Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label Ende. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ende. Tampilkan semua postingan

Minggu, 22 September 2019

Matahari Terbit di Puncak Kelimutu

Sunrise dari puncak KelimutuCahaya kekuningan tengah menghiasi langit timur, tapi matahari tak juga menunjukkan diri. Matahari dan kabut tipis di pagi ini seakan sedang bermain-main dengan harapan puluhan pasang yang sedang menanti detik-detik keajaiban pagi dari sang surya. Beberapa detik kemudian... momen itu terjadi. Sepotong cahaya bulat kuning muncul dari balik horison langit timur. Pendaran kuning cahaya matahari berpadu harmoni dengan warna biru hijau danau Kelimutu di depanku. Segelas kopi panas di tangan tertahan diseruput, sepasang bule saling mempererat genggaman tangan dengan senyum merekah, dan seorang jomblo yang duduk terdiam di atas tugu dengan sebotol air ditangannya. Tak lama kemudian kesunyian sesaat ini dipecahkan dengan bunyi klik.. klik.. kamera yang dijepretkan, pertunjukan sesaat telah selesai.


"Matahari pagi adalah keajaiban yang mengingatkan kita bahwa hari ini kita telah diberikan keberkahan satu hari lagi untuk menghirup segarnya udara dan kidung alam yang indah"


Segelas kopi instan panas diserahkan kepadaku oleh seorang bapak tua penjual minuman. Aku menarik kerah jaket lebih tinggi menghindari rasa dingin dari angin yang berhembus. Duduk sebentar setelah beberapa waktu berjongkok menghadap layar kamera di depan pagar untuk memotret, ada kelegaan setiap kali momen seperti ini. Sesuatu yang tak bosan kulakukan berulang kali dimanapun.

Cahaya kuning sesaat mulai berubah lebih terang, bayangan pepohonan yang menghitam sudah berubah menjadi hijau. Bambang dan Adhyt yang sebelumnya bareng aku sudah berjalan entah kemana. Masing-masing kita bercanda dengan benaknya sendiri. Aku sendiri masih sibuk berbagi dengan segelas kopi panas dan kabel shutter yang terhubung di kamera Fuji di atas tripod kecil.

Perjalanan Tengah Malam Buta
Jam setengah dua dini hari aku sudah membangunkan Adhyt dan Bambang, rencana untuk dapat menikmati matahari terbit di Kelimutu tidak boleh gagal. Mereka masih setengah mengantuk sebenarnya, maklum rombonganku baru sampai kemarin. Sekitar jam dua aku sudah meluncur dari Ende ke arah Timur menggunakan mobil mas Tommy. Pemilik hotel Satarmese ini asli baik banget, makanya kalau aku ke Ende selalu nginep di sana. Bukan promo lho, kalian bisa buktikan sendiri kalau kebetulan bermalam di Ende.

Jalan malam hari dari Ende ke Moni memang harus hati-hati karena kondisi jalannya berkelak-kelok menyusuri punggungan bukit. Sebelah kanan didominasi oleh jurang sementara sebagian besar jalan belum ada penerangan jalan yang memadai. Adhyt sendiri sudah njiper (baca: kecut) untuk menyetir dengan kondisi seperti itu di malam hari, plus ini baru pertama kalinya dia ke Kelimutu. Jadi perjanjiannya, untuk berangkat aku yang nyetir sedangkan pulangnya gantian Adhyt yang nyetir.

Dalam perjalanan dari Ende ke Kelimutu ini ada pemandangan unik yaitu di pasar Nduaria yang berada di sepanjang pinggir jalan. Malam itu pasar tentu tutup dan tidak ada yang menjual. Namun mereka membiarkan sayur-sayuran, buah-buahan dan barang-barang jualan lainnya di atas meja terbuka begitu saja. Kok tidak takut diambil orang? Hal itu menggambarkan bahwa di daerah ini masih sangat aman. Kalau di tempat lain, haduh jangan-jangan besok tinggal meja kosong.


Jam setengah empat pagi aku sudah sampai di Moni, tentu saja masih terlalu sepi. Tak lebih dari setengah jam kemudian aku sudah sampai di depan gerbang masuk Kelimutu. Angin terasa dingin menusuk tulang. Bambang yang lupa tidak membawa jaket tenang saja menggulung badannya dengan selimut yang dia bawa dari hotel.

Ternyata palang pintu masih terpasang dan tak ada petugas, di samping gerbang ada sebuah papan petunjuk yang menjelaskan jika jam buka Danau Kelimutu 05.00 - 17.00 WITA. Fix, kita harus nunggu setengah jam lebih. Untung di samping gerbang ada sabuah warung yang memang buka 24 jam. Dih kebayang kayak apa rasanya buka warung di tempat seperti ini. Lumayan sambil menunggu palang dibuka kami dapat menikmati minum kopi dan mie instan.

Sunrise di Puncak Kelimutu
Beberapa rombongan telah berangkat naik terlebih dahulu mendahuluiku, karena aku masih sholat Subuh dulu di salah satu ruangan kantor yang jagawana yang ada di area parkiran. Bulan Mei memang mulai memasuki musim dingin di Nusa Tenggara Timur, ditambah Kelimutu sendiri berada di ketinggian.

Dalam remang kegelapan kami berjalan masuk ke jalan setapak di dalam yang cukup lebat menuju ke puncak Kelimutu. Saat itu sedang bulan purnama, cahaya bulan yang menyinari balik pepohonan cemara cukup membantu terutama di area yang tidak ada penerangan.

Karena masih gelap, aku memutuskan untuk langsung menuju tugu yang merupakan titik pandang tertinggi untuk bisa melihat ketiga danau dengan leluasa sekaligus merupakan titik terbaik untuk melihat matahari terbit.


Dari pengalamanku selama ini memang yang lebih niat datang pagi-pagi buta untuk melihat matahari terbit biasanya para bule. Wisatawan lokal sering kali datang ke Kelimutu setelah terang. Namun kali ini aku melihat beberapa rombongan yang datang justru turis dari negeri China. Ada rombongan bis segala yang didominasi golongan tua. Ada juga beberapa muda-mudi yang memisahkan diri dari rombongan tua, entah mereka rombongan yang sama atau mereka datang sendiri.

Selain turis dari China, ada pemandangan unik lain saat itu. Danau Kelimutu yang berdiri sendiri yang disebut "Tiwu Ata Mbupu" tidak tampak airnya karena dipenuhi kabut di bagian dalamnya. Ini berbeda dengan kedua danau lainnya: "Tiwu Ata Polo" dan "Tiwu Koo Fai Nua Muri" yang letaknya berdekatan justru cerah tanpa kabut. Tulisan tentang cerita perjalananku ke Kelimutu sebelumnya sudah kutuliskan di sini.

Mampir di Air Terjun Murundao
Aku turun sekitar jam setengah tujuh kurang dan sempat mampir sebentar ke dua danau yang saling berdekatan "Tiwu Ata Polo" dan "Tiwu Koo Fai Nua Muri" yang saat itu berwarna biru tosca dan hijau. Tak lain untuk memenuhi permintaan Adhyt yang ingin melihat lebih dekat kedua danau. Di depan titik pandang yang telah dibangun pembatas itu telah ramai rombongan anak sekolah yang mungkin sedang ada acara Darma Wisata.

Karena hanya makan mie tadi pagi tentu saja kami kelaparan dan memutuskan mencari tempat makan di sekitar Moni. Ternyata tak seperti yang aku bayangkan, nyaris tidak ada tempat makan yang sudah buka sepagi ini. Untunglah setelah menyusuri kawasan Moni akhirnya menemukan sebuah tempat makan yang letaknya dekat dengans sebuah air terjun. Namanya air terjun Murundao. Dari pinggir jalan ada jalan turun sekitar seratus meteran tangga menurun sudah akan melihat air terjun itu. Pemandangannya? Yah so-so gitulah. Lagian kalau ada pemandangan air terjun sebagus itu di pinggir jalan besar pasti sudah ramai dikunjungi orang dari dulu.


Tips-tips untuk yang ingin ke Danau Kelimutu:
  1. Patuhi larangan-larangan yang ada di kawasan Danau Kelimutu seperti dilarang membuang sampah, dilarang mengambil pohon-pohon yang dilindungi, dilarang berdiri di luar pagar (terutama yang ada di dekat dua danau berdekatan).
  2. Jika ingin melihat matahari terbit disarankan menginap di daerah Moni. Namun jika menginap di Ende, usahakan sudah berangkat sebelum jam 3 pagi karena jalur Ende-Kelimutu merupakan jalan Trans Flores yang seringkali dilewati truk-truk besar.
  3. Bawa senter, karena jalur perjalanan menuju puncak Kelimutu melewati hutan yang penerangannya kurang memadai. Mungkin sekarang bawa hape sudah bisa menggantikan senter, tapi lebih nyaman jika menggunakan senter tersendiri.
  4. Bawa pakaian hangat termasuk jaket karena Danau Kelimutu berada di ketinggian yang tentu saja udaranya dingin. Apalagi saat naik ke atas saat pagi buta tentu akan terasa lebih dingin. Akan lebih bagus jika memakai topi yang bisa menutup telinga, kaos tangan dan kaos kaki.
  5. Jika perjalanan bersama teman, pertimbangan waktu yang dibutuhkan untuk naik. Walaupun jalur perjalanan ke atas Kelimutu tidak terlalu sulit mungkin beberapa orang akan merasa kecapean terutama saat menaiki anak tangga menuju tugu tertinggi.
Teman perjalanan kali ini: Adhyt dan Bambang
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 09 Februari 2012

Akhirnya: Foto Kelimutu dari Atas


Akhirnya hari yang tepat datang, suara sang pilot dari ruang kokpit pesawat milik Wings Air memberitahukan bahwa sekarang sedang terbang di atas danau Kelimutu yang bisa dilihat dari sebelah kiri. 
Mata yang lagi sentengah mengantuk langsung byar terbuka terang. Cuma posisi duduk lagi di sebelah kanan bukan posisi yang tepat untuk mengambil gambar. Padahal cuaca sedang bagus-bagusnya, danau kelimutu yang sedang berwarna hijau dan biru tosca mengintip dari jendela kiri. 
Waktu menengok ke deretan kursi belakang ternyata posisi sebelah kiri sedang kosong, langsung dengan secepat kilat aku langsung berlari ke kursi kedua dari belakang. Pesawat yang terbang memutar dua kali memberikan kesempatan aku dan beberapa penumpang mengabadikan danau. Pagi tadi sebenarnya langit tidak sedang benar-benarcerah, awan tipis kelabu masih menyelimuti langit yang seharusnya biru tapi matahari masih bisa bersinar dari dari balik awan tipis itu.
Setelah beberapa kali aku kembali ke tempat dudukku, karena aku merasakan perasaan tidak enak di lambung. Maklum penerbangan pagi memang sering bikin insiden seperti ini, ditambah harus merasakan pesawat melakukan manuver putaran seperti ini.
Tiba-tiba setelah sesaat pesawat menjauh pesawat berbalik dan kembali memutari danau kelimutu namun kali gantian dari sisi kanan pesawat tetap di posisi tempat dudukku sekarang.
Kali ini posisi terbangnya lebih rendah dari posisi terbang putar sebelumnya. Kali ini kameraku bisa menjangkau lebih terang danau Kelimutu. Namun aku hanya bisa memotret beberapa kali karena lambung makin terasa tidak enak ditambah kepala yang tiba-tiba terasa menegang. Hah, aku hampir mendekati mabuk. Terpaksa aku memejamkan mata membiarkan pilot menyelesaikan putaran terakhir.
Aku bahkan tidak berani mengintip beberapa lama untuk memastikan telah sampai di daerah mana selama beberapa menit. Hanya aku sempat mengintip sebentar melihat pesawat sedang melintasi daratan flores dari sebelah utara.
Setelah kepala dan lambungku mau sedikit berkompromi barulah aku bisa melihat hasil fotoku, ternyata semua foto yang kuambil dari jendela sebelah kiri tidak ada yang tajam. Aku rupanya lupa membersihkan jendela yang mungkin kotor oleh tangan penumpang sebelumnya.
Untungnya aku masih mendapatkan gambar-gambar yang cukup bagus yang aku ambil dari sisi kanan karena jendela sudah aku bersihkan semenjak berangkat dari Kupang. sayangnya di foto sebelah sini, tempat dudukku persih di deret yang dekat dengan bagian belakang pesawat sehingga semua foto-fotoku pasti meninggalkan jejak sayap pesawat. Wah harus di crop lagi deh :D
Sebenarnya ini kali ketiga aku dapet kesempatan melihat danau Kelimutu dari atas, cuma kesempatan sebelumnya aku cuma melihat tidak mengambil gambar. Yang aku ingat, waktu kedua kali, waktu itu sudah sore dan suasana sudah agak gelap dan ada seorang perempuan muda Jepang yang ada di pesawat yang saat itu berada di sisi yang tidak bisa melihat danau. Karena mungkin ini kesempatan langka baginya, maka aku memberikan kursiku sementara supaya dia bisa mengabadikan danau Kelimutu. Biar foto itu menjadi kenangan mengesankan tentang alam Flores. Aku masih ingat habis itu beberapa kali dia menngangguk sambil ngomong apa aku gak paham dengan senyum lebar, matanya yang sipit jadi tambah sipit hahahaha.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 02 Februari 2012

Ende-Nagekeo Part III



Segelas Kopi di Tengah Rintik Gerimis
"Tidak sedang terburu-buru kan? Kita mampir minum kopi ya", ucapan yang tak usah diulang dua kali kukira. Siapa akan menolak ajakan ini. Gerimis lebih sering menemani sepanjang jalan namun di pertengahan tanjakan melewati Nangaroro tiba-tiba titik air mulai bertambah banyak. Untung kami lebih dulu sampai di kedai sebelum hujan datang lebih lebat.
Kopi panas segera memenuhi meja yang kami duduki. Aku yang biasanya tidak minum kopi melupakan kebiasaan itu. Segelas kopi di tengah rintik gerimis seperti ini terlalu sayang dilewatkan. Posisi kedai ini cukup menyenangkan, sayang sekarang tidak ada jagung rebus padahal aku berharap sekali itu menjadi teman minum kopi.
Kopi yang disajikan agak terlalu manis, tapi tak mengapa. Aku tiba-tiba teringat suguhan kopi di rumah pak Ndus waktu mampir rumahnya setelah foto-foto. Kopinya yang nikmat membuat aku lupa telah duduk di kursinya lebih dari tiga jam.
Masing-masing larut dengan cerita masing-masing, tapi diseberang sana seorang laki-laki nenghisap sebatang rokok dengan asyiknya. Peminum kopi yang tahu cara menikmati kopi, tangannya sendiri lincah berpindah-pindah dari sebuah handphone dan ipad. Sepanjang jalan aku memang sempat memperhatikan matanya yang gelisah mencari sinyal karena di sepanjang jalan sering terjadi blank spot. Sekarang dia baru menikmati kegembiraannya, lelaki yang tak bisa sejenak melepaskan informasi. Aku tidak sedang menilainya tapi sedang mengamati caranya menikmati kopi dan hidupnya.
Aku tak perlu menilainya lebih jauh karena kopi terlalu sayang dibiarkan. Beberapa pohon Cendana yang berbuah telah matang buah-buahnya berwarna hitam kecil memenuhi seluruh ujung ranting. Kupikir aku bisa mencoba menanamnya saat kakiku sigap menuruni turunan di bawah bangunan kedai.
Segelas kopi hari ini kehilangan teman setianya: jagung rebus dan ubi goreng.


Nangateke Masih Sama
Hujan hampir saban hari mengguyur kota Mbay, menyisakan pantulan-pantulan kala malam. Hari pertama, hari kedua dan hari ketiga masih sama semua punya alasan yang sama untuk tidak keluar atau dengan kata lain tak ada alasan untuk keluar. 
Rumput-rumput di perbukitan Mbay memang sudah hijau tapi belum cukup rata hijau seperti biasanya. Tapi tampaknya bukit-bukit itu akan segera berubah. Pagar-pagar kayu yang biasanya tidak sekarang mulai ditanam mengelilingi bukit-bukit itu. Ah, seandainya bukit-bukit itu tidak ada yang punya.
Mungkin masih ada bukit yang lama baru akan dipikirkan pemiliknya untuk menambahkan pagar. Dan sekarang arah tujuanku dan Eddy melesatkan motor, Nangateke. 
Ini hari ke empat untukku, mendung masih tampak setia memenuhi langit. Tapi kata para maestro foto, siapa yang bisa menebak senja bahkan pada 10 detik berikutnya. 
Motor melewati kawasan hutan bakau yang makin terbuka, sepertinya bakal diubah menjadi tambak. Tampak menyedihkan seolah tak ada tempat lain yang bisa mengantikan. Motor terus melaju melewatkan jembatan batu di pantai Nangateke. Jembatan batu memang bisa sangat menarik apalagi untuk memotret orang tapi bukan itu tujuanku sekarang.
Di arah ujung tanjakan yang menikung aku dan Eddy memarkirkan motor. Langit belum berubah masih setia kelabu dengan sedikit aksen alur awan akibat angin namun binatang-binatang kecil yang hinggap di semak-semak memancing mata.
Benar perbukitan ini belum berubah, rumputnya pun masih sombong tegak menghijau entah kapan akan memudar kuning memanjang dan menunduk. Aku bahkan terkesan saat rumputnya mengering bukan coklat tapi memutih, hanya kadang harus adu cepat karena saat itu padang-padang rumput seperti ini sering kali dibakar. Supaya tumbuh rumput baru lebih cepat, katanya.
Langit tidak seperti kata maestro masih dengan warna yang sama, tidak juga 10 detik atau 10 menit. Jika ada nyala merah sesaat itupun hanya tersisa sesaput angin untuk memberitahukanku malam mulai merangkak. Nyamuk-nyamuk berpesta pora memenuhi kakiku yang bercelana pendek.


It's an Accident or Something: Bola
Bulan-bulan begini ombak sedang kencang, di beberapa tempat kadang tak menyisakan jeda tenang. Tidak mengherankan di wilayah timur seperti ini, BMKG dengan mudah bisa mengeluarkan peringatan badai dan larangan melakukan pelayaran. Aku jadi ingat Pantai Nangapanda, karang yang menjorok ke daratan itu menarik perhatianku. Sepertinya saat ini waktu yang tepat untuk melihat ombak yang terhempas tinggi membentuk karang.
Aku dan Eddy memulai perjalanan kembali ke Ende dengan motor sekaligus menjadikan suatu memori yang tak pernah hilang.
Selepas tikungan belum lebih dari sepertiga perjalanan saat lepas dari tanjakan aku melewati jalan di samping lapangan. Saat itu Eddy agak melambatkan motor karena di sepanjang jalan banyak kendaraan. Tampaknya bakal ada keramaian sebuah gereja di seberang lapangan.  Tiba-tiba seorang anak menendang bola dan terlepas ke tengah jalan. 
Entah apa hubungannya aku sama bola tapi aku cuma berharap roda kami tidak mengenai bola atau jika harus kena maka bola yang kami lindas tak lebih dari bola plastik.
Saat aku merasakan perasaan menekan sesuatu yang lunak dan berikutnya terasa melampung aku menyadari bahwa semua harapanku salah. Semua sudah terjadi, motor terbanting setelah sesaat menyentuh tanah.
Aku masih sadar sepenuhnya bahkan saat dunia tampak berputar-putar dan aku terhenti di seberang jalan sementara aku melihat Eddy jatuh tertelungkup di bawah motor. Tangan dan lututku terasa kebas tapi aku tidak terluka sedikitpun. Eddy yang harus rela mendapat luka di lutut dan tangan. Tas kamera pun tergores panjang tapi justru membantu dia terhindar dari luka yang lebih banyak. Orang-orang mengerumuni kami tapi sayang tak ada satupun memiliki apa saja untuk membantu luka Eddy, akhirnya seseorang yang dikenal Eddy membantu mengurangi lukanya dengan menyiramkan bensin di tangan dan lututnya.
Sekarang giliran aku di depan, menerobos hujan menuju ke rumah bapak kecil Eddy yang rumahnya ada di kampung sebelah. Aku dan Eddy sampai di rumah dalam kondisi cukup basah. Untung ada tanaman Pinahong di depan rumah, aku membantunya menggerus daun-daun merambat itu untuk di tempel di lukanya.
Sekarang aku di antara dua pilihan menunggu kendaraan untuk menjemput (menunggu sampai malam) atau meneruskan perjalanan. Karena langit sudah berubah menjadi gerimis kecil akhirnya aku dan Eddy memutuskan melanjutkan perjalanan. Sekarang luka-luka itu menjadi lengkap: bensin, pinahong, air hujan dan angin.
Sampai sekarang ada yang mengganjal di benak Eddy, kenapa kami jatuh karena bola. Apa hubungannya dengan bola? Satu-satunya yang jelas sampai saat ini adalah kami berdua bukan maniak bola.


Pantai Nangapenda: Ini Seharusnya
Kenekatan aku dan Eddy ternyata masih membawa hasil. Belum terlalu gelap sampai di Nangapenda walaupun dalam perjalanan sebenarnya masih banyak was-was mengingat motor habis jatuh dan medan jalan sedang ada pekerjaan sehingga jalan penuh dengan lumpur. Gak keren kalau aku dan Eddy harus jatuh kedua kali.
Aku dan Eddy sampai sekitar jam enam sore lewat sepuluh menit, posisi matahari yang sedang condong ke selatan memang membuat bulan-bulan ini siang lebih panjang. Jalan menuju ke bawah yang sangat curam biasanya membuat kami harus turun pelan-pelan tapi sekarang harus jauh lebih hati-hati karena Eddy tidak memungkinkan memegang tanaman di sekitarnya untuk berpegangan.
Langit memang masih menyisakan mendung yang cukup menghalangi matahari untuk sedikit berbagi sinar terakhirnya ke kami. Jadi aku harus merela mendapatkan sisa sinar yang masih cukup terang di ujung barat.
Cuaca tidak sedang badai namun tinggi ombak lumayan, beberapa kali hempasan ombak melenting melampaui kepala mungkin lebih dari 4 meter.
Memotret dalam kondisi ombak besar memang menyenangkan sekaligus menegangkan, walaupun perhitungan awal ombak tidak akan naik setinggi itu tiba-tiba saja bisa muncul ombak yang datangnya hampir dua kali lipat. Saat itu aku harus merelakan tripod terkena air laut, hanya kamera yang harus segera dilindungi.
Dengan tangan terluka dan dibalut kain, Eddy juga tetep mencoba memotret padahal memegang kamera saja tampaknya setengah mati. 
Hanya beberapa jepretan karena memotret ombak memang butuh waktu menunggu antar satu shot dengan shot berikutnya dengan baik, memboroskan shutter malah kadang jadi bumerang. Bisa jadi momen penting karena kamera malah sedang memproses gambar sebelumnya.
Aku melanjutkan jalan tapi kecepatan jauh menurun, lampu motor depan Eddy ternyata suka mati sendiri walhasil aku hanya bisa menggunakan lampu jarak pendek. 
Kerlip-kerlip lampu di kota Ende yang tampak di kejauhan baru kami capai dalam satu setengah jam perjalanan, tak apa asyik juga. Setidaknya kami punya cerita hahahaha
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 18 Agustus 2011

Batu-Batu di Pantai Mbray


View pantai Mbray ke arah Timur berlatar perkampungan Mbray dan gunung Meja
 
Seperti yang aku tuliskan sebelumnya di Berbagi Langit dan Laut: Foto di Antara Ende - Mbay, akhirnya aku punya kesempatan memotret pantai Mbray.
Pantai Mbray ini terletak dipertengahan perlintasan antara Ende - Nangapanda. Kalau kita dari Ende ke pantai Mbray mungkin bisa ditempuh sekitar 15 menit itupun kita tidak perlu melarikan kendaraan terburu-buru.

Jalur sepanjang arah perjalanan ke tempat ini  tergolong tidak lebar dengan beberapa tikungan yang banyak diantaranya sangat tajam. Aku pernah merasakan kendaraan yang kita pakai terserempet kendaraan gara-gara keteledoran sopir yang memaksa masuk melewati kendaraan kita tanpa pertimbangan yang matang.

Ada tanda yang khas yang menunjukkan lokasi perkampungan Mbray, pertama adanya sebuah masjid yang berarsitektur Timur Tengah yang saat ini masih belum selesai dikerjakan. Yang kedua di ujung perkampungan yang berada di ujung perkampungan sisi pantai terdapat dua buah pohon kelapa.

Gambar-gambar ini aku ambil pada waktu perjalanan dari Mbay ke Ende. Waktu itu sekitar  pukul lima lewat sekitar sepuluh menit. Matahari sendiri masih bersinar cukup kuat sehingga untuk menghasilkan gambar ini harus menggunakan sebuah lensa filter penghalang yang cukup gelap.

Ombak juga keras sehingga harus cukup hati-hati, karena beberapa kali tamparan ombak menghantam karang menghasilkan cipratan air yang cukup keras dan tinggi. Tapi itu sepadan dengan view yang kita nikmati. Tonjolan batu-batu karang datar yang ditumbuhi semacam lumut berwana kuning dan sebagian lagi hijau menghasilkan warna yang menarik. Hempasan air yang menghantam batu-batu itu akan mengalir turun kembali membentuk aliran air seperti sebuah air terjun kecil.

Letak batu-batu yang ceper sayang letaknya agak sedikit jauh dari perkampungan Mbray karena di perkampungan Mbray sendiri batu-batu karangnya kurang menarik berwarna hitam. Tapi di bagian batu-batu karang yang ceper ini ada beberapa jenis batu yang berwarna berbeda dan sebagian ditumbuhi lumut. Karakter pasirnya halus dan berwarna hitam pekat.



Batu ceper berlumut hijau


Batu kuning



Pecahan batu-batu
 
Batu berlumut kuning (tumbuhan laut)
Sayangnya keinginanku untuk mengambil gambar lokasi ini waktu subuh belum tercapai, tampaknya harus direncakan lagi untuk bisa mengambil foto di lokasi ini pagi hari.
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 06 Agustus 2011

Berbagi Langit dan Laut: Foto di Antara Ende - Mbay

 
Langit biru di atas laut Flores
Tak ada cerita khusus dan tak ada perjalanan khusus, ini hanyalah gambar-gambar yang tiba-tiba hadir di depan mataku di dalam perjalanan Ende-Mbay yang membelah tanah Flores dari Selatan ke Utara. Saat gambar itu muncul mau tak mau memaksa saya meminta sopir menghentikan lajunya bila sedang tak berkendara dengan kencang sebab ruas jalan berliuk-liuk ini bisa tak memberi ampun siapapun yang berkendara dengan sembrono.

Untungnya perjalanan Ende-Nagekeo lebih sering kulakukan bukan dengan kendaraan umum sehingga aku lebih leluasa mengatur jadwal dan tak perlu berpanik-panik dengan jam sopir yang entah santai atau tidak kadang memacu kendaraan dalam kecepatan yang berkejar-kejaran dengan detak jantung yang dipicu adrenalin.

Tak usah risau kecuali rumah keong telingamu bermasalah, sepertinya sopir-sopir travel dan angkutan antar kota ini sangat mahir kecuali kemalasannya menginjak rem. Bahkan walau mereka habis meminum 2 sampai 3 sloki Moke, minuman sangat keras dari sulingan air nira pohon lontar. Aku cuma tidak menyukai melihat muka mereka menjadi memerah kadang mata juga menjadi begitu, membuatku berfikir kalau mereka seperti tampak habis dari bangun tidur.

Tengokkan kepalamu keluar jendela karena sepanjang jalan tak ada yang bisa menduga apa yang kamu lihat, tapi biarkan telingamu mendengar musik-musik country atau reggae mengalun dari dalam kendaraan. Mungkin sedikit awal yang aneh jika mereka sering juga menyetel lagu-lagu khas Flores atau lagu-lagu pop Ambon, tapi ada beberapa lagu yang ternyata enak juga didengarkan untuk menemani perjalanan. Tahukah kamu, lagu apa yang kuingat judulnya sampai sekarang? Setidaknya ada dua lagu: Jamila Wa Jawa dan Iki Mea hehehe.................

Suasana laut senja di salah satu pantai Nangapenda
Ya, ada satu tempat yang menarik diantara perjalanan antara Ende-Mbay. Tempat itu dekat dari Ende dan memang masih masuk wilayah Ende. Aku taksir dari Ende dengan kendaraan motor atau mobil sekitar 15 menit. Di pinggir laut Mbray yang ombaknya lumayan besar terdapat batu-batu yang berbentuk kepingan-kepingan besar yang datar dengan view sebuah perkampungan nelayan dengan hiasan sebuah masjid berkubah ala Timur Tengah yang belum rampung. Seperti apa sesungguhnya view Mbray? Semoga perjalanan singgah berikutnya aku bisa sampai ke tempat ini.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 01 Agustus 2011

Batu-Batu Berlumut: Melihat Gunung Meja dari Mbuu

Suasana senja hari di Pantai Mbuu berlatar gunung Meja
Orang setempat mengenalnya Pantai Nangasesa karena memang ini Kelurahan Nangasesa, tapi aku lebih suka menyebut daerah ini Pantai Mbuu karena itulah yang tertulis di gerbang masuknya. Oh ya, ini pantai berada di Kabupaten Ende. Pantai ini pasti dengan mudah terlihat saat kita mau melongokkan kepala keluar saat pesawat mau landing atau sesaat setelah take-off. Dari jendela pesawat yang mau landing, posisi Pantai Mbuu ini ada di sebelah kanan yang ditandai adanya muara sungai dan beberapa dua rawa yang agak besar, jadi memang letaknya masih dekat dari Ende.

Ke Pantai Mbuu sebenarnya sudah sering kulakukan, jika terlalu sibuk dengan pekerjaan maka sekedar singgah kesini tidak terlalu makan waktu dibanding harus jalan ke Kelimutu misalnya. Bukan tempat andalan bagi orang Ende untuk dikunjungi sebenarnya tapi aku suka saja ke tempat ini.

Dari tempat aku menginap di hotel Satarmese, perjalanan ke sana menggunakan motor sekitar 10 menit. Mengarah ke jalan menuju Maumere nanti di sebuah pertigaan yang ada patung (aku lupa patung apa itu) masuk ke dalam sekitar 2 km mengikuti jalan yang bersejajar dengan sungai.

Jika biasanya aku dari pintu gerbang suka berjalan-jalan ke arah barat, maka kali ini aku mengarahkan kaki ke arah timur. Disana tampak sebuah bukit yang bagian atasnya sedikit terpangkas, bukit yang nampak jika pesawat take-off, di samping bukit itu dulu ada namanya jalan setapak yang disebut tangga alam yang membelah bukit. Namun sekarang tangga alam itu tidak ada.

Sebelum sampai ke bukit ada sebuah kolam kecil berair tawar, menurut cerita di kolam kecil ini suka ada buayanya walaupun seharian disini belum pernah ada buaya muncul disitu. Sedikit bergeser ke timur lagi maka aku menemukan daerah bebatuan. Dari kawasana Pantai Mbuu ini, dibagian sini yang terdapat batu-batuan besar. Dan uniknya di bebatuan ini yang paling barat terdapat kawasan batuan yang seluruhnya dipenuhi lumut. Batuan berlumut ini hanya ada dibagian itu dan tidak aku temuan dibagian lain. Bahkan beberapa tempat lain di sepanjang jalur pantai selatan yang merupakan batas selatan Ende ini, baru di tempat itu kutemukan batu-batu gunung yang dipenuhi lumut.

Dari tempat ini kita bisa melihat sunset. Walaupun kawasan ini berpasir hitam tapi sunset tidak kurang asyiknya dinikmati di tempat ini. Sebuah batu besar semacam bukit kecil yang dikenal orang sebagai pecahan atau bagian puncak gunung Meja (bukit dibagian ujung ende yang bagian atasnya tampak datar di kejauhan) menjadi tambahan pemandangan. Batuan itu melengkapi view senja yang belatar gunung Meja. Tapi jangan iseng ya, aku dengar daerah ini juga dikenal angker sehingga kalau sudah sore tampak sepi.

Disini adalah tempat kecil dari banyak tempat di Ende yang sebenarnya memiliki view indah. Daerah Kelimutu adalah salah satunya, tapi jika punya semangat berpetualang pasti akan menemukan beberapa daerah yang punya potensi wisata dan landskap yang indah.

Cerita lain tentang pantai Mbuu ini aku sudah tuliskan sebelumnya di blog ini berjudul:
Pantai Mbuu: Scenery Ende Ada Disini
Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 26 Juli 2011

Kelimutu: Tak Sekedar Danau

Teman berlatar Tiwu Koo Fai Nua Muri dan Tiwu Ata Polo
Kami bangun terlambat pagi ini, karena berpikir sudah tidak bisa mengejar matahari pagi dipuncak Kelimutu maka sekalian kami berangkat setelah sholat subuh. Akhirnya kami jalan dari hotel setengah lima pagi menuju ke arah Timur. Kelimutu yang berada di Kecamatan Wolowaru yang tepatnya di desa Koanara memang berada di jalur trans Ende-Maumere.

Perjalanan pagi begitu lengang sehingga nyaris kami merasakan seperti berkendara sendiri, melintasi bukit-bukit terjal dengan jalan-jalan berliuk-liuk laksana ular berbadan panjang. Untunglah jalur menuju Kelimutu sekarang dalam kondisi baik meskipun di beberapa ruas terdapat pekerjaan perbaikan jalan dan pemotongan sisi samping bukit untuk memperlebar bahu jalan. Aku melajukan kendaraan sedang saja, kami tak ingin celaka karena ini pengalaman pertama naik kendaraan sendiri dengan jalur seperti ini.

Dengan kecepatan kami seperti ini kami kira kami akan sampai dalam waktu sedikitnya tiga jam lebih. Ternyata dugaan kami keliru, dalam waktu dua jam kami sudah memasuki daerah Detusoko yang terkenal dengan daerah penghasil sayur-sayuran yang mensuplai kota Ende dan sekitarnya. Berarti tidak lama lagi kami akan masuk ke Moni.

Suasana di jalur tracking hutan (arboretum)
 Persis sebelum menuju ke tikungan Moni yang banyak villa dan restoran di situ, terdapat pertigaan dengan sebuah gerbang yang tertulis kalimat selamat datang di Danau Kelimutu. Jika sebelumnya perjalanan dari Ende meliuk-liuk namun dengan ruas jalan besar, sekarang kami berjalan menanjak dengan ruas jalan yang sempit dan lebih berkelok-kelok. Di pertengahan jalan kami berhenti untuk lapor dan membayar tiket masuk.

Sambil menunggu teman melapor ke petugas Kehutanan, kami duduk-duduk di depan warung-warung kecil menikmati jagung panas yang baru selesai dimasak dan secangkir kopi panas. Lumayan untuk mengisi perut yang masih kosong sama sekali dari pagi.

Akhirnya sampai juga di Danau Triwarna Kelimutu di Minggu pagi ini. Agak terlambat karena sudah pasti acara melihat matahari terbit dari puncak Kelimutu terlewatkan. Tapi mujur juga karena dari penjelasan jaga wana yang kami panggil Roberth ternyata dari jam 3 dini hari sampai jam 6 pagi ini gerimis terus menerus dan baru saja berhenti.

Tiwu Ata Mbupu airnya masih berwarna hitam kecoklatan
Begitu mobil kami memasuki area parkir, kami diserbu rentetan cahaya matahari di sela-sela pepohonan yang muncul dari balik kabut yang mulai menipis. Udara dingin yang telah menyergap kami tadi pagi makin terasa. Tapi keributan baru di area perparkiran membuat kami tak bisa menikmati sinaran cahaya pagi yang cantik itu dalam bingkai kamera, kami terpaksa mengundurkan kendaraan karena sebagian kendaraan yang telah ada dari pagi akan kembali. Bulan-bulan begini memang ramai kunjungan turis dan mereka cenderung berangkat di pagi buta berkejaran untuk mendapatkan momen matahari terbit.
Selesai masalah parkir selesai pula cahaya matahari, kabut kembali menebal tapi masih cukup tinggi tidak menutupi daerah ini.

Tangga menuju puncak Kelimutu
Setelah yakin tidak ada yang tertinggal, kami mulai menapaki tangga. Di papan penunjuk jelas terbaca arah jalan dan apa saja yang dapat disinggahi di danau Kelimutu ini.

Menurut kepercayaan masyarakat di sekitar danau Kelimutu, arwah/roh akan datang ke Kelimutu jika sudah meninggal dunia. Jiwanya atau MaE akan meninggalkan kampung dan tinggal selama-lamanya. Sebelum masuk ke salah satu danau, para arwah harus menghadap  Ratu Konde yang merupakan penjaga pintu masuk Perekonde. Arwah itu masuk ke dalam salah satu danau yang ada tergantung dari usia dan perbuatannya. Tulisan diukir sebongkah batu marmer itulah yang terbaca jika sudah sampai di puncak Kelimutu.

Sekitar satu kilometer kami menaiki tangga ke atas untuk melihat dua danau yang letaknya saling berdekatan. Danau pertama yang tampak dari bawah adalah dua danau yang menurut masyarakat Kelimutu adalah persemayaman roh-roh orang muda (Tiwu Koo Fai Nua Muri ) dan persemayaman roh-roh orang yang jahat (berilmu hitam) yang biasa disebut suanggi (Tiwu Ata Polo). 

Kali ini "Tiwu Ata Polo" dan "Tiwu Koo Fai Nua Muri" yang letaknya berdekatan makin terasa berdekatan karena mulai menunjukkan warna yang sama. Jika yang "Tiwu Ata Polo" berwarna hijau cenderung toska maka "Tiwu Koo Fai Nua Muri" cenderung berwarna hijau dengan tepian berwarna kuning hijau, warna khas dari belerang. Dan sekarang pemisah antara kedua danau itu makin tipis setelah pernah berulah pada tahun 2009 lalu.

Pohon endemik Turuwara berlatar Tiwu Ata Polo
 Tanaman endemik Kelimutu yang dikenal dengan nama Turuwara (Rhododendron renschianum) yang paling menarik perhatianku. Tanaman ini tampak sebagai sebuah bonsai yang dibentuk oleh alam, berdaun kecil dan tebal dengan buah-buah yang jika matang berwarna hitam dengan rasa manis asam. Tanaman ini juga aku temui di gunung Inerie cuma bentuknya lebih menarik disini. Tanaman Turuwara ini batangnya yang besar tampak hitam berlubang seperti gosong. Rasanya aku ingin mengoleksinya kalau tidak ingat bahwa perbuatanku hanya akan merusak alam.
 
Dan kami melanjutkan menaiki tangga yang makin menanjak, tangga menuju singgasana dewa. Kaki-kaki terasa berat melangkah mencapai separuh jarak dan hawa dingin terasa menggigit tulang. Cuma rasa terbakar panas tubuh karena berjalan ini yang membuat rasa dingin tidak terasakan.
 
Setelah sampai di puncak dimana terdapat tugu barulah kami bisa melihat ketiga danau.
"Tiwu Ata Mbupu" berada sendirian di ujung lain yang terpisah dari keduanya. Sebagai tempat bagi bersemayamnya jiwa-jiwa orang tua dan orang-orang yang bijaksana yang telah meninggal tampak dari warnanya yang hitam tenang dan berjarak dari dua yang lainnya. Untuk bisa melihat ketiganya memang harus menuju ke puncak gunung Kelimutu yang berada tepat di atas Danau orang-orang tua dan bijak ini.

Perjalanan turun kami disambut rombongan monyet yang tampaknya bergembira menikmati kue kering yang kami lemparkan kepada mereka. Selain burung yang menjadi binatang endemik Kelimutu yang bahkan diantaranya tergolong langka, maka beberapa binatang endemik lain juga bisa ditemui disini, salah satu yang mudah ya monyet ekor panjang ini.

Suasan jalan menuju ke lokasi danau Kelimutu
Kembali ke areal parkir kami mampir ke warung-warung kecil. Di areal parkir ini selain terdapat warung-warung kecil yang menjajakan makanan juga penjual kain tenun ikat khas Kelimutu. Jika ingin sekalian melihat bagaimana pembuatan kain ini bisa turun langsung ke kampung setempat di bawah.

Setelah istirahat sejenak untuk minum dan makan, kami memutuskan untuk melakukan tracking ke area arboretum (hutan). Tracking di area yang tidak terlalu luas ini cukup menyenangkan terutama karena jenis-jenis pepohonan telah diberikan papan nama pengenal sehingga kami bisa tahu nama-nama pohon yang ada di Kelimutu. Disekitar jalur tracking terdapat bangku-bangku dari semen untuk istirahat, satu yang kurang aku sukai. Lebih menarik sebenarnya jika bangku-bangku ini dibuat dari batang pohon yang sudah mati.

Tulisan lain yang bisa anda jadikan referensi:
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 24 Desember 2009

Pantai Mbuu: Scenery Ende Ada Disini

Pantai Mbuu, Ende

Sudah beberapa kali saya ke Ende, bahkan kalo sekedar lewat untuk perjalanan ke kota lain di Flores bisa dibilang sangat sering. Ende seperti menjadi pintu untuk melakukan perjalanan ke kota lain khususnya ke arah barat Flores seperti ke ke kota Mbay, Bajawa atau mau ke Ruteng. Karena untuk daratan Flores, hanya bandara di Maumere dan Ende yang ada penerbangan tiap harinya.

Meskipun begitu, pantai Mbuu yang sebenarnya dekat dari Ende baru beberapa bulan yang lalu sempat saya kunjungi. Memang bagi sebagian orang Ende sendiri, pantai Mbuu sendiri bisa dibilang tidak ada yang begitu istimewa. Disana justru yang tiap hari ramai adalah kegiatan penambangan batu dan pasir. Bayangkan! kegiatan penambangan di area yang ditulis di depan gerbang masuknya Tempat Wisata Pantai Mbuu, hah!!


Pantai Mbuu ini masih berada di kota Ende, anda bahkan bisa melihat pantai Mbuu dari jendela pesawat saat pesawat landing maupun take off. Dari pesawat anda akan melihat hulu sungai yang membelah dengan beberapa kubangan rawa/danau.


Awal tiba di tempat ini tidak terlalu tertarik juga, namun naluri seorang pejalan yang menyukai segala medan membuat saya terus menelusuri setiap lekuk tempat ini.


Tapi begitu saya mau bersusah payah menuruni sungai yang membelah tempat ini, ternyata saya menemukan scenery yang indah. Scenery yang sederhana antara aliran air, pohon, batuan dan perbukitan yang begitu menjulang di mata. Semuanya seperti mozaik yang dipatrikan pada tempat-tempat yang semestinya. Aliran sungai yang membelah ternyata menciptakan kubangan-kubangan yang ditumbuhi rumput-rumput tinggi, kubangan air tawar yang bersebelahan dengan air laut.


Jika mau sedikit bersusah payah menyeberangi sungainya niscaya mata akan dibawa pada scenery alam yang begitu cantik, beberapa kubangan rawa/danau bahkan sangat cocok sebagai lokasi untuk berfoto-foto.

Sayang, ada kegiatan penambangan pasir dan batu di sini. Sebagai tempat. yang telah dinyatakan sebagai lokasi wisata, seharusnya ada kehati-hatian dalam memberikan ijin lokasi penambangan.

Saya rasa kalau tempat ini terus ditambang, tak lama lagi air laut akan memasuki kubangan-kubangan rawa di sekeliling tempat itu, dan hasilnya rumput-rumput yang memiliki warna tersendiri itu akan menjadi mati.
Beberapa waktu lalu saya berkenalan dengan seseorang yang datang dari Jakarta. Namanya ibu Liliana, traveller yang saya kenal secara tidak sengaja karena kebetulan sama-sama menginap di hotel Satarmese. Hotel sederhana dengan jumlah terbatas namun pelayanannya yang nyaman menjadi salah satu hotel favorit saya kalo di Ende. Ibu Liliana yang spesial datang untuk berburu foto ini ternyata kebingungan saat tiba di NTT karena tidak mendapatkan informasi tempat mana yang bagus. Beberapa orang setempat yang menunjukkan tempat yang mereka anggap bagus ternyata kurang menarik minatnya. Kesamaan hobi ini yang akhirnya mengantarkan saya menemaninya di waktu yang sempit untuk menikmati pantai Mbuu. Terus terang saya belum tau bagaimana pendapatnya dengan tempat ini karena selama di pantai Mbuu saya pun sibuk dengan aktivitas yang tergolong pendek ini.


Seandainya saya punya cukup waktu tentu saya tidak berkeberatan menemani ibu Liliana untuk menjelajahi alam Flores yang menurut saya cukup eksotis. Mungkin hanya kendala biaya yang cukup besar karena lokasi antar obyek wisata yang cukup jauh.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya