Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label Maros. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Maros. Tampilkan semua postingan

Rabu, 19 Juli 2017

Overland ke Tana Toraja

"Bu, packing baju buat tiga hari ya besok kita berangkat", kataku.
"Emang mau kemana? Ke tempat siapa?", tanya ibuku.
"Kita ke Makassar dan Toraja, jalan-jalan saja. Ibu sudah Arum belikan tiket", jawabku.

Ibuku tentu saja kaget karena beliau baru saja tiba di Jakarta setelah mengunjungi kakaknya di Balikpapan, Kalimantan Timur.

Landing di Makassar larut malam. Disambut teman kami, Kartini yang menjadi tuan rumah selama kami di Makassar. Kami pun segera beristirahat karena besok pagi berangkat ke Toraja.

Pukul 6 pagi kami telah dijemput Bang Ancu, pemilik mobil yang kami sewa. Dalam perjalanan menuju Toraja, kami melewati Maros. Dari jendela mobil terlihat sinar Matahari pagi menyembul dari sela-sela hamparan batuan karst yang berjajar di kejauhan. Wah pendaran cahayanya bagus banget! Di tengah perjalanan kami melihat Jeruk Bali yang dijual dipinggir jalan. Kami mampir untuk membeli beberapa buah sebagai bekal diperjalanan.

Sampai di Pare-pare kami mampir ke sebuah warung makan untuk sarapan Coto, daging sapi/kerbau dengan kuah dari air beras yang dimakan dengan ketupat/buras. Rasanya lebih enak daripada yang biasa aku makan di Jakarta. Pare-pare kota pesisir pantai barat yang juga dikenal sebagai kota kelahiran BJ Habibie, Presiden ketiga RI.


Belakang adalah Bukit Enrekang Di depan gerbang Maros
Kami istirahat di Enrekang untuk sekedar minum kopi, makan pisang goreng dan camilan jagung goreng atau Marning biasa orang Jawa bilang. Jagung goreng ini menjadi cemilan khas Enrekang. Itu sebabnya aku lihat banyak tanaman Jagung di lereng bukit kawasan Enrekang ini.

Warung kopi yang juga menjual cenderamata/souvenir ini berada tepat di muka pegunungan. Dari sini kita bisa minum kopi sambil melihat pemandangan Gunung Bambapuang atau lebih dikenal sebagai Gunung Nona. Landscape gunung yang mengundang berbagai imajinasi. Ada yang bilang bentuknya menyerupai area pribadi kaum hawa.Tergantung persepsi masing-masing mata yang memandang. Hohoho.

Akhirnya kami sampai di gerbang Tana Toraja. Setelah menempuh perjalanan selama 7 (tujuh) jam! Wajarlah karena jarak dari Makassar ke Toraja 350 km. Pastinya kami foto-foto dulu di gerbang sebelum lanjut menuju Pallawa.

Gerimis mengiringi kami menuju Pallawa. Butiran air hujan yang disinari matahari menjadi semburat pelangi. Melihat Pelangi sebagai pertanda keinginanku terkabul. Yes! Keinginan ke Tana Toraja.

Saat tiba di Pallawa, begitu aku membuka pintu mobil, gerimisnya langsung berhenti. Ajaib! Mungkin hujannya memberi kesempatan aku untuk foto-foto.

Suasana dalam rumahDesa adat Pallawa
Desa adat Pallawa berada di kawasan Rantepao adalah desa yang masih memegang kuat tradisi dan memiliki Tongkonan  tertua di Tana Toraja. Ada 11 Tongkonan yang ada di Pallawa.

Tongkonan, adalah rumah tradisional Toraja. Bentuk bangunan yang menyerupai sebuah kapal, beratap bambu yang ditutup rumbia. Bagian atap banyak ditumbuhi tanaman liar pertanda tua/lamanya bangunan itu berdiri. Tongkonan dihiasi ukiran khas dan didominasi warna hitam, oranye, merah. Tanduk kerbau di depan Tongkonan sebagai simbol pemilik rumah telah melakukan upacara Rambu Solo/ Aluk Rampe Matampu.

Penduduk desa sebagai pemandu wisata banyak memberikan keterangan tentang bangunan Tongkonan dan adat istiadat mereka. Konon tradisi kanibal pernah dilakukan saat perang antar kampung dengan memakan dan meminum darah lawan yang kalah. Perkembangan jaman telah merubah tradisi itu dan menggantinya dengan memakan ayam yang disebut Pallawa Manuk.

Bercengkrama dengan penduduk desa yang ramah, sambil sesekali memotret kegiatannya. Anak-anak suka sekali difoto meski tampak malu-malu. Tidak lupa kami membeli cenderamata hasil buah tangan mereka, berupa asbak yang berbentuk miniatur Tongkonan, patung kakek nenek dan gelang-gelang.

Meneruskan perjalanan kami ke tebing Lemo. Lemo adalah tebing yang dijadikan makam.Di depan dinding dipasang Tau-tau, yaitu boneka-boneka kayu yang diukir sebagai personafikasi orang yang telah meninggal dan dimakamkan di sana. Patung ini hanya dibuat untuk para bangsawan.

Biasanya sebelum dimakamkan, diadakan Upacara Rambusolo/Aluk Rampe Matampu.Terlihat pintu pada tebing Lemo terbuka. Sepertinya sedang ada persiapan untuk upacara Rambu Solo. Rambu Solo dalam bahasa Toraja berarti asap yang arahnya ke bawah. Maksudnya upacara ritus persembahan ini dilakukan saat matahari mulai bergerak menurun sesudah pukul 12 siang. Rambusolo selain sebagai penghormatan kepada jenasah, juga sebagai penghantar menuju gerbang arwah.

Sayang kunjunganku hanya singkat jadi tidak bisa memotret Rambu Solo. Semoga aku bisa kembali mengunjungi Tana Toraja.

Teks dan foto: Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya