Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label Sabu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sabu. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 22 September 2012

Jejak Kaki Pertama di Rai Hawu

Debur ombak yang keras saat senja hari di pantai Bodo'a , Sabu
Panas, gersang dan berdebu... kesan itu yang pertama terlintas di pikiranku saat pertama kali menginjakkan kaki di pulau Sabu ini. Dari atas pesawat, pulau ini tak tampak bagai sebuah tempat yang bisa disebut Kabupaten. Nadi sebagai sebuah kabupaten tak tampak dari atas, garis-garis hitam jalan raya atau bangunan-bangunan besar tanda sebuah kota nyaris tak ditemukan. Jika ada keramaian, maka hanya ada di sekitar kawasan pelabuhan. Disitulah nyaris segala aktivitas kota berjalan: toko-toko, warung makan, pasar, penginapan-penginapan.
Pelikan di pantai Bodo'a, diikat di pinggir pantai
Sebenarnya bukan jejak kaki pertama di Sabu, karena aku pernah sekali turun menginjak tanah Sabu beberapa tahun lalu. Kala itu aku dalam perjalanan dari Waingapu ke Kupang dengan kapal Awu. Wajahku sudah pias pucat di samping pintu palka menunggu pintu dan tangga kapal di turunkan. Gelombang laut yang keras membuat nahkoda urung menyandarkan kapal dan membiarkan kapal beberapa meter dari pelabuhan. Nyaris empat jam lebih sampai akhirnya kapal benar-benar bisa bersandar sementara aku sendiri saat itu sudah habis tenaga. Dalam pikiranku saat itu cuma satu, bisa mencium bau tanah yang bisa membuatku sesaat melupakan mual aroma laut.
View perkampungan di pinggir pantai di daerah Sabu Liae
Laut Sabu (Sawu; Hawu) nyaris selalu bergolak, gelombang besar menjadi pemandangan biasa, salah satu alasan mengapa aku jarang menemukan rumah dibangun benar-benar di pinggir pantai seperti yang biasa aku lihat di daerah Flores. Harga ikan pun menjadi barang yang tidak murah apalagi saat musim air laut pamer kekuasaannya, walaupun laut Sabu dikenal memiliki ikan-ikan monster. Kata mbak Ririen yang kerja di Balai Konservasi Kelautan, nelayan di Sabu harus berani menggunakan perahu yang ukurannya besar tidak bisa mengandalkan perahu-perahu kecil. Darinya pulau aku mendapatkan informasi bahwa Sabu tak hanya kering, tapi juga memiliki banyak potensi kelautan yang menjanjikan. Mbak Ririen dan teman-temannya ke Sabu juga untuk keperluan pemetaan laut Sabu.
Biasanya teman-teman kalau bertugas di sini juga menginapnya di Seba, tapi di Seba bukan hotel melainkan hanya tempat penginapan yang biaya menginapnya dihitung per kepala bukan per kamar. Jadi kalau di sebutkan biaya menginap 150ribu dan kalian menginap berdua sekamar jangan kaget kalau mendapatkan tagihan 300ribu semalam, perhitungan yang agak aneh tapi yah seperti itulah kondisi penginapan di Seba. Namun kali ini aku memilih menginap di sebuah hotel Rai Hawu yang ada di Sabu Tengah. Antara Seba (Sabu Barat) dengan Sabu Tengah sebenarnya cuma berjarak 12 km saja tapi bisa ditempuh selama setengah jam, apalagi kalau bukan masalah kondisi jalan utama yang sudah rusak dan bergelombang.
View pantai memanjang pantai di Sabu Liae, pohon lontar selalu menghiasi
Meski dapat pinjaman sebuah mobil bukan berarti aku bebas berjalan-jalan. Mobil itu lebih sering mondar-mandir dari hotel ke tempat makan, sedangkan ke tempat lain apalagi yang belum diketahui pasti mikir lah, apalagi kalau bukan masalah BBM. Just info, di Sabu ini belum ada pom bensin jadi bensin yang ada lebih banyak beli eceran. Saat harga normal, satu botol bensin ukuran aqua besar yang tidak penuh harganya 15ribu. Jadi bagi yang mempermasalahkan kenaikan BBM dari 4.500 ke 6.000 perlu ke tempat seperti ini biar tahu bahwa kenaikan itu tidak seberapa dibanding ketersediaan yang justru membuat harga BBM naik berkali-kali lipat. Ah gak usah ngomongin politik bikin pening......
Informasi dari hotel dan juga mbak Ririen, ada pantai yang indah yang biasa disebut pantai Bali letaknya di kecamatan Sabu Timur. Tidak jauh sebenarnya tapi lagi-lagi masalah kondisi jalan yang akan membuat waktu menjadi lama. Menurut mbak Ririn, di lokasi itu juga ada lokasi untuk snorkling atau diving karena ada beberapa spot yang terumbu karangnya menutupi 85% perairan. Sayangnya waktu mbak Ririn mengajak kami ikut kegiatan snorkling yang mau mereka lakukan hari Jum'at pagi kami pas ada kerja ke lapangan.


Siang hari yang terik di pantai Wuihebo
Tapi sebelumnya kami sempat mampir ke pantai Bodo'a, sebuah pantai yang letaknya tak jauh dari Pelabuhan Seba sekitar satu kilometer ke arah selatan. Pantai ini berada di samping lapangan yang sering menjadi sentral kegiatan pawai di Sabu. Pantai ini berpasir putih kekuninga dengan garis pantai yang cukup panjang. Karena letaknya yang masih di pinggiran kota maka tentu pantai ini menjadi tempat yang sering dikunjungi masyarakat Seba. Seekor burung Pelikan sempat menarik perhatian kami karena berdiri diam di pinggir pantai, sayang selain diikat tali salah satu sayapnya juga sudah patah. Menurut pemiliknya, sayap itu patah waktu mereka mau menangkap dengan melempar burung itu. Tapi belakangan aku mendapatkan informasi bahwa sayap burung pelikan itu sengaja dipatahkan, dulunya ada sekitar enam burung pelikan yang ditangkap dan yang lain telah mati tinggal yang satu ini. Entah, semoga informasi yang terakhir ini tidak benar. Hari berikutnya, aku mendatangi lagi pantai Bodo'a untuk mengantar teman-teman yang baru sampai ke Sabu untuk kesini, namun saat itu sudah terlalu sore sehingga sesampainya di sana matahari telah hilang di batas horizon. Ada pemandangan sedikit berbeda karena hari ini sedikit lebih ramai, ada beberapa kelompok orang berkumpul. Salah satu kerumunan adalah adanya kegiatan syuting film dari TVRI NTT seperti untuk acara budaya dan lagu NTT di bagian lopo-lopo yang biasanya untuk tempat makan. Tarian khas Sabu tampak dimainkan sekitar 5 orang wanita berkain kemben tenung, sayang menurutku ada beberapa penataan yang merusak gambar salah satunya adanya karpet berwarna merah yang dipasang di pasir untuk tempat penari, walaupun di alas lagi dengan tikar pandan namun karpet itu tetap lebih mencolok. 
Di pinggir pantai beberapa remaja tanggung sedang berlatih taekwondo. Menurut salah seorang diantaranya yang menjadi pelatih mereka, kegiatan ini mereka lakukan setiap hari di sini untuk menaikkan porsi latihan karena mereka akan bertanding. Di luar acara ini, mereka biasanya cukup berlatih di lapangan polsek Seba.
Suasana tempat menginap di hotel Rai Hawu
Pantainya sebenarnya menarik namun kurang bersih, sampah nampak di sana-sini yang cukup mengganggu mata, mungkin karena lokasi ini berada di kawasan perkampungan nelayan. Masalah sampah seperti ini memang menjadi masalah umum pantai-pantai yang berada di kawasan berpenduduk yang cenderung membuang sampah sembarangan.
Yanto, seorang teman dari Sabu sebenarnya merekomendasikan pantai Wuihebo yang letaknya di sisi utara dari Pelabuhan Seba dan tidak terlalu jauh juga karena masih tampak ujung pantai dilihat dari pantai Bodo'a. 
Hari selanjutnya sebenarnya aku sempat ke pantai Wuihebo. Selepas makan siang kami mencoba ke pantai Wuihebo untuk mencari dulu lokasinya dan membuktikan kata Yanto. Berbekal petunjuk dari Yanto, aku dan dua orang teman menggunakan mobil masuk ke dalam dari pertigaan di samping jalan dekat bandara. Sebenarnya arahnya sudah benar tapi justru karena kurang bertanya akhirnya malah kami sampai di ujung muara pantai Wuihebo. Kami mencoba masuk lebih ke dalam lagi melewati kawasan pepohonan kelapa yang berjajar di sepanjang jalan sempit yang pas untuk satu mobil saja. Justru akhirnya kami masuk ke arah yang makin tidak jelas. Maka gagallah kami melihat pantai Wuihebo.
Memasukkan gula sabu ke jerigen
Kontur pulau Sabu cerderung rata, perbukitan yang ada juga tidak terlalu tinggi. Di beberapa titik bukit yang termasuk paling tinggi di Sabu hanya berada di ketinggian sekitar 250 meter dpl. Kami sempat juga beberapa kali bertandang ke penduduk Sabu. Sekali dalam perjalanan pulang ke hotel melihat seorang pria tua yang membawa nira (tuak manis), air dari hasil menderas manggar pohon lontar, yang buahnya dikenal dengan nama siwalan (:jawa) atau saboak (:timor). Keinginan beberapa teman yang ingin mencoba nira membawa kami ke rumah bapak tua ini. Keramahan  khas Sabu menyambut kami, dan minuman nira yang rasanya manis langsung memenuhi tenggorokan kami. Nira yang kami minum ini adalah bahan untuk membuat gula sabu yang terkenal kental. Air nira hasil menderas ini biasanya diambil pagi atau sore hari, dan itu harus dilakukan rutin karena jika lupa tidak diambil maka nira akan menjadi asam atau terfermentasi menjadi cuka. Juga ada mitos, kalau nira yang sudah dideras airnya tidak diambil maka pohon lontar tidak akan mengeluarkan air nira lagi.
Selain kain tenun, gula sabu adalah salah satu oleh-oleh yang bisa dibawa oleh pelancong. Harganya tergantung dari ukuran botol yang digunakan. Jika membeli gula sabu ukuran satu botol aqua besar sekitar 1,5 liter sekitar 20 ribu rupiah, namun jika membeli yang ukuran jerigen minyak ukuran 5 liter sekitar 65 ribu rupiah. Sebagai tambahan informasi: gula sabu ini dulunya justru menjadi makanan pokok terutama pada musim-musim kering. Mereka cukup meminum gula sabu dan sayuran, dan itu cukup untuk memberi energi untuk beraktivitas sehari-hari. Konon dari pengalaman teman-teman, gula sabu juga dapat digunakan untuk orang yang menderita mag. Beberapa teman yang pernah terkena mag bisa sembuh setelah mengkonsumsi gula sabu ini, caranya dengan mencarikan gula sabu ini dengan air dan meminumnya setiap pagi. Juga ada istilah gula semut, itu adalah gula sabu yang dikeringkan dalam cetakan-cetakan.
Sambil memperbaiki jala sekaligus bersosialisasi sesama nelayan
Selama seminggu kami melakukan monitoring sampai ke seluruh kecamatan di pulau Sabu, namun kami sendiri tidak sampai ke Raijua (Rai Djua) karena kecamatan ini terletak di pulau tersendiri dengan jarak tempuh sekitar 2 jam menggunakan kapal nelayan. Masalahnya jika aku dan temen-temen harus sampai di Raijua maka bisa dipastikan harus menginap minimal sehari di sana karena perahu biasanya kembali siang hari. Menurut informasi, jika sore hari laut yang membelah Sabu-Raijua ombaknya akan keras sekali sehingga tidak ada nelayan yang berani mengambil risiko melewatinya. Dari pengamatanku selama monitoring di lapangan itu, sebenarnya Sabu memiliki beberapa lokasi yang bisa dikembangkan menjadi destinasi wisata, terutama karena kondisi pantainya yang bersih dan panjang. Ombak yang besar juga bisa menarik perhatian pelancong yang memiliki hobi surfing. Dari informasi sebenarnya pulau Raijua pulau view pantai yang jauh lebih eksotis, sayang aku belum bisa membuktikannya mungkin lain waktu aku harus mencobanya. 
Andri mencoba mendekati pelikan (minta dipatok)
Aku juga sempat melihat kampung adat Sabu di daerah Kudjiratu yang ada di Sabu Tengah. Kampung adat yang dikelilingi baru karang yang disusun membentuk pagar ini siang itu terasa lenggang sehingga kami memutuskan menunda untuk menyambangi. Di daerah ini dan beberapa daerah lain seperti Sabu Timur masih kental dengan hal-hal mistis. Jadi ada semacam cerita, jika ditawari minum air kelapa dari penduduk di sini jangan mau karena bisa jadi kita sedang 'dicoba'. 'Dicoba' ini istilahnya minuman yang diberikan kita ada racunnya. Aku sendiri mendapatkan nasehat itu waktu hendak melihat di beberapa tempat yang mereka tahu masih ada kebiasaan ini. Namun sepertinya kebiasaan itu sudah mulai terkikis walaupun masih mungkin ada yang melakukannya.
Sepertinya butuh perjalanan kedua untuk lebih mengenal Sabu dan terutama Raijua. Meskipun pulau ini kecil dan bisa dikitari dengan kendaraan satu hari saja bukan berarti butuh sehari untuk mendapatkan spot-spot terbaik di Kabupaten Sabu Raijua ini.

Informasi tambahan: sampai dengan saat ini belum tersedia kendaraan umum, entah mungkin faktor harga BBM atau yang lain. Saat ini hanya ada angkutan bis milik pemda yang digunakan untuk alat antar jemput anak-anak sekolah namun jumlahnya juga tidak memadai. Pada hari-hari tertentu terutama jika ada jadwal kedatangan kapan, maka penduduk biasanya menumpang truk-truk untuk menuju ke kota dan melakukan transaksi. Di luar itu, maka sebagian penduduk yang tidak memiliki alat transportasi biasa berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer.


Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya