Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Minggu, 22 Januari 2017

Tour de Jawa: Surabaya-Jakarta (1)

Galaksi Bima Sakti di atas Pantai Klayar
Malam di pantai Klayar yang sepi, sayang awan menghalangi pemandangan galaksi Bima Sakti
Bis kecil yang muat sekitar 20-an orang sudah mulai sepi, satu demi satu penumpang turun. Kondektur yang merangkap kernet juga lebih memilih duduk di salah satu kursi, tidak bergantungan di pintu seperti biasanya. Pertanda kami adalah penumpang bus terakhir. Desahan lega terdengar jelas saat pantatnya yang agak gemuk jatuh di kursi bis. Untung sore ini jalanan sempat diguyur hujan jadi hawa dingin segar berhembus dari lubang kaca jendela yang terbuka.
Liukan demi liukan bis menembus hutan wilayah antara Tulungagung - Pacitan. Inilah bis kedua yang membawaku dalam rencana perjalanan seminggu Surabaya - Jakarta melalui jalur lintas selatan. Sebuah tas ransel 60 liter berwarna biru teronggok di belakang yang akan menjadi teman perjalananku selama seminggu ini. Entah tempat saja yang akan aku lalui, aku akan membiarkan setiap peta terbuka sendiri di setiap tempat persinggahan baru. Aku hanya punya satu rencana yang harus kudatangi dari perjalanan ini: Dieng.

Hari 1: Menginap di Pacitan
Sopir berteriak-teriak, "bis terakhir, bis terakhir". Mengingatkan para penumpang yang masih belum masih ke dalam bis termasuk aku. Kopi hitam panas baru sempat kureguk sedikit karena masih terlalu panas. Aku memaksakan untuk bisa meminum sampai setengah sebelum beranjak naik ke bis. Agak ada rasa kebas di lidah, ah biarkan saja toh nanti juga sembuh sendiri.
Pengunjung di atas bukit pantai Klayar
Tak lama setelah aku naik, bis berjalan pelahan meninggalkan terminal yang kondisinya berantakan. Mencoba menambah penumpang sebelum meninggalkan kota Tulungagung. Kata kondektur, kalau sudah sore begini jarang ada yang mau naik bis ke arah Pacitan.

Bus hanya sarat muatan sampai pertengahan jalan, belum sampai Ponorogo jumlah penumpang sudah kurang dari setengah kapasitas bus. Makin mendekati Pacitan makin sedikit jumlah penumpang. Suasana makin sepi sementara langit makin gelap. Saat Maghrib tiba, sepanjang jalan terdengar lamat-lamat suara adzan dari musholla dan masjid saling bersahut-sahutan. Selepas Maghrib nyaris hanya deru bus yang aku dengar membelah hutan yang jalannya meliuk-liuk seperti tak ada habisnya.
Entah kebiasaan entah karena mengejar waktu, bus nyaris tidak banyak mengurangi kecepatan saat menikung membuat harus terbanting ke kiri kana melawan arah tikungan. Mendekati Pacitan aku lihat tinggal tiga orang. Aku bingung mau ngobrol dengan siapa karena yang satu dari percakapan jelas akan turun sebelum masuk kota Pacitan, hanya perempuan di depanku yang tadi saat naik sudah tanya ke sopir mau turun di kota Pacitan. Sayangnya perempuan di depanku yang diam meringkuk di dekat jendela yang sengaja dibuka. Tak ada suara namun aku bisa melihat wajahnya yang pasi. Kulitnya yang putih semakin memperlihatkan keberpucatannya, kegelisahan tampak nyata dari keringat besar-besar di dahinya di suasana yang cenderung dingin. Sepertinya dia sedang menahan mabuk, aku melihat dia meremas sebuah plastik hitam yang kelihatan kosong. Goyangan bus di tikungan memang ampun. Tak berapa lama terdengar bunyi hoek.. ah muntah juga rupanya.

View Seruling Samudera dari atas bukit
"Mas, turun sini mas, itu ada hotel di seberang kanan," teriak sopir bis mengingatkanku.
"Lho, gak ada hotel yang dekat alun-alun pak," tanyaku ragu.
"Kita mau belok mas gak lewat alun-alun sudah malam,"... Ah, beginilah kalau naik bis malam hari, kalau supirnya mau balik sebelum titik terakhir yang disitulah kita harus turun. Tapi gak papa lah daripada kelewatan sampe masuk pol bisa lebih runyam masalahnya. Di seberang hotel persis aku turun hanya tampak satu hotel, satu-satunya. Namanya terpampang jelas: Hotel Permata.

Perjalanan pertama ini aku tak ingin berfikir banyak, aku memutuskan untuk menginap di sini saja. Menurut informasi, kota Pacitan ini tergolong kota kecil. Jadi walaupun malam masih tampak keramaian tentu tidak mudah mencari tumpangan untuk mencari hotel di sekitar kota.

Pacitan adalah kota pertama yang aku pilih untuk disinggahi, pantai Klayar adalah salah satu alasannya. Pantai Klayar kupilih setelah menerima masukan alternatif beberapa tempat wisata yang bisa aku singgahi bila lewat jalur selatan.

Hari ke-2: Minggu di Pantai Klayar
Pagi-pagi sekali selepas sholat Subuh aku berjalan-jalan berharap pagi ini bisa mendapatkan angkutan yang bisa mengantarkanku ke Pantai Klayar. Semalam, aku coba mencari informasi dari resepsionis hotel tentang travel atau kendaraan umum yang bisa mengantarkan ke Pantai Klayar. Resepsionis sendiri menihilkan pertanyaanku, katanya sebagian besar menggunakan kendaraan pribadi atau melalui travel kota-kota besar lain. 
Masih terlalu sepi di jalan, aku terus berjalan sampai di depan pasar Minulyo. Meski Pacitan termasuk kota kabupaten yang kecil di Jawa Timur, tapi suasana di pasar Minulyo cukup menyenangkan. Kondisinya yang tertata rapi membuatku terpikir dengan kondisi pasar-pasar di NTT yang masih acak kadul kalau tidak mau dibilang kurang terurus.

Suasana pagi hari di Pantai Klayar
Di pasar itulah aku ketemu pak Warno yang menawarkan tumpangan kendaraan. Pak Warno ini pekerjaannya sehari-hari nge-tem di pasar Minulyo.
Karena sepagian menawarkan tumpangan belum ada juga yang naik akhirnya menyanggupi mengantarkanku dengan motor. Untuk menggunakan jasa Colt miliknya, dia mengenakan tarif 150-ribuan sampai ke Pantai Klayar, alasannya kalau kesana tidak akan mendapat penumpang balik. Kalau motor dia minta 100-ribuan, nah lho kok bedanya dikit gitu.
Setelah sepakat dengan pak Warno, aku kembali ke hotel dan mengemasi barang-barangku. Resepsionis sedikit heran melihat aku yang check-out pagi begini bahkan masih sempat bertanya, "Tidak menunggu makan pagi dulu pak?"

Seperti dugaanku, Minggu di pantai Klayar tidak akan mendapatkan pemandangan yang seperti yang kuharapkan. Meski sudah pagi sekali, tapi pantai Klayar sudah dipenuhi wisatawan. Cerita di pantai Klayar ini sudah aku tuliskan di Basah di Pantai Klayar.

Bermalam di Pantai Klayar
Karena tidak mendapatkan view sesuai harapanku, aku memilih menginap semalam di pantai Klayar. Sebenarnya masih banyak lokasi menarik di seputaran pantai Klayar ini seperti yang ditutukan oleh pak Wito, penjual batu akik yang biasa mangkal di atas bukit pantai Klayar.

Berbeda dengan saat siang hari, saat malam hari Pantai Klayar ini akan terasa sekali sepinya. Musik dangdut samar-samar terdengar namun terkalahkan dengan bunyi ombak yang terdengar keras menghantam bebatuan. Ya, homestay ini letaknya persis di bawah bukit yang menjadi lokasi satu-satunya untuk dapat melihat Seruling Samudera. Sehingga saat malam sepi seperti ini, deburan gelombang menghantam karang akan lebih keras terdengar. Letak homestay yang jauh dari penginapan lain yang rata-rata dekat dengan jalan raya menambah suasana sepi tempat ini.

Alur balik gelombang
Tempatku menginap ini hanya ada dua kamar dengan ukuran sekitar 2,5mx2,5m dengan tempat tidur kecil dari busa dan sebuah kipas angin. Mereka minta harga 200-ribuan semalam, namun akhirnya mau dengan harga 100-ribuan dengan syarat tidak ada makan pagi. Satu kamar telah ditinggali suami istri yang sudah menginap sejak Sabtu kemarin. Penginapan ini memang masih baru, malah bisa dibilang belum selesai. Pak Isni, yang mengelola homestay ini awalnya hanya membangun warung di depan rumahnya serta beberapa kamar mandi dan toilet yang disewakan untuk pengunjung pantai Klayar. Kata pak Isni yang mengelola homestay ini, homestay sekitar pantai Klayar memang hanya ramai saat hari Sabtu dan Minggu serta hari-hari libur. Di luar waktu itu, bisa dibilang homestay ini sepi tamu. Mereka yang datang ke tempat wisata rata-rata hanya mampir dan balik lagi, jarang yang menginap. Bahkan tidak ada kendaraan umum yang sampai ke pantai Klayar, rata-rata berakhir sampai di Gua Gong. Makanya mereka cukup heran aku yang berani kesini tanpa kendaraan pribadi. Aku akhirnya memahami ucapan mereka keesokan harinya saat akan kembali.

Kata pak Esdi, dulu waktu dia pertama kali datang ke tempat ini masih sangat sepi. Darah Madura yang mengalir di tubuhnya telah membawanya mengelana ke banyak tempat, dan pantai Klayar telah menjadi keputusan akhirnya untuk dia tempati sampai akhir hayat. Orang tua pak Isni ini memiliki tanah yang cukup luas di daerah ini. Sekarang, katanya, berapapun harga yang dia minta banyak yang bersedia membayarnya. Walaupun tepi pantai, tapi untuk urusan air sangat lancar. Pak Esdi menarik pipa sendiri dari mata air yang berada sekitar 2 km dari tempat ini karena belum ada PDAM yang masuk wilayah ini.
Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 20 Januari 2017

Sejenak di Karimun Jawa

Oops.. hampir saja aku terjatuh. Guncangan keras kapal cepat Express Bahari yang menerjang ombak Laut Jawa sering kurasakan dalam perjalananku ke Pulau Karimun Jawa. Kapal berangkat dari Pelabuhan Kartini Jepara pukul 09:00 dengan jarak tempuh dua jam, sehingga aku perkirakan sudah bisa tiba di Pulau Karimun Jawa pada pukul 11:00. Tapi ternyata meleset 30 menit dari perkiraan semula karena aku tiba pukul 11:30, mungkin karena gelombang tadi.

Narsis dulu sebelum meninggalkan pelabuhan
Begitu keluar dari kapal, hawa panas langsung menyergap. Panasnya terasa menyengat dan langit cerah. It's a perfect beautiful day. Sebelum meninggalkan pelabuhan tak lupa foto-foto selfie dulu (narsis mode on).
Sebenarnya sudah lama aku ingin ke Pulau Karimun Jawa, tetapi baru kali ini bisa kesampaian saat ini. Oh ya, perjalanan kali ini aku ditemani Mas Hesti untuk hunting foto. Beruntungnya aku sekalian dipinjamkan lensanya (modus ngajak sekaligus minjam lensa hehehe).


Hiu menunggu 'tamu bulanan'ku eh....
Setelah makan siang kami siap-siap untuk keliling pulau. Pulau pertama yang kami kunjungi adalah Pulau Menjangan Besar. Pulau itu terletak di seberang tidak jauh dari Pulau Karimun Jawa. Pulau Menjangan Besar terkenal sebagai tempat penangkaran Ikan Hiu. Ikan- ikan Hiu tersebut tampak jinak karena sudah beradaptasi dengan penduduk dan lingkungan Karimun Jawa. Pengunjung pun bisa foto bersama dengan hiu di dalam kolam yang telah disediakan. Sayang aku tak bisa berfoto bersama. Selain ngeri, juga karena 'tamu bulananku' lagi datang (jadi malu ceritanya).
Beralih dari Pulau Menjangan Besar ke arah Pulau Menjangan Kecil, spot yang bagus untuk snorkling. Aku seumur hidup belum pernah snorkling karena tidak bisa berenang (hadeehh). Tetapi melihat laut sekitarnya yang jernih, rasanya aku harus mencobanya.

Tidak bisa berenang tapi nekad saja
Memakai goggle, bernapas lewat mulut, merasakan asinnya air laut jadi pengalaman pertamaku. Pak Santo, pelatih sekaligus guide kami sangat sabar mengajariku. Aku tidak bisa lama-lama snorkling karena masih parno alias paranoid kalau tiba-tiba ada Ikan Hiu menyembul dari bawah air laut. Hiiiyyy...... Setelah foto selfie underwater aku langsung naik perahu.

Rombongan mau bertelur dulu nih hihihi
Dari spot Pulau menjangan Kecil kami menuju Tanjung Gelam. Pantai yang terkenal dengan pasir putih dan sunset-nya yang indah. Siap-siap gotong tripod.
Tanjung Gelam memang pantai yang indah dengan pohon kelapa miringnya. Sekilas mirip dengan pantai yang ada di Belitung. Terlihat turis mancanegara berjemur menikmati matahari. Setelah puas foto-foto sunset kami kembali ke homestay. Istirahat untuk besok pagi ke Bukit Love.


Pagi-pagi berangkat trekking ke Bukit Love. Jarak sekitar 15 menit dari Alun-alun Karimun. Bukit Love sebagai salah satu ikon Pulau Karimun Jawa. Di bukit itu dibangun tugu dengan tulisan Love. Di sisi bukit yang lebih tinggi dibangun juga tugu dengan tulisan Karimun Jawa. Dari atas bukit ini kita bisa memandang laut lepas, pelabuhan, dan kapal-kapal yang lewat. Nice photo spots.

Turun dari Bukit Love lanjut hunting foto sekitar mangrove. Tidak sengaja menemukan cottage yang sedang direnovasi. It looks like private place. View yang bagus untuk foto-foto lagi.
Kelar foto-foto langsung balik homestay untuk check out.Persiapan kembali ke Jepara karena Kapal Express Bahari siap berangkat pada pukul 09:00 pagi. Sudah dua hari di Karimun Jawa tapi masih banyak yang belum aku explore. Semoga aku bisa kembali lagi ke sini.

Well, what do you think about Karimun Jawa

Foto & Teks : Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya