelap berubah menjadi hujan. Kami bergegas naik ke atas mencari tempat yang bisa untuk berteduh. Kondisi bukit yang sudah nyaris rata nyaris susah mencari tempat berteduh. Wal hasil kami cuma bisa berteduh di salah satu ceruk dari batuan marmer. Lumayan bisa mengurangi basah jaket yang aku gunakan walau dinginnya tambah parah.



Setelah agak reda kami mencari tempat yang pas untuk memasang tenda. Lagi-lagi kami mengalami kesulitan. Tak ada tanah disini karena semuanya hanyalah batu marmer. Pasak yang coba kami tancapkan ke sela-sela retakan batu tak bertahan, lepas tiap kali dipasang. Akhirnya kita memilih menggunakan tali tenda saling terhubung, mengikatnya satu sisi ke pohon kecil di samping dan mengikat ke batu sebagai pemberat ke sisi lainnya.



Tapi di pertengahan, hujam kembali turun.. bah, kami kembali harus memasang tenda dalam kondisi basah. Dua hari kami nenda, dan setiap kali membuat tenda kami selalu kehujanan. Bahkan kali ini hujan terjadi semalaman. Dan lagi, aku malam ini harus tidur tanpa baju dan celana karena semuanya basah. Terus terang hujan malam itu lebih menguatirkan kami. Berbeda jika kita memasang tenda di tanah air segera meresap di tanah. Di lantai marmer seperti ini, kami merasakan air mengalir deras di terpal bawah walau tak sampai membuat kami basah. Semalaman kami mendengar guruh seperti suara aliran air deras di bawah, sungai kecil pasti sedang dipenuhi air malam ini.


Pemandangan pagi di perkampungan Tunua

Tengah malam kami sebenarnya mendengar bunyi siulan beberapa kali dari arah hutan di bawah kami. Karena sudah mendengar cerita tentang teku, kami memutuskan mematikan seluruh lampu. Aku baru tahun keesokan harinya tentang suara siulan ini. Rupanya semalam beberapa pemuda kampung mencurigai keberadaan kami adalah gerombolan teku. Untungnya kami wakmtu masuk ke kampung tepat saat ada keramaian perayaan paskah, jadi selain bertemu tetua kampung juga sempat meminta ijin terlebih dahulu. Rupanya isu teku juga sudah memasuki kampung Tunua.


Pagi itu akhirnya kami membuktikan tidak sia-sia kami nenda di puncak bukit marmer Tunua. Selepas tengah malam hujan akhirnya berhenti sehingga pagi ini langit sudah kembali cerah. Seperti biasa aku tidak akan melewatkan suasana pagi seperti ini, walaupun harus bergelung dengan sleeping bag sebagai selimut pembungkus badan untuk mengurangi rasa dingin.

Acara pagi itu bertambah ramai saat anak-anak muda kampung Tunua ikut naik ke bukit dan berkumpul bersama kami. Dari merekalah akhirnya kami tahu apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Dari mereka kami juga kami tahu bahwa apa yang dilakukan Al malam sebelumnya sebenarnya sebuah kecerobohan yang bisa membahayakan keselamatan kami. Malam sebelumnya sewaktu kami nenda di bukit Usapikolen, Al bermain cahaya senter dan anehnya waktu itu juga ada cahaya balasan dari seberang. Ternyata para Teku berkomunikasi dengan sesamanya menggunakan cahaya senter. Ah, untung tidak tidak terjadi apa-apa pada kami.



Dan seperti biasa karena suasana yang masih dingin kami agak malas segera membereskan peralatan. Setelah matahari mulai meninggi selepas jam sembilan barulah kamu berkemas. Sebelum pergi kami sempatkan mampir ke rumah kepala dusun yang kebetulan anaknya bekerja satu kantor dengan Tardi.

Thanks buat perjalanannya guyz: Tardi Sarwan; Imam 'Boncel', Al Buchori

Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 28 Juni 2018

Gagal Kemping di Hutan Mutis

Pohon Santigi di hutan bonsai gunung Mutis
Hutan bonsai alam di hutan Mutis
"Beberapa waktu ini kampung kami sedang ramai dengan keberadaan Teku. Ini kami sekarang tiap malam harus bergiliran ronda malam untuk menjaga kampung." Pak Anis menceritakan tentang kondisi keamanan di daerah Fatumnasi belakangan ini sambil menunjukkan sebuah ketapel dan beberapa paku yang telah dibuat sedemikian rupa dengan helaian rafia membentuk bulu sebagai peluru. Begidik kami waktu mendengar kalau peluru paku ini telah direndam dengan racun ular hijau. "Pake tai ayam pak?" tanyaku. Pak Anis mengiyakan walau sedikit keheranan aku bisa tahu cara pembuatan racun ular itu.

Ingatanku kembali pada pertemuanku dengan orang tua dari Pacitan yang ingin memberikanku sebuah senjata ekor pari yang telah direndam ramuan racun ular hijau. Dia memberitahukanku cara membuat racun ular hijau itu bisa bertahan lama di ekor pari, yaitu dengan menggunakan tahi ayam. Bayangkan, ekor pari saja bisa menyebabkan kesakitan luar biasa bila melukai badan orang apalagi jika ditambahkan racun ular hijau. Untungnya aku lebih memilih menolak pemberiannya. Aku tak ingin segala senjata yang justru membuatku tidak tenang jika melakukan perjalanan. Kadang alat yang kita sebut untuk menjaga diri justru memancing orang untuk mencoba kita.

Rencana Kemping di Telaga yang Batal
Aku menengok ke arah Tardi memberi isyarat tentang kelanjutan rencana kami yang akan memasang tenda di telaga dalam hutan Mutis. Tardi yang banyak tahu tentang Mutislah yang mengusulkan kepada kami untuk bermalam di tepi telaga hutan Mutis. Katanya pada saat pagi hari banyak binatang seperti kuda dan sapi yang minum air di telaga. Tentu itu akan menjadi kesempatan menarik untuk mendapatkan foto-foto satwa itu.

Sekarang masalahnya adanya isu keberadaan teku yang seperti dinyatakan pak Anis. Pak Anis dan beberapa warga di Fatumnasi tentu tidak berani menjamin keselamatan kami jika bermalam di luar kampung, apalagi sampai di dalam hutan. Menurutnya, teku-teku ini biasa bersembunyi di dalam hutan dan keluar pada waktu malam hari. Pak Anis menyarankan menginap di rumahnya saja, nanti pagi-pagi buta baru berjalan menuju puncak gunung Mutis. Itu jalan paling aman katanya.

Cukup dilematis juga. Mempertimbangkan beberapa pilihan, akhirnya kami memutuskan sekedar berjalan-jalan saja di sekitar hutan Mutis dulu dan tidak jadi menginap. Walau menginap, keberadaan kami sepertinya akan tetap merepotkan karena mereka sendiri harus menjaga kampung. Padahal waktu itu istri pak Anis sudah sempat membereskan kamar untuk dapat kami gunakan menginap.

Perjalanan yang Tertunda
Jalan menuju Gunung Mutis
Jalan menuju ke arah Fatumnasi
Seperti yang aku ceritakan sebelumnya, kami berkemah malam sebelumnya di perbukitan Upasikolen. Masalahnya banyak barang kami yang kebasahan. Wal hasil, begitu pagi itu matahari pagi keluar menyinari perbukitan tempat kami memasang tenda hal yang kami lakukan pertama adalah menjemur beberapa barang yang basah semalam. Untungnya memang cuaca pagi ini cerah, sangat cerah bahkan awan tebal yang menghiasi langit kemarin nyaris tidak bersisa.

Bahkan saat aku sudah selesai memotret matahari terbit dan turun ke arah kemah, aku melihat mereka masih asyik terbenam dalam hangat selimut. Tardi yang sudah bangun lebih pagi cuma karena tidak melihat seorangpun yang keluar akhirnya hanya duduk-duduk sambil masak air panas. Dia sedikit protes saat tahu aku kembali dari memotret, katanya kalau tahu aku sudah naik ke atas bukit tentu dia bakalan nyusul.

Kami sendiri untungnya tidak terlalu terburu-buru ke Mutis, karena rencanaya kami mau bermalam di telaga dalam hutan Mutis untuk dapat menikmati suasana hutan saat fajar menyapa. Sayangnya seperti ceritaku di awal, kami tidak diijinkan berkemah di dalam kawasan hutan Mutis kali ini oleh pak Anis. Sekitar jam sepuluh kami baru berkemas jalan kembali ke arah Fatumnasi yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat kami memasang tenda.

Kami sampai di rumah pak Anis sekitar jam setengah sebelas. Pak Anis ini kebetulan rumahnya dekat dari gerbang masuk kawasan gunung Mutis sekitar setengah kilometer saja, tidak jauh dari homestay pak Matheos Anin yang sudah dikenal dikalangan para traveller yang berwisata ke gunung Mutis.

Cagar Alam Mutis: Bukan Tempat Wisata
Menjelang siang, kami baru memasuki gunung Mutis menggunakan motor. Sebenarnya di depan gerbang masuk gunung Mutis ada rumah penjaga yang digunakan untuk meminta ijin jika ingin masuk ke kawasan gunung Mutis. Sekedar infor saja, kawasan gunung Mutis ini masuk dalam kategori cagar alam. Makanya di gerbang masuk tertera tulisan besar "Cagar Alam Mutis". Artinya tempat ini adalah kawasan yang dilindungi dimana segala bentuk eksploitasi tidak diperbolehkan termasuk untuk pengembangan wisata. Satu-satunya kegiatan yang diperbolehkan di kawasan cagar alam adalah penelitian.

Tardi yang telah lama kerja di WWF dan ikut membidani perkembangan Mutis sampai kemudian menjadi cagar alam ikut memberikan informasi penting kepadaku. Aku baru tahu ternyata lumayan banyak juga spesies yang ada di gunung Mutis seperti Rusa Timor (Cervus Timorensis), Kuskus, Biawak Timor (Varanus Timorensis), Ular Sanca Timor (Phyton Timorensis), Punai Timor (Treon psittacea), Betet Timor (Apromictus Jonguilaceus), Pergam Timor (Ducula Cineracea). Kuskus? Kuskus warna putih? Iya, kamu gak salah dengar. Di hutan Mutis ini masih ada binatang bernama Kuskus. Sayangnya tidak mudah dilihat karena dia mahluk malam hari.

Memasuki hutan Mutis seperti memasuki taman yang tidak diatur oleh manusia tapi oleh alam itu sendiri. Rerumputan yang menghampar disepanjang jalan memasuki hutan Mutis tampak begitu rapi diantara jajaran pohon Ampupu. Keberadaan pohon Ampupu yang terjaga ini juga rupanya menjadikan keuntungan tersendiri yaitu adanya lebah madu. Nah selain kalian bisa berburu kain-kain tenun ikat khas Mollo disini kalian juga bisa mencari lebah madu untuk oleh-oleh.

Motor kami berhenti sampai di batas sungai yang agak curam karena Tardi menggunakan motor matic jadi agak sulit melewatinya. Untungnya diperjalanan kami bertemu dengan mobil dobel gardan yang masuk ke dalam. Ya udah, numpang naik lah. Lumayan bisa menghemat tenaga.


 
Sayangnya hujan turun kembali siang itu memaksa kami mencari tempat berteduh. Sebuah pohon Ampupu besar yang berlubang bagian tengahnya menjadi tempat kami berteduh menunggu hujan berhenti. Ada bekas terbakar di dalamnya. Pada bulan-bulan panas masyarakat atau petugas jagawana akan membakar lumut yang menempel di pohon Ampupu. Tujuan pembakaran ini untuk menghambat pertumbuhan lumut sehingga tidak akan memakan batang pohon. Lumut-lumut ini jika dibiarkan akan membuat batang bagian bawah pohon Ampupu melapuk, yang pada gilirannya akan menumbangkan pohon. Cuma kadang ada saja pohon Ampupu yang ikut terbakar dan justru tumbang karena terbakar batangnya.

Hutan Bonsai Alam di Gunung Mutis
Salah satu pohon Santigi di hutan bonsai alam hutan Mutis
Satu yang paling menarik dari gunung Mutis adalah keberadaan hutan bonsai alamnya. Ada hawa mistis yang menyelimuti kawasan hutan bonsai alam yang tanahnya dipenuhi oleh lumut-lumut. Jika kalian yang pernah ke tempat ini tentu mengerti, pohon-pohon yang membentuk lainya bonsai alam ini adalah pohon Santigi. Beberapa orang mungkin menyebut pohon ini dengan nama Stigi atau Drini, yang konon batangnya dipercaya bertuah. Kenapa menarik, karena jenis pohon Santigi yang tumbuh di hutan ini adalah jenis pohon Santigi yang biasa tumbuh di kawasan pesisir berkarang, berpasir atau disekitar kawasan Mangrove. Bayangkan bagaimana pohon-pohon Santigi ini bisa terjebak di antara tanaman Ampupu dan bertahan sampai dengan saat ini di ketinggian alam gunung Mutis yang memiliki tinggi di atas 2.000 mdpl.

Apakah jenis Santigi di hutan ini bukan jenis Santigi yang tumbuh di gunung? Memang ada jenis Santigi yang tumbuh di gunung namun biasanya berukuran lebih kecil dengan daun muda berwarna ungu kemerahan atau merah. Lagian Santigi gunung biasanya tidak dapat tumbuh terlalu besar. Itu informasi yang aku peroleh kalau tidak salah.

Rata-rata pohon Santigi di hutan bonsai ini sudah tua, disekeliling tanahnya sampai di pokok batangnya dipenuhi lumut hijau. Uniknya lagi, hanya di hutan bonsai ini pohon Santigi bisa hidup dan berbentuk seperti ini. Itu pun di sekitar tidak ada lagi bakalan pohon baru yang hidup disekitar pepohonan ini, padahal umumnya Santigi berbuah dan biji buahnya bisa menghasilkan tanaman baru. Jika pohon-pohon Santigi itu mati tidak akan tergantikan oleh pohon baru.

Kalian yang pernah mengunjungi hutan ini beruntung sekali. Karena bila pohon-pohon Santigi pada gilirannya mati sepertinya hutan ini hanya akan cerita saja.
Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 20 Juni 2018

Camping Mutis: Usapikolen

Matahari terbit di bukit Usapikolen
Usapikolen pagi ini langitnya cerah walau dinginnya serasa menggigiti tulang. Sleeping bag yang aku kenakan sebagai selimut lumayan mengurangi rasa dingin. Tak ada kain hangat, bahkan saat ini pun aku cuma memakai sarung dan kaos oblong. Sambil mulai memasang kamera ke atas tripod sambil berjalan pelan dengan santai mencoba menjelajah pemandangan di sekeliling bukit ini. Masih cukup waktu untuk menunggu matahari terbit. Benar kata Tardi, bukit Upasikolen ternyata bukan cuma tempat yang paling pas untuk menikmati matahari terbenam tetapi juga matahari terbit.

Selalu ada pelangi setelah hujan
Beberapa kuda di bawah bukit makin bergerak menjauh menuruni perbukitan di sebelahnya. Suara ringkikannya mengingatkanku suara yang kudengar tadi malam di samping tenda. Dengusan yang begitu terasa dekat sekali yang membuatku bertanya-tanya apa yang membuat mereka tertarik mendatangi tenda kami. Tak cuma kuda, bahkan aku bisa mendengar bunyi lonceng sapi juga. Padahal kemarin sore mereka justru menjauh saat kami datangi. Aku sempat berpikir lain waktu terdengar dengusan dari luar tenda. Bahkan tanganku sempat meraih salah pisau lipat yang ada di samping tenda untuk berjaga-jaga. Hanya setelah aku yakin mereka cuma kuda dan sapi aku bisa melanjutkan tidurku. Mungkin mereka tertarik dengan bau masakan dari sisa piring-piring yang aku sengaja taruh diluar biar terkena hujan.

Menikmati matahari terbenam di Usapikolen
Dari tempatku berdiri aku bisa melihat jelas dua tenda yang terpasang kemarin sore di salah satu bukit. Satu tenda besar yang kami bertiga tempati: aku, Imam dan Al-Buchori. Dan satu lagi yang ukurannya lebih kecil ditempati sendiri oleh Tardi. Seorang teman yang baru kami kenal siang kemarin saat sedang mengisi BBM di Pom Bensin. Aku tersenyum sendiri membayangkan yang terjadi kemarin sore. Yah, tenda-tenda itu didirikan susah payah dalam kondisi hujan yang kencang. 


Matahari tenggelam di antara air hujan di rerumputan
Belok kanan.. belok kanan.. suara Tardi terdengar samar diantara deru hujan yang makin kencang. Tardi yang dari awal berada di depan kami membelokkan motor matic-nya ke arah perbukitan. Aku dan Imam yang membonceng Al mencoba mengikuti masuk ke arah perbukitan. Tardi sedari pertengahan jalan sudah mengenakan mantel hujan berbeda dengan kita bertiga yang justru tidak membawa peralatan terpenting itu di saat seperti ini. Setelah menghentikan kendaraan di salah satu tanjakan kami mulai berjalan ke arah bukit paling ujung untuk memasang tenda. Sayangnya di bukit kedua yang kita tuju telah dipenuhi dengan kuda dan sapi. Akhirnya kami mengalah memasang tenda di bukit pertama.

Jalan menuju Fatumnasi dari bukit Usapikolen
Jalan menanjak menuju Fatumnasi
Di tengah guyuran hujan yang tidak juga mereda, kami harus segera memasang tenda. Tardi dan Al merentangkan salah satu hammock-ku yang tahan air untuk menjadi pelindung saat aku dan Imam memasang tenda. Air hujan dan kabut yang datang cukup membuat acara memasang tenda jadi lama. Selesai kedua tenda terpasang, kami semua kecuali sudah basah kuyup termasuk tas-tas yang kami bawa. Sialnya baju dan celana ganti yang aku punya ada dibagian bawah yang ikut terkena rembesan air. Rupanya aku salah meletakkan posisi tas yang justru membuat rain cover tas bagian bawah menjadi tampungan air hujan. Yang paling terselamatkan tentu saja si Tardi yang dari awal menaruh semua barangnya ke dalam kantung dry bag.

Dan semalaman aku meringkuk tidur ke dalam tenda dalam kondisi tanpa baju alias bugil.. Widih, beruntunglah perjalanan kali ini isinya cuma mahluk berbatang semua. Coba kalau ada cewek yang ikut, bisa berabe nih urusannya tidur macam begini. Emang asyik kalau jalan gini pake kena acara kehujanan.


Pemandangan bukit Tunua dari Usapikolen
Lupakan acara api unggun yang selalu menyertai kami setiap kali nenda. Bukit Upasikolen ini adalah bukit yang hanya ada rumput tanpa pepohonan jadi tidak ada yang dapat kami jadikan api unggun. Kalau ingin mencari kayu bakar harus turun ke bawah bukit. Lagian dalam kondisi hujan seperti ini siapa juga orang gila yang mau bikin api unggun.

Dan sekarang lihat, pagi ini mereka belum ada yang bangun dari tidurnya. Kurasa mereka terlalu sayang meninggalkan kehangatan sleeping bag demi melihat sinar matahari pagi. Apalagi satu mahluk bernama Imam yang lebih mirip kelelawar, betah melek sampai pagi tapi justru tidur lelap saat pagi..

Kenapa kok kami di Usapikolen? Tardi lah yang membuat ide ini. Menurutnya, dari pekerjaannya yang lama berada di Fatumnasi. Usapikolen adalah satu satu tempat keren buat menikmati matahari tenggelam dan matahari terbit. Dari dulu dia ingin sekali nenda di sana tapi belum kesampean, jasi sekaranglah kesempatannya. Karena aku sendiri tidak paham dengan Fatumnasi (baru pertama nih) ya akhirnya pilih ngikut saja dengan pilihannya.



Buat yang belum tahu, Usapikolen ini adalah kawasan perbukitan yang letaknya sebelum masuk ke Fatumnasi. Usapikolen ini karena konturnya yang berada di perbukitan yang cukup tinggi dari sekitarnya jadi memang pemandangannya cukup lega. Jika naik ke salah satu bukit yang berada di bukit yang berada di sebelah kanan jalan, kalian bisa melihat sebuah bekas bukit yang warnanya putih rata di bagian atas. Itu adalah bukit Marmer Tunua yang dulu pernah menjadi lokasi pertambangan marmer. Itulah tempatku bermalam besok.
Jadi kalau nanti kalian ke Fatumnasi, bolehlah mampir sebentar ke
Usapikolen sebelum masuk Fatumnasi. Syukur-syukur kalau mau nenda disini.

Teman jalan ke Fatumnasi kali ini: Imam 'Boncel'; Al-Buchori; dan Tardi Sarwan
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 04 April 2016

Fatu Nausus: Bukit yang Terpotong

Bukit Anjaf di Fatu Nausus
Bukit batu Anjaf, salah satu bukit Fatu Nausus yang telah terpotong
Bukit batu karst yang menjulang ini masih menampakkan sisa-sisa kemistisannya. Bukit Nausus masih tampak utuh dari tempatku berdiri. Nampak sedikit ada bekas batu terpotong di bagian bawah yang sebagian tertutup longsoran batu-batu dari atas. Sementara bukit Anjaf tempatku berdiri sebagian besar bukitnya telah terpotong sehingga sekarang menyisakan bukit terjal dengan dinding tegak lurus licin dari marmer. Bahkan lantai yang kupijak ini bukan lantai semen tapi dari batu marmer. Karenanya pagi yang dingin semakin terasa dingin jika menginjak lantai ini tanpa alas kaki.

Aku meletakkan tas ranselku di ujung bukit yang terasa makin berat oleh medan jalan yang harus kulewati untuk mencapai tempat ini. Ada perasaan lega telah mencapai tempat ini karena sepanjang jalan aku harus terus sibuk bertanya kepada setiap orang yang kutemui untuk menyakinkan arah lokasi yang mau aku tuju.
Dari kejauhan kedua bukit batu yang dikenal dengan nama Anjaf dan Nausus memang sudah tampak dari daerah Kapan, ibukota kecamatan Mollo Utara karena memang kedua bukit ini paling menonjol. Namun untuk mencapainya ternyata tidak segampang kita melihatnya.


Menyusuri Pagi Buta yang Sepi
Jam tiga aku keluar dari rumah dengan motor matic 'Trondol' yang sudah kuganti rodanya dengan jenis dosser tipe roda semi trail. Kupang yang siang hari ternyata terasa dingin jika pagi begini. Di sepanjang jalan tampak obor-obor dari botol berjajar di sepanjang jalan. Hari ini adalah paskah. Di beberapa titik tampak tanda salib tiga buah di pasang para warga, kadang tampak beberapa pemuda bergerombol duduk sambil mendengarkan musik yang berbunyi sepanjang malam. Namun selebihnya jalanan sepi.

Hutan cemara di Fatu Nausus
Tanaman perdu menghijau menghiasi perbukitan Cemara
Beberapa kali aku berjalan pelan di pinggir karena berpapasan rombongan yang beriringan dengan obor di tangan melantunkan pujian-pujian menuju gereja. Aku baru tahu jika paskah begini justru ada acara jalan salib sepagi ini.Setelah itu jalanan bisa dibilang sepi, hanya kadang bertemu satu dua motor yang berboncengan. Jika melihat perlengkapannya, sepertinya mereka juga melakukan perjalanan luar kota.

Sampai di hutan Camplong cuaca masih tampak cerah walaupun terasa lebih dingin di banding kota Kupang. Justru saat mulai memasuki Takari aku harus menurunkan kecepatan motorku karena kabut nyaris dimana-mana membuat jarak pandangku terbatas. Apalagi kabutnya juga disertai air gerimis tipis. Beberapa kali aku harus berhenti untuk membersihkan kaca helm memudar oleh kabut membuat bias cahaya tampak bergaris mengganggu pandangan.

Sekitar jam setengah enam pagi aku sudah sampai di pom bensin di pinggiran kota SoE yang masih tutup. Untungnya ada celah sehingga aku bisa memarkirkan kendaraanku sebentar, berharap toilet di pom bensin ini bisa aku gunakan dan istirahat sedikit melepas sisa kantuk yang masih ada. Setelah menambah bensin satu liter di warung sebelah pom bensin aku kembali melanjutkan kembali perjalanan. 

Keindahan yang Tidak Ditopang Infrastruktur
Hutan Fatu Nausus
Matahari bersinar dari balik pepohonan cemara, hutan Fatumnasi
Perjalananku dari SoE menuju Kapan masih cukup lancar, walaupun beberapa ruas menuju kapan sudah mulai mengalami kerusakan. Selepas Kapan, dipertigaan aku mengambil ke arah kiri. Di papan petunjuk tertera tulisan arah menuju Fatumnasi, sebagaimana petunjuk yang diberikan penduduk desa yang aku tanyai dari di percabangan. Selepas satu km yang masih mulus (sepertinya proyek rehabilitasi jalan baru-baru ini) akhirnya kembali melewati yang ruas jalannya mulai rusak parah. Bahkan masih ada ruas yang longsor parah dan menyisakan sisa selebar setengah meter. Cukup untuk satu motor saja.

Perbukitan di Fatu Nausus
Hamparan perbukitan menghijau di Fatu Nausus
Kapan yang ketinggiannya sekitar 900 mdl (sedikit lebih tinggi dari SoE) memiliki banyak potensi yang menjadi andalan Kabupaten Timor Tengah Selatan, salah satunya jeruk. Konon katanya di sini juga pernah menjadi sentra dari buah apel yang khas dari Timor, sayang sekarang tidak ada jejak sama sekali dari buah apel ini.

Selepas tugu pertigaan itulah jalur yang lumayan cukup sulit karena jalan nyaris tidak menyisakan lagi aspal. Dengan jalur menanjak dan banyak kelokan, batu-batu bulat yang licin jika hujan membuat kendaraan tidak bisa bergerak cepat. Pada kondisi seperti ini, motor memang menjadi lebih fleksibel, kalau pun dengan kendaraan maka lebih pas jika menggunakan kendaraan jenis off road (penggerak empat roda).

Dengan kondisi jalan yang rusak, namun pemandangan yang ditawarkan mampu mengimbangi. Sepanjang kelokan menanjak, view pohon cemara yang telah berlumut dengan tanah yang menghijau mampu menyihir mata yang memandang.
Apalagi dengan eloknya cahaya matahari menyeruak di antara jajaran batang cemara, menerobos dingin yang berusaha kulawan dengan meniup-niupkan hawa panas ke tanganku. Sendirian tak membuatku tergugu, sendirian saat seperti ini seperti sebuah kesempatan untuk menghirup kesegaran dan keindahan yang ada sepenuhnya. Di sini hawa pegunungan yang dingin nyaris belum berpolusi, kalau pun polusi itu tak lebih dari tai sapi yang sering hangat tergeletak di sepanjang pinggir jalan.


Kuda-kuda di hutan Fatu Nausus
Kuda-kuda merumput di hutan cemara Fatu Nausus
Sapi-sapi banyak bersliweran di perbukitan dan di lembah. Mereka beruntung tinggal dan besar di sini, walau tahu akan tetap berakhir di tempat pemotongan sapi hehehe. Kadang-kadang tampak serombongan kuda muncul tiba-tiba dari antara semak mengejutkanku. Awalnya kupikir kuda-kuda ini adalah kuda liar karena aku melihat kuda-kuda ini surainya panjang tak terpotong. Ternyata aku salah, saat bincang-bincang dengan penduduk kampung, ternyata mereka memang membiarkan kuda-kuda ini lepas begitu saja tak dimasukkan kandang.

Bunyi binatang-binatang malam masih berderik juga padahal matahari sudah keluar dari tadi. Entah karena mendung yang masih mengelayut di langit, ataukah dingin yang masih menyergap. Memang walaupun matahari sudah keluar sedari aku sampai di turunan pertigaan tugu di kapan, namun dengan ketinggian 1.160 mdl suhu di atas sini masih terasa dingin. Aku sesekali masih harus meniupkan udara panas ke telapak tangan untuk mengurangi rasa dingin di jari-jari.

Fatu Nausus dari cek dam Fatukoto
Bayangan Fatu Nausus dari cek dam Fatukoto
Jalan yang harus dilewati pelan makin pelan karena aku sering harus berhenti. Di bukit atas terdapat percabangan jalan, di situlah aku harus kembali belok kiri karena jalan lurus berarti ke arah Fatumnasi. Jalanan menurun ini tak terlalu lama sampai aku bertemu dengan perkampungan. Salah satu dusun dari desa Fatukoto.

Ternyata sebelum perkampungan ada jalan ke kiri lagi itu yang harus kuikuti. Persis di depan percabangan itu terdapat sebuah cek dam yang dikembangkan oleh masyarakat untuk menjadi daerah wisata. Memang bukan danau sehingga airnya pun tidak berwarna bening namun suasana tempat ini lumayan menyenangkan apalagi pepohonan banyak berjajar di sepanjang jalan lokasi ini. Dari sini pemandangan bukit batu Nausus tampak menarik terpantul di air  di sela-sela bayangan pohon ampupu yang masih muda di sekitar lokasi cek dam. Hanya ada seorang pria yang duduk menggelung kaki sedang memancing di salah satu ujung batu. Udara dingin begini memang tidak menarik orang untuk keluar sekedar memancing. Apalagi jika rumah hangat masih menyala apinya.

Kendaraanku kembali masuk ke kiri menyusuri jalan tanah berbatu yang adak licin, mungkin sisa embun semalam. Jika sebelumnya pemandangannya adalah pepohonan cemara sekarang pemandangannya didominasi pepohonan Ampupu.

Bukit Batu Karst yang Menjulang: Anugerah dan Bencana
Bukit terpotong Fatu Nausus
Pepohonan mulai tumbuh di bekas potongan batu
Pintu gerbang kawasan wisata Fatu Nausus masih tertutup, aku menarik pintu dari potongan-potongan kayu ini agar cukup untuk masuk motor. Pagar yang menutup kawasan ini hanya dibuat secara sederhana dari potongan batang-batang pohon sekitar kawasan ini. Beberapa puluh meter selepas masuk gerbang terdapat bangunan panjang yang saat ini digunakan penjuga dari lokasi ini. Hanya ada satu orang penjaga dan seorang anak kecil yang menjaga tempat ini. Karena aku hanya sendiri dan belum ada orang lain, mereka mempersilahkan aku menggunakan motor sampai ke dalam sampai persis di bawah bukit.

Mataku langsung tertambat pada pemandangan bukit yang dindingnya tegak lurus licin, dinding ini lurus licin bukan dibentuk oleh alam tapi oleh tangan manusia melalui teknologi yang dimilikinya. Ya, bukit yang terpotong tegak lurus ini hasil dari eksplorasi perusahaan tambang marmer. Bukit-bukit karst yang menjulang ini dipuja danb dijaga masyarakat karena dianggap keberadaannya memberikan kehidupan bagi sekitarnya juga dipuja oleh para pebisnis.  Bukan oleh karena kemistisannya namun lebih kepada nilai ekonominya. Dibalik batu-batu terjal inilah tersimpan potensi batu marmer yang katanya berkualitas nomor dua di dunia.

Longsoran Fatu Nausus
Longsoran batu di bukit Anjaf
Dulu tempat ini dulunya digunakan oleh masyarakat Mollo untuk melakukan upacara-upacara adat. Tempat ini memang layak dipuja karena dengan hutan disekitarnya mampu menjadi penopang kehidupan. Air-air hujan yang tertahan dan mampu menghasilkan kehidupan dengan adanya mata air bagi daerah yang dibawahnya.

“Seperti manusia. Kawasan ini dulu bentuknya utuh sempurna. Ada rambut yaitu hutan-hutan di sini, segala pohon yang melekat. Ada darah yang menghidupinya yaitu air-air yang tersimpan dalam tanah, ada kulitnya yaitu tanah-tanah yang menghidupkan, serta batu-batu yang menjadi tulang punggung sehingga menguatkan kawasan ini. Seperti itulah keindahan di sini dulunya. Rupanya sempurna seperti manusia, sebelum perusahaan tambang marmer datang dan merusak alam hidup di sini. Jadi coba bayangkan, jika itu manusia, kamu tidak punya alis, rambut, seperti apa rupanya?,” jelas Petrus Almet, salah seorang tokoh adat dari desa Lelobatan. 

Pintu masuk lokasi wisata Naususu (Fatu Nausus)
Kudengar, bukit yang menonjol paling menonjol di kawasan Mollo ini berubah menjadi bencana saat masyarakat terpecah menjadi dua, yang pro tambang dan menolak tambang. Akhirnya memang kawasan ini telah ditinggalkan perusahaan tambang namun bukan dengan cara yang mudah. Ada perjuangan yang cukup lama dan keberanian yang harus terus dikobarkan agar masyarakat mau saling bahu membahu dalam satu suara menolak pertambangan ini.

Di bagian dekat rumah panjang bekas bangunan perusahaan masih terdapat beberapa balok yang ditinggalkan, ada juga beberapa yang masih tersisa tertutup semak belukar. Bahkan bukit Anjaf yang telah terpotong juga sudah mulai hidup beberapa pohon termasuk pohon beringin didindingnya. Alam sedang berusaha mengembalikan tempat ini.

Potongan marmer di Fatu Nausus
Sisa potongan batu milik perusahaan tambang yang belum diangkut
Di balik dari bukit Anjaf, beberapa batu yang terpecah-pecah lebih kecil tampak longsor sehingga aku tidak berani menaikinya. Hanya dua pasang kambing coklat dan hitam yang telah nangkring di atas entah lewat mana.

Sayang aku tidak bertemu kera putih yang menjadi legenda tempat ini. Katanya kera putih itu memang tidak mudah ditemui, hanya orang yang beruntung saja yang bisa bertemu dengan kera putih itu. Kemunculan kera putih itu dianggap pertanda baik. Ah, cerita mistis dari tempat-tempat seperti ini memang menarik bagiku. Walaupun aku tidak mempercayainya, tapi akan menghormati dan menghargainya. Karena bagiku, cerita-cerita mistis yang melingkupi tempat ini adalah cara agar manusia yang sebenarnya bergantung dengan keberadaan tempat ini tetap menghormatinya.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya