Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label Sumba Barat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sumba Barat. Tampilkan semua postingan

Minggu, 20 Januari 2019

Matayangu: Air Terjun atau Danau?

Air terjun Matayangu
Suatu kali pernah ada turis asing yang penasaran mencoba mengukur kedalaman danau. Untuk mengukur, dia menyiapkan 5 rol tali yang panjang tiap rolnya 500 meter. Namun setelah rol demi rol tali disambungkan sampai habis 5 rol itu tetap tidak menjangkau dasar danau. Itulah cerita mitos air terjun Matayangu yang dituturkan oleh Jumad, pemandu kami. Atas dasar cerita itu, masyarakat sekitar percaya kalau danau ini terhubung dengan laut Wanokaka yang berada di sisi selatan Sumba. Mitos lebih jauh mengatakan jika ada gurita raksasa yang dipercaya masyarakat menjaga danau ini. Seru mendengar cerita mitos tentang tempat-tempat seperti ini.

Air terjun atau Danau?
Air terjun Matayangu
Dari atas tempatku berdiri, sebuah danau luas yang airnya berwarna biru tosca tampak jelas walau masih terhalangi pepohonan. Di ujung lain berhadapan dari tempatku berdiri, tampak sebuah air terjun yang keluar dari bagian tengah tebing batu. Air terjun itulah yang mereka sebut Matayangu. Mungkin air itu keluar dari sungai bawah tanah.

Aku tak tahu, apakah Matayangu lebih pas disebut sebagai air terjun atau danau. Tingginya air terjun Matayangu jadi tampak kecil bagaikan sebuah 'grojokan' kecil bila dibandingkan luas danau di bawahnya. Terlepas dari hal itu, Matayangu tetaplah salah satu air terjun terbaik yang ada di Sumba. Berada di kedalaman hutan di kawasan Taman Nasional Tanadaru Manupea, air terjun ini menawarkan sensasi air danau dengan warna biru toscanya.

Air terjun Matayangu
Air terjun ini terkurung lengkung tebing dalam lebatnya hutan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru. Dalam satu kawasan ini selain air terjun Matayangu juga ada air terjun Lapopu. Bedanya air terjun Matayangu posisinya lebih tinggi dibandingkan dengan air terjun Lapopu. Meskipun berada dalam lokasi yang sama namun sumber air kedua mata air ini berbeda.

Perjalanan Menuju Air Terjun
Dengan naik mobil travel, aku dan Imam baru sampai di Waikabubak agak sore sekitar jam 3-an. Saat itu, aku sudah diinformasikan kalau hotel sudah penuh semua. Dari informasi seorang ibu yang mengajakku ngobrol selama di mobil, akhirnya aku menginap di sebuah hotel kecil bernama A. Sebuah keputusan yang kusesali kemudian, karena ternyata pemilik hotel ini sangat tidak ramah. Itulah mengapa kemudian aku mengisi rate hotel ini bintang satu alias sangat tidak direkomendasikan.

Sungai di Air terjun Matayangu
Masalah kedua adalah soal sewa motor. Ternyata bukan cuma kamar-kamarnya saja yang penuh, motor-motor dari hotel yang biasa bisa kita sewa ternyata sudah tidak tersedia. Untungnya, ada seorang teman dari Waikabubak, pak Hans biasa kita memanggilnya bersedia meminjamkanku sebuah motor. Dia juga menyarankanku untuk berangkat lewat jalur air terjun Lapopu.

Memang ada dua jalur untuk bisa ke air terjun Matayangu. Pertama adalah jalur yang umum yaitu masuk melalui gebang masuk ke air terjun Lapopu. Jalur kedua adalah lewat jalur Sumba Tengah tepatnya di desa Waimanu. Secara administratif memang air terjun Matayangu masuk ke Sumba Tengah. Namun untuk akses ke air terjun lebih disarankan lewat jalur gerbang masuk air terjun Lapopu. Informasinya, jalur yang melalui Sumba Tengah belum ditata sehingga medannya lebih susah. Secara jarak juga lebih jauh dibandingkan jalur dari Lapopu. Belum lagi untuk parkir kendaraan lebih susah karena tidak ada penjaga di sana.

Perjalanan dari Waikabubak sampai ke cabang masuk menuju gerbang masuk air terjun Lapopu bisa dikatakan lancar karena sebagian jalan sudah diperbaiki. Waktu tempuh hanya sekitar setengah jam saja. Namun selepas percabangan masuk itulah terdapat beberapa ruas yang agak susah dilewati karena rawan bikin roda kendaraan slip.

Di titik jalan rusak menuju ke gerbang masuk, aku memilih turun dari motor. Di tempat ini dulu Imam pernah jatuh dari motor, yang aku tulis disini: Terpesona di Lapopu. Sebagian besar jalan memang sudah perbaikan namun jalan masuk ke arah gerbang masuk bekas jalan aspal yang sudah habis terkelupas menyisakan tanah dan batuan. Mungkin karena masih trauma dengan kejadian sebelumnya, saat jalan menurun Imam sangat hati-hati. Aku membantu memegangi kendaraan dari belakang. Beberapa kali roda motor mengalami slip namun untuk tidak sampai terguling. Setelah jalan menanjak, aku minta Imam naik motor sendiri sementara aku berjalan kaki. Dan ternyata, bikin sehat ngos-ngosan!

Sampai di gerbang masuk rupanya sudah banyak kendaraan terutama mobil. Sebagian mobil itu berisi wisatawan dari luar. Perkiraanku mungkin dari Taiwan atau China Daratan (RRC). Saat aku tanya ke Jumad, salah satu guide di sana ternyata mereka lebih memilih ke air terjun Lapopu. Kemajuan pertama yang aku lihat di tempat ini adalah sudah dibangunnya beberapa bangunan lopo juga beberapa tempat duduk untuk beristirahat tamu. Selain itu juga sudah ada beberapa warung yang berjualan makanan. Bandingkan dengan dulu waktu pertama kali ke air terjun Lapopu  dimana tidak ada satu pun penjual.

Perjalanan langsung dimulai dengan jalan naik ke atas melalui sebuah tangga kecil. Tangga ini memiliki pegangan dari besi yang dibuat sepanjang pipa besi besar yang diameternya tidak kurang dari setengah meter. Tangga ini adalah tangga inspeksi yang dibangun untuk memantau jalur pipa yagn digunakan untuk mengalirkan air ke pembangkit listrik mikro hidro. Kata Jumad sih ada sekitar 200 anak tangga, entah jumlahnya sebanyak itu atau kurang aku tidak tahu. Lagi-lagi acara naik tangga bikin sehat ngos-ngosan!

Selepas berakhirnya tangga, perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri hutan berpijak di atas pipa langsung. Aku yakin, berjalan di atas jalur pipa dilarang, namun apa daya saat itu jalur jalan yang ada di bawah tidak bisa digunakan karena yang ada becek oleh aliran air. Selain itu jalur banyak terputus karena mungkin sudah lama tidak pernah lagi digunakan orang. Mungkin selama ini wisatawan selalu diarahkan guide untuk berjalan di atas pipa seperti kami. 

Berjalan di atas pipa jelas harus lebih hati-hati karena tidak ada pegangan, belum lagi kadang kala pipa menggantung dengan tinggi dua meter lebih dari tanah. Untung pipanya tidak terasa licin di kaki, entah jika datang pas musim hujan. Setelah menempuh setengah perjalanan kami sampai ke ujung pipa, yaitu sebuah bak penampungan dari sebuah sumber mata air. Mata air itulah sumber dari air terjun Lapoppu. Sayang mata air saat itu kecil debet airnya, musim kemaraulah penyebabnya. Suasana yang rindang membuat kami memutuskan untuk berhenti sejenak. Baru setengah jalan namun menguras tenaga. Untungnya di sepanjang perjalanan riuh terdengar bunyi burung-burung hutan. Satu dua kali tampak burung ekor biru panjang lewat. Sayang tidak ada penampakan burung Kakatua Jambul Kuning atau Julang Sumba, entah dimana mereka semua kini. Jangan salah, Sumba punya banyak burung endemik yang sering dikira bukan burung Sumba. Jenis burung seperti Julang Sumba, Nuri Pipi Merah, Jalak Sumba, Betet Kelapa, Rawamano, Sikatan sumba, Pipasan, dan Kakatua Jambul Kuning adalah burung-burung endemik Sumba.

Setelah itu, perjalanan dilanjutkan menyusuri punggungan bukit. Perjalanan kembali sulit karena kondisi jalan yang miring dan naik turun. Untungnya di titik-titik jalan yang rawan dilewati terbantu dengan dipasangnya kayu-kayu yang di ikat antar pohon sebagai petunjuk jalan sekaligus sebagai alat kita berpegangan. Melihat kondisi jalan yang seringkali tidak jelas, keberadaan pemandu seperti Jumad ini memang sangat diperlukan. Bahkan jika kalian pernah dua kali ke Matayangu tetap berpotensi akan tersesat tanpa jasa pemandu. Golok di pinggangnya berguna sekali untuk membantu memangkas cabang pohon yang kadang tumbuh menutupi jalan.

Danau Biru Tosca yang Luas
Setengah jam kemudian suara guruh air terdengar makin jelas. Dari balik pepohonan tampak aliran air bening berwarna kebiruan mengalir melewati bebatuan turun ke bawah. Begitu mencapai area terbuka, pemandangan danau yang luas tampak didepan mata. Benar dugaanku, air terjun Matayangu itu menipu mata. Jika dilihat dari foto-foto yang ada di internet air terjun nampak kecil saja. Padahal dalam kondisi kering dan menyisakan air terjun yang dari tengah (air bawah tanah), ketinggiannya tidak kurang dari 30 meter. Namun karena danaunya luas, jadilah air terjunnya tampak kecil saja di foto.

Air terjun Matayangu
Sebenarnya jika aliran air terjun yang paling atas sedang tidak kering, ketinggian air terjun Matayangu itu sekitar 75 meter. Jadi air terjun itu ada 2 sumber, dari sungai yang paling atas dan air yang keluar dari bagian tengah (sungai bawah tanah). Aku kurang beruntung tidak mendapatkan pemandangan air terjun yang lebih tinggi, tapi tetap saja tidak mengurangi kekagumanku akan keindahan alam Sumba.

Baru mulai masak air untuk membuat minuman pas dan mie rebus, tampak beberapa bule mulai berdatangan dari seberang lain danau. Setidaknya ada tiga rombongan terpisah yang datang bergantian. Bule-bule ini adalah tamu dari Nihiwatu Resort. Artinya ada 3 jalur yang bisa digunakan untuk menjangkau Matayangu.

Sayangnya aku tidak berenang karena tidak ada celana ganti sama sekali. Mungkin lain kali kalau kesini aku bisa membawa baju ganti dan perlengkapan berenang. Rugi rasanya hanya bisa melihat air danau yang bening segar. Padahal bule-bule dari Nihiwatu saja pasti kesini untuk berenang.

 

Selain bule-bule itu, praktis cuma kami saja yang melancong ke tempat ini. Baru saat kembali pulang bertemu dengan rombongan muda-mudi yang baru akan ke Matayangu. Rombongan muda-mudi ini rupanya berangkat dari jalur Sumba Tengah. Jalur yang katanya lebih susah walau secara jarak lebih dekat.

Catatan:
  1. Dari jalur manapun, perjalanan ke air terjun Matayangu menempuh jarak yang lumayan memakan waktu dan cukup berat, siapkan perbekalan makanan dan minuman yang cukup. Jangan berharap ada penjaja makanan di lokasi.
  2. Pada musim khususnya penghujan adalah saat terbaik menikmati keindahan air terjun Matayangu, namun perjalanan juga makin sulit. Penggunaan sepatu boat bisa dipikirkan, baju dan celana panjang untuk menghindari terkena tanaman liar beracun dan berduri serta pacet/lintah.
  3. Gunakan jasa pemandu, medan jalan di semua jalur sama susahnya. Harga pemandu sekitar 150ribu menurutku wajar saja karena sehari mereka paling hanya menemani 1-2 kali turis/pejalan. Ikut rombongan adalah cara lain untuk sharing biaya terutama jika menjadi solo traveller.
  4. Sepertinya pilihan menginap/memasang tenda bukan pilihan baik. Bagaimanapun daerah Lamboya dan Manokaka masih dianggap sebagai daerah yang rawan kejahatan. Sebaiknya hindari pulang terlalu sore/malam demi keamanan.
(catatan perjalanan satu minggu keliling sumba bareng Imam)
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 29 Agustus 2013

Gambar-Gambar dari Pameran Budaya Sumba Barat

Suasana pagi di dalam rumah yang dibangun dengan bahan alam tanpa paku
Pas bener, minggu kemarin pas lewat tanggal 17 Agustus dapat penugasan ke Sumba Barat selama seminggu. Kebetulan bukan tugas yang berat, walau harus mengumpulkan banyak data dari seluruh Dinas dan Badan di Kabupaten Sumba Barat. Kebetulan pula ada kegiatan untuk perayaan untuk memperingati hari kemerdekaan yang masih tersisa, karnaval budaya dan pameran budaya yang baru dilaksanakan Minggu ini.
Suasana rumah dari kampung Lamboya
Yang istimewa kali ini dari pameran budaya yang biasa di gelar di lapangan umum kota Waikabubak adalah bangunan-bangunan untuk pameran. Jadi dari informasi, ada instruksi dari Bupati kalau pelaksanaan pameran kali ini seluruh peserta diwajibkan membangun tempat pameran berupa bangunan rumah khas Sumba dengan tatacara orang Sumba asli membangun rumah. Apa bedanya dari rumah-rumah biasa? Selain bentuk rumah Sumba yang khas, pembangunan itu juga unik karena selain menggunakan kayu dan bambu sebagai tiang, pasak, dan bubungan seluruh kayu/bambu yang ini dihubungkan dengan tali dan tidak menggunakan satu pun paku. Bahan untuk membuat talipun bukan tali-tali plastik yang biasa ada di toko tapi dari bahan-bahan yang mereka cari di hutan. Katanya berasal dari akar atau kulit pohon tertentu, mereka banyak mengerti tentang jenis-jenis pohon yang kulit pohonnya bisa digunakan untuk membuat tali. Memang tampak sekali waktu itu kesibukan orang-orang yang sedang membangun itu, namun terus terang aku tidak sempat mengunjunginya.
Hari Kamis, sesuai acara untuk pembukaan pekan pameran budaya ini dibuka dengan sebelumnya didahului acara karnaval, entah acara karnavalnya yang diundur atau memang begitu, namun biasanya acara karnaval 17-an dilakukan sehari sebelum atau sesudah tanggal 17-an. Nantinya setelah seluruh peserta karnaval masuk ke dalam arena pameran budaya barulah Bupati yang duduk di rumah paling besar atau biasa disebut Umakalada membuka pameran. Sepertinya semua kegiatan memang didekatkan dengan tata cara membangun dan masuk rumah baru dalam tata cara orang Sumba.

(kiri) Karakter wajah Sumba yang tegas dari seorang penonton pawai
(kanan) Peserta pawai dari Dinas Koperasi dan UKM memamerkan hasil karya tenun ikat mereka
Acara pameran yang dibuat spesial ini juga rencananya akan digunakan sebagai tempat untuk dikunjungi peserta Sail Komodo yang rencananya akan datang kesini tepat pada acara pembukaan. Sayangnya sampai saat selesai acara, aku tak juga menemukan para peserta Sail Komodo datang ke tempat ini.
Sekitar jam tiga, aku bersama Imam datang ke arena pameran namun rupanya susah juga mencari tempat kosong karena sebagian besar masyarakat tumpah ruah memenuhi tempat pameran bahkan sampai rumah-rumah tempat pameran tak ada tempat tersisa. Sebenarnya aku sudah janjian dengan mas Joni Trisongko, namun hari ini dia harus memotret pelaksanaan kegiatan pameran dan karnaval oleh client-nya. Sambil menunggu peserta karnaval memasuki lokasi pameran aku mencoba berjalan-jalan di sekitar sekaligus mengambil gambar beberapa masyarakat yang datang juga dengan dandanan khas Sumbanya.

(kiri) Gerak rancak gembira para peserta pawai, (kanan) Gerak tari pedang dari peserta pawai Wanokaka
Aku beruntung juga, walaupun batas-batas daerah penonton telah ditentukan dan diawasi ketat oleh petugas dari Satpol PP namun orang-orang yang membawa kamera DSLR diperbolehkan lalu lalang untuk memotret momen acara ini. Tampaknya memang banyak fotografer yang ikut acara ini terlihat dari banyaknya orang-orang yang berlalu lalang di bagian depan yang sebagian menenteng kamera dan lensa panjang.
Umumnya peserta berasal dari instansi-instansi yang ada di Kabupaten Sumba Barat, namun juga ada beberapa perkumpulan-perkumpulan pendatang yang ikut ambil bagian dalam acara itu seperti: perkumpulan dari Bali, Jawa TImur, Ende, Nagekeo, Lembata, Sabu. Banyak juga sekolah yang ikut dalam karnaval ini. Cukup ramai, dan sebagian peserta menampilkan acara yang cukup atraktif. Setiap peserta yang hendak menampilkan tarian pasti didahului sebuah teriakan yang sangat khas Sumba yang disusul suara-suara menghentak "HAAA!!" lalu dimulailah para lelaki menarik parang panjang dari sarungnya dan sambil bergerak tari mengacung-acungkan parang. Dan biasanya kalau ada peserta yang semangat menari sampai jalan tanah debunya naik terbang oleh hentakan-hentakan kaki mereka, MC menambahkan "ba abu ba abu" yang maksudnya mau berdebu ya ayo saja. 

Para penari yang mengawali pembukaan oleh seribu penari
Rupanya tarian ini juga dilakukan oleh peserta-peserta yang masih SD, dan mereka saat mengacungkan parang dalam tarian menggunakan parang asli. Walaupun asyik menikmati tontonan ini, ngeri juga melihat anak-anak kecil memainkan parang asli. Tapi budaya Sumba Barat memang telah lekat dengan parang tipis panjang. Jadi hal lumrah kemana-mana bertemu dengan pria yang membawa parang di pinggang bahkan anak kecil sekalipun.
Awal-awal acara cukup lancar juga, aku bisa berdiri di batas terluar batas pengunjung. Sebenarnya boleh juga kita maju ke depan namun kalau pun itu harus dilakukan tetap harus memperhatikan kenyamanan fotografer lain kecuali untuk beberapa fotografer dan video-man yang memang ditunjuk resmi untuk mendokumentasikan acara ini. Awalnya hanya beberapa anak mencoba melihat lebih dekat namun segera dihalau oleh petugas.
Namun saat ada beberapa peserta karnaval tampil dengan dandanan dan gaya yang atraktif dan menarik beberapa fotografer mulai merangsek ke depan. Yang mulai menjadi masalah mereka tampak sekali tidak mengindahkan bahwa di belakang mereka ada beberapa fotografer yang sudah berdiri lebih dahulu. Jika saja setelah memotret dengan memasang posisi yang menghalangi fotografer itu hanya sebentar itu mungkin masih bisa dimaklumi, namun sayang dengan pongahnya mereka setelah memotret tetap berdiri disitu. Aku masih bisa melihat kaos-kaos mereka yang berwarna hitam dengan tulisan "FLASH FAST photographer". Mungkin tulisan di kaos itu membuat mereka percaya diri bahwa mereka berhak menenteng kamera dan bebas menghalangi fotografer lain, termasuk petugas shooting video yang memang harus mendokumentasikan acara.
(atas) Anak-anak tak mau kalah ikut menari dengan parang terhunus
(bawah) Para penari dari Wanokaka dengan tarian yang menasional
Entah siapa yang memulai, saat peserta dari Wanokaka menampilkan tarian berkelompok dua baris, penonton mulai merangsek ke luar batas dan itu tak bisa dibendung lagi sehingga jalan masuk untuk peserta menjadi menyempit. Dua baris kelompok penari ini sebelah kanan terdiri dari para pria dengan berselempang kain tenun putih dan menggunakan penutup kepala dengan bahan bulu ayam, sedangkan penari sebelah kanan adalah para perempuan dengan menggunakan kain berwarna biru terang dan ikat kelapa berhias logam kuningan berbentuk bulan sabit dan lilitan kain selendang kuning di pinggang. Aku awalnya masih mencoba bertahan namun karena penonton semakin memenuhi jalan peserta aku jadi kesulitan mencari angle untuk memotret.
Akhirnya aku menyerah dan memilih keluar dari sana untuk ke belakang. Keadaan ini sayangnya tidak diantisipasi, akibatnya setiap peserta menjadi kesulitan mencari jalan untuk masuk ke dalam arena pameran. Acara terus berlangsung karena ada lebih dari seratus peserta yang ikut acara pawai kali ini.
Setelah seluruh peserta pawai masuk (kalau tidak salah hampir jam setengah enam sore), barulah acara pembukaan dimulai yang diawali dengan dibawakannya tarian adat Sumba Barat oleh seribu penari dari tingkat SD sampai dengan SMA. Untuk tarian utama yang dibawakan peserta di bagian depan merupakan penggabungan tiga tarian.
Sebenarnya acara seperti pameran ini seringkali menjadi lebih ramai saat malam hari dimana orang sudah terbebas dari rutinitas pekerjaan. Namun justru pertimbangan itu pula aku tidak melihat atau memotret acara pameran pada malam hari, di samping karena tata pencahayaan yang tidak bagus untuk memotret juga karena aku kurang suka dengan suasana yang ramai pada malam hari. 
Memamerkan alat-alat yang dimilikinya 
Namun aku menyempatkan mengunjungi pada pagi hari. Sayangnya mereka baru memulai acara selepas jam sembilan pagi sehingga praktis tempat ini sepi saat itu. Saat aku mengunjungi bangunan dari kampung Wanokaka, aku hanya bertemu dua orang yang memang berjaga di tempat itu. Sambil berbincang-bincang santai, mereka menunjukkan isi rumah yang ternyata dibuat miniatur sampai ke dalam rumah seperti keberadaan dapur di bagian tengah. Namun tentunya tidak bisa sama seperti rumah-rumah adat Sumba yang umumnya besar dimana dibagian sisi-sisi ada kamar-kamar, maka di rumah miniatur ini tidak terdapat kamar-kamar seperti itu. Bagian depan rumah-rumah ini juga dipasang beberapa tanduk kerbau yang menjadi ciri khas bagian budaya Sumba. Mereka juga menunjukkan benda-benda yang berupa tombak dan parang yang biasanya baru mereka keluarkan menjelang acara di kampung mereka. Logam-logam dari benda itu memang telah berkarat namun tampaknya mereka menggunakan logam yang lebih kuat dari logam yang digunakan untuk membuat parang sekarang.
Sebuah alat penenun tampak kosong tak ada yang menggunakannya, mereka bilang yang menenun belum datang baru nanti siang mereka memulai kegiatannya sehingga aku tidak berkesempatan memotret kelincahan para ibu memainkan alat tenun ini untuk membuat kain. Sebenarnya selain pameran budaya ini juga ada acara pertandingan balap kuda, sayangnya aku tidak memiliki waktu cukup untuk mengunjunginya. Sepertinya melihat pacuan kuda yang dibawakan para joki cilik akan menjadi wishlist-ku selanjutnya jika bertandang lagi ke Sumba.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 26 Agustus 2013

Nihiwatu: Touch The Untouchable

Keindahan pantai di Nihiwatu Resort, pantai Sumba tak diragukan lagi keindahannya
Judulnya kampret banget kan? Iya memang kampret, asli gak pernah kepikir bakalan mampir ke Nihiwatu Resort. Walau aku nulis ini, gak ada ceritanya aku merekomendasikan tempat ini bahkan untuk diriku sendiri kecuali kalian yang punya uang gak pernah abis dan cari cara menghabiskannya.

Pantai berwarna biru muda dan sangat jernih
Gak ada angin gak ada topan, walaupun gak nginep (duite sopo???) kok ya bisa juga aku sampai sini. Halah cuma dateng ke sini apa susahnya? Bukan begitu kamu pikir.. Suer gak pake ewer-ewer walau cuma buat datang kesini buat mampir liat-liat misalnya ternyata gak semudah yang kamu bayangkan. Bayangkan saja, buat ngurus ijin boleh masuk saja manajemen harus melewati prosedur yang begitu ketat, tapi bukan berarti kayak ijin birokrasi yang mbulet dan kayak main pingpong lho ya. Karena manajemen di resort ini sangat menjamin kenyamanan tamu, kunjungan ke tempat ini tidak bisa sembarangan. Jadi pada umumnya cuma tamu yang memang sudah reservasi saja yang bisa masuk ke dalam, dan untuk reservasi hanya bisa dilakukan lewat Denpasar (bookingnya sih bisa lewat internet). Kalau di luar itu ada prosedur ketat, yang bahkan manajemen di resort ini harus mendapatkan persetujuan dari manajemen yang ada di Denpasar.
Tempat bersantai sambil menikmati minuman
Keberuntungan itu datang pas pagi-pagi buta aku sedang asyik dengan imajinasi menunggu antrian sambil duduk di toilet (sensor dan skip). Tau-tau ada telepon, karena nomor gak dikenal yah dengan santainya aku cuekin saja sampai selesai mandi. Selesai mandi liat ada sms masuk dari kepala bagian: "Pagi pak Baktiar, pak Sekda mau telp"... hah, jangan-jangan yang nelpon pak Sekda nih. Beneran, gak lama kemudian pak Sekda sms juga: "Pagi pak Baktiar, saya ..... sekda mau telpon". Ternyata nanyain kabar jadi atau tidak pimpinanku mau ke Nihiwatu, katanya sudah dikoordinasikan dan sudah mendapatkan persetujuan. Ditunggu jam setengah sembilan. Glek, aku gak tau menahu ada agenda ini karuan saja langsung blingsatan. Akhirnya setelah pontang panting telepon sana telepon sini, acara ke Nihiwatu lanjut. Tapi setauku aku gak ikut, ya udah akhirnya aku santai saja melanjutkan rencanaku mampir ke pameran yang tidak sempat aku ikuti karena kesibukan kerja. Lagi-lagi asyik moto tiba-tiba telepon bunyi lagi, kalau kendaraan pimpinanku sudah sampai sekaligus bilang supaya aku ikut di rombongan mereka. Waduh, langsung saja aku tinggalkan lokasi pameran untuk bergegas ganti baju. Agak repot sebenarnya karena sore ini kami harus kembali ke Kupang, untungnya pesawatnya sore hari.
Agak molor, akhirnya kami baru berangkat jam setengah sembilan. Untungnya aku masih sempat sarapan bareng Imam. Yang paling beruntung tuh Imam sebenarnya, baru sekalinya penugasan kesini eh udah dapat kesempatan sampai ke Nihiwatu Resort.
Lewat jalur ke arah Wanokaka, dua kendaraan kami tidak sampai setengah jam sudah sampai di depan pos jaga menuju Nihiwatu Resort. Seperti yang kami duga, kami harus melapor ke pos pertama. Petugas pos pertama selanjutnya mengontak lewat peralatan radio ke petugas pos jaga kedua. Tak lama kemudia seorang sekuriti dari pos kedua datang dan kembali menanyakan maksud kedatangan kami. Setelah diberitahu, sekuriti itu menghubungi manajer resort. Lalu kami disuruh menunggu untuk mengkonfirmasikan ijin kami termasuk masalah kami terlambat setengah jam lebih. Dari sini tampak beda banget adat kita dan mereka. Bila terlambat setengah jam di orang kita masih dimaklumi tapi di mereka ijinnya kembali dipertanyakan. Untungnya tak lama kemudian rombongan kami dipersilahkan masuk. Pos masuk sampai ke tempat parkir situasi tampak berantakan dengan tumpukan bahan bangunan dan kayu-kayu karena ternyata ada pekerjaan pemeliharaan dan penambahan fasilitas yang baru.
Imam menuju ke arah tempat bersantai
Kami disambut cukup hangat oleh petugas disitu termasuk oleh manajernya sendiri yang mempkenalkan diri Josh, seorang pria tampan berkebangsaan Yunani (diskip takut cewek pada histeris).
Pantainya memang bagus khas pantai-pantai di Sumba namun bukan berarti ini lokasi pantai terbaik, kalau keindahan pantainya bolehlah ditandingkan dengan pantai Marosi yang juga tidak jauh dari Nihiwatu. Bangunan-bangunan kamar yang dibangun disini bukanlah seperti hotel berbintang namun sebuah bangunan berbahan kayu dan bambu dengan atap dari ilalang, sangat khas Sumba. Beberapa bangunan di depannya terdapat kolam kecil, tidak seluruh kamar terutama kamar yang tipe luxury suite dan luxury room. 
Kami rombongan diantar melalui jalanan menurun di samping beberapa rumah-rumah yang kiri kanan dibangun dengan batu-batu sampai ke pinggir laut. Seorang pelayan dengan menawarkan kami minuman selamat datang. Untungnya minuman yang diberikan berupa minuman kaleng bersoda bukan minuman keras.
Para surfer berenang menuju lokasi surfing
Hamparan pasir putih dan laut kebiruan menghampiri mata kami. Di sepanjang pinggir pantai disemen. Cuaca cerah sekali saat itu, tampak beberapa pria berkulit gelap sibuk mondar mandir membawa peralatan surfing (awalnya kukira mereka pelatih surfing). Tak berapa lama datang rombongan bule dan beberapa anak kecil yang ternyata mereka yang akan melakukan latihan surfing. Melihat kondisi lautnya yang langsung berhadapan dengan Samudera Hindia, pantai ini memang memiliki potensi untuk olahraga surfing. Tampak beberapa orang mencoba berdiri di atas papan surfing namun begitu ombak datang mereka berjumpalitan jatuh ke laut. Walaupun mereka ramah dan mengawal kami, sekuriti terus berhubunganan dengan petugas lain untuk memastikan kedatangan kami tidak membuat tamu lain terganggu. Oh ya, ada satu lokasi yang tampak bagus sekali dari jauh namun kami tidak dibolehkan mendekat kesana. Saat kami hendak melintas ke tempat lain, sekuriti akan mengontak terlebih dahulu petugas jaga lainnya. Saat itu kami harus menunggu karena di lokasi lintasan kami ada rapat. Mungkin pelayanan seperti inilah yang membuat harga yang mahal seperti ini tetap membuat tempat ini laku didatangi wisatawan, tentunya yang berkantong tebal.
Kami sempat bertanya ke petugas berapa harga kamar yang paling umum (standarnya disana), mereka bilang harga terakhir jika dirupiahkan tak kurang dari 6juta permalam. Whattt!!! Gile banget tuh harga kamar, jangan tanya beberapa kamar yang dilengkapi dengan kolam renang dan fasilitas2nya maka harganya pastinya diatas penghasilanku sebulan....
Waktu kembali di sepanjang jalan terdengar bunyi beberapa burung di atas pepohonan. Benar kata Josh, di resort ini dibangun untuk menjadi kelas dunia, resort yang sangat tenang dimana seorang pelancong bisa merasa bebas. Bayangkan, walau resortnya tidak telalu luas tapi mereka rela membayar tanah-tanah disekitar pantai agar tidak dimasuki orang luar sebagai tempat wisata. Ini membuat tempat ini bener-bener bisa menjadi surga orang yang ingin berlibur tanpa terganggu.

Ini fakta-fakta dari tempat ini:
  1. Nihiwatu Resort dan pantai Nihiwatu udah pasti tempat yang sangat eksklusif pake banget. Walaupun ada di Sumba, tapi tidak sembarang orang Sumba bisa menginjakkan tempat ini bahkan biarpun kamu ngaku orang penting sekalipun kecuali kamu bawa pasukan satu kompi dengan senapan serbu siap kokang. Berapa yang harus dibayar untuk semua keeksklusifan ini? Kalau kata petugas disana untuk kamar standar disana saja tak kurang dari 6juta semalam, selain itu kamar tipe luxury ada yang berharga 21juta sampai dengan 30juta. 
  2. Beberapa artis sekelas Hollywood tercatat pernah menginap di resort ini termasuk orang-orang yang suka mandi minyak bumi (Arab maksudnya). Bahkan untuk kalangan turis asing yang sering kita pandang lebih mampu, mikir juga nginep disini.
  3. You get what you paid for! Walaupun lihat rate-nya per malem bikin aku mules tiga hari tiga malem (sebenarnya karena makan Padang sih), tapi orang yang sudah bersedia kesini akan merekomendasikan tempat ini. Silahkan browsing tempat ini. Apa sih yang dijual dari tempat ini? Suasana Sumba yang asli dan ketenangannya. Profesionalitas mereka yang mengelola tempat ini membuat mereka mendapatkan kesan baik dari para tamu. Silahkan cek website mereka: http://www.nihiwatu.com
Kalau aku bilang, ini bukan tempat rekomendasi buat backpacker, asli gak worthed kan mengeluarkan uang sebanyak itu hanya untuk mendapatkan lokasi yang keindahannya masih bisa kalian temui seantero Sumba. Pantai Marosi contohnya, atau ada informasi pantai Waelalan (kira-kira begitu nama yang aku dengar). Tempat ini hanya cocok untuk orang ingin berlibur tanpa terganggu (berjemur telanjang misalnya). Tapi kalian juga bisa kok berlibur tenang di Sumba caranya cari hari bukan hari libur dan pergilah saat pagi hari maka kemungkinan besar cuma kalianlah yang ada disitu. Nah, sama kan.
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 24 Agustus 2013

Terpesona di Lapopu (Lapopu Waterfall)

"Dan Sumba tidak hanya menawarkanmu ringkik-ringkik kuda Cendana
Raut-raut keras dan bilah-pilah parang panjang di balik sarung tenun ikat
Walaupun aku harus mengakui pasir putih pantai-pantainya memukau
   tapi jauh di kedalaman hutan
   masih ada sepi yang melingkupi seluruh keindahan di Lapopu
   dimana gemuruh air yang jatuh memaksamu diam dalam pesonanya"


Jauh di kedalaman hutan yang menjadi kawasan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru, gemuruh air dari datang bagian atas bukit memenuhi sungai yang mengalirkan air yang dipenuhi warna tosca. Selain itu adalah sepi, suara derit tiga batang bambu yang membelah sungai yang kami injak hanya kami dengar sendiri. Semuanya luruh dalam suarah gemuruh air terjun Lapopu.
Keindahannya tidak diragukan lagi: tenang mempesona
Beberapa waktu lalu, tiap kali ada penugasan ke Sumba, selalu terbersit keinginan untuk bisa mengunjungi air terjun Lapopu. Hanya saja, informasi lokasi ini sendiri masih simpang siur dari jaraknya yang katanya jauh dan kondisi medan yang katanya sangat berat. Setelah beberapa kali ke Sumba namun keinginan itu terus tertunda, kesempatan itu akhirnya datang juga. Memang Sumba sendiri memiliki banyak lokasi dan event wisata yang bagus-bagus bahkan potensinya luar biasa. Sebagai negeri dengan kebudayaan Megalitikum yang masih hidup, adat dan pantai Sumba adalah hal yang tidak boleh dilewatkan siapapun yang datang ke Sumba. Ringkik-ringkik kuda Cendana yang berlari kencang di tengah lapangan yang dipenuhi manusia dari dua kubu yang saling melemparkan lembing ke arah lawan adalah sebuah ritual yang menarik wisatawan bahkan dari luar negeri untuk menyaksikannya. Dan Pasola ini telah menjadi ajang yang laku dijual sebagai destinasi wisata budaya.

Jembatan darurat untuk menyeberang ke sisi lain sungai.
Kebetulan mas Joni Trisongko, salah seorang fotografer dari Kupang sedang ada acara di Sumba yang waktunya bersamaan dengan penugasanku ke tempat ini sehingga kami membuat janji diantara waktu dia melakukan tugas pemotretan kita akan mengunjungi air terjun Lapopu ini. Sayang hari pertama, langit sore waktu itu tampak gelap sehingga kami memutuskan menunda keesokan harinya.
Hari kedua mas Joni telah selesai melakukan job pemotretan, sehingga kami punya cukup waktu untuk ke air terjun Lapopu. Agar leluasa, kami memutuskan menggunakan sepeda motor di hotel dengan biaya 50ribu per hari. Aku bertiga bareng mas Joni dan Imam naik dua kendaraan. Menurut informasi, jalan paling umum adalah lewat jalur Wanokaka karena memang air terjun Lapopu terletak di desa Lapopu, kecamatan Wanokaka. Hanya aku mencoba jalan alternatif lain yang katanya jauh lebih dekat yaitu lewat kampung Loli Atas. Dari hotel Pelita kami mengambil jalan ke arah Waingapu bukan ke arah Wanokaka. Sebenarnya sudah diberikan petunjuk agar kami setelah sampai ke Loli Atas masuk ke arah kampung Laipraga yang ditandai dengan sebuah pohon besar. Konyolnya karena informasi ini tidak terlalu kami tangkap dengan benar *korek tai telinga pake cangkul* justru akhirnya kami sampai ke kabupaten Sumba Tengah yang memang jaraknya tak begitu jauh dari Sumba Barat. Setelah kehilangan waktu setengah jam akibat perbuatan kami, dengan bertanya beberapa kali ke orang-orang yang kami temui akhirnya kami masuk ke arah yang benar menuju kampung Laipraga. Saran saya memang sebaiknya kalau punya rencana jalan, ajak orang Sumba yang tahu tempat plus jangan segan sering-sering bertanya daripada kesasar karena informasi papan penunjuk jalan masih minim.


Aliran airnya terbelah dipertengahan, tetap menawan walau airnya menyusut
Setelah jalan menanjak sampai ke kampung Laipraga, selanjutnya jalanan terus menurun. Di sinilah kami menuai masalah karena salah satu motor sewaan ternyata rem belakangnya blong sehingga hanya tersisa rem depan untuk pengereman ditambah dengan motor tidak seimbang agak miring, padahal kondisi jalannya jelek sekali. Pada saat turunan karena kondisi medan yang berupa tanah berbatu berlubang-lubang aku memutuskan turun jalan kaki supaya Imam yang yang naik motor sendiri. Namun di jalanan turunan itu Imam harus terjatuh dari motor saat mencoba mengerem motornya. Untuk pada saat jatuh itu motor sudah berhenti betul sehingga Imam tidak terluka. Akhirnya aku berpindah naik di boncengan mas Joni yang motornya masih betul. Perjalanan kami perlambat supaya motor yang dinaiki Imam tidak buat onar lagi. Beberapa kali kami harus bertanya di setiap percabangan karena tidak banyak papan penunjuk arah yang tersedia. sampai kemudian kami sampai di percabangan pertemuan antara jalur Wanokaka. Ternyata di sepanjang jalan itu sudah diaspal namun karena disamping kanan kiri jalan ada perkerasan, jalan dibagian beraspal juga tampak putih berdebu terkena sisa-sisa tanah kapur perkerasan.

Walau jalan cukup lumayan, namun kendaraan tetap kami lajukan pelan karena sisa-sisa tanah membuat kendaraan menjadi licin. Setelah beberapa kilometer akhirnya kami masuk ke kawasan hutan dan tak lama kemudian tampak papan pengumuman dipasang di pinggir jalan yang menunjukkan bahwa 600 meter lagi kami akan sampai di air terjun Lapopu. Saat jalan menurun inilah terjadi musibah kedua, karena jalan menurunnya cukup curam Imam jadi kesulitan mengendalikan kendaraannya padahal setelah tikungan jalan langsung menurun lagi. Mungkin saat itulah dia mengerem lebih kuat sehingga motor menjadi tidak terkendali yang akhirnya membuat Imam terjatuh di atas jalan tanah. Karena sedikit terseret, Imam mengalami beberapa luka lecet. Lumayan perih sih pastinya. Karena masih ada jalan menurun, demi keselamatan kami memutuskan parkir kendaraan di tepi jalan tanpa masuk lagi ke dalam. Beberapa ratus meter akhirnya kami sampai di pos jaga dari TMNT. Tampak beberapa turis dari asia (entah taiwan atau jepang), melapor ke pos jaga sekaligus untuk membayar tiket masuk. Tiket masuk per orang ke kawasan ini ditarik 10ribu rupiah itu untuk wisatawan umum, kalau wisatawan lokal sih cuma seribu rupiah. Katanya kalau untuk wisatawan asing lebih mahal sekitar 100ribu rupiah. Kalau kalian membawa kamera, biaya per kamera dipungut 25ribu. Tapi itu bukan harga mati lho, kalau kalian ramah, baik hati, suka menolong dan tidak sombong itu biaya kamera bisa dinego kok hahahaha... apalagi yang moto just hobi, kan terlalu mahal tuh segitu kecuali yang mau komersil. Kalau gak tanya tanya saja Lukas, petugas polisi hutan yang kami temui.
Sekali-kali narsis untuk bukti otentik dah nyampe sini
Untuk sampai ke air terjun, kami harus menyeberangi sungai setelah berjalan di pinggir beberapa ratus meter. Airnya berwarna hijau kebiruan atau biasa dikenal dengan warna toska. Seperti warna batuan kapur yang yang memendarkan warna kebiruan bercampur dengan warna hijau (entah dari mana, yang pasti bukan lumut karena kalau kita ambil airnya bening sekali) membuat warna airnya menjadi toska. Warna itu akan lebih tampak saat matahari tidak menyinari langsung permukaan airnya (pagi atau sore hari). Ada jembatan darurat yang dibuat masyarakat dari beberapa bambu kalau tidak ingin menyeberang langsung lewat sungai, cukup bersensasi karena ini jembatan darurat sehingga waktu berjalan akan terasa bergoyang-goyang, karena itu kami tidak berani melewati jembatan bertiga sekaligus.
Akhirnya setelah melewati bebatuan pinggir sungai, mata kami disambut air terjun setinggi 62 meter (kata sumber di internet lho, aku belum pernah mengukur sendiri :D). Debit airnya agak berkurang entah karena sekarang musim kemarau atau karena ada pembangkit listrik tenaga air, tapi itu tak mengurangi keindahannya.
Tempatny benar-benar terasa sepi, saat itu hanya kami bertiga yang mampir kesini sehingga kami puas memotret dari segala sisi yang memungkinkan, walau ketiadaan matahari yang telah hilang dibalik pepohonan hutan membuat warna-warna jadi sedikit tenggelam. Hanya saat terakhir kami mau kembali ada sepasang muda-mudi yang datang ke sini tapi itu tidak lama karena waktu kami mau kembali mereka sudah tidak ada disana.


Perjalanan kembali sebenarnya menerbitkan sedikit keraguan dengan kondisi motor kami. Untungnya Lukas, sang polisi hutan berbaik hati mengantar kami untuk mengendarai motor yang blong rem belakangnya. Kelincahannya di atas motor ditunjukkan dengan amannya kami dapat melalui jalan sampai ke daerah Wanokaka. Ternyata Lukas pernah ikut acara Pasola, ajang permainan perang melempar tombak di atas kuda, pantesan jago mengendalikan motor di kondisi begini.
Setelah mampir sebentar untuk beli minuman disebuah warung yang cukup besar di Wanokaka. Kami melanjutkan kembali perjalanan, namun kali ini melalui jalur umum Wanokaka bukan jalur kami datang lewat Loli Atas. Perjalanan memang terasa lebih jauh, dan disepanjang Lukas mengingatkan kami agar tidak berada jauh di belakang kendaraannya karena menurutnya daerah di sini masih agak rawan. Kami kurang tahu maksudnya tapi tak berani menduga-duga, dan memilih mengikuti laju motor Lukas sampai di kota Waikabubak.

Catatan:
(1) Bagi yang ingin mendatangi air terjun Lapopu, kalau mau cepet bisa ambil jalur Loli Atas karena lebih dekat tapi pastikan kendaraannya tidak mengalami masalah karena banyak turunan dengan kondisi jalan yang kurang bagus. Kalau kurang yakin, sebaiknya ambil jalur normal lewat Wanokaka. Lebih jauh sih tapi lebih nyaman dan gak bikin was was...
(2) Jangan malu untuk bertanya karena papan penunjuk memang masih minim daripada kesasar. Malu bertanya tersesat sampai di surga lho :D
(3) Disarankan untuk tidak berjalan sendiri. Kalau masih takut jalan lebih dari dua kendaraan mungkin lebih baik pake guide orang lokal, kalau masih bingung juga bisa hubungi salah satu bro Lukas; ini facebooknya: Lucas Maramba ... hehehe sorry ya bro, facebooknya aku pajang kesini :D
(4) Kalau untuk biaya kamera coba tawar ke penjaga biar bisa dapet korting, kan lumayan apalagi kalau kalian para traveller masing-masing bawa DSLR. Tapi kalau memang moto buat hobi lho ya, kalau motonya untuk dijual lagi ya jangan nawar ya. Syarat nawar ya itu tadi, gak boleh sombong dan harus ramah  hehehe
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 29 Januari 2013

Melihat Kembali Gasing "Mainan Yang Nyaris Hilang"

Seorang anak melemparkan gasing ke arah gasing yang ada, yang terlempar dan berhenti kalah.
Bulan November kemarin aku mengunjungi kembali kota Waikabubak, ibukota dari kabupaten Sumba Barat. Sebenarnya tujuan tugasku kali ini adalah ke Waibakul, kota dari kabupaten Sumba Tengah. Sayang di Sumba Tengah baru ada satu tempat menginap yaitu wisma pemda yang saat itu baru penuh karena sedang digunakan untuk acara diklat. Akhirnya aku harus mencari hotel di Waikabubak. Untungnya jarak ke dua tempat itu tak terlalu jauh hanya setengah jam perjalanan dengan kendaraan. Jalannya pun tak banyak tikungan tajam.

Cuaca seminggu ini juga kurang mendukung, nyaris mendung tiap hari menyelimuti kota Waikabubak praktis aku tidak bisa keluar berjalan-jalan seperti biasa. Alasan utama kenapa dua bulan ini mandek menulis.

Tapi dua hari terakhir tampaknya awan tidak semendung biasanya jadi aku mencoba berjalan sedikit jauh ke arah luar kota. Tapi lagi-lagi cuaca memang tidak bisa diduga. Keruan saja aku harus kembali balik ke hotel saat tiba-tiba rintik-rintik hujan turun begitu saja padahal awan tidak terlalu tebal.

Dalam perjalanan balik aku memutuskan untuk singgah sebentar ke arah kampung Tarung, karena hujan mulai berhenti lagi. Kampung Tarung sendiri juga cukup rimbun dengan pohon-pohon besar di sekeliling kampung jadi mudah bagiku untuk berteduh sekiranya hujan datang lagi. Kali ini aku sengaja berjalan tidak masuk ke dalam perkampungan tapi berjalan mengitari kampung. Berbeda dengan jalan masuk ke kampung yang tidak boleh dilewati sembarangan, jalan melingkar mengitari kampung masuk jalan umum. Setahuku kemarin saat pertama kesini, jalan melingkar ini tembus ke arah pasar Waikabubak. Jalan ini menanjak naik. Sekedar informasi, kampung-kampung adat asli Sumba dibangun di atas bukit sementara sawah-sawah dan gembalaanlah yang ada di padang-padang datar.

Di sebuah jalan setengah perjalanan aku berhenti, dari tempat aku berdiri tampak pemandangan persawahan di bawah sampai dengan di kejauhan. Cukup luas juga sawah di Waikabubak. Sayang matahari senja masih senang bersembunyi di balik gumpalan awan-awan berwarna kelabu.

Beberapa kerbau tampak digiring masuk pemiliknya masuk ke atas kampung Tarung. Sepertinya hendak dimasukkan kandang. Kerbau-kerbau bertanduk besar merupakan ternak kebanggaan bagi orang Sumba. Upacara-upacara penting seperti perkawinan, kematian, acara bangun rumah adalah acara-acara yang akan melibatkan kerbau baik sebagai daging untuk dimakan atau dipersembahkan sebagai alat tukar (belis dalam adat perkawinan Sumba). Dari ukuran tanduk-tanduk yang besar menjulanglah dapat dihitung kira-kira berapa nilai jual kerbau itu.

Beberapa puluh meter terdengar keramaian anak-anak. Saat aku naik ke atas kampung tampak beberapa anak berkumpul di tengah lapangan kampung. Tampak benda berwarna kuning kayu berputar di tengah mereka. Lalu seorang anak yang memegang sebuah benda berbentuk kerucut di bawah dan sebuah lekukan untuk menggulung tali melemparkan benda itu sambil menarik ujung tali sehingga benda itu berputar cepat meluncur ke arah benda berputar diam. Sayang lemparan itu hanya nyaris mengenai sehingga sekarang di arena tampak tiga buah benda berputar.

Inilah permainan "gasing", sebuah permainan yang nyaris tidak akan ditemui lagi di kota-kota besar. Namun di sini, gasing masih menjadi permainan yang sering dimainkan anak-anak. Gasing di sini berbahan kayu yang rata-rata dibuat oleh mereka sendiri. Setelah memilih kayu dengan ukuran yang sesuai mereka akan meruncingkan ujung kayu hingga berbentuk kerucut dengan membuat lekukan ke dalam untuk tempat memutar tali. Tali yang sebagian dibuat dari tali nilon dan sebagian dibuat sendiri dengan akar kayu digunakan sebagai alat yang akan membuat gasing ini berputar.

Mereka makin semangat waktu aku mengabadikan permainan mereka. Masing-masing mencoba menunjukkan kemampuannya untuk membuat gasing lawan terpental. Ada seorang anak yang tidak berbaju yang tampaknya paling jago, gerakan tangannya cepat sehingga membuat gasing yang terlempar berputar sangat  cepat sehingga saat gasing dengan telak menghantam gasing lawan langsung membuat gasing lawan terlempar dan berhenti berputar.

Aku menikmati momen melihat mereka asyik bermain gasing. Sebuah permainan yang juga pernah kumainkan waktu kecil. Sepertinya tahun 95-an permainan ini sudah sulit di temui terutama di daerah Jawa kecuali mungkin di desa-desa yang masih jauh dari kota.

Suatu ketika nanti mungkin permainan gasing juga akan hilang disini, mungkin generasi berikutnya akan lebih suka bermain yang lebih berteknologi dan gasing tiba-tiba saja menjadi benda aneh.

Ah, tiba-tiba saja aku ingin bernostalgia ke kampungku dulu.

Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 24 Maret 2012

Sumba Barat (1): Pasir Putih, Gelombang dan Batu Kubur

View pantai Marosi sebelah kanan dan ombak dikejauhan


Pantai Kerewee di sebelah pantai Marosi
Bagi sebagian orang yang belum pernah menginjakkan kaki di Sumba, mendengar kata Sumba seperti mengingatkan pada daerah padang yang panas kering berdebu dengan kuda-kuda yang besar. Tapi tidak ketika anda mengunjungi Tambolaka, ibukota dari Kabupaten Sumba Barat. Daerah Sumba ini terletak di ketinggian sekitar 500 meter dpl, itu menurut perhitungan jam yang aku pakai. Dengan ketinggian seperti itu, Sumba Barat memiliki dataran dan perbukitan yang cukup hijau sepanjang tahun.

Namun tiga hari di Tambolaka nyaris menghabiskan hari dengan suasana kantor-hotel-jalan malam cari makan. Mendung nyaris tak pernah bergeser dari langit, rintik hujan sering lebih lama.  Dan itu masih ditambah lagi koneksi internet yang nyaris tidak bisa digunakan. 
Sebenarnya di belakang hotel Pelita yang aku tempati ada sebuah perkampungan adat yang bisa kudatangi tapi informasinya kalau musim hujan begini becek sekali karena kondisi tanahnya berlumpur.


Untung hari Minggu masih ada kesempatan jalan-jalan. Aku, Andri dan Aris yang menjadi guide lokal kami selama perjalanan. Peranakan Sabu-Rote dan terdampar di Sumba ini pula yang mengajak aku dan Andri mengunjungi Pantai Marosi. Pantai berpasir putih tentu saja, nyaris seluruh kawasan pantai di wilayah Sumba ini adalah pantai berpasir putih, tentu saja karena di Sumba tidak memiliki daerah gunung aktif.
Batu kubur di atas perbukitan Lamboya
Jam satu siang sesuai dengan janji, kami bertiga ditemani salah seorang staf di Sekretariat Daerah meluncur ke arah Lamboya. Kami sempat mampir di lapangan Lamboya yang sudah sepi. Acara Pasola (merupakan acara perang lempar tombak dengan menaiki kuda) sudah diadakan beberapa hari lalu di lapangan ini, tinggal dua lagi kegiatan Pasola yang tersisa, di Wanokaka dan Dhaura. Menurut agenda, hari Rabu depan ada acara Pasola di kampung adat Wanokaka padahal hari Selasa aku sudah harus balik ke Kupang. Belum keberuntungan, ungkap hatiku untuk mengurangi rasa kecewa.


Perbukitan hijau ini masih dipenuhi dengan sampah-sampah plastik baik bekas makanan dan minuman bekas penonton yang dibuang sembarangan. Kesadaran masyarakat tentang sampah masih kecil, masih perlu upaya lebih untuk membudayakan hidup bersih dan tidak membuang sampah sembarangan. Sayang, padahal kalau tidak ada sampah suasana tempat ini lumayan menyenangkan. Menurutku, tempat pertandingan Pasola yang paling bagus viewnya adalah disini karena di lapangan ini hanya rerumputan dan tidak ada bangunan lain, kubur batu hanya ada beberapa yang letaknya di gundukan atas pinggir lapangan.
Sekumpulan kerbau asyik berkubang tidak terganggu dengan kehadiran kami. Dari ujung lapangan tampak lautan yang ombaknya bergulung-gulung. Aris menunjuk beberapa pantai yang tampak di kejauhan.


Ombak dan hamparan pasir kehitaman di sepanjang pantai Kerewee
Karena ingin menikmati pantai Marosi sampai sore jadi kami memutuskan untuk mengunjungi dulu pantai Kerewee (baca: kerewe'i). Pantai Kerewee yang kami tuju rupanya pantai berpasir hitam walau warnanya tidak terlalu hitam. Mungkin di sini satu-satunya pantai yang berpasir hitam karena di deretan ini, pantai Nihiwatu, Nautil dan Marosi adalah pantai berpasir putih.
Dataran pasir kehitaman harus terhampar datar panjang sepanjang pantai. Tampak sebuah gugusan pulau karang kecil di sebelah kanan dan seperti sebuah bekas muara yang airnya telah kering. Waktu aku mendekati ternyata karang itu agak unik karena ternyata karang yang berlubang. Mendung di kejauhan pantai tampak garang menutup celah langit dari warna biru. Bener-bener waktu yang kurang tepat.


Pulau karang berlubang di pantai Kerewee
Suasana masih terasa tenang di sini, beberapa anak kecil datang membawa kelapa muda dan menawarkan kepada kami. Tentu saja penawaran yang sulit ditolak, untuk urusan tawar menawar maka Aris sangat bisa diandalkan. Dengan sigap, anak kecil ini memapaskan parangnya ke kelapa yang aku pesan. Wah kecil-kecil mereka sudah piwai memainkan parang. Tidak mengherankan, mengingat pasang seperti barang yang wajib mereka bawa tiap hari.


Beberapa pasangan tampak berdatangan di pantai ini selain juga ada rombongan namun suasana masih tidak ramai. Potensi pantai ini sekarang memang belum banyak dikenal, namun aku juga mendengar informasi yang masih kabur kalau ada beberapa investor yang berminat untuk membangun lokasi wisata dan peristirahatan di tempat ini seperti halnya lokasi Nihiwatu yang tidak jauh letaknya dari pantai Kerewee.
Hamparan pasir di sebelah kiri setelah muara pantai Marosi
Dari pantai ini kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Marosi tujuan awal kami. Ternyata letaknya tidak jauh dari pantai Kerewee, karena saat kami sampai ternyata anak-anak kecil yang menjual kelapa di pantai Kerewee kembali kami temui. Hamparan pasir putih di pantai Marosi memang panjang dan cukup lebar apalagi saat pantai tidak terlalu pasang tinggi. Karena letaknya di di daerah lepas pantai Selatan maka tidak heran jika ombak dipantai ini cukup besar walau pada musim-musim tenang sekalipun.
Karakter pantai yang pasti menarik kalangan wisaatawan mancanegara. Sepertinya pantai-pantai disini hanya tinggal menunggu investor untuk membuat kawasan pantai disini menjadi kawasan wisata kelas dunia. Nihiwatu telah membuktikan reputasinya sebagai tempat yang banyak orang terkesan dengannya.


Di sebelah kanan pantai Marosi terdapat sebuah gugusan karang dan muara yang airnya tidak dalam namun keras. Beberapa ratus meter dari muara itu adalah Sumba Nautil Resort. Ombak di kawasan sana memang terasa lebih kencang, tampak sekali karang-karang seperti tertutup kabut tipis akibat tempias ombak yang kencang. Jika di pantai Marosi ini ombak tidak terlalu keras karena beberapa ratus meter ke depan ada gugusan karang yang menjadi penghalang alami gelombang.


Kami pulang lebih awal dari rencana karena matahari tidak muncul seperti yang kami harapkan. Sumba masih tetap dengan mendungnya. Sebelum pulang Aris membagi-bagikan makanan yang kami bawa ke anak-anak karena tersisa banyak sekali. Acara bagi-bagi makanan cukup seru, ada saja akal Aris.
Besoknya, kami sempatkan mengunjungi kampung adat yang ada di kota Tambolaka yang merupakan kampung tertua dan menjadi pusat acara orang Loli yaitu kampung Weetabar dan kampung Tarung.

Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya