Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label Jawa Timur. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jawa Timur. Tampilkan semua postingan

Jumat, 09 Agustus 2019

Melati Untuk Anusapati

Candi Kidal Malang Jawa Timur
Harum wangi Bunga Melati tercium ketika aku memasuki komplek Candi Kidal. Tumbuhan Melati menghiasi di kanan kiri sepanjang jalan setapak. Mewarnai suasana pagi yang cerah nan indah.


Candi Kidal Malang Jawa TimurPengurus candi tampak sedang menyirami rumput dan tanaman. Beliau tersenyum ramah saat aku menghampirinya.  Seorang perempuan berbaju batik merah marun dan berkerudung coklat. Menurut penuturan beliau, Ibu Siti Romlah selaku pengurus candi, Raja Anusapati suka dengan Bunga Melati. Pantaslah hampir seluruh komplek taman Candi Kidal ditanami Bunga Melati.

Mataku tertuju pada kain putih yang terhampar memanjang disepanjang undakan Candi. Sebuah pemandangan yang jarang kulihat. Ternyata kain putih itu dipasang saat ada acara Ruwatan Murwakala Malang beberapa hari yang lalu. Masih tersisa kembang, daun pisang dan dupa di dalam kubah Candi. Sepertinya aku datang pada waktu yang tepat. Saat Candi telah diruwat dan dibersihkan dari hal-hal negatif yang buruk.

Candi setinggi kurang lebih 12 meter ini mempunyai struktur bangunan berundak yang dibagi menjadi tiga bagian. Bagian kaki ( Upapitha) disebut Bhurloka yang menggambarkan alam atau dunia manusia. Bagian badan (Vimana) disebut Bwahloka yang menggambarkan alam antara atau alam langit. Bagian puncak (Cikhara) disebut Swahloka yang merupakan alam surgawi atau kahyangan para dewa.

Aku berjalan mengelilingi candi. Membaca relief-relief yang tergurat di dinding Candi. Bila di Candi Borobudur membaca relief dengan mengkanankan candi, Pradaksina, tetapi di Candi Kidal membaca relief dengan berlawanan arah jarum jam, Prasawiya. 

Candi Kidal Malang Jawa Timur
Terdapat tiga relief utama yang terpahat pada dinding candi. Relief Garudeya yang sedang melayani para naga, Garudeya membawa guci air amerta dan Garudeya menggendong ibunya, Dewi Winata. Disamping itu relief Kala Makara di atas pintu candi.

Kisah Garudeya bermula dari persaingan antara kakak beradik Dewi Kadru dan Dewi Winata yang menjadi istri Resi Kasyapa. Mereka berselisih mengenai warna Kuda Ucchaisswara yang muncul dari dalam samudera purba. Dewi Kadru menebak warna hitam, sedangkan Dewi Winata menebak warna putih. Sengitnya perselisihan itu membuat mereka bersepakat untuk bertaruh. Barangsiapa yang tebakannya salah dan kalah akan menjadi budak bagi yang menang.

Para Naga yang menjadi anak Dewi Kadru memberitahu ibunya kalau sebenarnya warna kuda Ucchaisswara putih yang berarti tebakan Dewi Winata benar. Tetapi Dewi Kadru bersiasat dengan menyuruh anak-anaknya untuk menyembur dengan racun bisanya agar merubah warna kuda tersebut. Akhirnya para naga berhasil merubah warna kuda Ucchaisswara menjadi hitam yang berarti Dewi Kadru pemenangnya dan Dewi Winata beserta Garudeya menjadi budak mereka.

Garudeya berusaha membebaskan ibunya dari perbudakan Dewi Kadru. Para naga meminta syarat Garudeya harus mendapatkan air amerta yang dimiliki para dewa. Garudeya mencari air amerta dan bertemu Dewa Wishnu. Dewa Wishnu bersedia membantu dan minta agar Garudeya bersedia menjadi wahananya/kendaraannya. Air amerta yang didapat dimasukkan ke dalam guci. Di dalamnya diberi rumput ilalang. Garudeya berpesan kepada para naga harus bersuci dengan mandi terlebih dahulu. Saat para naga sedang mandi, air amerta diambil oleh Dewa Indra. Sisa air yang tercecer dirumput ilalang dijilati para naga hingga membuat lidah mereka terbelah dua. Akhirnya Garudeya berhasil membawa pergi ibunya, Dewi Winata dan membebaskannya dari perbudakan Dewi Kadru.

Candi Kidal Malang Jawa Timur Candi Kidal Malang Jawa Timur

Candi Kidal berlokasi di Jalan Raya Tumpang - Malang tepatnya Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang.  Kidal mempunyai arti "kiri" dan istilah keduanya berarti "selatan" dari kata "kidul". Mungkin karena letak candi tersebut  berada di selatan-kiri (tenggara) dari Kerajaan Singosari yang terletak disebelah utara.

Candi Kidal adalah pedharmaan Raja Anusapati, Raja kedua Kerajaan Singosari yang bertahta tahun 1227-1248. Stana dibuat sebagai penghormatan kepada sang raja setelah mangkat. Candi Kidal merupakan tempat Abu jenasah Raja Anusapati, diruwat dan dimuliakan sebagai Siwa. Sayang Patung Siwa sudah tidak ada di candi ini. Patung Siwa tersebut sekarang tersimpan di Museum Leiden Belanda.

Candi Kidal Malang Jawa Timur
Tokoh cerita Garudeya dan Dewi Winata yang terpahat di dinding Candi Kidal adalah penggambaran kisah hidup Raja Anusapati dan ibunya, Ken Dedes. Berawal dari Anusapati yang tidak tahan tiap hari mendengar tangisan kesedihan ibunya, Ken Dedes. Kesedihan Ken Dedes karena Sang Rajasa, Ken Angrok menikahi perempuan lain (Ken Umang) dan lebih menyayanginya. Ken Dedes pun pergi dari Kedhaton dan kembali ke kampung halamannya.

Anusapati menganggap Sang Rajasa adalah penyebab kesedihan ibunya yang harus dilenyapkan. Sungguh Anusapati tidak tega pada ibunya, Ken Dedes yang sangat dicintainya. Sosok perempuan yang cantik jelita dan wangi tubuhnya tetapi nestapa hidupnya. Anusapati bertujuan meruwat ibunya agar terbebas dari kesengsaraan dan kembali menjadi perempuan utama yang sempurna.


Entah karena terbawa cerita Raja Anusapati dan Ken Dedes itu, setelah aku mengunjungi Candi Kidal, malamnya aku bermimpi aneh. Dalam mimpi itu aku bertemu sesosok pria gagah bertelanjang dada dengan rambut yang digelung keatas. Sorot matanya tajam. Raut wajahnya terlihat kuat dan tegas. Siapakah dia? Raja Anusapati kah?



Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 15 Februari 2019

Memandang Sang Rupawan dari Maskumambang

Pagi hari kereta yang kutumpangi tiba di Stasiun Kediri. Kota Kediri, tempat Raja Jayabaya dan Raja Airlangga pernah  bertahta di masa lalu. Kicauan suara burung-burung dari pepohonan yang ada di sekitar stasiun seakan menyambut kedatanganku. Aku pun berjalan keluar stasiun menuju jalan raya. Ketika aku melewati patung Panji Asmarabangun sambil bergumam, "Panji, Dewi Chandra Kirana sedang kelaparan!" Eeeaaaa. Untunglah banyak pedagang kaki lima yang  menjual sarapan di pinggir jalan. Menunya pecel, nasi campur dan teh manis. Duduk lesehan menyantap sarapan dan menyiapkan mobile phone untuk order driver online ke Gunung Klothok. Jarak dari Kota Kediri menuju Gunung Klothok sekitar 4 kilometer. Tepatnya di Kelurahan Pojok, Kecamatan Mojoroto, Kediri, Jawa Timur.

Aku melewati gerbang masuk Goa Selomangleng, sebagai akses menuju kawasan Gunung Klothok. Goa Selomangleng ada di kaki Gunung Klothok. Masih satu kawasan dengan kolam renang, Bukit Maskumambang dan Museum Airlangga. Kebetulan karena ada kolam renang bisa sekalian mandi disini.

Niatku menghindari mendaki Gunung Klothok karena aku hanya ingin memotret landscape Gunung Klothok. Selain itu juga aku tidak punya waktu banyak. Maka agar aku dapat view keseluruhan gunung, aku pun mencoba memotret dari Bukit Maskumambang.
Bagaimanapun juga untuk mendapat view Gunung Klothok aku harus mendaki ratusan undakan anak tangga di bukit ini. Semangaaattt!

Gapuran masuk melihat  Gunung Klothok
Sebuah gerbang gapura mengapit undakan tangga menuju atas bukit. Di sisi kiri terdapat Prasasti baru tertulis bahwa Bukit Maskumambang juga disebut sebagai Astana Boncolono. Mbah Boncolono adalah seorang Maling Gentiri yang sakti dan memiliki Ilmu Pancasona, bila mati dan darahnya menyentuh Bumi, dia akan hidup kembali.Dia mencuri harta para saudagar dan hartawan yang berpihak kepada Kolonial Belanda. Harta yang didapat kemudian dibagi-bagikan kepada para penduduk miskin yang menderita. Setelah dikalahkan pihak Belanda, jasad Mbah Boncolono dimakamkan di bukit ini. Waktu yang singkat membuatku tidak mengunjungi makamnya, meskipun aku merasakan penyambutannya :)

Kupu-kupu berwarna kuning beterbangan kian kemari saat aku mendaki bukit ini. Seperti mengiringi perjalananku. Bagi yang jarang olahraga perlu ekstra tenaga menapaki undakan yang menanjak. "Ayo-ayo!" terdengar seruan dari seorang gadis remaja berkerudung meneriaki teman-temannya yang mendaki undak-undakan bukit agar segera menyusul. Mereka tersenyum menyapa ketika melintasiku yang sedang asik memotret. Aku pun ikut menyemangati mereka mendaki ratusan undakan. 

Pemandangan dari atas bukit ini nampak si Cantik Gunung Klothok. Mengapa disebut Si Cantik? Karena dari kejauhan landscape Gunung Klothok seperti wajah seorang gadis cantik dengan hidung yang mancung, malah terkadang seperti gadis yang terbaring tidur 'Sleeping Beauty'.

Setelah puas memotret aku mampir ke satu-satunya warung di sini. Meneguk minuman isotonik biar segar lagi. Menurut bapak pemilik warung, pengunjung ramai datang ke Bukit Maskumambang di musim liburan sekolah apalagi di bulan Desember menjelang malam pergantian tahun.


Konon Gunung Klothok  sebenarnya adalah bangunan piramida. Dibangun oleh Bangsa Lemurian, leluhur Nusantara dengan Ancient Technology-nya yang tinggi. Jauh sebelum masa Kerajaan Kediri. Piramida ini pun terkubur oleh debu-debu vulkanik gunung berapi purba yang meletus bersamaan ribuan bahkan jutaan tahun yang lalu. Walaupun demikian perlu penelitian lebih lanjut melalui carbon test, laser scanning maupun jalur penerawangan spiritual level starseed.

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro

Mau liburan gaes klik aja http://befreetour.com/id?reff=X3KRF
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 07 Mei 2017

Kerennya Museum Angkut di Batu

Dari beberapa list yang ada di daftar lokasi yang harus dikunjungi, museum angkut dan museum topeng ini justru baru muncul belakangan hasil ngobrol-ngobrol gak jelas dengan driver travel setelah sampai di Batu. Awalnya aku salah mengira itu semacam museum angkutan, jadi dibayanganku adalah sebuah gedung yang isinya angkutan kota dari jaman oplet punya si mandra sampai mobil taksi online.. Pokoknya kurang asyik gitulah, museum yang sekedar buat edukasi atau orang tua yang mau nostalgia.

Tapi ternyata aku salah besar sodara-sodara.. pertama, ternyata itu museum angkut bukan cuma satu gedung. Ini kaki musti sering selonjorin buat menghilangkan rasa pegal. Bini yang jauh-jauh aku bawa dari Kupang dari mulanya excited waktu pertama ngeliat sampai akhirnya matanya jelalatan cari pintu keluar tercepat. Walhasil, setelah kakinya kram harus muterin museum angkut yang luasnya 3,8 hektar (katanya) biniku menyerah untuk melanjutkan mendatangi museum d'topeng. Gak tau, emang karena capek muterin museum angkut atau karena ngerasa horor sama suasana museum d'topeng. Kayak-kayaknya sih dia sedikit parno melihat topeng gitu. Tapi herannya kok dia gak takut gitu liat muka suaminya yang masih pake topeng hahahaha. 

Kedua, ternyata itu museum transportasi yang berarti mencakup seluruh sejarah transportasi. Jadi begitu masuk pertama kamu bakalan disuguhi pemandangan mobil-mobil lama yang masih kece gila. Iya beneran, aku aja sampai nge-batin.. itu mobil beneran atau cuma replika. Mobil-mobil yang masih kinclong itu jelas mobil-mobil kelas kolektor. Penggemar mobil antik dipastikan kejang-kejang pengen ngembat tuh mobil kalau masuk ke sana.

Gedung hall utama emang pas jadi ruangan pertama yang akan ditemui pengunjung. Didominasi mobil-mobil Eropa yang antik dan keren gila, dan pastinya digunakan oleh kalangan elit. Lha iya, jaman itu yang bisa pakai mobil minimal 4.000cc kalau bukan orang kaya(h) ya sopir truk gandeng.Bahkan ada mobil eks-RI pertama lho yang mejeng di sini, artinya mobil yang nongkrong warna hitam dari pabrikan Roll Royce ini pernah dinaiki Ir. Soekarno semasa menjadi presiden Republik Indonesia. 
Yang paling bersinar tetep mobil putih dengan roda mirip roda pedati yang mejeng di panggung yang memutar. Merknya di bagian plat tertulis "Tolong Jangan Dipegang; Please Don't Touch", ah sial panjang amat ya merk-nya. Tiga jempol dah (satu jempol gak jelas ikut naik). 

Selain nampang mobil-mobil keren di hall utama, ada juga motor-motor yang gak kalah keren. Tapi entah apa maksudnya itu museum pasang tulisan di atas jajaran sepeda onthel "Tahukah anda, pabrik motor dan mobil terkenal di dunia juga pernah memproduksi sepeda onthel".. mungkin dorongan semangat buat lik Sutiknyo yang sekarang udah bisa bikin sepeda onthel kayu bisa bikin mobil sukur-sukur pesawat terbang nanti.. dari kayu. Tapi kayaknya asik juga naik sepeda onthel dengan merk "Harley's Davidson".. ah paling nanti kamu bilang "kasian tuh orang, gak bisa beli motor bagus sampai sepeda ditempeli sticker Harley's Davidson". Tapi sepeda yang ditampilkan bukan cuma yang bermerk saja. Ada juga sepeda yang dibuat tanpa merk dengan model awal-awal sepeda yang pengayuhnya di roda depan yang ukurannya gede banget.

Gak melulu mobil dan motor, ada juga dipamerkan alat angkut awal saat mesin uap belum ditemukan. Cikar, dokar, becak sampai pedati yang ditarik sama sapi-pun ikut nongkrong. Ada juga kapal-kapal yang semuanya replika ukuran kecil bukan replika ukuran asli. Kebayang kan kalau kapal Titanic yang dipasang replika ukuran asli, itu satu saja udah cukup nutup semua ruang museum hahahaha.

Ada juga ruang simulasi pesawat terbang yang terletak di zona Runway 27. Di zona ini, ditampilkan pesawat-pesawat dari pesawat kecil yang masih pake baling-baling sebiji di tengah sampai pesawat komersil yang udah pake mesin jet. Tapi lupakan sajalah, aku yang lama di NTT udah ngerasain dari jaman pesawat pake baling-baling yang biar mati sebelah masih bisa terbang sampai jaman pesawat udah pake mesin jet. Eh untuk sementara urusan naik pesawat simulasi aku skip dulu.

Keluar dari main hall, kita masuk ke zona pecinan bersebelahan dengan zona batavia. Di zona pecinan dan batavia ini me-replika suasana kawasan Jakarta Kota sampai dengan pelabuhan Sunda Kelapa yang dahulu-nya memang menjadi pusat perdagangan dan pelabuhan besar di Jakarta. Angkutan yang ditampilkan di zona ini macam oplet-nya si Mandra sama bajaj yang sekarang di jakarta keberadaannya juga mulai hilang digantikan jenis kendaraan rodak tiga baru. Di bagian zona Gudang Batavia, masih banyak kumpulan mobil-mobil keren juga motor-motor lama yang sebagian masih sering kutemui di jalan digunakan oleh para penggemar mobil/motor antik.
Buat kita-kita yang belum ngelongok ke luar negeri, tentu yang asyik saat masuk selepas zona batavia. Zona pertama adalah zona Gangster Town. dengan latar jalan raya lengkap dengan panorama gedung-gedung masa lalu membuat kita dibawa bernostalgia kondisi kota besar di Amerika zaman-zaman gangster masih banyak menguasai kota. Zona ini mungkin zona yang paling diminati untuk berfoto. Mobil-mobil klasik bersliweran di jalan menambah kerennya suasana kota.


Masih ada beberapa zona lagi jika masih kuat menikmati seperti zona Eropa yang menggambarkan miniatur kota-kota di Eropa kayak Roma, Paris, London, replika istana Buckingham Palace, zona Hollywood yang mengambarkan suasana jalan dan bangunan-bangunan di Hollywood masa lampau, sampai dengan Las Vegas yang penuh cahaya berkelap-kelip seperti bintang di langit. Semua lokasi-lokasi ini layak diabadikan, bahkan mungkin ini akan menjadi lokasi favorit untuk foto pre-wedding. Walau denger-denger untuk foto pre-wedding dikenakan biaya 2,5juta (termasuk tiket masuk pasangan dan kru kali). Cuma karena sudah terlalu sore juga kaki yang sudah terasa pegal-pegal, istriku beberapa kali harus mencari tempat duduk untuk beristirahat. Luasnya museum ini memang lumayan bikin capek untuk dijelajahi.

Pernik-Pernik
Berlokasi di Jl. Terusan Sultan Agung Atas No. 2 Kota Wisata Batu, Museum Angkut berada satu grup dengan Jatim Park 1 dan 2, Batu Secret Zoo, serta Batu Night Spectacular dalam Jawa Timur Park Group. Kalau pengen dapat gambaran lokasinya bisa mengunjungi situsnya http://www.museumangkut.com/zona-museum-angkut/# tapi menurutku sih malah tidak terlalu lengkap, tapi kalau mau pesen tiket sekalian dengan lokasi wisata yang masih satu kesatuan dengan Jaw Timur Park Group sih enak kalau pesen di sini dulu. Apalagi kalau lagi ada promo.


Museum ini kata mbah Wiki didirikan tahun 2014 jadi masih tergolong baru. Selain mobil yang pernah digunakan presiden RI-1, katanya ada juga beberapa mobil yang memiliki nilai sejarah, salah satunya adalah mobil Land Rover buatan tahun 1958 yang pernah digunakan Lady Diana dan suaminya Pangeran Charles. Ada juga mobil Tucuxi yang ditampilkan dalam kondisi hancur, bagi yang agak lupa mobil Tuxuci adalah mobil listrik buatan anak negeri yang kerap digunakan oleh Dahlan Iskan yang kemudian mendapatkan kecelakaan nahas.

Pengguna kamera DSLR yang masuk ke dalam dikenakan biaya tambahan 30-rebu, tapi itu bukan cuma DSLR termasuk juga kamera poket, handycam, dan sejenisnya. Yang gak kena charge cuma hape. Jadi menurutku, kalau kameramu gak siap ambil gambar yang bagus misal bukaan/aperture gak lebar atau takut noise tinggi bisa titip dulu. Sekedar info, ruangan hall utama tempat mobil-mobil kece badai itu ruangannya minim cahaya. Emang tampak dramatis kalau dilihat, tapi jadi simalakama kalau dipotret.
Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 31 Maret 2017

Air Terjun: Coban Rondo & Coban Tengah

Sabtu pagi aku sudah membangunkan istriku yang meringkuk ke dalam selimut. Bukan pekerjaan gampang bangun pagi-pagi saat udara masih dingin membekukan tulang. Kalau bukan karena mengiyakan ajakanku kemarin sore, mungkin dia saat ini akan memilih membenamkan wajahnya ke dalam selimut. Sambil menunggu istriku berdandan aku mencoba keluar kamar sebentar untuk menggerakkan badan. Tidak terlalu dingin menurutku, padahal aku cuma menggunakan kaos dalam saja. Sekarang aku sudah banyak mengerti menghadapi hawa dingin pegunungan.

Di pelataran Hotel Nirwana pagi ini aku lihat lebih banyak mobil terparkir, padahal sehari sebelumnya sepi sekali hanya ada dua kamar yang terisi selain kamarku. Kawasan Songgoriti memang tak seramai dulu lagi walau masih banyak penduduk setempat yang menyewakan villa, itu kata beberapa orang yang aku mintai saran saat mau berkunjung ke Kota Batu, Malang. Hari ini Sabtu, perkiraanku mulai bakalan banyak orang datang dan membuat tempat wisata ramai dan sesak orang. Jelas lokasi air terjun Coban Rondo yang akan aku tuju kemungkinan besar juga begitu.

Cuaca agak mendung, aku ragu apakah hari ini turun hujan atau tidak. Walau bulan Agustus itu bulan panas kalau di Kupang, tapi tidak dengan Kota Batu. Bulan seperti ini, masih ada saja hujan yang turun. Itulah susahnya kalau jalan-jalan pakai motor yang otomatis tidak anti hujan. Tapi aku nekat saja tetap jalan toh kalaupun hujan kita bisa berteduh. Begitu keluar hotel, yang aku tuju pertama adalah mencari makan pagi karena hotel masih belum menyiapkan makan pagi sebelum jam tujuh.

Air Terjun Coban Rondo
Jarak dari hotel Nirwana ke air terjun Coban Rondo sekitar 7,7km berdasarkan aplikasi Google Maps kalau lewat jalan Rajekwesi, tapi karena masih pagi aku memilih lewat jalan Trunojoyo yang banyak dilewati kendaraan besar tapi tidak terlalu ramai. Hanya sekitar setengah jam, aku sudah sampai di depan gerbang masuk air terjun Coban Rondo. Ternyata masih ada sekitar sekilo lebih jalan yang harus ditempuh sampai ke lokasi parkiran air terjun. Walaupun lebih dekat dari Kota Batu, namun air Terjun Coban Rondo sebenarnya masuk wilayah Kabupaten Malang, tepatnya di desa Pandesari, Kecamatan Pujon.

Pagi masih sepi, hanya sedikit pedagang yang sudah membuka kiosnya. Itu pun aktivitas mereka lebih banyak sedang mempersiapkan barang dagangan, sebagian mulai membersihkan halaman sekitar kios-kios mereka.

Karena letaknya yang tidak jauh dari tempat parkir, suara gemuruh air terjun sudah terdengar setelah berjalan masuk beberapa meter ke dalam gerbang masuk. Sekitar seratusan meter sudah terlihat air yang jatuh dari ketinggian. Jalan setapak menuju air terjun sudah disemen dan sebagian con-block.

Kawasan parkir air terjun Coban Rondo waktu pagi
Sampai di air terjun, sudah ada beberapa orang muda-mudi yang datang terlebih dahulu ke air terjun. Kemungkinan mereka adalah rombongan yang menginap semalam di sekitar kawasan perkemahan Coban Rondo yang banyak ditumbuhi hutan pinus. Karena daerah ini merupakan wana wisata Coban Rondo, jadi wisata yang ditawarkan bukan hanya air terjun Coban Rondo sendiri. Ada kawasan bumi perkemahan diantara gerbang masuk wana wisata dan air terjun. Wah dingin banget pasti kalau nenda di sini. Ada juga air terjun Coban Tengah yang papan petunjuknya aku temui di pertengahan gerbang masuk menuju ke area air terjun Coban Rondo.

Dengan ketinggian 84 meter ini membuat sebagian air tampak seperti uap air yang jika tertiup angin agak kencang uap air itu bisa mencapai puluhan meter jatuhnya. Pemilik kamera yang body-nya tidak tahan air harus berhati-hati, masalahnya kita tidak bisa menduga arah angin.

Batu besar (kiri) tempat Dewi Anjarwati merenungi nasibnya
Untungnya mendatangi air terjun di saat bukan hari libur seperti ini, kita bebas dari lalu lalang yang membuat kegiatan memotret lebih banyak diisi orang daripada pemandangan. Suasana yang tenang seperti ini jadi lebih nyaman untuk menikmati air terjun.

Di balik keindahan air terjun Coban Rondo ini sebenarnya ada cerita mistis yang menjadi asal usul nama air terjun ini. Konon ini bermula dari pernikahan antara Dewi Anjarwati dari Gunung Kawi, sedangkan mempelai pria bernama Raden Baron Kusumo dari Gunung Anjasmoro. Diusia 36 hari pernikahan mereka, Dewi Anjarwati mengajak suaminya berkunjung ke Gunung Anjasmoro. Dalam perjalanan, mereka bertemu Joko Lelono, yang terpikat dengan kecantikan Dewi Anjarwati dan berusaha merebutnya. Akibatnya terjadilah perkelahian antara Joko Lelono dengan Raden Baron Kusumo. Kepada para punakawan yang menyertai mereka, Raden Baron Kusumo berpesan menyembunyikan Dewi Anjarwati di suatu tempat yang terdapat di air terjun. Akibat perkelahian berimbang itu, Raden Baron Kusumo dan Joko Lelono gugur. Dewi Anjarwati menjadi seorang janda (bahasa jawa: Rondo) memutuskan tidak kembali dan tinggal di tempat itu. Sejak saat itulah coban atau air terjun tempat bersembunyi Dewi Anjarwati dikenal dengan Coban Rondo. Batu besar di bawah air terjun merupakan tempat duduk sang putri yang merenungi nasibnya menjadi janda. Begitu cerita yang diungkapkan di papan informasi.

Air Terjun Coban Tengah
Karena masih pagi, akhirnya aku memutuskan untuk ke air terjun Coban Tengah yang belum lama ditemukan. Sempat kebingungan karena jalur datang dan jalur pulang berbeda jadi bingung dimana jalur putarnya. Akhirnya paling gampang balik lagi sampai ke tempat gerbang masuk masuk putar balik mengikuti arah jalan balik ke air terjun masuk Coban Rondo. Di pertigaan deket semacam villa ada papan petunjuk yang mengarahkan ke air terjun Coban Tengah. Kalau aku tidak salah inget itu sebelum bumi perkemahan Coban Rondo.

Ternyata jalur ke arah coban tengah sedang ada perbaikan sehingga ditutup untuk umum. Cuek saja, aku coba masuk ke dalam toh nanti kalau memang tidak bisa ya tinggal balik lagi. Ternyata jalan yang ada masih lancar dimasuki motor tapi susah untuk kendaraan roda empat. Di beberapa titik ada longsoran yang menimbun setengah badan jalan yang sudah sempit.

Sekitar sekilo masuk sampailah ke pintu gerbang yang bagian loketnya kosong melompong tanpa petugas. Lah iya lah, kan di depan sudah tertulis papan peringatan jadi ngapain juga petugas harus berjaga di sini. Penjaganya hanya sepasang patung kayu yang bikin suasana malah mistis. Lupakan warung makan, satu-satunya kios yang berdiri di sebelah kanan loket juga sudah kosong.

Berbeda dengan Coban Rondo yang sepanjang jalan telah menggunakan conblok dan dibeton, jalan di sepanjang Coban Tengah masih jalan tanah setapak itu pun harus melewati satu sungai yang pasti tidak bisa dilewati saat musim hujan. Suasana masuk ke tempat ini jauh lebih sepi. Mungkin karena itu aku tidak menemukan papan informasi selain sebuah papan yang dipasang melintang dengan tulisan warna merah bertulis Coban Tengah di ujung jalan menurun menuju air terjun.

Urusan narsis tetep harus ada kan
Ketinggian air terjun ini lebih pendek daripada di Coban Rondo, tapi yang aku paling suka tempatnya masih lebih alami dan pasti jauh lebih sepi dibanding Coban Rondo. Ah tempat-tempat seperti ini memang asyiknya dikunjungi saat masih belum dikembangkan. Walaupun akses jadi lebih sulit tapi setidaknya kita bisa melihat pemandangan air terjun yang masih alami.

Di air terjun Coban Tengah ini, air yang jatuh bukan dari atas bukit seperti umumnya air terjun tapi dari tengah, seolah-olah air itu muncul dari dalam gua di antara dinding batu. Sayangnya tidak ada atau setidaknya aku tidak menemukan track jalan menuju ke atas untuk melihat asal air terjun ini.

Karena mendung kembali datang, akhirnya aku memutuskan kembali. Karena bila hujan benar-benar turun bukan hujannya sendiri yang aku kuatirkan tapi karena harus melewati sungai yang tidak ada jembatannya.

Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 05 Februari 2017

Tour de Jawa: Gelandangan Solo-Dieng

Kawasan Candi Arjuna, Dieng
Kawasan Candi Arjuna, Dieng lokasi pertama yang aku kunjungi di Dieng
Lupakan segala rencana, terima aja nasib kalau sudah begini. Hari ini adalah ulang tahunku, dan sialnya aku justru terjebak di dalam terminal di kota presiden kita pernah menjabat sebagai walikota. Aku berandai-andai, jika sesuai rencana maka malam ini aku tentu meringkuk di tempat tidur salah satu penginapan di Dieng. Dan paginya, aku mungkin telah gagah berdiri menyambut sinar matahari pagi dari Puncak Sikunir. Ah gebleg, kalau udah begini memang satu-satunya jalan ya menikmati nikmatnya tidur di terminal. Emang enak mas? Gak usah tanyaa!!
 

Hari ke-3: Dinginnya Bangku Terminal Tirtonadi Solo
Aku menarik kepalaku lebih dalam di balik sleeping bag hijau gelap. Bangku jati panjang di depan masjid terasa keras di punggungku. Untung ruangan ber-AC ini masih terasa nyaman untuk berbaring. Agak dingin memang, setidaknya jika dibandingkan ruangan dalam masjid yang terlihat lebih nyaman untuk berbaring karena ada karpet tebal di dalamnya. Sayang pengumuman di teras masjid jelas terpampang: Dilarang Tidur di Dalam Masjid. Di seberang seorang bapak paruh baya terlelap dengan topi menutup mukanya, suara dengkurnya sedikit lebih lembut dari gergaji.


"Hari ini tidak bis jurusan Wonosobo yang masuk terminal, mas". Kalimat yang kudengar dari salah satu petugas di terminal Tirtonadi Solo membuatku lemas, selemas gurita setelah ketangkep dimasukin keranjang. Bangke betul, aku tidak menuruti saran mas Eko yang meminta supaya aku ke Dieng lewat jalur Yogyakarta.
Ternyata bis jurusan Solo-Wonosobo sedikit beroperasi. Kalau secara jadwal sih harusnya dua kali sehari, tapi sudah berbulan-bulan hanya dilayani satu trayek saja.

Dan disinilah akhirnya aku hari ini, mendekam di balik sleeping bag di atas bangku kayu dalam terminal bis Tirtonadi Solo. Betewe, jangan bayangin terminal bis Tirtonadi Solo ini seperti umumnya terminal bis di seluruh Indonesia. Ho-ho-ho, jauh bingit.. terminal Tirtonadi Solo ini suasananya udah kayak bandara. Ruangannya full AC dan bersih. Jadi kalau kamu musti terdampar di terminal seperti ini, masih enak buat tiduran. Lumayan, dengan bayar karcis masuk seribu rupiah bisa numpang tidur. Emang sih kalau mau mandi atau BAB tengah tetep harus bayar tapi gak mahal. Kalau tidur takut barangnya hilang gimana? Gampang, ada kok tempat penitipan barang sampai motor juga bisa titip di sekitar terminal.

Sebenarnya pagi aku sudah mau keluar dari homestay pak Isni di pantai Klayar setelah mampir dulu ke Tanjung Klayar (baca di sini), tapi karena arah baliknya lewat Gua Gong ya sekalian aja aku mampir kesana. Untungnya hari Senin jadi Gua Gong kondisinya sepi. Akhirnya aku justru siang hari baru sampai di Punung. Punung itu pertigaan jalan besar yang menuju ke Klayar.

Cerita tentang Gua Gong, gua ini sudah ditata rapi bahkan dengan tata cahaya warna-warni. Pencahayaan itu mungkin salah satu untuk membuat gua Gong lebih menarik wisatawan, tapi untukku justru membuat Gua Gong tampak seperti gua artifisial. Lain waktu aku mungkin bisa menuliskan tentang Gua Gong tersendiri.

Hari ke-4: Akhirnya sampai di Dieng
Pagi jam tiga dini hari aku bertanya ke petugas kalau mau ke Wonosobo. Oleh petugas itu, aku diarahkan supaya naik bis jurusan Semarang, nanti turun di Bawen dan berganti bis menuju ke Yogyakarta lewat jalur Magelang. Karena jalur busnya berbeda aku harus pindah ke jalur bis yang berangkat ke arah barat. Ternyata kondisi terminal jalur barat berbeda, di sini tidak ada AC melainkan hanya kipas angin. Denger-denger sih, yang jalur barat emang terminal aslinya yang dipugar, berbeda dengan terminal jalur timur yang memang baru dibangun.

Monumen batu Dieng Plateau
Tempat kekinian untuk bukti foto telah ke Dieng, aku gak punya :(
Asyik menunggu, aku diajak ngobrol bapak-bapak yang ngaku mantan pelaut yang sudah insaf.. eh yang sudah berhenti. Lagak-lagaknya sih penipu walaupun sampai terakhir tidak berhasil menipu aku, hilang-hilangnya duitku ya bayarin ongkos bis bapak itu yang pura-pura ketiduran. Kok yakin kalau itu penipu padahal aku tidak tertipu? Bukan tidak tertipu tapi tidak berhasil ditipu.. Aku bahkan sampai turun di Bawen juga tidak menuduh bapak tua itu penipu, mungkin dia hanya bisa mencari uang lewat menipu. Tapi dari pengalamanku ini, aku berpesan hati-hati di terminal jika didekati orang yang menunjukkan sikap baik tidak sewajarnya. Tapi jika ada yang kena tipu.. ya bersabarlah, memang belum rejeki hehehehe...

Turun di Bawen masih pagi banget, sehingga aku masih sempat ngopi pagi di pinggir jalan depan terminal Bawen. Dari Bawen aku naik bis jurusan Semarang-Purwokerta yang lewat Wonosobo. Kebetulan saat ngopi dapet temen ngobrol yang memang biasa mondar-mandir Solo-Purwokerto jadi aku ikut saja saran dia. Sekitar jam lima pagi, aku bis jurusan Semarang-Purwokerto dan turun di terminal Mendolo. Dari terminal mendolo aku berganti dengan angkutan kecil menuju kota Wonosobo.
Aku sampai di kota Wonosobo sekitar jam setengah sembilan pagi, dan langsung berganti naik kecil ke arah Dieng. Setelah setengah jam melewati jalan yang berkelok-kelok dan terus menanjak akhirnya aku turun di pertigaan Dieng. Jam di pergelangan tanganku menunjukkan saat ini ketinggian 2.200 mdpl.


Hari ke-1 di Dieng: Semalaman Tiduurrr....

Telaga Merdada yang sedang gerimis dan berkabut
Ada yang salah dengan kedatanganku kali ini, setidaknya dari 2 versi. Versiku, bulan Juli ada bulan yang sedang puncak dingin-dinginnya di seluruh wilayah Indonesia sebelah selatan. Maka saat inilah Dieng juga berada pada puncak dinginnya. Bayangkan, suhu pada siang hari bulan ini sama dengan suhu yang kurasakan di Bromo saat malam hari di bulan Desember.
Versi orang setempat, aku datang terlalu cepat karena acara festival Dieng Culture Festival jatuhnya tanggal 5-7 Agustus 2016. Ah sebodo amat, pokoknya tahun ini yang penting aku sudah sampai ke sini. Dieng Culture Festival biar jadi jadwal trip selanjutnya.

Tujuan pertama itu tempat menginap, dan berhubung mata pertama tertuju ke Dieng Plateau Homestay ya akhirnya masuk ke situ dulu. Hargany masih normal 250ribu per malam, udah coba tawar tapi ya dapetnya cuma turun 200ribu. Kebetulan homestay juga menyewakan sepeda motor yang dikenakan biaya 100ribu per hari.

Telaga Cebongan, Dieng
Danau Cebongan di bawah Bukit Sikunir
Ya udahlah, dalam kondisi dingin begini malas kalau harus cari-cari homestay lagi. Kelar urusan penginapan, aku mampir cari makan. Berhubung di Dieng, salah satu makanan khasnya itu Mi Ongklok ya itu yang aku cari. Ternyata di depan penginapan ada warung yang jual Mi Ongklok. Mie Ongklok ini sama seperti mi godok, perbedaan di cara membuatnya yang pake sejenis keranjang bambu untuk meng-onklok mie dan sayuran. Kuahnya segar dan kental karena menggunakan bumbu ebi dan kanji.

Kelar urusan makan, karena masih siang aku berencana jalan-jalan. Sayang mendung dan gerimis tipis berseling datang. Sebentar matahari nongol, sebentar mendung yang ngeksis campur gerimis yang bikin geli-geli adem.. jadi pengen... #kompreskepala. Aku bener-bener tidak menggunakan informasi internet, lebih sekedar mengandalkan informasi percakapan dari orang-orang yang aku temui atau pemilik penginapan. Aku kali ini memang ingin benar-benar menikmati perjalanan sebagai seharusnya perjalanan kesasar yang tidak butuh melihat peta dan lain-lain.

Telaga warna dari Bukit Ratapan Angin
Ada dua lokasi yang aku kunjungi hari ini: telaga Merdada dan kawasan Candi Arjuna. Karena dua lokasi itu disebelah kanan dari homestay. Rencana besok aku baru mengeksplore sisi kanan homestay. Perhitunganku dalam tiga hari ini aku bisa mengunjungi beberapa lokasi yang cukup dikenal terlebih dahulu. Tapi kondisi Dieng yang kelewat dingin bener-bener aku menyerah sebelum malam. Berjibaku dengan tangan yang serasa memegang es di stang motor, hujan tipis juga membuat tanganku memucat lebih cepat. 

Malam ini aku berjibaku dengan sleeping bag yang terbungkus selimut. Sleeping bag yang kupakai cukup membantu menghalau dingin karena kasur tipis dan selimut di homestay justru bikin adem tambah awet. Dapat dibilang aku semalaman bergelung dalam sleeping bag dalam gulungan selimut. Hanya sekali dua kali aku harus keluar karena desakan alami dari bawah. Aku bahkan kehilangan minat untuk mencari makan malam. Padahal Purwaceng di suasana begini pasti nikmat sekali. 

Hari ke-2: Rencana Nginep Dua Malem Batal
Puncak pertama Sikunir, tempat melihat sunrise tidak selapang di puncak kedua
Dalam suasana yang aduhai dinginnya aku harus berjibaku bangun pagi agar tak ketinggalan acara melihat matahari terbit dari puncak Sikunir yang aku tuliskan di sini. 
Hari ke-2 aku lumayan mendapatkan kesempatan mengunjungi beberapa lokasi tanpa terganggu banyak keramaian, karena tiga hal: bukan hari libur, orang banyak yang menahan liburan ke Dieng menunggu sekalian pas Dieng Culture Festival, dan hari ini cuaca bisa terbilang cerah.

Jadi pagi-pagi buta aku sudah ikut antrian berdiri di puncak Sikunir untuk tidak melewatkan pemandangan matahari terbit yang aku tulis di sini. Aku bisa dibilang termasuk rombongan terakhir yang turun ke bawah. Seperti biasa tempat yang sudah nge-hits seperti ini banyak yang naik tak lebih dari sekedar "aku sudah sampai kesana, kamu kapan?".

Bagian telaga warna yang jarang didatangi orang
Dari Sikunir aku sempat duduk dan berjalan memutar sebentar di Telaga Cebongan. Sayang aku tidak sempat mencari spot dari Puncak Sikunir yang bisa memotret telaga Cebongan dari atas.

Dari Cebongan aku jalan balik ke arah homestay dan mengunjungi Kawah Sikidang, aku belum membuat cerita sendiri tentang Kawah Sikidang. Sebenarnya hari sebelumnya saat masuk ke Kawasan Candi Arjuna itu tiketnya plus dengan Kawah Sikidang. Hanya karena kemarin gerimis dan hujan silih berganti gak jelas jadi cuma bisa muter di candi Arjuna-nya. Setelah dari Kawah Sikidang barulah aku masuk ke kawasan wisata Telaga Warna yang sudah aku tulis di sini.

Tapi terus terang aku akhirnya menyerah bertahan sehari lagi untuk berjibaku dengan dingin, padahal setelah aku pikir-pikir sayang juga aku tidak menambah sehari. Kalau masalah dingin, kata orang Dieng sih saat ini belum apa-apanya. Jika puncaknya suhu bisa mencapai minus 4 derajat bahkan kadang ada fenomena bun upas yang menjadi mala petaka buat petani.

Dan di sinilah kakiku berlabuh di hari kelima, tergeletak di dipan dengan kipas angin yang bunyinya agak berdecit kurang oli di Yogyakarta. Setelah sukses merayu mas-nya yang jaga homestay di Dieng buat ngembaliin duitku yang sudah kubayar di awal.
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 22 Januari 2017

Tour de Jawa: Surabaya-Jakarta (1)

Galaksi Bima Sakti di atas Pantai Klayar
Malam di pantai Klayar yang sepi, sayang awan menghalangi pemandangan galaksi Bima Sakti
Bis kecil yang muat sekitar 20-an orang sudah mulai sepi, satu demi satu penumpang turun. Kondektur yang merangkap kernet juga lebih memilih duduk di salah satu kursi, tidak bergantungan di pintu seperti biasanya. Pertanda kami adalah penumpang bus terakhir. Desahan lega terdengar jelas saat pantatnya yang agak gemuk jatuh di kursi bis. Untung sore ini jalanan sempat diguyur hujan jadi hawa dingin segar berhembus dari lubang kaca jendela yang terbuka.
Liukan demi liukan bis menembus hutan wilayah antara Tulungagung - Pacitan. Inilah bis kedua yang membawaku dalam rencana perjalanan seminggu Surabaya - Jakarta melalui jalur lintas selatan. Sebuah tas ransel 60 liter berwarna biru teronggok di belakang yang akan menjadi teman perjalananku selama seminggu ini. Entah tempat saja yang akan aku lalui, aku akan membiarkan setiap peta terbuka sendiri di setiap tempat persinggahan baru. Aku hanya punya satu rencana yang harus kudatangi dari perjalanan ini: Dieng.

Hari 1: Menginap di Pacitan
Sopir berteriak-teriak, "bis terakhir, bis terakhir". Mengingatkan para penumpang yang masih belum masih ke dalam bis termasuk aku. Kopi hitam panas baru sempat kureguk sedikit karena masih terlalu panas. Aku memaksakan untuk bisa meminum sampai setengah sebelum beranjak naik ke bis. Agak ada rasa kebas di lidah, ah biarkan saja toh nanti juga sembuh sendiri.
Pengunjung di atas bukit pantai Klayar
Tak lama setelah aku naik, bis berjalan pelahan meninggalkan terminal yang kondisinya berantakan. Mencoba menambah penumpang sebelum meninggalkan kota Tulungagung. Kata kondektur, kalau sudah sore begini jarang ada yang mau naik bis ke arah Pacitan.

Bus hanya sarat muatan sampai pertengahan jalan, belum sampai Ponorogo jumlah penumpang sudah kurang dari setengah kapasitas bus. Makin mendekati Pacitan makin sedikit jumlah penumpang. Suasana makin sepi sementara langit makin gelap. Saat Maghrib tiba, sepanjang jalan terdengar lamat-lamat suara adzan dari musholla dan masjid saling bersahut-sahutan. Selepas Maghrib nyaris hanya deru bus yang aku dengar membelah hutan yang jalannya meliuk-liuk seperti tak ada habisnya.
Entah kebiasaan entah karena mengejar waktu, bus nyaris tidak banyak mengurangi kecepatan saat menikung membuat harus terbanting ke kiri kana melawan arah tikungan. Mendekati Pacitan aku lihat tinggal tiga orang. Aku bingung mau ngobrol dengan siapa karena yang satu dari percakapan jelas akan turun sebelum masuk kota Pacitan, hanya perempuan di depanku yang tadi saat naik sudah tanya ke sopir mau turun di kota Pacitan. Sayangnya perempuan di depanku yang diam meringkuk di dekat jendela yang sengaja dibuka. Tak ada suara namun aku bisa melihat wajahnya yang pasi. Kulitnya yang putih semakin memperlihatkan keberpucatannya, kegelisahan tampak nyata dari keringat besar-besar di dahinya di suasana yang cenderung dingin. Sepertinya dia sedang menahan mabuk, aku melihat dia meremas sebuah plastik hitam yang kelihatan kosong. Goyangan bus di tikungan memang ampun. Tak berapa lama terdengar bunyi hoek.. ah muntah juga rupanya.

View Seruling Samudera dari atas bukit
"Mas, turun sini mas, itu ada hotel di seberang kanan," teriak sopir bis mengingatkanku.
"Lho, gak ada hotel yang dekat alun-alun pak," tanyaku ragu.
"Kita mau belok mas gak lewat alun-alun sudah malam,"... Ah, beginilah kalau naik bis malam hari, kalau supirnya mau balik sebelum titik terakhir yang disitulah kita harus turun. Tapi gak papa lah daripada kelewatan sampe masuk pol bisa lebih runyam masalahnya. Di seberang hotel persis aku turun hanya tampak satu hotel, satu-satunya. Namanya terpampang jelas: Hotel Permata.

Perjalanan pertama ini aku tak ingin berfikir banyak, aku memutuskan untuk menginap di sini saja. Menurut informasi, kota Pacitan ini tergolong kota kecil. Jadi walaupun malam masih tampak keramaian tentu tidak mudah mencari tumpangan untuk mencari hotel di sekitar kota.

Pacitan adalah kota pertama yang aku pilih untuk disinggahi, pantai Klayar adalah salah satu alasannya. Pantai Klayar kupilih setelah menerima masukan alternatif beberapa tempat wisata yang bisa aku singgahi bila lewat jalur selatan.

Hari ke-2: Minggu di Pantai Klayar
Pagi-pagi sekali selepas sholat Subuh aku berjalan-jalan berharap pagi ini bisa mendapatkan angkutan yang bisa mengantarkanku ke Pantai Klayar. Semalam, aku coba mencari informasi dari resepsionis hotel tentang travel atau kendaraan umum yang bisa mengantarkan ke Pantai Klayar. Resepsionis sendiri menihilkan pertanyaanku, katanya sebagian besar menggunakan kendaraan pribadi atau melalui travel kota-kota besar lain. 
Masih terlalu sepi di jalan, aku terus berjalan sampai di depan pasar Minulyo. Meski Pacitan termasuk kota kabupaten yang kecil di Jawa Timur, tapi suasana di pasar Minulyo cukup menyenangkan. Kondisinya yang tertata rapi membuatku terpikir dengan kondisi pasar-pasar di NTT yang masih acak kadul kalau tidak mau dibilang kurang terurus.

Suasana pagi hari di Pantai Klayar
Di pasar itulah aku ketemu pak Warno yang menawarkan tumpangan kendaraan. Pak Warno ini pekerjaannya sehari-hari nge-tem di pasar Minulyo.
Karena sepagian menawarkan tumpangan belum ada juga yang naik akhirnya menyanggupi mengantarkanku dengan motor. Untuk menggunakan jasa Colt miliknya, dia mengenakan tarif 150-ribuan sampai ke Pantai Klayar, alasannya kalau kesana tidak akan mendapat penumpang balik. Kalau motor dia minta 100-ribuan, nah lho kok bedanya dikit gitu.
Setelah sepakat dengan pak Warno, aku kembali ke hotel dan mengemasi barang-barangku. Resepsionis sedikit heran melihat aku yang check-out pagi begini bahkan masih sempat bertanya, "Tidak menunggu makan pagi dulu pak?"

Seperti dugaanku, Minggu di pantai Klayar tidak akan mendapatkan pemandangan yang seperti yang kuharapkan. Meski sudah pagi sekali, tapi pantai Klayar sudah dipenuhi wisatawan. Cerita di pantai Klayar ini sudah aku tuliskan di Basah di Pantai Klayar.

Bermalam di Pantai Klayar
Karena tidak mendapatkan view sesuai harapanku, aku memilih menginap semalam di pantai Klayar. Sebenarnya masih banyak lokasi menarik di seputaran pantai Klayar ini seperti yang ditutukan oleh pak Wito, penjual batu akik yang biasa mangkal di atas bukit pantai Klayar.

Berbeda dengan saat siang hari, saat malam hari Pantai Klayar ini akan terasa sekali sepinya. Musik dangdut samar-samar terdengar namun terkalahkan dengan bunyi ombak yang terdengar keras menghantam bebatuan. Ya, homestay ini letaknya persis di bawah bukit yang menjadi lokasi satu-satunya untuk dapat melihat Seruling Samudera. Sehingga saat malam sepi seperti ini, deburan gelombang menghantam karang akan lebih keras terdengar. Letak homestay yang jauh dari penginapan lain yang rata-rata dekat dengan jalan raya menambah suasana sepi tempat ini.

Alur balik gelombang
Tempatku menginap ini hanya ada dua kamar dengan ukuran sekitar 2,5mx2,5m dengan tempat tidur kecil dari busa dan sebuah kipas angin. Mereka minta harga 200-ribuan semalam, namun akhirnya mau dengan harga 100-ribuan dengan syarat tidak ada makan pagi. Satu kamar telah ditinggali suami istri yang sudah menginap sejak Sabtu kemarin. Penginapan ini memang masih baru, malah bisa dibilang belum selesai. Pak Isni, yang mengelola homestay ini awalnya hanya membangun warung di depan rumahnya serta beberapa kamar mandi dan toilet yang disewakan untuk pengunjung pantai Klayar. Kata pak Isni yang mengelola homestay ini, homestay sekitar pantai Klayar memang hanya ramai saat hari Sabtu dan Minggu serta hari-hari libur. Di luar waktu itu, bisa dibilang homestay ini sepi tamu. Mereka yang datang ke tempat wisata rata-rata hanya mampir dan balik lagi, jarang yang menginap. Bahkan tidak ada kendaraan umum yang sampai ke pantai Klayar, rata-rata berakhir sampai di Gua Gong. Makanya mereka cukup heran aku yang berani kesini tanpa kendaraan pribadi. Aku akhirnya memahami ucapan mereka keesokan harinya saat akan kembali.

Kata pak Esdi, dulu waktu dia pertama kali datang ke tempat ini masih sangat sepi. Darah Madura yang mengalir di tubuhnya telah membawanya mengelana ke banyak tempat, dan pantai Klayar telah menjadi keputusan akhirnya untuk dia tempati sampai akhir hayat. Orang tua pak Isni ini memiliki tanah yang cukup luas di daerah ini. Sekarang, katanya, berapapun harga yang dia minta banyak yang bersedia membayarnya. Walaupun tepi pantai, tapi untuk urusan air sangat lancar. Pak Esdi menarik pipa sendiri dari mata air yang berada sekitar 2 km dari tempat ini karena belum ada PDAM yang masuk wilayah ini.
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 12 November 2016

Basah di Pantai Klayar

View pantai Klayar dari perbukitan
View pantai Klayar dari atas perbukitan
Air naik dengan cepat sesaat setelah aku mendengar bunyi ombak besar menghantam dinding batu bukit batu di depanku. Semua terjadi di luar perhitungan saat mataku masih asyik menunggu rana kamera merekam alur air jatuh di bebatuannya. Refleks aku mengangkat tripod kamera tinggi-tinggi dan berharap buncah air yang menghantam karang itu tidak akan mencapainya. Aku berusaha tegak saat air terus naik melewati dada, berusaha untuk tidak terbanting di pasir pantainya. Aku merasakan pasir melewati mata kaki membantuknya berdiri lebih kokoh. Sesaat setelah arus balik selesai aku segera berlari ke tempat yang lebih tinggi. Aku melihat salah satu orang pengunjung terbanting saat mencoba lari menghindari ombak tadi. Untung tidak ada satupun pengunjung yang sampai terseret air. Beberapa orang yang tengah bermain di dekat karang pun harus rela basah kuyup termasuk kamera yang mereka miliki.

Gelobang pecah selaksa air terjun di pantai Klayar
Gelombang pecah berubah selaksa air terjun
Dan pagi itu sempurna basah sudah seluruh badanku. Aku masuk ke sebuah lopo dengan lincak (tempat duduk dari susunan batang bambu yang selain untuk duduk-duduk santai) milik salah satu warung kecil yang berdiri di tepi pantai.
bahkan pasir-pasir pun bebas masuk ke kantong samping tas kamera. Beruntung kameraku hanya terkena cipratan air, namun tidak demikian dengan tas kamera yang basah seluruhnya. Bahkan aku menemukan pasir diseluruh lipatan tas. Memang lensa di dalam tas tidak langsung terkena air namun hanya terkena rembesan karena lapisan busa yang cukup tebal. Tapi tetep saja bikin ketar-ketir, belum lagi batere aku letakkan di bagian tas paling depan yang tidak berlapis. Akhirnya terpaksa bongkar seluruh isi tas kamera dan lap satu demi satu semua pernak-pernik yang terkena rembesan air laut. Untuk tas backpack sempet aku titipkan di ibu pemilik warung sebelum memotret.


Hari ini aku merasakan dampak dari kejadian di atas. Aku harus merelakan lensa Tamron SP AF 90mm f/2.8 DI Macro mengalami ERR01. Biasanya ini error yang berkaitan dengan kabel fleksibel.

................................................................
"Kenapa mas itu tasnya di taruh di pagar?" tanya mas Teguh, salah satu pengrajin batu akik saat berbincang-bincang denganku. Mas Teguh baru datang belakangan sehingga tidak tahu alasanku menatuh tas di pagar pembatas di atas bukit. Di bukit ini sekarang total ada tiga pedagang yang menggelar barang dagangan batu akik di tempat ini termasuk mas Teguh. Mas Wito lah yang datang paling pagi sehingga dia yang tahu kondisiku dan menyarankan aku menjemur tas. FYI, daerah Pacitan memang terkenal salah satu kabupaten yang memiliki sentra pengrajin batu terutama batu-batu akik. Jadi saat boom batu akik beberapa waktu lalu, pengrajin batu akik dari Pacitan seperti mendapatkan durian runtuh karena harga batu akik yang melonjak tajam. Sekarang kalau kalian ke sana, kalian bisa mendapatkan batu akik dengan harga yang tidak mahal.

Sejoli berjalan di pantai Klayar
Sejoli berjalan-jalan di pantai Klayar
Sambil menunggu peralatanku kering dan dapat kupakai lagi, merekalah jadi teman ngobrolku di sana. Aku memasang hammock di rerimbunan batang pandan pantai supaya bisa bersantai. Sebenarnya ada beberapa papan yang dipasang pak Esdi untuk tempat duduk tapi kurang nyaman untuk tiduran.Untung tidak terlalu banyak yang datang ke atas bukit ini. Serombongan anak muda yang tampaknya semalam nge-camp di atas bukit ini juga sudah bersiap-siap mau kembali. Suasana yang tidak terlalu ramai akhirnya membuat aku bisa memejamkan mata beberapa saat menghilangkan kantuk yang masih tersisa.

Bukit ini terletak persis di samping bebatuan karang yang langsung menghadap ke Seruling Samudera. Bukit ini dimiliki dan dikelola pak Esdi, orang Madura namun telah lama tinggal di sini. Untuk naik ke atas bukit, ada jalan kecil menanjak dari dari sisi samping. Biasanya pak Esdi sendiri yang menjaga pintu masuk ke arah bukit.

Seruling Samudera di pantai Klayar Pacitan
Semburan air di titik Seruling Samudera
Saat ini bukit ini menjadi satu-satunya lokasi bagi yang ingin melihat Seruling Samudera. Di bagian bebatuan karang di lokasi telah dipasang papan penghalang dan papan larangan melewati daerah itu. Denger-denger sih sudah ada kasus pengunjung yang meninggal terseret ombak.
Seruling Samudera itu sebenarnya terjadi saat lubang di bebatuan mengeluarkan bunyi akibat tekanan air di bawahnya yang naik ke atas akibat gelombang. Jadi setelah bunyi suara akan disusul dengan semburan air ke atas beberapa meter. Semakin besar gelombang yang akan datang akan menimbulkan suara yang makin keras. Tapi itu dulu, kata pak Esdi sekarang bunyi yang keluar lebih banyak hanya berupa desisan keras karena beberapa lubang telah menjadi lebih besar. Mungkin akibat ombak terus menerus yang menggerusnya.

Suasana pantai Klayar saat sunset
Suasana pantai Klayar saat senja hari
Karena seharian di atas bukit, aku sekalian menjadi guide dadakan beberapa pengunjung yang ingin tahu Seruling Samudera. Cie..cie.. padahal aku cuma menyampaikan ulang apa yang aku denger dari pak Esdi. Asyik juga jadi guide gratisan sambil nungguin tas kamera kering dijemur. Bahkan kadang ikutan mas Wito dan Teguh komentar-komentar nakal kalau ada wisatawan cewe cantik dengan pakaian yang aduhai menggoda. Paling heboh kalau udah nemu pasangan beda usia jatuh kayak opa dan cucu yang asyik berpacaran di atas bukit. Tapi bukan menggoda mereka langsung lho ya, cuma celetukan nakal antar kami dan disambung dengan tawa terbahak-bahak.

..........................................................
Pantai Klayar sekarang tidak semenantang dulu, lokasi sekarang juga mudah dijangkau. Kondisi jalan bisa dibilang mulus lah, walau pun ada beberapa ruas jalan yang tergolong kecil tapi umumnya masih bisa dilewati bus besar. Tapi entah ada perjanjian tertentu. Sepertinya bis-bis besar yang mengangkut rombongan tidak bisa diijinkan sampai ke pantai hanya sampai di halte depan lokasi wisata Gua Gong. Di sana akhir bis-bis besar harus berhenti dan berganti naik sejenis omprengan untuk masuk ke dalam lokasi Pantai Klayar. Hanya kendaraan pribadi dan mini bis yang bisa masuk sampai ke lokasi pantai.

View pantai Klayar saat pagi
Penginapan dan warung-warung makan juga bisa dibilang cukup banyak. Walau pun jika bukan hari Minggu akan menghadapi kontradiksi, penginapan bisa ditawar dengan harga murah namun tempat makan jarang yang buka. Kemudahan-kemudahan inilah kenapa pada hari-hari libur bisa dibilang pantai ini akan padat pengunjung dari yang sekedar jalan-jalan sampai yang mau main off-road-an. 
Kendaraan roda tiga dengan ban tahu jika hari Minggu memang banyak bersliweran di sepanjang pantai menciptakan alur-alur panjang bekas roda. Bagi wisatawan, tentu fasilitas ini akan mempermudah mereka menikmati pantai. Apalagi kalau bareng hore-hore, fasilitas pantai ini akan membuat liburanmu di pantai tambah ceria.
Jika kalian adalah orang yang menyukai pantai yang tenang, lupakan pantai ini untuk didatangi di hari Minggu. Atau jika terlanjur mendatangi tempat ini, coba lah menunggu saat senja biasanya jumlah pengunjung sudah banyak berkurang. Apalagi saat bulan seperti ini posisi matahari posisinya condong ke selatan membuat penampakan matahari tampak jatuh tenggelam di horison laut.
Di antara waktu itu kalian bisa saja menyusuri beberapa titik lokasi yang masih jarang didatangi orang karena menurutku titik kumpul orang ke pantai ini yang disekitaran bukit batu itu. Ada beberapa lokasi yang cukup keren dan jarang yang didatangi karena lokasinya yang cukup sulit karena harus menuruni tebing menggunakan kayu sebagai tangga darurat.

Malemnya aku nginep di homestay punya pak Esdi yang dikelola sama anaknya mas Isni. Homestaynya terletak di bagian dalam paling dekat dengan bukit Klayar sebenarnya belum selesai pembangunannya. Hanya ada dua kamar, satu kamar sudah ditempati oleh sepasang suami istri yang sudah bermalam sejak Sabtu kemarin. Seperti halnya homestay di daerah wisata, umumnya mahal saat hari libur. Tapi kalau mau menginap bukan di hari libur harganya cenderung masih gampang ditawar. Tentu cara ini tidak cocok untuk orang yang liburannya bersamaan dengan hari libur.
Cara lain supaya tidak mendapatkan penginapan mahal ya menyewa satu homestay. Biasanya harga satu homestay ini akan dihitung lebih murah, dan pemilik juga biasanya gak repot menghitung berapa orang yang mau tinggal di dalamnya. Pinter-pinter kalian mengurus pembagian kamarnya saja.

...............................................................
Hari Senin aku baru balik kembali melanjutkan perjalanan setelah mampir dulu di Tanjung Klayar yang sudah aku tulis di tulisan sebelumnya.
Ternyata kembali harir Senin membawa kesulitan tersendiri. Tak ada satu pun kendaraan yang ada, bahkan satu motor ojek pun. Aku mencoba menunggu terminal yang juga menjadi tempat parkir angkutan omprengan dari dan ke pantai Klayar. Nihil, hanya ada satu dua kendaraan pribadi, itu pun baru sampai ke pantai ini bukan mau kembali. Bahkan dari pagi belum ada satu tempat makan pun yang buka untuk sekedar ngopi.

View pantai Klayar dari jalan masuk (dipotret dengan Blackview BV6000)
Akhirnya dengan menggendong ransel yang cukup berat aku berjalan keluar gerbang masuk tempat wisata. Sambil berharap ada kendaraan apa saja yang bisa aku tumpangi. Penjaga tiket pun bingung saat aku bertanya angkutan apa yang bisa mengantar aku kembali, dia malah bertanya balik bagaimana aku bisa sampai kesini. Karena mereka tahunya di luar hari libur kebanyakan yang kesini menggunakan kendaraan pribadi minimal motor karena semua kendaraan omprengan tidak ada yang masuk ke pantai Klayar kecuali hari libur itu pun statusnya dicanter dari awal.

Tunggu-tunggu-tunggu, eh ada orang naik motor masuk ke pantai Klayar menggoncengkan ibu-ibu. Waktu dia balik lagi, aku coba cegat tanya. Eh ternyata dia sedang memboncengkan istrinya yang berjualan di pantai. Dengan sedikit jujur memelas akhirnya mas Wanto mau mengantarku, malahan tanya kalau mau ditemeni masuk ke gua Gong.
Ternyata mas Wanto ini punya homestay di Klayar, lokasinya persis setelah gerbang masuk pembayaran tiket pantai Klayar. Dia sendiri punya penyewaan kendaraan off-road yang seperti aku tulis di depan, cuma dia bawa ke pantai Klayar saat hari Minggu atau hari libur saja

Karena lokasi untuk ganti kendaraan omprengan tepat di sebelah lokasi Gua Gong, jadilah aku mampir ke tempat ini. Sama seperti pantai Klayar, Gua Gong saat bukan hari libur seperti ini juga tergolong sepi. Beberapa guide yang biasanya agak agresif menawarkan jasa mengelilingi Gua Gong juga tidak terlalu antusias hari ini. Ah nanti saja kalau udah semangat lagi aku tuliskan tentang Gua Gong.

Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya