Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label Pacitan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pacitan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Februari 2017

Tour de Jawa: Gelandangan Solo-Dieng

Kawasan Candi Arjuna, Dieng
Kawasan Candi Arjuna, Dieng lokasi pertama yang aku kunjungi di Dieng
Lupakan segala rencana, terima aja nasib kalau sudah begini. Hari ini adalah ulang tahunku, dan sialnya aku justru terjebak di dalam terminal di kota presiden kita pernah menjabat sebagai walikota. Aku berandai-andai, jika sesuai rencana maka malam ini aku tentu meringkuk di tempat tidur salah satu penginapan di Dieng. Dan paginya, aku mungkin telah gagah berdiri menyambut sinar matahari pagi dari Puncak Sikunir. Ah gebleg, kalau udah begini memang satu-satunya jalan ya menikmati nikmatnya tidur di terminal. Emang enak mas? Gak usah tanyaa!!
 

Hari ke-3: Dinginnya Bangku Terminal Tirtonadi Solo
Aku menarik kepalaku lebih dalam di balik sleeping bag hijau gelap. Bangku jati panjang di depan masjid terasa keras di punggungku. Untung ruangan ber-AC ini masih terasa nyaman untuk berbaring. Agak dingin memang, setidaknya jika dibandingkan ruangan dalam masjid yang terlihat lebih nyaman untuk berbaring karena ada karpet tebal di dalamnya. Sayang pengumuman di teras masjid jelas terpampang: Dilarang Tidur di Dalam Masjid. Di seberang seorang bapak paruh baya terlelap dengan topi menutup mukanya, suara dengkurnya sedikit lebih lembut dari gergaji.


"Hari ini tidak bis jurusan Wonosobo yang masuk terminal, mas". Kalimat yang kudengar dari salah satu petugas di terminal Tirtonadi Solo membuatku lemas, selemas gurita setelah ketangkep dimasukin keranjang. Bangke betul, aku tidak menuruti saran mas Eko yang meminta supaya aku ke Dieng lewat jalur Yogyakarta.
Ternyata bis jurusan Solo-Wonosobo sedikit beroperasi. Kalau secara jadwal sih harusnya dua kali sehari, tapi sudah berbulan-bulan hanya dilayani satu trayek saja.

Dan disinilah akhirnya aku hari ini, mendekam di balik sleeping bag di atas bangku kayu dalam terminal bis Tirtonadi Solo. Betewe, jangan bayangin terminal bis Tirtonadi Solo ini seperti umumnya terminal bis di seluruh Indonesia. Ho-ho-ho, jauh bingit.. terminal Tirtonadi Solo ini suasananya udah kayak bandara. Ruangannya full AC dan bersih. Jadi kalau kamu musti terdampar di terminal seperti ini, masih enak buat tiduran. Lumayan, dengan bayar karcis masuk seribu rupiah bisa numpang tidur. Emang sih kalau mau mandi atau BAB tengah tetep harus bayar tapi gak mahal. Kalau tidur takut barangnya hilang gimana? Gampang, ada kok tempat penitipan barang sampai motor juga bisa titip di sekitar terminal.

Sebenarnya pagi aku sudah mau keluar dari homestay pak Isni di pantai Klayar setelah mampir dulu ke Tanjung Klayar (baca di sini), tapi karena arah baliknya lewat Gua Gong ya sekalian aja aku mampir kesana. Untungnya hari Senin jadi Gua Gong kondisinya sepi. Akhirnya aku justru siang hari baru sampai di Punung. Punung itu pertigaan jalan besar yang menuju ke Klayar.

Cerita tentang Gua Gong, gua ini sudah ditata rapi bahkan dengan tata cahaya warna-warni. Pencahayaan itu mungkin salah satu untuk membuat gua Gong lebih menarik wisatawan, tapi untukku justru membuat Gua Gong tampak seperti gua artifisial. Lain waktu aku mungkin bisa menuliskan tentang Gua Gong tersendiri.

Hari ke-4: Akhirnya sampai di Dieng
Pagi jam tiga dini hari aku bertanya ke petugas kalau mau ke Wonosobo. Oleh petugas itu, aku diarahkan supaya naik bis jurusan Semarang, nanti turun di Bawen dan berganti bis menuju ke Yogyakarta lewat jalur Magelang. Karena jalur busnya berbeda aku harus pindah ke jalur bis yang berangkat ke arah barat. Ternyata kondisi terminal jalur barat berbeda, di sini tidak ada AC melainkan hanya kipas angin. Denger-denger sih, yang jalur barat emang terminal aslinya yang dipugar, berbeda dengan terminal jalur timur yang memang baru dibangun.

Monumen batu Dieng Plateau
Tempat kekinian untuk bukti foto telah ke Dieng, aku gak punya :(
Asyik menunggu, aku diajak ngobrol bapak-bapak yang ngaku mantan pelaut yang sudah insaf.. eh yang sudah berhenti. Lagak-lagaknya sih penipu walaupun sampai terakhir tidak berhasil menipu aku, hilang-hilangnya duitku ya bayarin ongkos bis bapak itu yang pura-pura ketiduran. Kok yakin kalau itu penipu padahal aku tidak tertipu? Bukan tidak tertipu tapi tidak berhasil ditipu.. Aku bahkan sampai turun di Bawen juga tidak menuduh bapak tua itu penipu, mungkin dia hanya bisa mencari uang lewat menipu. Tapi dari pengalamanku ini, aku berpesan hati-hati di terminal jika didekati orang yang menunjukkan sikap baik tidak sewajarnya. Tapi jika ada yang kena tipu.. ya bersabarlah, memang belum rejeki hehehehe...

Turun di Bawen masih pagi banget, sehingga aku masih sempat ngopi pagi di pinggir jalan depan terminal Bawen. Dari Bawen aku naik bis jurusan Semarang-Purwokerta yang lewat Wonosobo. Kebetulan saat ngopi dapet temen ngobrol yang memang biasa mondar-mandir Solo-Purwokerto jadi aku ikut saja saran dia. Sekitar jam lima pagi, aku bis jurusan Semarang-Purwokerto dan turun di terminal Mendolo. Dari terminal mendolo aku berganti dengan angkutan kecil menuju kota Wonosobo.
Aku sampai di kota Wonosobo sekitar jam setengah sembilan pagi, dan langsung berganti naik kecil ke arah Dieng. Setelah setengah jam melewati jalan yang berkelok-kelok dan terus menanjak akhirnya aku turun di pertigaan Dieng. Jam di pergelangan tanganku menunjukkan saat ini ketinggian 2.200 mdpl.


Hari ke-1 di Dieng: Semalaman Tiduurrr....

Telaga Merdada yang sedang gerimis dan berkabut
Ada yang salah dengan kedatanganku kali ini, setidaknya dari 2 versi. Versiku, bulan Juli ada bulan yang sedang puncak dingin-dinginnya di seluruh wilayah Indonesia sebelah selatan. Maka saat inilah Dieng juga berada pada puncak dinginnya. Bayangkan, suhu pada siang hari bulan ini sama dengan suhu yang kurasakan di Bromo saat malam hari di bulan Desember.
Versi orang setempat, aku datang terlalu cepat karena acara festival Dieng Culture Festival jatuhnya tanggal 5-7 Agustus 2016. Ah sebodo amat, pokoknya tahun ini yang penting aku sudah sampai ke sini. Dieng Culture Festival biar jadi jadwal trip selanjutnya.

Tujuan pertama itu tempat menginap, dan berhubung mata pertama tertuju ke Dieng Plateau Homestay ya akhirnya masuk ke situ dulu. Hargany masih normal 250ribu per malam, udah coba tawar tapi ya dapetnya cuma turun 200ribu. Kebetulan homestay juga menyewakan sepeda motor yang dikenakan biaya 100ribu per hari.

Telaga Cebongan, Dieng
Danau Cebongan di bawah Bukit Sikunir
Ya udahlah, dalam kondisi dingin begini malas kalau harus cari-cari homestay lagi. Kelar urusan penginapan, aku mampir cari makan. Berhubung di Dieng, salah satu makanan khasnya itu Mi Ongklok ya itu yang aku cari. Ternyata di depan penginapan ada warung yang jual Mi Ongklok. Mie Ongklok ini sama seperti mi godok, perbedaan di cara membuatnya yang pake sejenis keranjang bambu untuk meng-onklok mie dan sayuran. Kuahnya segar dan kental karena menggunakan bumbu ebi dan kanji.

Kelar urusan makan, karena masih siang aku berencana jalan-jalan. Sayang mendung dan gerimis tipis berseling datang. Sebentar matahari nongol, sebentar mendung yang ngeksis campur gerimis yang bikin geli-geli adem.. jadi pengen... #kompreskepala. Aku bener-bener tidak menggunakan informasi internet, lebih sekedar mengandalkan informasi percakapan dari orang-orang yang aku temui atau pemilik penginapan. Aku kali ini memang ingin benar-benar menikmati perjalanan sebagai seharusnya perjalanan kesasar yang tidak butuh melihat peta dan lain-lain.

Telaga warna dari Bukit Ratapan Angin
Ada dua lokasi yang aku kunjungi hari ini: telaga Merdada dan kawasan Candi Arjuna. Karena dua lokasi itu disebelah kanan dari homestay. Rencana besok aku baru mengeksplore sisi kanan homestay. Perhitunganku dalam tiga hari ini aku bisa mengunjungi beberapa lokasi yang cukup dikenal terlebih dahulu. Tapi kondisi Dieng yang kelewat dingin bener-bener aku menyerah sebelum malam. Berjibaku dengan tangan yang serasa memegang es di stang motor, hujan tipis juga membuat tanganku memucat lebih cepat. 

Malam ini aku berjibaku dengan sleeping bag yang terbungkus selimut. Sleeping bag yang kupakai cukup membantu menghalau dingin karena kasur tipis dan selimut di homestay justru bikin adem tambah awet. Dapat dibilang aku semalaman bergelung dalam sleeping bag dalam gulungan selimut. Hanya sekali dua kali aku harus keluar karena desakan alami dari bawah. Aku bahkan kehilangan minat untuk mencari makan malam. Padahal Purwaceng di suasana begini pasti nikmat sekali. 

Hari ke-2: Rencana Nginep Dua Malem Batal
Puncak pertama Sikunir, tempat melihat sunrise tidak selapang di puncak kedua
Dalam suasana yang aduhai dinginnya aku harus berjibaku bangun pagi agar tak ketinggalan acara melihat matahari terbit dari puncak Sikunir yang aku tuliskan di sini. 
Hari ke-2 aku lumayan mendapatkan kesempatan mengunjungi beberapa lokasi tanpa terganggu banyak keramaian, karena tiga hal: bukan hari libur, orang banyak yang menahan liburan ke Dieng menunggu sekalian pas Dieng Culture Festival, dan hari ini cuaca bisa terbilang cerah.

Jadi pagi-pagi buta aku sudah ikut antrian berdiri di puncak Sikunir untuk tidak melewatkan pemandangan matahari terbit yang aku tulis di sini. Aku bisa dibilang termasuk rombongan terakhir yang turun ke bawah. Seperti biasa tempat yang sudah nge-hits seperti ini banyak yang naik tak lebih dari sekedar "aku sudah sampai kesana, kamu kapan?".

Bagian telaga warna yang jarang didatangi orang
Dari Sikunir aku sempat duduk dan berjalan memutar sebentar di Telaga Cebongan. Sayang aku tidak sempat mencari spot dari Puncak Sikunir yang bisa memotret telaga Cebongan dari atas.

Dari Cebongan aku jalan balik ke arah homestay dan mengunjungi Kawah Sikidang, aku belum membuat cerita sendiri tentang Kawah Sikidang. Sebenarnya hari sebelumnya saat masuk ke Kawasan Candi Arjuna itu tiketnya plus dengan Kawah Sikidang. Hanya karena kemarin gerimis dan hujan silih berganti gak jelas jadi cuma bisa muter di candi Arjuna-nya. Setelah dari Kawah Sikidang barulah aku masuk ke kawasan wisata Telaga Warna yang sudah aku tulis di sini.

Tapi terus terang aku akhirnya menyerah bertahan sehari lagi untuk berjibaku dengan dingin, padahal setelah aku pikir-pikir sayang juga aku tidak menambah sehari. Kalau masalah dingin, kata orang Dieng sih saat ini belum apa-apanya. Jika puncaknya suhu bisa mencapai minus 4 derajat bahkan kadang ada fenomena bun upas yang menjadi mala petaka buat petani.

Dan di sinilah kakiku berlabuh di hari kelima, tergeletak di dipan dengan kipas angin yang bunyinya agak berdecit kurang oli di Yogyakarta. Setelah sukses merayu mas-nya yang jaga homestay di Dieng buat ngembaliin duitku yang sudah kubayar di awal.
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 22 Januari 2017

Tour de Jawa: Surabaya-Jakarta (1)

Galaksi Bima Sakti di atas Pantai Klayar
Malam di pantai Klayar yang sepi, sayang awan menghalangi pemandangan galaksi Bima Sakti
Bis kecil yang muat sekitar 20-an orang sudah mulai sepi, satu demi satu penumpang turun. Kondektur yang merangkap kernet juga lebih memilih duduk di salah satu kursi, tidak bergantungan di pintu seperti biasanya. Pertanda kami adalah penumpang bus terakhir. Desahan lega terdengar jelas saat pantatnya yang agak gemuk jatuh di kursi bis. Untung sore ini jalanan sempat diguyur hujan jadi hawa dingin segar berhembus dari lubang kaca jendela yang terbuka.
Liukan demi liukan bis menembus hutan wilayah antara Tulungagung - Pacitan. Inilah bis kedua yang membawaku dalam rencana perjalanan seminggu Surabaya - Jakarta melalui jalur lintas selatan. Sebuah tas ransel 60 liter berwarna biru teronggok di belakang yang akan menjadi teman perjalananku selama seminggu ini. Entah tempat saja yang akan aku lalui, aku akan membiarkan setiap peta terbuka sendiri di setiap tempat persinggahan baru. Aku hanya punya satu rencana yang harus kudatangi dari perjalanan ini: Dieng.

Hari 1: Menginap di Pacitan
Sopir berteriak-teriak, "bis terakhir, bis terakhir". Mengingatkan para penumpang yang masih belum masih ke dalam bis termasuk aku. Kopi hitam panas baru sempat kureguk sedikit karena masih terlalu panas. Aku memaksakan untuk bisa meminum sampai setengah sebelum beranjak naik ke bis. Agak ada rasa kebas di lidah, ah biarkan saja toh nanti juga sembuh sendiri.
Pengunjung di atas bukit pantai Klayar
Tak lama setelah aku naik, bis berjalan pelahan meninggalkan terminal yang kondisinya berantakan. Mencoba menambah penumpang sebelum meninggalkan kota Tulungagung. Kata kondektur, kalau sudah sore begini jarang ada yang mau naik bis ke arah Pacitan.

Bus hanya sarat muatan sampai pertengahan jalan, belum sampai Ponorogo jumlah penumpang sudah kurang dari setengah kapasitas bus. Makin mendekati Pacitan makin sedikit jumlah penumpang. Suasana makin sepi sementara langit makin gelap. Saat Maghrib tiba, sepanjang jalan terdengar lamat-lamat suara adzan dari musholla dan masjid saling bersahut-sahutan. Selepas Maghrib nyaris hanya deru bus yang aku dengar membelah hutan yang jalannya meliuk-liuk seperti tak ada habisnya.
Entah kebiasaan entah karena mengejar waktu, bus nyaris tidak banyak mengurangi kecepatan saat menikung membuat harus terbanting ke kiri kana melawan arah tikungan. Mendekati Pacitan aku lihat tinggal tiga orang. Aku bingung mau ngobrol dengan siapa karena yang satu dari percakapan jelas akan turun sebelum masuk kota Pacitan, hanya perempuan di depanku yang tadi saat naik sudah tanya ke sopir mau turun di kota Pacitan. Sayangnya perempuan di depanku yang diam meringkuk di dekat jendela yang sengaja dibuka. Tak ada suara namun aku bisa melihat wajahnya yang pasi. Kulitnya yang putih semakin memperlihatkan keberpucatannya, kegelisahan tampak nyata dari keringat besar-besar di dahinya di suasana yang cenderung dingin. Sepertinya dia sedang menahan mabuk, aku melihat dia meremas sebuah plastik hitam yang kelihatan kosong. Goyangan bus di tikungan memang ampun. Tak berapa lama terdengar bunyi hoek.. ah muntah juga rupanya.

View Seruling Samudera dari atas bukit
"Mas, turun sini mas, itu ada hotel di seberang kanan," teriak sopir bis mengingatkanku.
"Lho, gak ada hotel yang dekat alun-alun pak," tanyaku ragu.
"Kita mau belok mas gak lewat alun-alun sudah malam,"... Ah, beginilah kalau naik bis malam hari, kalau supirnya mau balik sebelum titik terakhir yang disitulah kita harus turun. Tapi gak papa lah daripada kelewatan sampe masuk pol bisa lebih runyam masalahnya. Di seberang hotel persis aku turun hanya tampak satu hotel, satu-satunya. Namanya terpampang jelas: Hotel Permata.

Perjalanan pertama ini aku tak ingin berfikir banyak, aku memutuskan untuk menginap di sini saja. Menurut informasi, kota Pacitan ini tergolong kota kecil. Jadi walaupun malam masih tampak keramaian tentu tidak mudah mencari tumpangan untuk mencari hotel di sekitar kota.

Pacitan adalah kota pertama yang aku pilih untuk disinggahi, pantai Klayar adalah salah satu alasannya. Pantai Klayar kupilih setelah menerima masukan alternatif beberapa tempat wisata yang bisa aku singgahi bila lewat jalur selatan.

Hari ke-2: Minggu di Pantai Klayar
Pagi-pagi sekali selepas sholat Subuh aku berjalan-jalan berharap pagi ini bisa mendapatkan angkutan yang bisa mengantarkanku ke Pantai Klayar. Semalam, aku coba mencari informasi dari resepsionis hotel tentang travel atau kendaraan umum yang bisa mengantarkan ke Pantai Klayar. Resepsionis sendiri menihilkan pertanyaanku, katanya sebagian besar menggunakan kendaraan pribadi atau melalui travel kota-kota besar lain. 
Masih terlalu sepi di jalan, aku terus berjalan sampai di depan pasar Minulyo. Meski Pacitan termasuk kota kabupaten yang kecil di Jawa Timur, tapi suasana di pasar Minulyo cukup menyenangkan. Kondisinya yang tertata rapi membuatku terpikir dengan kondisi pasar-pasar di NTT yang masih acak kadul kalau tidak mau dibilang kurang terurus.

Suasana pagi hari di Pantai Klayar
Di pasar itulah aku ketemu pak Warno yang menawarkan tumpangan kendaraan. Pak Warno ini pekerjaannya sehari-hari nge-tem di pasar Minulyo.
Karena sepagian menawarkan tumpangan belum ada juga yang naik akhirnya menyanggupi mengantarkanku dengan motor. Untuk menggunakan jasa Colt miliknya, dia mengenakan tarif 150-ribuan sampai ke Pantai Klayar, alasannya kalau kesana tidak akan mendapat penumpang balik. Kalau motor dia minta 100-ribuan, nah lho kok bedanya dikit gitu.
Setelah sepakat dengan pak Warno, aku kembali ke hotel dan mengemasi barang-barangku. Resepsionis sedikit heran melihat aku yang check-out pagi begini bahkan masih sempat bertanya, "Tidak menunggu makan pagi dulu pak?"

Seperti dugaanku, Minggu di pantai Klayar tidak akan mendapatkan pemandangan yang seperti yang kuharapkan. Meski sudah pagi sekali, tapi pantai Klayar sudah dipenuhi wisatawan. Cerita di pantai Klayar ini sudah aku tuliskan di Basah di Pantai Klayar.

Bermalam di Pantai Klayar
Karena tidak mendapatkan view sesuai harapanku, aku memilih menginap semalam di pantai Klayar. Sebenarnya masih banyak lokasi menarik di seputaran pantai Klayar ini seperti yang ditutukan oleh pak Wito, penjual batu akik yang biasa mangkal di atas bukit pantai Klayar.

Berbeda dengan saat siang hari, saat malam hari Pantai Klayar ini akan terasa sekali sepinya. Musik dangdut samar-samar terdengar namun terkalahkan dengan bunyi ombak yang terdengar keras menghantam bebatuan. Ya, homestay ini letaknya persis di bawah bukit yang menjadi lokasi satu-satunya untuk dapat melihat Seruling Samudera. Sehingga saat malam sepi seperti ini, deburan gelombang menghantam karang akan lebih keras terdengar. Letak homestay yang jauh dari penginapan lain yang rata-rata dekat dengan jalan raya menambah suasana sepi tempat ini.

Alur balik gelombang
Tempatku menginap ini hanya ada dua kamar dengan ukuran sekitar 2,5mx2,5m dengan tempat tidur kecil dari busa dan sebuah kipas angin. Mereka minta harga 200-ribuan semalam, namun akhirnya mau dengan harga 100-ribuan dengan syarat tidak ada makan pagi. Satu kamar telah ditinggali suami istri yang sudah menginap sejak Sabtu kemarin. Penginapan ini memang masih baru, malah bisa dibilang belum selesai. Pak Isni, yang mengelola homestay ini awalnya hanya membangun warung di depan rumahnya serta beberapa kamar mandi dan toilet yang disewakan untuk pengunjung pantai Klayar. Kata pak Isni yang mengelola homestay ini, homestay sekitar pantai Klayar memang hanya ramai saat hari Sabtu dan Minggu serta hari-hari libur. Di luar waktu itu, bisa dibilang homestay ini sepi tamu. Mereka yang datang ke tempat wisata rata-rata hanya mampir dan balik lagi, jarang yang menginap. Bahkan tidak ada kendaraan umum yang sampai ke pantai Klayar, rata-rata berakhir sampai di Gua Gong. Makanya mereka cukup heran aku yang berani kesini tanpa kendaraan pribadi. Aku akhirnya memahami ucapan mereka keesokan harinya saat akan kembali.

Kata pak Esdi, dulu waktu dia pertama kali datang ke tempat ini masih sangat sepi. Darah Madura yang mengalir di tubuhnya telah membawanya mengelana ke banyak tempat, dan pantai Klayar telah menjadi keputusan akhirnya untuk dia tempati sampai akhir hayat. Orang tua pak Isni ini memiliki tanah yang cukup luas di daerah ini. Sekarang, katanya, berapapun harga yang dia minta banyak yang bersedia membayarnya. Walaupun tepi pantai, tapi untuk urusan air sangat lancar. Pak Esdi menarik pipa sendiri dari mata air yang berada sekitar 2 km dari tempat ini karena belum ada PDAM yang masuk wilayah ini.
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 12 November 2016

Basah di Pantai Klayar

View pantai Klayar dari perbukitan
View pantai Klayar dari atas perbukitan
Air naik dengan cepat sesaat setelah aku mendengar bunyi ombak besar menghantam dinding batu bukit batu di depanku. Semua terjadi di luar perhitungan saat mataku masih asyik menunggu rana kamera merekam alur air jatuh di bebatuannya. Refleks aku mengangkat tripod kamera tinggi-tinggi dan berharap buncah air yang menghantam karang itu tidak akan mencapainya. Aku berusaha tegak saat air terus naik melewati dada, berusaha untuk tidak terbanting di pasir pantainya. Aku merasakan pasir melewati mata kaki membantuknya berdiri lebih kokoh. Sesaat setelah arus balik selesai aku segera berlari ke tempat yang lebih tinggi. Aku melihat salah satu orang pengunjung terbanting saat mencoba lari menghindari ombak tadi. Untung tidak ada satupun pengunjung yang sampai terseret air. Beberapa orang yang tengah bermain di dekat karang pun harus rela basah kuyup termasuk kamera yang mereka miliki.

Gelobang pecah selaksa air terjun di pantai Klayar
Gelombang pecah berubah selaksa air terjun
Dan pagi itu sempurna basah sudah seluruh badanku. Aku masuk ke sebuah lopo dengan lincak (tempat duduk dari susunan batang bambu yang selain untuk duduk-duduk santai) milik salah satu warung kecil yang berdiri di tepi pantai.
bahkan pasir-pasir pun bebas masuk ke kantong samping tas kamera. Beruntung kameraku hanya terkena cipratan air, namun tidak demikian dengan tas kamera yang basah seluruhnya. Bahkan aku menemukan pasir diseluruh lipatan tas. Memang lensa di dalam tas tidak langsung terkena air namun hanya terkena rembesan karena lapisan busa yang cukup tebal. Tapi tetep saja bikin ketar-ketir, belum lagi batere aku letakkan di bagian tas paling depan yang tidak berlapis. Akhirnya terpaksa bongkar seluruh isi tas kamera dan lap satu demi satu semua pernak-pernik yang terkena rembesan air laut. Untuk tas backpack sempet aku titipkan di ibu pemilik warung sebelum memotret.


Hari ini aku merasakan dampak dari kejadian di atas. Aku harus merelakan lensa Tamron SP AF 90mm f/2.8 DI Macro mengalami ERR01. Biasanya ini error yang berkaitan dengan kabel fleksibel.

................................................................
"Kenapa mas itu tasnya di taruh di pagar?" tanya mas Teguh, salah satu pengrajin batu akik saat berbincang-bincang denganku. Mas Teguh baru datang belakangan sehingga tidak tahu alasanku menatuh tas di pagar pembatas di atas bukit. Di bukit ini sekarang total ada tiga pedagang yang menggelar barang dagangan batu akik di tempat ini termasuk mas Teguh. Mas Wito lah yang datang paling pagi sehingga dia yang tahu kondisiku dan menyarankan aku menjemur tas. FYI, daerah Pacitan memang terkenal salah satu kabupaten yang memiliki sentra pengrajin batu terutama batu-batu akik. Jadi saat boom batu akik beberapa waktu lalu, pengrajin batu akik dari Pacitan seperti mendapatkan durian runtuh karena harga batu akik yang melonjak tajam. Sekarang kalau kalian ke sana, kalian bisa mendapatkan batu akik dengan harga yang tidak mahal.

Sejoli berjalan di pantai Klayar
Sejoli berjalan-jalan di pantai Klayar
Sambil menunggu peralatanku kering dan dapat kupakai lagi, merekalah jadi teman ngobrolku di sana. Aku memasang hammock di rerimbunan batang pandan pantai supaya bisa bersantai. Sebenarnya ada beberapa papan yang dipasang pak Esdi untuk tempat duduk tapi kurang nyaman untuk tiduran.Untung tidak terlalu banyak yang datang ke atas bukit ini. Serombongan anak muda yang tampaknya semalam nge-camp di atas bukit ini juga sudah bersiap-siap mau kembali. Suasana yang tidak terlalu ramai akhirnya membuat aku bisa memejamkan mata beberapa saat menghilangkan kantuk yang masih tersisa.

Bukit ini terletak persis di samping bebatuan karang yang langsung menghadap ke Seruling Samudera. Bukit ini dimiliki dan dikelola pak Esdi, orang Madura namun telah lama tinggal di sini. Untuk naik ke atas bukit, ada jalan kecil menanjak dari dari sisi samping. Biasanya pak Esdi sendiri yang menjaga pintu masuk ke arah bukit.

Seruling Samudera di pantai Klayar Pacitan
Semburan air di titik Seruling Samudera
Saat ini bukit ini menjadi satu-satunya lokasi bagi yang ingin melihat Seruling Samudera. Di bagian bebatuan karang di lokasi telah dipasang papan penghalang dan papan larangan melewati daerah itu. Denger-denger sih sudah ada kasus pengunjung yang meninggal terseret ombak.
Seruling Samudera itu sebenarnya terjadi saat lubang di bebatuan mengeluarkan bunyi akibat tekanan air di bawahnya yang naik ke atas akibat gelombang. Jadi setelah bunyi suara akan disusul dengan semburan air ke atas beberapa meter. Semakin besar gelombang yang akan datang akan menimbulkan suara yang makin keras. Tapi itu dulu, kata pak Esdi sekarang bunyi yang keluar lebih banyak hanya berupa desisan keras karena beberapa lubang telah menjadi lebih besar. Mungkin akibat ombak terus menerus yang menggerusnya.

Suasana pantai Klayar saat sunset
Suasana pantai Klayar saat senja hari
Karena seharian di atas bukit, aku sekalian menjadi guide dadakan beberapa pengunjung yang ingin tahu Seruling Samudera. Cie..cie.. padahal aku cuma menyampaikan ulang apa yang aku denger dari pak Esdi. Asyik juga jadi guide gratisan sambil nungguin tas kamera kering dijemur. Bahkan kadang ikutan mas Wito dan Teguh komentar-komentar nakal kalau ada wisatawan cewe cantik dengan pakaian yang aduhai menggoda. Paling heboh kalau udah nemu pasangan beda usia jatuh kayak opa dan cucu yang asyik berpacaran di atas bukit. Tapi bukan menggoda mereka langsung lho ya, cuma celetukan nakal antar kami dan disambung dengan tawa terbahak-bahak.

..........................................................
Pantai Klayar sekarang tidak semenantang dulu, lokasi sekarang juga mudah dijangkau. Kondisi jalan bisa dibilang mulus lah, walau pun ada beberapa ruas jalan yang tergolong kecil tapi umumnya masih bisa dilewati bus besar. Tapi entah ada perjanjian tertentu. Sepertinya bis-bis besar yang mengangkut rombongan tidak bisa diijinkan sampai ke pantai hanya sampai di halte depan lokasi wisata Gua Gong. Di sana akhir bis-bis besar harus berhenti dan berganti naik sejenis omprengan untuk masuk ke dalam lokasi Pantai Klayar. Hanya kendaraan pribadi dan mini bis yang bisa masuk sampai ke lokasi pantai.

View pantai Klayar saat pagi
Penginapan dan warung-warung makan juga bisa dibilang cukup banyak. Walau pun jika bukan hari Minggu akan menghadapi kontradiksi, penginapan bisa ditawar dengan harga murah namun tempat makan jarang yang buka. Kemudahan-kemudahan inilah kenapa pada hari-hari libur bisa dibilang pantai ini akan padat pengunjung dari yang sekedar jalan-jalan sampai yang mau main off-road-an. 
Kendaraan roda tiga dengan ban tahu jika hari Minggu memang banyak bersliweran di sepanjang pantai menciptakan alur-alur panjang bekas roda. Bagi wisatawan, tentu fasilitas ini akan mempermudah mereka menikmati pantai. Apalagi kalau bareng hore-hore, fasilitas pantai ini akan membuat liburanmu di pantai tambah ceria.
Jika kalian adalah orang yang menyukai pantai yang tenang, lupakan pantai ini untuk didatangi di hari Minggu. Atau jika terlanjur mendatangi tempat ini, coba lah menunggu saat senja biasanya jumlah pengunjung sudah banyak berkurang. Apalagi saat bulan seperti ini posisi matahari posisinya condong ke selatan membuat penampakan matahari tampak jatuh tenggelam di horison laut.
Di antara waktu itu kalian bisa saja menyusuri beberapa titik lokasi yang masih jarang didatangi orang karena menurutku titik kumpul orang ke pantai ini yang disekitaran bukit batu itu. Ada beberapa lokasi yang cukup keren dan jarang yang didatangi karena lokasinya yang cukup sulit karena harus menuruni tebing menggunakan kayu sebagai tangga darurat.

Malemnya aku nginep di homestay punya pak Esdi yang dikelola sama anaknya mas Isni. Homestaynya terletak di bagian dalam paling dekat dengan bukit Klayar sebenarnya belum selesai pembangunannya. Hanya ada dua kamar, satu kamar sudah ditempati oleh sepasang suami istri yang sudah bermalam sejak Sabtu kemarin. Seperti halnya homestay di daerah wisata, umumnya mahal saat hari libur. Tapi kalau mau menginap bukan di hari libur harganya cenderung masih gampang ditawar. Tentu cara ini tidak cocok untuk orang yang liburannya bersamaan dengan hari libur.
Cara lain supaya tidak mendapatkan penginapan mahal ya menyewa satu homestay. Biasanya harga satu homestay ini akan dihitung lebih murah, dan pemilik juga biasanya gak repot menghitung berapa orang yang mau tinggal di dalamnya. Pinter-pinter kalian mengurus pembagian kamarnya saja.

...............................................................
Hari Senin aku baru balik kembali melanjutkan perjalanan setelah mampir dulu di Tanjung Klayar yang sudah aku tulis di tulisan sebelumnya.
Ternyata kembali harir Senin membawa kesulitan tersendiri. Tak ada satu pun kendaraan yang ada, bahkan satu motor ojek pun. Aku mencoba menunggu terminal yang juga menjadi tempat parkir angkutan omprengan dari dan ke pantai Klayar. Nihil, hanya ada satu dua kendaraan pribadi, itu pun baru sampai ke pantai ini bukan mau kembali. Bahkan dari pagi belum ada satu tempat makan pun yang buka untuk sekedar ngopi.

View pantai Klayar dari jalan masuk (dipotret dengan Blackview BV6000)
Akhirnya dengan menggendong ransel yang cukup berat aku berjalan keluar gerbang masuk tempat wisata. Sambil berharap ada kendaraan apa saja yang bisa aku tumpangi. Penjaga tiket pun bingung saat aku bertanya angkutan apa yang bisa mengantar aku kembali, dia malah bertanya balik bagaimana aku bisa sampai kesini. Karena mereka tahunya di luar hari libur kebanyakan yang kesini menggunakan kendaraan pribadi minimal motor karena semua kendaraan omprengan tidak ada yang masuk ke pantai Klayar kecuali hari libur itu pun statusnya dicanter dari awal.

Tunggu-tunggu-tunggu, eh ada orang naik motor masuk ke pantai Klayar menggoncengkan ibu-ibu. Waktu dia balik lagi, aku coba cegat tanya. Eh ternyata dia sedang memboncengkan istrinya yang berjualan di pantai. Dengan sedikit jujur memelas akhirnya mas Wanto mau mengantarku, malahan tanya kalau mau ditemeni masuk ke gua Gong.
Ternyata mas Wanto ini punya homestay di Klayar, lokasinya persis setelah gerbang masuk pembayaran tiket pantai Klayar. Dia sendiri punya penyewaan kendaraan off-road yang seperti aku tulis di depan, cuma dia bawa ke pantai Klayar saat hari Minggu atau hari libur saja

Karena lokasi untuk ganti kendaraan omprengan tepat di sebelah lokasi Gua Gong, jadilah aku mampir ke tempat ini. Sama seperti pantai Klayar, Gua Gong saat bukan hari libur seperti ini juga tergolong sepi. Beberapa guide yang biasanya agak agresif menawarkan jasa mengelilingi Gua Gong juga tidak terlalu antusias hari ini. Ah nanti saja kalau udah semangat lagi aku tuliskan tentang Gua Gong.

Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 25 September 2016

Pagi di Tanjung Klayar

Suasana pagi di tanjung Klayar, ombak tak pernah berhenti
Di bawah kakiku, ombak dari pantai selatan menerobos masuk ke dalam lubang yang terbentuk dibawah bukit yang berdiri tanjung. Suara kemerosok air yang menerobos masuk terdengar samar, dan beberapa detik disusul bunyi air yang keras menghantam karang. Bagian ombak yang tidak masuk ke dalam lubang menghantam dinding dan menyemburkan air ke atas. Pantai selatan seperti tak pernah berhenti mendatangkan gelombang demi gelombang ke arah pantai.

Matahari masih belum beranjak menampakkan sinarnya, sementara aku harap-harap cemas melihat awan yang bergerak dari ujung selatan. Tak ada minuman sekedar air dingin apalagi kopi panas, pun juga camilan. Aku hanya duduk saja menunggu siapa yang lebih dulu, matahari atau awan selatan itu. Tak ada pula teman ngobrol karena aku memang hanya pergi sendiri.

Perjalanan Pagi
Lupakan kopi pagi, sepagian aku berjalan menyusuri sepanjang jalan pantai Klayar ini warung-warung belum ada yang buka satu pun. Sebenarnya minum kopi pagi di teras homestay pak Isni nikmat sekali apalagi saat belum ramai begini. Sayang mungkin karena obrolan semalam yang sampai hampir jam 12 malam membuat mereka terkapar semua.
Aku bahkan harus mengurungkan niatku membeli sekedar air kemasan untuk perjalanan menuju tanjung Klayar karena tak tega membangunkan pak Isni. Sebenarnya pak Isni sudah memberitahu kalau mau butuh apa-apa di warungnya ketok pintu saja. Tapi siapa yang tega membangunkan, lha sepagian aku mondar-mandir ke belakang saja tidak ada yang bangun satu pun.

Matahari terbit dari Tanjung Klayar
Homestay pak Isni sebenarnya masih belum selesai, itu pun hanya 2 kamar saja yang dibangun, persis di samping warung kelontong miliknya. Letaknya persis di pinggir pantai di seberang bukit di pantai Klayar. Nanti di tulisan lain aku ceritakan bagaimana aku sampai terdampar di homestay ini.
Rencana mendatangi tanjung Klayar ini muncul setelah aku mempertimbangkan tidak akan mendapatkan gambar yang bagus di pantai Klayar saat pagi-pagi. Mungkin aku masih bisa mendapatkan matahari terbit walaupun tidak muncul dari balik horison laut.

Aku menelusuri jalan di pinggir pantai Klayar sampai di pintu masuk berharap ada satu dua warung yang buka. Tapi semua nihil. Di depan tempat parkir kendaraan aku melihat beberapa orang pengunjung yang baru datang. Aku coba bertanya jika mereka tahu jalan menuju ke tanjung Klayar. Eh mereka justru bertanya balik, Taanjung Klayar dimana? Hahaha rupanya aku salah bertanya.
Sudah nekad saja, aku coba menelusuri jalan di pinggir tebing. Untung di warung terakhir ada seorang ibu yang tampaknya baru selesai solat subuh. Dari beliau aku disuruh ikut jalan kecil di samping pematang sawah yang mengering.


Setelah mencoba masuk mengikuti petunjuk ibu tadi ternyata mentok juga semua jalan justru hilang tanpa jejak begitu sampai di daerah kebun kelapa. Akhirnya aku nekad saja masuk ke arah pinggir tebing walaupun kemungkinan memakan waktu lebih lama. Untung sebagian sawah sedang kering jadi lebih mudah dilewati. Tidak terlalu mudah juga karena kondisi tanah yang tidak rata membuat kaki sangat mudah terperosok apalagi sebagian besar pematang sawah yang ada hanya segaris tempat kaki menginjak.

Karang Bolong di Tanjung Klayar
Perjalanan lebih dari setengah jam ternyata tidak sia-sia. Tanjung Klayar ini menjadi lokasi terbaik untuk mendapatkan view matahari terbit walau saat ini posisi matahari masih terbit dari balik daratan. Bahkan menurutku tempat ini jauh lebih keren daripada pantai Klayar.
Lokasi tanjung klayar ini berubah bukit karang yang menjorok ke lautan yang dibawahnya terdapat lubang, ada dua lubang besar yang sepertinya tembus. Aku tidak tau persis karena dari sisi manapun aku tidak mendapatkan bukti apakah dua lubang yang tampak dari sisi kiri atau kanan itu terhubung atau sebatas cerukan saja. Tinggi tanjung Klayar mungkin lebih dari sepuluh meter.

Entah sudah lama cerukan itu terbuat dan sampai kapan tanjung Klayar ini mampu bertahan. Pak Esdi, ayah dari pak Isni bilang kalau tanjung itu lubangnya tidak pernah berubah dari dulu. Tapi siapa yang tahu? di sisi barat setelah tanjung klayar aku melihat sebuah bukit yang telah hancur menyisakan satu lubang. dari sisa hancuran itu aku bisa melihat kalau sebelumnya ada setidaknya satu lubang lagi. Mungkin itu dulu yang disebut karang bolong, entahlah.

Tidak ada pepohonan besar di tanjung ini, hanya ada beberapa pohon kecil dan pandan laut. Sebagian besar tanjung dipenuhi rerumputan dan tanaman perdu yang sebagian telah berubah mengering. Sepertinya tahun ini memang musim panas datang lebih cepat. Tanaman perdu menjalar yang biasa tumbuh di tepi pantai lebih kuat bertahan. Aku melihat tanaman-tanaman perdu ini basah oleh embun semalam. Walau ada di tepi pantai, rupanya di tanjung ini masih ada embun makanya banyak pepohonan yang masih menghijau.

Menemukan Air Terjun Kecil
Dari tanjung aku mencoba menyusuri lebih jauh ke arah utara. Sayang jejak jalan terputus oleh pepohonan yang tumbang. Setelah mencoba mencari jalan baru aku menemukan jalan becek di samping tebing. Harus hati-hati karena tebing di tanjung ini tegak 90 derajat. Dari bawah, gelombang yang bergulung-gulung seperti bergantian menghajar dinding bukit memuncratkan buih putih ke udara.

Air terjun kecil yang langsung jatuh ke laut
Di bagian turunan, aku tidak sengaja menemukan sebuah aliran air seperti sungai kecil yang airnya jatuh langsung ke laut sehingga membentuk air terjun kecil. Tidak terlalu besar sih, sepertinya sungai ini hanya sungai untuk air hujan lewat. Mungkin paling pas kalau datang saat musim hujan, mungkin akan menjadi air terjun yang langsung jatuh ke laut. Air terjun ini mengingatkanku pada cerita Cader tentang air terjun Toroan di Madura yang langsung jatuh ke laut. Ah, tapi air terjun ini sangat-sangat kecil dibanding Toroan.

Karena tidak bawa minuman sama sekali, air di sungai kecil ini menjadi alternatif untuk menutup rasa hausku. Airnya bersih walau aku tidak tahu dari mana asal aliran air itu. Aku coba minum sedikit airnya dan beristirahat sekalian untuk melihat reaksi air di perutku. Setelah beberapa saat tidak ada reaksi, aku baru mulai minum lebih banyak. Aku nekat? Gak lah, aku sudah terbiasa minum air di lokasi seperti ini. Aku memegang beberapa parameter air dan sedikit pengujian kecil untuk memastikan air yang aku konsumsi aman. Rasanya lebih nikmat lho minum langsung seperti ini.

Hanya beberapa meter saat aku mencoba masuk lebih dalam, akhirnya aku memutuskan berhenti dan kembali. AKu melihat jalur ke depan makin rapat dengan tumbuhan pandan laut yang menyisakan jalan setapak yang makin rapat dengan tebing.
Saat kembali aku bertemu dengan dua orang yang naik ke arah tanjung dengan motor trail. Berarti ada jalan lain menuju tempat ini selain jalan yang tadi kutempuh. Saat kembali, pak Esdi memberitahu kalau ada jalan dengan kendaraan tapi harus memutar lebih jauh. Untung aku kembali lewat jalan yang sebelumnya bukan jalan yang digunakan kedua motor itu menuju tanjung.

Catatan
Cerita ini merupakan penggalan-penggalan dari perjalananku seminggu menelusuri Jawa dengan kendaraan umum yang aku ceritakan per lokasi. Nanti setelah seluruh bagian cerita aku ceritakan barulah aku tutup dengan cerita keseluruhan project seminggu perjalanan ke Jawa lewat jalur selatan.

Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya