Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label Flores Timur. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Flores Timur. Tampilkan semua postingan

Rabu, 31 Oktober 2018

Mekko: Asa Dari Laut

Jump!! Meloncat dari perahu ke dalam Kolam raksasa | WWF Indonesia
Sudah dua malam aku menginap di rumah pak Jabar, dan selama itu pula aku merasakan sedikit menjadi orang Mekko. Setidaknya aku sudah tidak mandi dua hari ini hahaha... tidak usah terlalu melankolis, Nisa yang menjadi satu-satunya cewek dalam rombongan kami saja juga sukses tidak mandi. Yang para lelakinya gak usah ditanya lah. Kami kebetulan menjadi volunteer dari WWF untuk membantu masyarakat Mekko mengabadikan keindahan Taman Laut Mekko. 

Pak Bakri yang menjadi leader di Bangkit Muda-Mudi Mekko
Ada banyak cerita yang akan kami dengar hari ini: utamanya dari mereka yang sekarang tergabung dalam kelompok Bangkit Muda-Muda Mekko. Kelompok yang digawangi pak Bakri ini awalnya berangkat dari kelompok sepak bola di kampung Mekko. Tiap tahun mereka akan bertanding, kesulitan pertama adalah mengumpulkan dana untuk membiayai kegiatan mereka. 

Dari kelompok yang semula hanya berurusan bagaimana mencari dana untuk kegiatan sepak bola mereka, menjadi upaya mereka untuk dapat membuat pendanaan mandiri. Dan mata mereka melihat lebih jauh dari balik kampung ini. Mereka tinggal di tempat yang dikaruniai banyak potensi yang bisa mereka garap. Dan mereka yang menjadi pemilik dari semua keindahan itu hanya menjadi penonton selama ini. 

Ya, terbatasnya akses ke kampung mereka membuat masyarakat Mekko tidak bisa mengharapkan wisatawan yang berkunjung ke Mekko mendatangi kampung mereka. Itu baru masalah akses jalan dan alat transportasi, masalah utama yang mereka lawan justru dari kampung mereka sendiri. Menyadarkan nelayan untuk menghentikan penangkapan hiu adalah salah satu upaya tak mudah yang mereka lakukan. Upaya mereka untuk terlibat dari manfaat ekowisata laut Mekko bukannya jalan cepat, tapi jalan panjang yang harus mereka lalui beberapa tahun ini. 

Salam hiu dari Bangkit Muda-Mudi Mekko
Jauh sebelum upaya ini, dulu mereka juga bermasalah dengan penggunaan bahan peledak untuk menangkap ikan. Memang sekarang sudah tidak ada yang melakukannya lagi karena mereka sudah tahu kalau hal itu masuk kejahatan yang dapat dipidana. Namun sebagian terumbu karang di Mekko telah terlanjur hancur.

Dan saat ini adalah gong pertama yang mereka tabuh untuk memperkenalkan bahwa dari kampung ini telah siap orang-orang untuk memandu para wisatawan yang ingin menikmati keindahan Mekko. Leaflet tentang Muda-Mudi Mekko bisa klik disini.

Sebenarnya di Mekko tidak hanya bicara tentang gosong pasir yang putih menawan ataupun terumbu karangnya, atau tempat-tempat yang akan menghasilkan foto-foto yang 'instagramable'. Tidak seluruh yang indah dan menarik difoto kawasan Mekko bisa didatangi begitu saja oleh wisatawan. Ada beberapa tempat yang membutuhkan perlakuan khusus seperti kawasan anakan hiu, misalnya.  Ini beberapa destinasi yang ada di Mekko:


Pulau Pasir Putih 
Gosong pasir di Mekko yang ada hanya air, pasir putih dan langit
Ini adalah destinasi pertama yang paling dikenal masyarakat luar tentang Mekko. Ada yang menyebutnya gosong pasir. Gosong pasir adalah istilah untuk pulau pasir yang muncul saat laut surut. Namun memang gosong pasir di Mekko ini tidak benar-benar hilang walau saat puncak pasang, hanya saat pasang tinggi sekali saja seluruh pulau akan hilang. Jika pasang biasa, umumnya tidak seluruh gosong pasir ini hilang. Jadi gosong apa pulau? Ah, entahlah. 


Karena berupa gosong pasir, tentu saja seluruh kawasan ini berupa pasir putih saja di tengah laut dikelilingi warna air tosca dan kawasan terumbu karang di sekitarnya. Jika berkesempatan, para wisatawan bisa melihat kawanan burung yang memenuhi gosong pasir ini. 

Keindahan kawasan ini jempolan, terbukti daerah ini sering didatangi kapal wisata dan wisatawan asing. Wisatawan lokal lebih jarang karena faktor transportasi menuju ke tempat ini. Tentu keberadaan pemandu wisata lokal dari Mekko bisa membantu wisatawan menjadi lebih mudah menjangkau tempat ini. 

Di sebelah pulau pasir ini terdapat pulau Keroko yang katanya jika puncak surut dapat dilewati dari pulau Pasir Putih ke pulau Keroko. Sebenarnya di sekitar pantai ini pernah menjadi kawasan terumbu karang yang indah, namun sepertinya harus menunggu lebih lama sebelum kalian bisa menikmati terumbu karang di sekitar gosong pasir.

Kolam Renang Raksasa 
Kalau sudah masuk ke dalam jadinya lupa diri
Jangan bayangin ada yang bangun kolam renang di Mekko ya.. istilah kolam renang raksasa ini karena di tengah laut di depan pulau Keroko terdapat sebuah perairan luas yang dangkal dengan pasir putih rata. Jadi jika berada di sana serasa masuk di kolam renang yang besar. Kolam renang raksasa ini paling enak dinikmati bersama keluarga karena umumnya berombak tenang dan tentu saja tidak dalam. Bahkan pada saat puncak pasang sebagian besar perairan ini kedalamannya tidak lebih dari dua meter. 

Betah berendam di sini karena tidak kuatir tenggelam atau kaki terinjak karang. Hampir seluruh kawasan itu hanya berupa pasir putih saja, jadi tidak perlu kuatir kaki terluka karena menginjak karang yang tajam atau terkena bulu babi. Cerita tentang binatang ini, dulu aku pernah merasakan tertusuk durinya. Duh rasanya pegel gak ilang-ilang, jauh lebih pegel daripada nungguin bini belanja muter-muter di toko hahahha.

Hanya saja kadang-kadang dari batas kolam suka ada hiu yang lewat. Tapi tak usah kuatir, umumnya hiu di kawasan itu bukan tipe agresif yang menyerang manusia. Kadang kala beberapa hiu yang masih kecil yang lewat, tapi kemarin sempat lihat juga hiu yang sudah cukup besar lewat di pinggir kawasan ini.


Terumbu Karang Mekko 
Dengan kondisi perairan seperti Mekko ini, tentu saja keberadaan terumbu karang yang indah bukan hal yang mustahil. Dan di Mekko ini ada beberapa spot yang menawarkan keindahan terumbu karang. Ada spot terumbu karang yang cocok dengan snorkeling terutama yang kedalamannya di bawah tiga meter, dan ada spot terumbu karang yang lebih cocok untuk diving yang kedalamannya lebih dari tiga meter. 

Dulu kalau berniat ke Mekko untuk menikmati pemandangan terumbu karangnya, mau gak mau harus membawa peralatan sendiri. Inilah salah satu yang ditawarkan dari pemandu wisata dari Bangkit Muda-Mudi Mekko, mereka juga menyiapkan peralatan snorkeling lengkap sehingga wisatawan tidak perlu membawa peralatan sendiri. Oh iya ada pelampung juga terutama buat yang tidak bisa berenang, jadi walau tidak mahir berenang tetap bisa menikmati keindahan terumbu karang. Rugi lho kalau ke Mekko gak bisa menikmati keindahan terumbu karangnya. 

Kalau untuk yang berencana diving, memang tetap harus menyiapkan peralatan sendiri karena dari kelompok saat ini belum memiliki peralatan untuk diving. Mungkin saja mereka suatu saat nanti siapa tahu mereka dapat berkembang lebih jauh untuk menyediakan peralatan diving. 

Kawasan Anakan Hiu 
Ada kawasan yang menjadi habitat tempat tumbuhnya anakan hiu. Sebenarnya kawasan ini bukannya tempat wisata, jadi memang yang berniat untuk ke tempat ini harus dengan pemandu yang memahami karakter kawasan ini. Jika wisatawan dibiarkan ke tempat ini tanpa arahan, maka justru wisata akan berubah menjadi ancaman bagi keberlangsungan ekosistem di kawasan ini. 

Jadi untuk lokasi ini, wajib hukumnya menggunakan jasa pemandu, agar wisatawan tidak melakukan sesuatu yang kontraproduktif dengan tujuan wisata itu sendiri. Tentu saja, pemandu yang diperbolehkan seharusnya juga yang telah memahami benar bagaimana memperlakukan kawasan ini. Untungnya para pemandu wisata di Mekko telah dibekali kemampuan memandu di kawasan itu. 

Namun begitu, tetap diperlukan campur tangan pemerintah untuk bisa menetapkan area habitat anakan hiu ini sebagai kawasan konservasi sehingga wisata di tempat ini dibatasi sehingga mengganggu perkembangan habitat anakan hiu tersebut. 

Aku jadi teringat bagaimana susahnya perjalananku pertama ke tempat ini. Waktu itu aku hanya sampai di Waiwuring saja karena akses ke desa Pledo yang tidak dapat dilewati pada musim hujan. Dengan perahu laut dari Waiwuring kami menempuh perjalanan ke pulau Mekko selama satu jam-an. Aku hanya mengunjungi tempat-tempat wisatanya dan tidak berkunjung ke kampung Mekko. 

Dan kini, aku di atas mobil pickup yang mengantarkan kembali ke Larantuka. Kembali melewati jalanan yang langsung tertutup debu begitu roda mobil menggilasnya. Namun sekarang jauh lebih lebih baik, ruas jalan telah diperlebar. Akses jalan ke tempat ini sebentar lagi semoga akan bagus. Ada informasi katanya setelah pelebaran akan dilanjutkan dengan pengaspalan. Semoga...

Duh, aku akan merindukan tempat ini. Mungkin saat kembali ke sini aku tidak akan menemukan nikmatnya tidak mandi selama tiga hari. Juga nikmatnya hidup tanpa melihat smartphone yang sinyalnya susah dicari karena terlalu sering berlari. Juga menikmati perjalanan melibas debu tanah dengan mobil pickup di bawah terik matahari. Tak apalah, saat semua akses itu ada, kesempat mereka untuk menikmati air untuk mandi, sinyal untuk menelepon... dan aku kembali mencari tempat susah sinyal untuk didatangi. 

Om Ayom yang kalau sudah petik gitar suka lupa diri
Mekko telah jauh meninggalkan kami, tersamar pandang oleh debu tanah yang tergilas roda. Namun keindahannya dan keramahannya tak pernah hilang. Bait-bait syair yang didendangkan om Ayub di pinggir pantai tentang Mekko kembali terdengar: 

Ayo ke Mekko.. 

Mekko di Pledo 
Pulau Pasir di Mekko .. 
Habitat Hiu di Mekko 
Terumbu karang terjaga 
Hamparan bakau terjaga 
Begitu indah alamnya, menenangkan jiwa 

Ayo ke Mekko 

Pulau kalong di Mekko 
Jingga senja menawan 
Menikmati alamnya bersama-sama penghuninya 

Alam Mekko yang indah 
Kami selalu menjaga 
Demi generasi kita 

Ayo bersama jaga Ayo ke Mekko..  Mekko di Flotim 

nb. Terima kasih untuk temen-temen yang bersama-sama berbagi cerita yang tidak pernah terlupakan tentang rasanya tidak mandi, tidak pake hape dan makan nasi pake kopi: kang Tardi Sarwan dan blognya Bentang Alam Semesta, Nisa Syahidah, pungga telusuri.id yang always selalu berkaos merah om Syukron, dua videografer yang bersedia foto 'nude' Yanuar dan Chafiz 
Sebagian foto yang bukan milik sendiri telah mendapatkan persetujuan WWF Indonesia untuk digunakan di tulisan ini.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 16 Oktober 2018

Wajah Kampung Mekko


Wajah polosnya yang kusam karena sering terpapar matahari tidak mengurangi kecantikannya. Matanya yang besar dengan bulu mata lentik tampak bersinar senang menutupi senyum malu-malu saat lensaku mengarah ke wajahnya. Namun begitu melihat wajah mereka sendiri di layar kamera seketika suara mereka menjadi riuh. Kepolosan mereka begitu alami, mereka begitu menikmati hidup disini, ditengah segala keterbatasan yang ada. Dunia mereka memang bukan dunia pura-pura, kebahagiaan dan kesedihan mereka akan terpancar apa adanya. 

 Aku menatap ke ujung dermaga, menunggu sang matahari terbit dan memamerkan cahaya kekuningan ke seluruh penjuru. Beberapa orang duduk di pantai sambil bernyanyi, anak-anak muda desa Pledo bermalam di sini. Beberapa sampan masih berjajar di sepanjang dermaga. Masih banyak sampan yang berlabuh di sepanjang pantai di sisi lain dermaga. Kata pak Said, beberapa hari ini angin sedang tidak bersahabat sehingga hasil tangkapan minim. Mereka hanya bisa mencari ikan di perairan yang agak ke dalam karena di perairan luar ombaknya terlalu kencang. 

Oh ya, tentang orang-orang yang berkumpul di dermaga itu. Aku bahkan mendengar suara mereka bernyanyi dari tengah malam sampai menjelang pagi. Kemarin memang ada hajat besar di dusun Mekko yang membuat keramaian hingga tengah malam. Kalian tahu kan, di tempat terpencil yang minim hiburan seperti ini. Acara apapun adalah kesempatan yang tak disia-siakan. Hajatan dari desa Pledo pun bahkan didatangi oleh masyarakat dari dusun-dusun lain di desa Pledo. 

Selepas dermaga dusun Mekko terbentang segenap keindahan alam yang akan membuat siapa pun terpukau: gosong pasir putih, kolam renang raksasa, pulau yang dipenuhi ratusan kelelawar, dan tentu saja air sebening tosca. Jangan tanya dengan terumbu karangnya yang masih keindahannya masih terjaga. Lihat saja kawanan anakan hiu yang ada di tempat ini, itu pertanda bahwa kawasan pulau Mekko ini masih memiliki sumber makanan bagi para predator. Dan semua itu masih asli. 

Tapi coba tengoklah ke belakang, di tanah berpasir kering dimana puluhan rumah berdiri disebuah kampung yang mereka panggil MEKKO. Rumah-rumah petak yang sebagian dari kayu dan pelepah pohon aren, sebagian besar berukuran kecil. Kebanyakan rumah dibangun begitu saja di mana ada tanah kosong, jadi tampak agak berantakan. Di dusun Mekko ini kalau tidak salah ada sekitar 70-an KK. 

Umumnya mereka bermata pencaharian sebagai nelayan. Orang-orang Mekko adalah nelayan tangguh karena mereka adalah orang Bajo (:Bajau). Mereka bukan hanya ulung dalam mencari ikan dengan pancing dan jala, mereka juga ulung mencari ikan dengan menyelam. 

Kemampuan menyelam ini pernah dituturkan pak Said, bahwa beberapa nelayan yang sudah mahir menyelam untuk mencari ikan biasa sekali menyelam ke bawah bisa sampai 10-20 menit. Ini bukan sebuah kisah dongeng belaka. Aku pernah menyaksikan sendiri mereka menyelam ke bawah dan bermenit-menit tidak keluar dari air. Penelitian tentang kemampuan orang Bajo menyelam lama dan melihat jelas dalam air tanpa bantuan alat-alat modern ini pernah diteliti oleh peneliti Lembaga Biologi Molekuker Eijkman Pradiptajati Kusuma bersama timnya yang jurnalnya terbit di European Journal of Human Genetics. Menurut penelitian itu, kebiasaan mereka menyelam dan melihat ke dalam air sudah diwariskan secara genetik. Keahlian itu bisa dilacak dengan melihat jejak adaptasi pada gen, khususnya gen yang berhubungan dengan fungsi mata dan paru-paru. 

Bukankah dengan kemampuan itu mereka amat mudah mencari penghidupan dari laut? Ya, dulunya mereka dengan mudah mencari ikan dan binatang-binatang laut yang dapat dijual atau dikonsumsi. Ada masa-masa keemasan, yaitu saat terjadi booming makanan dengan menggunakan bahan sirip hiu. Pada saat itu permintaan hiu untuk diambil siripnya meningkat. orang dari Surabaya bahkan rela berkeliling jauh ke dalam pelosok NTT untuk mencari bahan makanan yang dipercaya memiliki banyak khasiat. Mitos khasiat sirip hiu seperti menjaga tubuh sehat dan awet muda, meningkatkan kejantanan pria, dan sialnya mitos seperti itu seperti sekam di atas api yang makin ditiup makin membakar. 


 Hiu-hiu yang tertangkap biasanya dijual ke pedagang khusus diambil sirip hiunya. Sisa dagingnya mereka jual di pasar atau dibarter dengan sayur-mayur atau kebutuhan pokok lain dari masyarakat kampung atas, istilah untuk masyarakat yang tidak berprofesi sebagai nelayan tapi sebagai petani atau peladang. Cerita pak Said, bahkan tengkulak tak akan keberatan datang langsung ke Mekko jika ada hari itu ada banyak tangkapan hiu. Hilir mudik transaksi hiu ini pelahan menguras jumlah hiu yang hidup di perairan Mekko. 

Untunglah penangkapan hiu pelahan berkurang sampai kemudian berhenti sama sekali. Sosialisasi sampai kemudian ancaman dari pemerintah membuat satu demi satu nelayan melepaskan mata pencahariannya sebagai penangkap hiu. Kadang mereka saat tangkapan ikan kurang bagus masih terpancing untuk kembali menangkap hiu. Namun karena kegiatan memperdagangkan hiu dianggap kegiatan ilegal, perdagangan sirip hiu juga makin meredup hingga nyaris tidak ada lagi pedagang yang datang untuk mencari sirip hiu. 

 Pagi itu aku melihat ibu Jumra, anak perempuan Pak Daeng sedang memperbaiki sebuah jala. Katanya, jala itu robek saat beberapa hari jala mereka tanpa sengaja menangkap hiu. Gigi Hiu yang tajam dengan mudah merobek jala yang mereka pasang karena ukuran talinya kecil. Apakah hiu tak bisa ditangkap dengan jaring itu? Tanyaku polos. Ibu Jumra tertawa, katanya cuma hiu kecil yang mungkin bisa ditangkap dengan jala seperti ini. Mereka menunjukkan di dinding belakang rumah jala yang khusus untuk menangkap hiu. Oh rupanya jala untuk menangkap hiu talinya berukuran lebih besar dan mata jalanya juga besar-besar. 

Jala-jala dengan mata besar digantikan dengan jala bermata kecil, namun hiu-hiu yang dulu tertangkap tidak digantikan begitu saja dengan ikan-ikan lainnya. Menangkap ikan biasa tidak langsung menggantikan nilainya dibanding menangkap hiu. Satu-dua hiu yang tertangkap oleh nelayan sudah menghasilkan untung bagi mereka. Apalagi pada saat tertentu mereka bisa menangkap hiu sampai sepuluh sebelas ekor dalam sehari. Dan sekarang mereka mengeluhkan sulitnya menangkap ikan biasa. Mereka tidak tahu, bahwa hiu-hiu yang mereka tangkap tanpa sadari telah salah satu yang membuat jumlah ikan di kawasan itu berkurang jumlahnya. 

Hiu-hiu yang ada di sebuah kawasan perairan adalah puncak rantai makanan. Mereka bukan dipandang sebagai penyantap habis ikan, mereka menjadi satu kesatuan dari ekosistem di kawasan perairan itu. Penangkapan berlebihan hiu yang ada pada gilirannya akan merusak keseimbangan ekosistem itu, dan berujung pada berkurangnya jumlah ikan di perairan itu.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 05 Juli 2018

Selamat Pagi dari Pantai Oa

Pagi melintas di Pantai Oa
Seorang nelayan melintas di pagi hari
Pelahan kabut di pantai mulai naik menutupi pemandangan perbukitan di kaki gunung Lewotobi. Bukan, kabut itu bukan dari atas tapi dari air laut dingin yang menguap terkena sinar matahari. Tidak terlalu tebal karena matahari masih sangat leluasa menerobos. Pemandangan pagi hari yang aku liat saat itu sungguh membuatku terdiam. Sering kutemui laut biru tosca dengan pasir putih tapi suasana seperti ini tidak setiap hari aku akan melihatnya.

Pemandangan Pantai Oa berlatar kabut dan gunung Lewotobi
Beruntung aku dapat menginjakkan kaki di putihnya pasir pantai ini. Pantai Oa seperti punya daya magis tersendiri, bagi kalian yang bersedia membuang kantuk dan menghampirinya. Walau memang ini bulan bukan waktu terbaik untuk melihat matahari terbit. Bulan Juni matahari terbit posisi sedang diantara celah pulau Solor dan Adonara sehingga aku tidak mendapatkan momen matahari terbit dari ufuk timur. Menurut pak Yan, sekitar bulan September ke atas barulah matahari bisa nampak jelas karena terbit dari horison laut.

Selamat Pagi dari Pantai yang Sunyi 
Pagi yang dingin di Pantai Oa
Pagi ini pantai Oa memang masih sepi, sebagian besar perahu masih tersimpan di masing-masing gubuk. Sedari aku bangun pagi tadi, hanya ada dua nelayan yang datang untuk melaut. Aku dan Tardi ikut juga membantu mengangkat perahu untuk memindahkannya ke pantai.

Apakah mereka malas melaut? Bukan, tapi hari ini adalah Minggu yang artinya masyarakat desa tentu masih harus pergi ke gereja sebelum menjalani aktivitas nelayannya. Menurut cerita pak Yan, dulunya jam gereja itu jam delapan sehingga masyarakat biasanya pagi-pagi bisa melaut dulu sebelum ke gereja. Namun rupanya ini menyebabkan jemaat gereka berkurang. Makanya dari kesepakatan desa Pantaioa, akhirnya jadwal ibadah ke gereja digeser ke jam enam supaya tidak ada warga yang tidak sempat pergi ke gereja. Pastilah saat ini mereka sedang ibadah di gereja.
 

Bahkan sampai matahari naik melewati celah antara pulau Adonara dan pulau Solor tetap tidak ada aktivitas nelayan. Selepas matahari meninggi pun hanya ada satu nelayan yang turun melaut dengan menggunakan jala di pinggir pantai.

Perjalanan Tak Direncanakan
Bekerja tak harus di kantor kan
Perjalanan ke pantai Oa sesungguhnya tak direncanakan, atau rencana dadakan. Sehari sebelumnya sekitar jam satu siang saat itu kami masih berdiri di atas perahu yang akan menghantarkan kami ke Larantuka. Lupakan gunung Batu Tara yang sudah kami rencanakan, ombak laut saat ini sedang tidak bersahabat. Teman kami, pak Said, seorang nelayan yang biasa mengantar tamu dengan perahunya sanksi kami bisa menjangkau Batu Tara saat ini. "Gelombang baru besar sekarang pak, taruhan nyawa kalau kesana," katanya.

Di kepalaku beredar beberapa tempat yang mungkin belum kukunjungi. Tak ada ide, beberapa tahun ini aku jarang menginjakkan tanah di pulau Flores membuatku sedikit pikun tentang lokasi-lokasi baru yang belum aku kunjungi. Tardi lah yang memberikan ide untuk menginap di pantai Oa. Pak Ayom yang pernah bertugas disana untuk pendataan. Katanya tempatnya bagus dan masih tenang, dan terutama masih belum banyak dieksplore. Apa yang paling menarik disana? Pasir putih, matahari terbit... bukan.. tapi disana masih belum ada sinyal.. asyik banget kan, karena seasyik-asyiknya tempat itu belum asyik banget kalau masih ada sinyal hihihi...

Gubuk untuk menyimpan perahu nelayan
Aku mulai jalan jam setengah empat, dengan jarak yang aku perkirakan sekitar dua jam-an mungkin sebelum gelap kami sudah sampai. Emang lagi sial, belum setengah jalan motor yang aku pinjam bannya kempes. Apesnya, posisi kami saat itu di tengah-tengah jalan yang jauh dari perkampungan. Aku lupa nama tempatnya. Akhirnya nelpon om Umbu buat dapet motor pengganti. Hampir satu jam menunggu barulah om Umbu datang sendirian.

Suasana pagi yang tenang di Pantai Oa
Selepas Maghrib barulah kami merasakan hawa dingin yang menyusup ke dalam jaket. Rupanya kami baru sampai Boru. Boru yang berada di kaki gunung Lewotobi memang hawanya sejuk sehingga tampak menghijau sepanjang tahun. Kami mampir makan di satu-satunya warung Padang yang menunya seperti warung Jawa di Boru.

Saat jalan malam itulah aku baru menyadari kalau lampu depan tidak ada covernya sehingga tidak ada reflektor pengumpul cahaya. Karuan saja aku gak bisa melarikan motor kencang. Bayangkan saja motor jalan malam dengan lampu yang jangkauannya pendek dengan kondisi jalan nyaris tanpa penerangan. Tambahan lagi jalannya tidak memiliki marka jalan yang berupa garis putih di sepanjang jalan untuk penanda.

Memasang Tenda Malam Hari
Kami memasang tenda sekitar jam sepuluh malam ditemui pak Yan. Untunglah bulan masih cukup besar sehingga menerangi pantai ini sehingga tidak terlalu gelap. Barulah setengah jam kemudian setelah ngobrol beberapa saat pak Yan pamit meninggalkan kami dengan janji besok pagi dia atau anaknya Elthon akan menemui kami.

Memasang tenda untuk bermalam di Pantai Oa
Saat kami tiba bulan sudah muncul. Kurang beruntung, padahal di jalan kami sempat melihat milkyway yang sangat jelas terlihat karena langit yang tidak berawan. Mungkin aku harus kesini lagi dan berharap keberuntungan berikutnya membuatku bisa memotret milkyway di Pantai Oa.

View pantai Oa diterangi bulan
Agak malam datang seorang pria tua dengan wanita muda yang sepertinya anak perempuannya. Dugaannya kami tidak keliru, saat ngobrol bapak tua itu mengatakan kalau mengantar anaknya ke pantai untuk menelepon. Pantas saja, sementara kami mengobrol, wanita muda muda itu tampak berkutat memencet-mencet hape di dekat salah satu pohon. Kata pak tua, di desa nyaris tidak ada sinyal. Untuk bisa mendapatkan sinyal harus ke pantai ini. Itu pun hanya beberapa titik dekat pohon yang bisa mendapatkan sinyal dan selebihnya hanya spot kosong. Mungkin kalian sangsi hal ini. Tapi percayalah saat kamu berkerumun di salah satu pohon untuk mendapatkan sinyal, saat itu kalian percaya bahwa sinyal juga pilih-pilih tempat nongkrong.

Setelah itu pantai kembali sepi dan menyisakan kami berdua ditemani bulan yang juga belum naik terlalu tinggi dari batas horison. Karena kami sudah kenyang tentu saja tinggal acara terakhir: Tidur.

Bagaimana Menuju Kesana
Entah kenapa, Google Maps tidak dapat menunjukkan petunjuk arah dari Larantuka menuju PantaiOa. Jadi untuk dapat memperkirakan jalur jalannya aku mencoba mencari arah jalan Larantuka - Pantai Waiokang baru aku perkiraan jika belok di titik tertentu.


Jadi jika berangkat dari Larantuka arahkan ke Selatan jalur Larantuka-Maumere, ikuti jalan sampai ke pertigaan Kantor BRI daerah Boru. Dari sana belok masuk ke kiri menuju ke pasar Boru.

Bulan mengintip di sela pepohonan
Dari pasar ikuti jalan ke kanan terus sampai nanti bertemu dengan pertigaan Desa Lewa. Ambil jalan yang sebelah kanan, kondisinya agak jelek beberapa puluh meter lalu jalan akan kembali bagus. Nanti selepas sekolah dan menara telekomunikasi akan bertemu cabang jalan didaerah persawahan/kebun berupa jalan rabat di sebelah kiri. Masuk ke jalan rabat tersebut beberapa kilometer nanti akan sampai ke desa Pantioa.

Desa pantai Oa sendiri terletak di daerah tanjung selatan Flores. Ada dua pantai di sana: (1) Pantai Oa yang berada di teluk menghadap ke Timur, cocok untuk melihat matahari terbit, (2) Pantai Roka, yang menghadap di sisi lain desa Pantaioa, cocok untuk melihat matahari terbenam. Tapi aku sendiri batal mengunjungi pantai Rako.

Jika kalian membutuhkan orang di desa Pantaioa yang dapat dikontak silahkan hubungi pak Yan (hape: 0822-4780-7816) atau anaknya pak Elton (hape: 0822-3697-2273 | email: nikolaus_tapun@gmail.com | ig: @nikolaus_tapun). Tapi sebaliknya kirim pesan dulu karena desa Pantaioa belum ada sinyal karena sinyal disana sangat pemilih.. nunggu yang cocok baru dia kasih sinyal. Dan satu lagi, jangan marah kalau balasannya lama, maklum harus nunggu dapat sinyal dulu kaka.
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 26 Juni 2018

Wisata Meko Waktunya Berbenah


Beberapa waktu lalu temen WWF si Tardi yang kasih pesen "Yuk, ikut bantu nulis tentang Meko, kita mau launching perdana pusat informasi dan paket wisata Taman Laut Pulau Meko".. Well, it's really excited me. Ajakannya sungguh menggodaku. Bayangkan dulu kami untuk bisa menjangkau Meko harus melakukan perjalanan yang cukup sulit. Kami waktu itu hanya mendapatkan informasi sepotong-sepotong tentang Meko. Tidak ada informasi jelas bagaimana cara kami kesana. Bahkan setelah menyeberang ke Adonara pun masih harus tanya-tanya ke penumpang lain yang punya informasi tentang Meko.

Beningnya pantai di Kepulauan Meko
Susahnya menuju ke Meko pada waktu itu, kondisi jalan yang belum bagus dan informasi yang minim. Makanya waktu itu kami memilih hanya sampai ke kampung Waiwuring, baru menyewa perahu untuk sampai ke Kepulauan Meko. Ya untungnya kami masih punya jiwa kluyuran yang tidak masalah dengan kesulitan. Tapi tentu berbeda dengan traveler umum yang tidak selalu mau menempuh kesulitan seperti kami. 

Buat kalian yang ingin membaca ceritaku waktu ke tempat ini bisa menbaca tulisanku disini: Mengejar Pasir di Kepulauan Meko.

Tempat yang punya gosong pasir putih ini emang keren banget, dan pastinya waktu itu belum banyak tereksplore. Pada waktu itu kami ya lebih banyak menikmati pantai dan gosong pasirnya. Taman lautnya yang keren cuma bisa kita lirik dari atas perahu. Apa daya waktu itu kami tidak punya peralatan snorkling untuk bisa menjelajahi cantiknya taman laut di Meko.

Kondisi infrastruktur dan kesiapan masyarakat di sekitar Taman Laut Pulau Meko membuat kekayaan alam Meko tidak banyak memberi manfaat untuk masyarakat Meko sendiri, yaitu masyarakat desa Pledo. 

Ajakannya tentu tak perlu ditanyakan dua kali, kecuali tentu saja masalah cuti yang harus aku bereskan hehehe. Tak sabar aku menunggu tanggal 28 Juni ini untuk kembali ke Meko.
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 23 Januari 2016

Mengejar Pasir di Kepulauan Mekko

Bersandar di pulau Meko Adonara
Bersandar di pulau Keroko salah satu  pulau di Kepulauan Meko, Adonara
Gosong lagi gosong lagi... dan lagi-lagi perjalanan kali ini bikin gosong kulit, bahkan rasa terbakar di tengkuk, tangan dan kaki masih terasa lebih dari dua hari. Tapi itu sepadan dengan perjalanan seharian yang aku lakukan di pulau Adonara. Apakah karena lokasinya bagus? Ya emang lokasinya bagus tapi bukan karena itu. Saat kita memilih berjalan, sebenarnya perjalanan itu sendiri tujuannya. Lokasi yang dituju itu hanya persinggahannya toh akhirnya juga balik bukan menetap di lokasi itu kan.


Perjalanan kali ini yang punya hajat temen pak Dib yang sudah dikenal dengan sebutan 'pakde'. Pakde ini yang lagi ngotot-ngototnya pengen ke Adonara, mau kemana aja asal udah menginjakkan kaki ke Adonara. Lah waktu aku tanya di Adonara mau kemana juga dia gak tau pokoknya sampai Adonara. Aku curiga Pakde nih lagi menggenapkan nadzar-nya buat menginjakkan semua pulau di Nusa Tenggara Timur sebelum balik ke Surabaya. Menurutku sih posisi bulan yang baru separo bukan waktu yang tepat karena posisi puncak surut pasti terjadi tengah hari. Semangat Pakde memang udah diubun-ubun jadi kita ngalah aja, yah tapi tetep happy lah.. siapa sih yang gak happy jalan-jalan biar pun udah kebayang panasnya saat bulan-bulan begini. 
Buat yang belum tau, di wilayah NTT saat ini sedang dilanda badai el Nino yang kata para ahli di BMKG mengakibatkan penurunan curah hujan dan itu bisa terjadi sampai akhir Februari. Bayangin aja gilanya kalau NTT yang udah pasti lebih panas saat musim penghujan bakalan tambah lebih panas kalau hujannya juga ogah turun. Padahal matahari di NTT itu lebih deket dari pada di Jawa, iya beneran.. bulan Desember-Januari kan posisi matahari lagi di puncak miring ke Selatan. Ah lagian ngapain aku ngurusin panas yang emang dari sono begitu.. pokoknya kita jalan...

Gagal Nyeberang ke Waiwerang
View laut di salah satu tiang dermaga di Waiwerang
Hari Sabtu pagi, setelah sarapan nasi goreng di hotel kita berempat: aku, Pakde, Idil dan Yudha meluncur ke Pelabuhan Larantuka sekitar jam tujuh lewat pakai motor pinjeman: tanpa plat dan gak ada esteneka. Udah kuatir aja sih karena ke dermaga musti melewati kantor polisi. Belum lagi cuma dapet pinjeman dua helm, artinya cuma yang di depan yang pakai. Yang depan pakai helm, yang belakang pakai doa "moga-moga selamat". Sempat mampir cari topi karena serba dadakan jadi gak ada yang bawa topi. Aku yang bahkan kemana-mana selalu pake topi jelajah pun gak tau kemana tuh topi tiba-tiba hilang saat dibutuhkan seperti ini. Emang gitu, saat dicuekin nongol melulu, giliran dibutuhin sok jual mahal pakai menghilang segala.
Pas nyampe di Pelabuhan untungnya kapal yang jadwalnya dari Larantuka - Waiwerang - Lewoleba masih ada yang memang jadwalnya berangkat jam setengah delapan pagi. Sayangnya bagian dek kapal dua lantai sudah penuh dengan motor jadi hanya orang yang bisa masuk. Daripada menunggu kapal berikutnya yang baru tiba nanti siang, akhirnya kami memutuskan naik perahu lebih kecil menuju ke Tobilota. Kalau dari Pelabuhan Larantuka menuju Waiwerang sekitar satu setengah jam, dari Pelabuhan ke Tobilota hanya sekitar sepuluh menit. Ya jauh lebih dekat karena cuma menyeberang saja, berbeda dengan Waiwerang yang letaknya di Adonara Timur jadi harus memutari setengah pulau Adonara. 

Menyeberang dari Larantuka ke Tobilota
Duduk di depan perahu yang menuju dermaga Tobilota
Cuma ya itu, dari Tobilota menuju ke Meko itu sama dengan perjalanan membelah Adonara. Ada yang menyarankan kita dari Tobilota ke Waiwerang lewat Terong yang bisa ditempuh satu jam tapi kondisi jalannya katanya jelek (akhirnya kami buktikan saat kembali). Karena arah tujuan kami Meko, seorang bapak-bapak yang ngajak ngobrol kami di kapal menyarankan kami menuju Witihama karena kebetulan bapak itu juga tinggal di Witihama.
Perjalanan dari Tobilota ke Witihama kita tempuh sekitar hampir tiga jam, karena walaupun beberaa ruas jalan sudah diperbaiki tapi jalan-jalan di perkampungannya masih banyak yang sudah rusak. Ada jalur menurun yang paling sulit dari kampung Kelubagolit ke Witihama karena itu jalan hanya bisa dilewati satu arus karena kondisinya yang sangat rusak. Kami harus menunggu kendaraan dari bawah naik semua baru kendaraan searah arus kami bisa lewat. Aku sampai minta Idil untuk turun karena kondisi jalan yang sulit seperti itu.
Dalam perjalanan kami terus bertanya ke penduduk jika sudah mulai kebingungan. Kami bertemu seorang pria muda yang asli dari Adonara yang katanya kerja Larantuka di penagihan kredit. Untungnya dia dengan suka rela mengantar kami bahkan sampai masuk ke dalam. Di pertigaan, dia tunjukkan arah jalan ke Meko tapi dia menyarankan tidak lewat kesana karena walau bisa ditempuh pakai motor tapi kondisi jalannya parah banget. Dia lebih menyarankan aku ke arah Waiwuring yang tidak seberapa jauh lagi.

Pasir Putih di Kepulauan Meko
Narsis di Nuha Pasir Putih di wilayah Adonara
Narsis ria di pulau pasir putih yang kepulauan Meko
Kami diantarkan ke seorang nelayan di kampung Waiwuring yang menyebut namanya Mat, katanya berasal Sulawesi di daerah Wakatobi. Karena perjalanan ke sana sekitar memakan satu jam jadi kita sepakat harga 250ribu. 
Sekitar jam sebelas lewat kami berangkat dengan perahu kecil milik pak Mat. Supaya seimbang, dua harus di depan dan dua lagi di belakang. Untuk perjalanan berangkat, aku dan Pakde kebagian di depan, kata pak Mat biar gampang buat ngambil foto. Pakde pakai jaket sementara aku pake rompi dan baju lengan pendek. Gara-gara pakaian ini dan duduk di depan perahu saat terik yang akhirnya sukses membakar kulit lenganku sampai gelap naik 5 level dari gelap menjadi guelaaaap bangeeeeetttt.
Perjalanan pakai perahu dari Waiwerang sampai ke kepulauan Meko memakan waktu 50 menitan. Tanning 50 menit memang joss, mau coba? Sepanjang perjalanan itu aku menemukan beberapa pasir putih yang timbul di tengah laut dan dipenuhi burung belibis dan bangau.

View dari satu-satunya bukit di pulau Keroko
Di kepulauan Meko ini terdapat 4 pulau, dua pulau yang pertama tampak yaitu pulau Konawe dan Ipet. Kedua pulau ini tampak seperti satu pulau yang terpisah dengan dibatasi bakau. Sedangkan dua pulau kecil di bagian luar yaitu pulau Keroko dan Watupeni. Nah diantara pulau ini ada sebuah daratan pasir putih yang hanya muncul saat laur surut yang mereka sebut "Nuha Pasir Putih". Pulau ini di foto teman termasuk pulau yang sering dipenuhi burung-burung seperti belibis dan bangau berkumpul. Dan benar saja, justru siang ini pas puncak surut sehingga pulau pasir itu jadi tampak luas, sayangnya minus burung-burung itu. Mungkin perahu yang datang terlebih dulu sebelum rombonganku yang membuat burung-burung di pulau itu kabur. Disekeliling pulau ini dipenuhi warna toska dan kehijauan menunjukkan daerah ini banyak yang merupakan perairan dangkal. Tapi memang kami gak bisa berlama-lama, gak tahan merasakan panasnya di pulau yang hanya berupa pasir putih tanpa ada satu tumbuhan pun. Tak lama kemudian setelah Pakde bernarsis kekinian kami naik kembali ke perahu. 

Bersandar di salah satu pulau di kepulauan Meko
Bersandar di pulau Keroko yang jernih
Saya minta ke pak Mat supaya ke pulau depan yang juga berpasir putih yang ternyata bernama pulau Keroko. Karena perairan dangkal sekali kami tidak bisa langsung lurus tapi berputar keluar di perairan yang lebih dalam. Setelah agak dekat barulah mesin perahu dimatikan dan dari depan pak Mat menggunakan galah bambu untuk mendorong perahu ke tepi. Mendekati pulau, kawasan ini tampak berserakan di bawah air terumbu-terumbu karang yang masih cantik. Memang di daerah yang sangat dangkal banyak kumpulan warna hitam yang berisi puluhan bulu babi yang kalau terinjak serasa ditusuk sengat lebah.
Di sini pun kami tidak lama karena sekarang harus mengejar kapal dari Lembata-Larantuka yang singgah Waiwerang. Sesuai jadwalku sebelumnya, biasanya kapal terakhir menuju Larantuka itu jam setengah tiga. Perjalanan pulang sempat kena gerimis, untungnya tak berubah menjadi deras, aku gak bisa membayangkan asyiknya perjuangan perahu melewati selat yang dikenal arusnya ini jika ada hujan lebat di tengah lautan.

Mampir ke Pantai Inaburak Sebelum Pulang
Pantai Inaburak saat mulai pasang kembali
Kamu sudah balik ke Waiwerang jam hampir mendekati jam jarum tiga. Awalnya mau mampir ke rumah pak Mat supaya bisa duduk-duduk, solat dan makan siang sebentar namun karena itu berarti kita tidak akan mendapatkan kesempatan mengejar kapal di Waiwerang. Akhirnya kita berempat sepakat langsung berangkat ke Waiwerang. Kata pak Mat ke Waiwerang tidak sampai satu jam karena kondisi jalan sekarang sudah bagus.
Sebenarnya ada jalan potong yang pernah aku gunakan dulu waktu ke Waiwuring tapi sayangnya medannya lewat perkebunan kelapa dan lewat sungai. Terus terang aku sendiri tidak bisa mengingatnya. Akhirnya kami memilih jalur balik Witihama sampai Kelubagolit baru belok ke kiri menyusuri jalan aspal yang kadang-kadang bagus, kadang-kadang jelek, dan sebagiannya lagi jelek sekali.

Di atas puncak salah satu karang pantai Inaburak
Di atas puncak salah satu karang pantai Inaburak
Walaupun sudah dikejar, ternyata kami baru sampai sekitar jam dua lewat 50 menit. Dan itu artinya kami kehilangan kesempatan naik kapal. Duh harus jalan darat lagi ke Tobilota untuk sampai ke Larantuka. Gak ada pilihan, kami tetap harus ke Larantuka karena besok Minggu pagi-pagi kami harus naik pesawat untuk kembali ke Kupang. Kata penduduk setempat, kalau di Tobilota ada banyak kapal sampai jam tujuh malam.
Karena sudah terlanjur akhirnya aku menyarankan supaya bisa mengunjungi satu lokasi lagi sebelum ke Tobilota dan itu adalah pantai Inaburak yang pernah aku tulis disini: Pantai Ina Bura di pulau Adonara.. Pantai ini kalau dari Waiwerang tidak terlalu jauh mungkin sekitar 20-30 menit saja. Jadi kita bergerak balik ke arah Witihama, nanti ada pertigaan jalan aspal pilih ke kanan ke arah kecamatan Ile Boleng. Sekali lagi tanya penduduk saja karena tidak papan petunjuk ke sini. Jika nanti melihat papan petunjuk jalan lokasi Pantai Watutena nah berarti satu percabangan di depan itu setelahnya itulah pantai Inaburak. Kedua pantai ini sebenarnya bersebelahan cuma dipisahkan batu karang.

Suasana pantai Inaburak, Adonara
View Inaburak yang aku foto sebelumnya
Perjalanan balik ke Tobilota melewati Lamahala dan Terong memang lebih dekat sekitar satu jam lebih sedikit. Cuma jalannya emang hancur banget, aku yang sekarang jadi pembonceng harus merasakan bijiku rasanya mau lepas saat motor yang seenaknya melibas jalan yang aspalnya udah berantakan terkelupas tanpa rem. Untung bijiku cuma dua, kalau bijiku banyak kayak anggur jangan-jangan juga rontok semua. Biji apa sih kaka? Biji mata ..... :D
Untungnya kapal terakhir yang ternyata kapal yang sama mengantarku ke sini masih ada. Emang jodoh, dia katanya juga nunggu-nunggu motor untuk naik. Akhirnya memang kapal itu cuma angkut dua motor punya kita makanya minta 70rebu untuk dua motor dan penumpangnya. Udahlah, yang penting kita bisa jalan balik biar gak ketinggalan pesawat.
Kalau dihitung jumlah kecamatan yang kami singgahi ternyata sudah enam: Adonara Barat, Adonara, Adonara TImur, Klubagolit, Witihama dan Ile Boleng. Hahaha sungguh perjalanan asyik hari itu bisa mengelilingi Adonara selama seharian.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 19 November 2015

Ada Pulau Pasir di Pantai Meting Doeng

Pulau pasir di pantai Meting Doeng Larantuka
Yudha dan Winner lupa diri di pulau pasir Meting Doeng
Sebuah daratan pasir kecil menyembul saat air laut surut jauh menciptakan pulau kecil berpasir putih yang dikelilingi air laut biru terang, duh asli cakep banget dah. Kalau kamu cewe bawa kursi dan payung trus tiduran pake bikini (mata menyala terang), maka kamu serasa ada di sebuah pulau pribadi yang tidak ada siapapun kecuali dirimu dan samudera yang luas. Dan pulau pasir itu aku temukan dari tempat yang sering kali aku datangi tapi tidak kusadari adanya pulau pasir itu. 

Pantai Meting Doeng, itulah nama yang dikenalkan masyarakat kepadaku. Jika ke Larantuka dengan pesawat, pantai berpasir putih ini yang akan terlihat pertama kali saat perjalanan dari bandara menuju kota Larantuka. Pasir puithnya tidak terlalu luas dan langsung berada di tepi jalan. Dulu di tempat ini pernah dibangun beberapa pondok dan restoran yang cukup bagus. Saat itu restoran ini bisa dibilang tempat yang menjadi favorit untuk menjamu tamu. Sekarang nyaris sudah tidak ada bangunan yang berdiri di tempat ini namun masih ada beberapa bangunan sisa yang tampak sudah hancur dibiarkan begitu saja.

Melewati air menuju pulau pasir Meting Doeng
Meski tidak ada restoran lagi, namun tempat ini tetap menjadi salah satu lokasi penduduk lokal Larantuka berakhir pekan. Minggu sore aku pernah melihat orang tua beserta anak-anaknya berenang atau sekedar bermain di lokasi ini. Dan yang pasti, disinilah salah tempat yang sering digunakan masyarakat untuk mencari ikan saat laut surut. Kata 'meting doeng' sendiri arti katanya adalah surut jauh. Jadi saat surut, perairan yang dangkal di sini bisa sampai ratusan meter makanya tak heran jika kamu melihat orang-orang berdiri memancing atau mencari ikan di tengah laut jauh dari pantai.

Nah saat hari Minggu kemarin aku lagi bingung mau kemana. Ini gara-garanya pas hari Sabtu mau ke pantai Kawaliwu batal padahal sudah full persiapan. Sudah jalan sampai di pertigaan desa Oka pas masuk beberapa ratus meter terhadang dengan jalan yang sedang diperbaiki. Awalnya masih mencoba ikut antrian buat bisa lewat namun karena kendaraan yang menunggu sama sekali tidak bergerak karena kecilnya jalan yang tersisa akhirnya aku memutuskan berbelok balik. Karena itu aku mencoba mengajak Yudha dan Winner untuk sedikit mengendurkan otot-otot ke pantai Meting Doeng. Saat sampai di pantai ternyata aku melihat ada sebuah tonjolan pasir putih di tengah pantai, yang selama ini tidak pernah terperhatikan olehku. Karena penasaran aku dan teman-temanku mencoba berjalan ke sana. 

Berpose di pulau pasir Meting Doeng Larantuka
Foto-foto wajib hukumnya
Pantai saat itu memang lagi surut tapi belum puncak surut. Meski begitu, jauh di tengah laut termasuk beberapa puluh meter dari tonjolan pasir putih itu berdiri orang-orang yang sedang mencari ikan.
Entah karena pengaruh surut yang ekstrim atau juga kebiasaaan masyarakat, keberadaan terumbu di sini hanya tinggal sisa-sisa. Beberapa terumbu yang ada banyak yang posisinya terbalik, artinya ada orang yang sengaja membalik terumbu ini dan kemungkinan besar saat mencari ikan atau kerang. Aku juga pernah melihat cara mencari ikan seperti ini juga di Kupang. Malahan kadang mereka juga membawa racun ikan yang biasa dikenal dengan nama potas. Dengan memberi potas, ikan-ikan yang bersembunyi di karang biasanya akan mabuk sehingga mudah ditangkap. 

Suasana sekitar bukit pasir pantai Meting Doeng Larantuka
Suasana sekitar bukit pasir pantai Meting Doeng
Tapi untuknya sepanjang kami berjalan tidak banyak bulu babi yang durinya jika tertusuk di badan dijamin akan bikin nyeri berhari-hari. Bulu babi ini salah satu tanda untuk mengukur kerusakan ekosistem laut. Makin banyak bulu babi berarti daerah tersebut bisa dibilang sudah rusak ekosistemnya. Bagi yang belum tahu bulu babi, bulu babi itu bentuknya seperti bola namun diseluruh tubuhnya diselimuti duri panjang berwarna hitam pekat. Di bagian atas bahkan durinya bisa tumbuh lebih dari 30 cm, jauh lebih panjang dari ukuran tubuhnya yang bulat pekat. Duri-duri ini walaupun sangat tajam tapi juga sangat getas (mudah patah).

Justru yang banyak aku temukan adalah bintang laut yang ukurannya besar-besar dengan warna yang sangat komplit, dari yang warna kunin biru ungu, sampai kuning terang bercak merah hitam di tengah. Yang berwarna biru pekat yang berbentuk jari-jari panjang pun banyak ditemukan.Beberapa meter sebelum sampai di gundukan pasir putih, kami sempat melewati butiran-butiran putih mengambang entah itu apa namanya aku tak tahu.Yang pasti sih bukan telur ikan apalagi telur orang.

Yudha tiba-tiba narsis abis di pulau pasir Meting Doeng
Gundukan pasir yang berbentuk pulau kecil ini memang cantik walaupun mungkin hanya muncul sebentar saja. Luasnya yang tidak lebih dari dua puluh lima meter persegi ini bisa menjadi lokasi untuk pemotretan, ayo siapa yang berminat foto di sini? Cukup bawa kursi santai dan payung dan dipotret dengan drone dari atas. Lebih keren lagi kalau bawa pohon kelapa sebiji di sini, itu kalau udah kalap mau foto yang bener-bener beda ya silahkan.

Tapi sayangnya aku gak bisa lama di sini karena ternyata air sudah selesai surut sedari siang, artinya sekarang air naik terus. Jika sebelumnya kami menyeberangi pantai ketinggian air masih dibawah lutut, waktu balik sekarang ketinggian sudah sedikit lebih tinggi dari lutut bahkan ada tempat yang tingginya mendekati paha atas. Karuan saja celanaku jadi basah semua, terpaksa saat menyeberang menaikkan semua peralatan elektronik ke atas biar tidak ikutan basah.
Lagi pula matahari juga terasa sangat menyengat, sebentar saja di pulau pasir putih kecil itu sukses membuat kulitku gosong empat tingkat. Untung aku memakai topi sehingga terlindungi bagian leher. Beberapa kali aku kelupaan bawa topi di tempat seperti ini dan berakhir harus merasakan perih beberapa hari pada kulit leher yang terbakar. Kalau kulit di bagian tangan dan kaki sepertinya sudah cukup kebal dengan sinar matahari.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya