Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.
Tampilkan postingan dengan label Bogor. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bogor. Tampilkan semua postingan

Selasa, 17 Desember 2019

Piknik Tipis-tipis Kebun Raya Bogor

Kebun Raya Bogor
"Eh itu Eri!" sambil tanganku menunjukkan kepada kakakku yang berjalan keluar stasiun. Aku baru saja tiba di Stasiun Bogor setelah naik kereta commuter line yang menempuh waktu perjalanan kurang lebih sejam dari Stasiun Tebet, Jakarta Selatan. Stasiun Bogor sebagai meeting point kami sebelum beranjak ke Kebun Raya Bogor. Demi mempersingkat waktu kami tidak naik angkutan umum karena jalannya hanya satu arah. Daripada kendaraannya memutar lebih jauh lebih baik kami berjalan kaki ke Kebun Raya Bogor.
Berawal dari iklan promo epic sale dari sebuah online travel agent dan juga provokasi temanku, akhirnya tergoda mengambil promo diskon hotel di Bogor.


Kebun Raya Bogor Kebun Raya Bogor
Aku dapat promo hotel di daerah Jl. Pajajaran. Kebetulan daerah tersebut dikenal sebagai pusat kuliner. Dari situlah aku berpikir untuk piknik ke kebun raya. Aku memang sengaja memilih Bogor yang tidak jauh dari Jakarta untuk berpiknik akhir pekan di samping murah meriah pastinya. Hemat beib!



Kebun Raya Bogor
Gedung megah dengan relief Ganesha dan patung singa di kanan-kiri pintu masuk sebagai tempat aku membeli tiket seharga Rp.15.000. Dari situ aku berjalan belok kanan, lanjut belok kiri terus lurus. Sampai di pertigaan jalan, bila kita terus lurus akan ada Bunga Bangkai, Amorphophilus Titanium, maskot Kebun Raya Bogor. Tidak jauh dari Bunga Bangkai juga ada makam Keramat seorang permaisuri Kerajaan Pajajaran, Ratu Galuh Mangku Alam Prabu Siliwangi. Disebrang makam ada Jembatan Merah yang bernuansa mistis. Konon kalau ada sepasang kekasih melewati jembatan itu, hubungan mereka akan putus.

Kebun Raya BogorDari pertigaan aku memilih belok kanan melewati jembatan warna putih yang menuju taman yang luas. Tidak jauh dari Kafe yang berdiri ditengah-tengah kebun. Di bawah pohon rindang, samping kolam tempat yang tepat untuk aku menggelar kain sebagai alas duduk. Aku membawa bekal cemilan krupuk kulit, kuaci bunga matahari, tahu baso, kopi-coklat sachet, termos air panas, gelas, sendok garpu, nasi berikut makanan terenak di dunia, Rendang buatanku hehehe.


Ternyata berjalan kaki dari stasiun sampai dalam taman kebun raya cukup menguras energi. Kebetulan juga sudah masuk jam makan siang. Segera aku buka bekal makanan tadi. Menyantap makananku sambil memperhatikan sekelilingku. Di sisi kiriku spot kemah dome dipenuhi orang-orang berkaos merah biru yang sedang ada acara company gathering.

Semilir angin diantara dedaunan seperti kipas angin alami membuatku sedikit mengantuk. Mungkin juga efek kekenyangan ;) Biar mata melek segera kuseduh serbuk minuman coklat hangat. Aroma coklat yang semerbak sungguh menyegarkan. 

Kebun Raya Bogor Di samping kanan, tempat aku duduk, berdiri kokoh sebuah tugu. Tugu prasasti peringatan dua abad atau 200 tahun berdirinya Kebun Raya Bogor, Bicentenary Monument of Bogor Botanic Garden ( 18 Mei 1817 - 18 Mei 2017). Diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 18 Mei 2017. Tugu tersebut berbentuk Rafflesia Padma sebagai logo dua abad yang diciptakan oleh Taja Sukarya.

Aku beranjak ke lokasi lain, danau kolam gunting yang terkenal dengan view belakang Istana Bogor. Bila dari pintu masuk kita berjalan belok ke kiri, belok ke kanan, dan lurus. Di kanan jalan terdapat monumen untuk mengenang Olivia Raffles, isteri dari Letnan Jenderal Thomas Stanford Raffles tahun 1814, saat Indonesia dalam peralihan kolonial Inggris dan Belanda.

Sebuah bingkai kayu membentuk gerbang dengan tulisan "Kebun Raya Bogor" menarik pandangan mataku. Sebuah dermaga kayu telah dibangun untuk spot foto kekinian dengan latar belakang kolam gunting. Jalan setapak dibentuk dari batuan kecil yang disusun sedemikian rupa berfungsi sebagai terapi telapak kaki. Hhhmm Kebun raya sudah banyak yang berubah. Terakhir aku kesini tahun 2009. Berarti sepuluh tahun yang lalu.


Kebun Raya Bogor
Aku terus berjalan menuju Danau kolam gunting dengan view belakang Istana Kepresidenan. Beberapa remaja sibuk berpose dengan kamera ponselnya. Ini memang spot favorit pengunjung. Di perbatasan antara gerbang belakang istana dan Kebun Raya dibangun tugu monumen kecil relief wajah Reinwardt untuk mengenang Prof. Casper George Carl Reinwardt yang turut berjasa membangun Kebun Raya Bogor.

Tampak seorang tentara sedang berjaga. Duduk sambil memperhatikan layar telepon selulernya. Beberapa kemah tentara didirikan dekat kolam. Sejak Istana Bogor ditempati presiden, Kebun Raya Bogor masuk dalam ring satu penjagaan. Oh ya aku datang tinggal 19 Oktober 2019, sehari sebelum pelantikkannya Presiden terpilih.

Kebun Raya Bogor Kebun Raya Bogor merupakan Kebun botani besar yang terletak di kota Bogor. Berlokasi di Jl. Ir. H. Juanda No.13, Paledang, Kecamatan Bogor Tengah, Jawa Barat. Luasnya mencapai 87 hektar dan memiliki 15.000 jenis koleksi pohon dan tumbuhan. Saat ini dikelola oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Menurut Prasasti Batu Tulis Kebun Raya Bogor pada mulanya merupakan bagian dari Samida (hutan buatan/Taman buatan) yang telah ada sejak Pemerintahan Sri Baduga Maharaja, Prabu Siliwangi (1474-1513). Hutan buatan ditujukan untuk keperluan menjaga kelestarian lingkungan dan sebagai tempat memelihara benih kayu yang langka. Samida serupa juga dibuat di perbatasan Cianjur - Bogor, yang disebut Hutan Ciung Wanara. Hutan ini tidak terawat setelah Kerajaan Sunda takluk kepada Kesultanan Banten.

 
Gubernur Jenderal Godert Alexander Gerard Philip Van Der Capellen kemudian membangun rumah peristirahatan di salah satu sudut hutan Samida dan mulai meresmikan kebun botani pada 18 Mei 1817 dengan bantuan Prof. Caspar George Carl Reinwardt.  Pada masa peralihan kolonial Inggris- Belanda, Letnan Jenderal Thomas Stanford Raffles dari Inggris pernah mendiami istana dan merubah halaman tamannya menjadi seperti taman bergaya Inggris klasik.

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro


http://befreetour.com/id?reff=X3KRF Baca keseluruhan artikel...

Selasa, 19 Mei 2015

Telaga Warna dalam Selimut Pagi

telaga warna pagi hari
Suasana di Telaga Warna yang terasa tenang saat pagi hari
Pagi di telaga yang begitu tenang kalau tidak ingin kukatakan sunyi. Selain aku dan penjaga yang malas buka gerbang, cuma tinggal dua mahluk sepasang yang ikut nimbrung (atau aku yang dibilang nimbrung). Itulah kenapa aku suka mendatangi telaga di pagi hari, di saat tubuh yang menggigil mendambakan selimut untuk melanjutkan lelap, dimana tubuh enggan beranjak dari tempat tidur. Apalagi di tempat dimana jaket saja belum tentu bisa menahan dingin? Ah masa, lah itu  di salah satu tempat duduk kayu duduk sepasang mahluk beda jenis yang cewe pake baju full open gitu gak kedinginan tuh. Kasian juga sih, cowonya pake jaket tapi ceweknya dibiarin bolong disana-sini.


telaga warna pagi hari
Matahari mulai menyinari kabut tipis yang turun
Sebenarnya perjalananku ke tempat ini karena kebetulan ada tugas dari kantor dan ada waktu luang aku coba manfaatin untuk mengunjungi tempat-tempat yang bisa dijangkau. Aku melemparkan pertanyaan ini di status facebookku yang mungkin memiliki referensi tertentu tentang tempat yang menarik di seputaran Ciawi. Dan rasanya referensi bu Erna Gunawan yang paling menarik perhatianku untuk mencoba ke Telaga Warna. Jadinya rekomendasi moto dari masjid di Puncak Pass deket rumah makan Rindu Alam aku batalin. Yah, kadang kita feeling aja mana yang sepertinya menarik untuk didatangi.  Dan jangan tanya apakah aku akan kecewa seandainya tempat tujuan itu tidak menarik seperti yang aku duga. "For my part, I travel not to go anywhere, but to go. I travel for travel's sake. The great affair is to move." tuh kata dari kang Robert Louis Stevenson. Jadi salah satu alasan kenapa aku gak mudah ngajak jalan orang lain, karena banyak kita yang terpatok pada lokasi tujuan sedangkan aku sendiri lebih kepada jalannya, tujuan cuma alasan untuk berhenti sesaat.


rakit tua di telaga warna
Sebuah perahu bambu yang tidak terpakai dipenuhi tanaman
Sendiri, aku memilih berangkat pagi karena belum mengenal lokasinya seperti apa. Umumnya jika sebuah danau/telaga di daerah perbukitan yang agak terbuka atau tidak ada bukit tinggi yang menutupinya biasanya jika mulai siang sampai sore airnya menjadi bergelombang, namun jika pagi airnya akan tetap tenang. Jadi dengan pagi aku sudah hampir memastikan bahwa aku akan mendapatkan suasana telaga yang tenang apapun kondisi telaganya.
Berangkat selepas Subuh, aku memilih berjalan kaki dari penginapan di Ciawi karena pagi buta begini belum ada belum ada ojek yang nampang di depan penginapan.

Bayangan pagi di Telaga Warna
Ketenangan seperti ini hanya dapat ditemui saat pagi
Baru dari pertigaan Danamon aku bisa mendapatkan mobil angkutan ke arah puncak berbekal informasi mamang yang juga jadi sopir angkutan. Katanya sih kalau di Telaga Warna itu dingin banget jadi harus pakai jaket, mungkin dia kasian liat aku yang cuma bawa kaos dalem sama rompi yang tentu gak bisa menahan hawa adem pegunungan. Tapi mamangnya bilang jangan kuatir, di atas pasti ada yang udah buka jualan sweater atau jaket. Aku berhenti di Tugu sesuai arahan dan berganti kendaraan ke arah Cisarua, patokannya angkutan yang berwarna kuning. Kenapa musti ganti karena Telaga Warna itu sudah masuk kabupaten Cianjur jadi angkutan kota tidak bisa melewati batas. Sebenarnya ada cara paling mudah yaitu naik bis kota yang menuju Bandung atau Cianjur yang melewati Puncak Pass. Cuma karena terlalu pagi kemungkinan bisa kelamaan cuma buat nunggu bis. Tapi kalau kita browsing kok nemunya Telaga Warna, Cisarua Kabupaten Bogor ya.. jadi bingung yang bener itu masuk Kabupaten Cianjur atau Kabupaten Bogor sih?!?


View Telaga Warna dari takit tua
View dari dalam perahu yang telah tak terpakai
Setelah melewati perkebunan teh milik Argo Gunung Mas yang juga banyak dijadikan tempat wisata alam akhirnya angkutan berhenti di sebuah lokasi yang dipenuhi para pedagang. Di belakang bangunan tampak sebuah masjid kecil dan disampingnya ada pintu gebang yang menunjukkan arah menuju Telaga Warna. Gak jauh jalannya kok cuma beberapa meter nanti ketemu gerbang masuk Telaga Warna. Penjaga gerbang ogah-ogahan waktu kita mau masuk, alesannya belum buka tapi saat disodorin uang 7rebu tanpa tiket langsung ijo cepet-cepet bukain gerbang... beuhh.. kalau urusannya duit aja dimana-mana sama.


View Telaga Warna pagi hari
Persahabatan bagai kepompong, semuanya pake kepompong
Telaga Warna ini ternyata berada di sekeliling bukit yang cukup tinggi di sisi Timur dan Selatan. Ini artinya kalau pagi sampai mungkin jam 8 suasana telaga pasti masih redup. Walaupun tetap enak untuk dinikmati namun di bawah jam 8 bisa dibilang bukan momen terbaik untuk mengambil foto. Kalau mau bersabar tunggulah sampai jam 8 ke atas karena di saat itu cahaya matahari sudah mulai memasuki celah-celah pepohonan membuat panorama Telaga Warna indah terpampang. Karena sepi asyik juga mondar-mandir disini sambil cari angle-angle yang bagus tapi asli cewe satu yang ditinggalin cowoknya sendiri dan asyik foto selfie ini agak mengganggu mata. Lah masak moto selfi bukan ke arah telaga tapi kearah dimana pahanya bisa ngangkang ke arahku.. Mau gak mau aku jadi perhatiin paha segede pentungan Mr Flintstone itu, belum lagi puser sama perutnya meluber kemana-mana akibat maksa pakai baju ukuran waktu SMP (ciri-ciri perempuan yang hemat). Duh kenapa mau moto pemandangan jadi banyak gini ya hehehe......

Kabut pagi di antara kebun teh yang baru dipangkas
Tak berapa lama kemudian beberapa pengunjung mulai berdatangan, hanya beberapa sih.. dua keluarga plus sodara sama buyut cicitnya :D. Penjual sekoteng baik hati ikutan datang jadi perut yang masih belum terisi dapat diganjel sama sekoteng panas seharga 8rebu, mahal ya? Gak lah, coba kamu bikin sendiri bawa kemari aku beli 10rebu juga gak papa..
Kalau menurut catatan di depan, Telaga Warna ini masuk kawasan cagar alam yang dikelola pemerintah. Makanya saat pagi-pagi banyak terdengar bunyi burung-burung dan teriakan seperti monyet dikejauhan. Aku masih bisa melihat seekor burung kecil berbulu biru dengan paruh panjang besar terbang melintasi telaga. 
Aku memutuskan kembali sekitar jam 8.19.. cieeh, kok hapal banget sih jamnya sampai menit begitu.. Sampai di jalan ternyata kendaraan arah ke Bogor antri memanjang, sepertinya ada buka-tutup jalan. Buka-tutup jalan di wilayah ini sudah biasa terjadi apalagi saat ada liburan seperti ini. Tau sendiri kan, orang Jakarta kalau libur bawaannya pengen melarikan diri aja dari Jakarta. Jadilah Bogor, Bandung dan Puncak jadi pelampiasan mereka.

Perkebunan teh di Puncak Pass
 Aku memutuskan jalan kaki sampai ke Tugu, tapi karena perut lapar aku mampir ke salah satu warung untuk makan. Di warung itulah aku mengenal salah lagi jenis lalapan namanya daun pohpohan. Rasanya harum-harum sengir kayak daun kemangi gitu.. sayang lagi gak pengen makan sambel banyak jadi gak bisa makan lalap sepuasnya, padahal pete yang digantung deket teteh berdiri dari tadi sudah melambai-lambai minta dicicipi. Petenya lho ya bukan tetehnya... pikiran jangan jorok nape!!! :D
Setelah selesai makan dan buang air kecil di kamar mandi masjid mulailah perjalanan dengan jalan kaki menuju Ciawi. Btw tentang kencing, entah cuacanya atau karena bawaan pengen minum, sepanjang jalan aku hitung sudah 6 kali masuk ke toilet 2rebu buat kencing.. dihitung-hitung abis 15rebu cuma buat kencing (karena yang terakhir uang 5rebu gak punya kembalian jadi dikasih aja semuanya). Ternyata jalan kaki lebih cepet daripada naik mobil. Itu mobil saking lama dapat giliran buka sampai banyak yang matiin mobil lalu istirahat sambil makan atau minum di pinggir jala. Kalau sering lama-lama ditutup gitu para pedagang di pinggir jalan jadi kecipratan rejeki. Yah, ternyata dibalik kesulitan tertentu ada kemudahan. 
Para ibu-ibu pekerja sedang memanen daun teh
Entah berapa jauh jarak dari Telaga Warna sampai dengan Ciawi yang pasti sampai dengan jam satu siang lebih aku baru sampai di daerah Cimory, berarti aku telah berjalan kaki 5 jam. Yah mungkin juga karena aku beberapa kali masuk ke dalam perbukitan kebun teh jika aku melihat view-view menarik. Namun berjalan menurun saat jam buka-tutup seperti ini harus berhati-hati karena jalur yang jadi sempit jadi kadang saat bis-bis yang berukuran besar lewat aku memilih minggir di tepi. Namun beberapa motor yang kadang mendesak ingin mendahului juga jadi fokus aku. Beberapa kali aku harus naik sampai ke pinggir jalan untuk menghindari motor yang mencoba melewati bis dari sisi dalam. Untungnya lagi suasana puncak yang lagi banyak awan sehingga tidak terlalu terasa menyengat walaupun berjalan dengan matahari yang telah di atas kepala.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya