Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Senin, 18 Desember 2017

Keraton Ratu Boko, Istana Kedamaian dan Kejayaan Abadi

Candi Ratu Boko
Gerbang masuk kedua dari Candi Ratu Boko
Megah dan agung, kesan pertama yang aku rasakan saat memasuki keraton ini. Gerbang gapura berdiri kokoh diapit dinding benteng dengan anak tangga untuk masuk ke atas.  Gerbang gapura pertama dengan 3 pintu dan dilanjutkan gerbang gapura kedua dengan 5 pintu. Tulisan pada Gapura Pertama "Panabwara" ditulis oleh Rakai Panabwara (Keturunan Rakai Panangkaran). Penanda Panabwara sebagai penguasa keraton ini.

Gerbang gapura ini spot yang paling diminati pengunjung untuk berfoto. Apalagi bila matahari terbenam, kesan dramatis menambah indahnya obyek foto. Dari gerbang gapura ini tampak pesawat-pesawat terbang melintas dan pemandangan sekitar Yogyakarta. 

Candi Ratu Boko
Candi pembakaran (kremasi)
Setelah melewati gerbang gapura kedua, disebelah kiri terlihat candi pembakaran/kremasi.  Dibelakang tempat kremasi terdapat sumur suci yang mata airnya tak pernah kering. Air dari sumur suci ini biasanya digunakan untuk ritual keagamaan umat Hindu dan Buddha. Dulu aku sempat membasuh tanganku dengan air di sumur ini, tetapi sekarang sudah tidak bisa karena bibir sumur sudah dikelilingi dengan tumpukan batu yang tinggi. Bila ingin melihat bersantai sambil menikmati alam di ketinggian, ada gardu pandang yang letaknya tidak jauh dari candi Pembakaran/kremasi ini.

Tempat lain yang menurutku menarik adalah Kaputren/kolam. Kita harus ke sisi kanan melewati dua bangunan Paseban yang saling berhadapan, Pendopo dan lorong selasar yang diapit dinding dikanan-kirinya untuk menuju Kaputren/kolam. Kaputren ini terbagi dua bagian dipisahkan oleh dinding, dan dihubungkan dengan pintu gapura kecil. Bagian pertama dengan 3 kolam yang besar, dan bagian kedua dengan 7 kolam kecil-kecil. Rasanya ingin bermain air di kolam ini, sepertinya menyenangkan.

Disebelah kiri terpisah jauh dari Kaputren ada goa-goa yang dahulu biasanya digunakan bermeditasi. Ada Goa Lanang  dan Goa Wadon.

Keraton Ratu Boko berada di Desa Bokoharjo dan Desa Sambireja, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman. 3 km disebelah selatan komplek Candi Prambanan, 18 km sebelah timur Kota Yogyakarta. Berada diatas puncak bukit yang tingginga kurang lebih 200 meter. Situs ini memiliki lokasi seluas 25 hektar terdiri dari, Gerbang Utama, Candi Pembakaran dan Sumur Suci, Paseban, Pendopo, Keputren/Kolam, dan Gua. Diperkirakan dibangun abad ke-8 masa Wangsa Syailendra/ Dinasti Syailendra ( Rakai Panangkaran, Raja ke-2 dari Kerajaan Medang/ Mataram Kuno).

Nama Ratu Boko berasal dari legenda masyarakat setempat Ratu Boko (Bahasa Jawa adalah Raja Bangau), Ayah Lara Jonggrang. Namun kutipan kisah Mas Ngabehi Purbawidjaja dalam Serat Babad Kadhiri menggambarkan keberadaan Situs Ratu Boko dalam versi yang lain.

Kaputren Candi Ratu Boko
Kaputren di kawasan Candi Ratu Boko
Dalam Serat Babad Kadhiri mengisahkan Prabu Dewatasari dari Keraton Prambanan. Raja Prambanan adalah Prabu Boko seorang raja yang ditakuti karena gemar makan daging manusia. Sebenarnya Prabu Boko seorang perempuan yaitu Permaisuri Raja Prambanan yang bernama Prabu Prawatasari, titisan raksasa yang bernama Butho Nyai. Kecantikannya tiada tanding dan tingginya melebihi rata-rata orang dewasa sehingga dia mendapat nama alias Roro Jonggrang/Lara Jonggrang. Setelah melahirkan putranya Prabu Boko mempunyai kebiasaan makan daging manusia. Prabu Dewatasari murka dan mengusir Prabu Boko dari istana. Prabu Dewatasari menyesal karena telah mengusirnya dan membuat patung yang mirip dengan Permaisuri Prawatasari/Prabu Boko untuk mengenangnya. 

Berdasar tulisan seorang Arkeolog Belanda bernama H.J.De Graaff pada abad 17 menginformasikan adanya penemuan reruntuhan bangunan istana di Bokoharjo.Tahun 1790 Van Boeckholtz mempublikasikannya dan menarik ilmuwan untuk menelitinya. Awal Abad ke 20 FDK Bosch kembali meneliti dan menyimpulkan bahwa reruntuhan di Bukit Boko merupakan bekas keraton.
  
Gerbang kedua Candi Ratu Boko
Tangga dari gerbang kedua di Candi Ratu Boko
Prasasti Abhya Giri Wihara 792 M yang ditemukan di situs Ratu Boko, menyebut Tejahpurnapane Panamkarana/ Rakai Panangkaran (746-784 M) dan kawasan Wihara di atas bukit yang dinamakan Abhyagiri Wihara. Disebutkan bahwa Rakai Panangkaran mengundurkan diri dari raja untuk mendapatkan ketenangan rohani dan memusatkan pikiran pada masalah keagamaan Buddha, dengan dibangunnya Abhyagiri Wihara. Ratu Boko/ Abhyagiri Wihara lebih dulu dibangun dibandingkan Candi Borobudur (pemerintahan Rakai Garung Samaratungga) dan Candi Prambanan (pemerintahan Rakai Pikatan).

Gerbang masuk Candi Ratu Boko
Menurut Prasasti Siwagrha 856 Masehi Abhyagiri Wihara dirubah dari Wihara menjadi benteng pertahanan oleh Balaputradewa dalam perebutan tahta dengan Rakai Pikatan (menantu Rakai Garung Samaratungga, anak Rakai Patapan Pu Palar). Balaputradewa adalah putra Rakai Warak Samaragrawira, Raja ke-4 Medang. Akhirnya Balaputradewa pergi ke Sri Wijaya dan menjadi raja disana (Sriwijaya adalah kerajaan yang telah ditaklukan oleh Rakai Panunggalan/Dharanindra Raja ke-3 Kerajaan Medang, Kakek Balaputradewa).

Disebutkan juga dalam Prasasti Siwagrha, Rakai Walaing Pu Kumbayoni (tahun 856-863 Masehi), seorang raja bawahan Medang dalam pemberontakannya dengan Rakai Pikatan, berhasil merebut Abhyagiri Wihara dan menamainya Keraton Walaing. 

Menurut Prasasti Mantyasih yang diprakarsai oleh Rakai Watukura Dyah Balitung (tahun 898-908 Masehi), Walaing adalah keturunan Punta Karna, yang menulis Prasasti Mantyasih tahun 907 Masehi. Sedangkan menurut prasasti yang ditemukan di Keraton Ratu Boko ini diketahui Rakai Walaing Pu Kumbayoni adalah cicit Sang Ratu di Halu, diidentifikasikan Sang Ratu di Halu memiliki hubungan kerabat dengan Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya, Pendiri Kerajaan Medang.

Pada masa itu terjadi beberapa kali pemberontakan karena masing-masing pihak merasa berhak atas tahta Medang. Penguasaan atas Abhyagiri Wihara berpengaruh pada perubahan struktur bangunan dari corak  Buddha (Rakai Panangkaran) ke corak Hindu (Rakai Walaing).



Sekarang bila kita mengunjungi Candi Prambanan diberikan promo tiket paket untuk ke situs Keraton Ratu Boko. Kita hanya membayar Rp. 65.000 untuk dapat dua tiket masuk obyek wisata, Candi Prambanan dan Keraton Ratu Boko. Dari Candi Prambanan disediakan shuttle bus menuju Keraton Ratu Boko pergi pulang. Jarak dari pintu masuk menuju komplek keraton sekitar 100 meter. Melewati taman dengan hamparan rumput hijau dan tanaman hias. Taman telah dilengkapi bangku taman dan wastafel untuk cuci tangan di tiap gazebo. Tidak jauh dari taman juga ada Toilet/WC umum dan Mushola. 

Tahun 2017 ini ketiga kali aku mengunjungi situs Keraton Ratu Boko. Masih seperti dulu terlihat sepi tetapi sebenarnya ramai. Pertama kali kesini tahun 2005. Aku ingat jariku tertusuk duri tanaman perdu yang tumbuh di sekitar Pendopo. Kunjungan kedua tahun 2008. Selepas kunjungan kedua itu aku bermimpi aneh. Rasanya aku berada di atas sebuah gunung atau bukit yang dikelilingi air. Sebuah suara membisikiku seakan memberitahu nama tempat yang aku pijak. 

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro

Baca keseluruhan artikel...

Jumat, 01 Desember 2017

Memuja Sang Dewi Danu di Ulun Danu Beratan


Aku singgah di Strawberry Farm Restaurant untuk istirahat setelah mengarungi lautan macet. Mungkin karena kunjunganku ini bertepatan dengan libur panjang 4 (empat) hari jadi akses jalan padat dimana-mana. Ice Coffee Latte dan Jus Stroberi yang segar dan mantap telah menuntaskan dahagaku. Aku pun semakin bersemangat melanjutkan perjalanan ke Pura Ulun Danu Beratan.


Begitu memasuki kawasan pura ini, disambut dengan pepohonan Pinus, Palem dan bunga-bunga Jepun atau Bunga Kamboja yang menghiasi taman dengan jalan setapak yang membelah menuju gerbang danau. Di depanku Turis Asing seorang Ibu dengan anak perempuannya yang menginjak remaja. Dari percakapan yang aku dengar, mereka dari negerinya Vladimir Putin, Rusia. Aku memang suka curious alias kepo kalau ada orang Rusia sedang berbicara. Anggap saja aku sedang berada di Laboratorium Bahasa Rusia, Bahasa yang pernah aku pelajari beberapa tahun yang lalu.

Obyek wisata Ulun Danu Beratan berlokasi di daerah Desa Candi Kuning, Kecamatan Baturiti,  Kabupaten Tabanan, Bali. Sekitar 56 (limapuluh enam) Kilometer dari Kota Denpasar. Berada di tepi jalan provinsi arah Bedugul. Terletak pada ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut. Dikenal sebagai danau "Gunung Suci".

Berdasar Babad Mengwi, Ulun Danu dibangun oleh Raja I Gusti Agung Putu/ I Gusti Agung Sakti dari Kerajaan Mengwi sebelum tahun Saka 1556 ( tahun 1643 Masehi). Pura ini digunakan untuk persembahan sebagai penghormatan kepada Dewi Danu, Dewi air, danau dan sungai.

Komplek Pura Ulun Danu Beratan terdiri dari 5 (lima) pura dan 1 (satu) Stupa Buddha. Pura Penataran Agung, Pura Dalem Purwa, Pura Taman Beji Ngebejiang, Pura Lingga Petak, Pura Prajapati dan Stupa Buddha yang dibangun sebagai wujud toleransi bagi pemeluk agama Buddha.

 

Oohh ternyata sedang ada upacara di Bale Panjang Pura Dalem Purwa untuk penghormatan kepada arwah para leluhur. Pantas saja Ulun Danu Beratan tampak dipadati penduduk sekitar. Mereka berpakaian adat berupa Kebaya, Beskap, Kain, Ikat kepala dan Ikat Pinggang khas Bali yang didominasi warna Putih dan Kuning Emas. Sambil menangkupkan dua telapak tangan di atas kepala, mereka tampak khidmat melaksanakan ritual yang dipimpin seorang Pedanda.

Nah, ini yang aku cari, spot gambar lembaran uang Limapuluh Ribu Rupiah. Coba cek yang punya lembaran uang Rp.50.000, di situ terlihat gambar Pura Lingga Petak atau lebih dikenal sebagai Pura Ulun Danu Beratan. Pura ini memiliki dua Pelinggih yaitu, Pelinggih Meru Tumpang Solas dan Pelinggih Tumpang Telu. Disini terdapat sumur suci dan keramat yang menyimpan Tirta Ulun Danu (Air Suci Ulun Danu). Wisatawan dianggap belum pernah ke Bali kalau belum ke tempat ini, karena Pura Ulun Danu Beratan adalah ikon wisata Bali.

Cuaca mendung dan berkabut tidak menghalangi para wisatawan untuk berpose di ikon wisata Ulun Danu Beratan. Memang harus ekstra sabar antri untuk bisa berfoto di ikon ini. Akhirnya aku pun bisa berfoto sambil memamerkan lembaran uang Lima Puluh Ribu Rupiah-ku. Aseeekk!

Bagi pengunjung yang ingin mengarungi danau, pengelola obyek wisata menyediakan Perahu berbentuk Bebek dan Angsa yang bisa disewa perjam-nya. Kios-kios yang menjual Cenderamata/souvenir berjajar di pintu keluar obyek wisata, bersebelahan dengan parkiran. Aku sempat membeli celana kain Merah khas Bali favorite-ku.

Foto dan tulisan: Arum Mangkudisastro
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya