Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Senin, 10 April 2017

Bunker Jepang di Bukit Cinta

Awan gelap menjadi pemandangan yang biasa kami temui tiap sore di langit Kupang beberapa hari ini. Secerah apapun langit pagi, akan berbeda saat sore beranjak. Mendung entah dari mana akan memucatkan langit yang semula cerah. Duduk di atas salah satu bunker, pemandangan rerumputan hijau tampak sejauh mata memandang. Oh tidak, bukan cuma rerumputan dan pepohonan hijau saja ternyata. Di kejauhan banyak banyak noktah-noktah kecil yang sedang bercengkerama. Mereka pasangan-pasangan yang menjadikan tempat ini untuk memadu kasih. Mungkin dari mereka-lah asal nama Bukit Cinta disematkan untuk tempat ini.

Menikmati Sunset di Bukit Cinta
Kalau sekarang noktah-noktah itu bukan lagi adalah pasangan-pasangan penuh cinta. Kini adalah noktah lainnya yang mengisi kehijauan sabana. Mereka adalah rombongan-rombongan yang sekedar ingin mengabadikan keindahan lewat jepretan atau setidaknya narsis di tempat ini. Jaman kamera resolusi tinggi menjadi barang yang jamak ada di banyak perangkat telah menciptakan budaya baru. Merekam gambar dimanapun berada, entah gambar pemandangan lokasi atau foto diri sendiri. Sekarang semua tempat yang dianggap hit menjadi serbuan semenjak media sosial telah menjadi barang biasa. Dan bukit cinta di Penfui menjadi salah satu lokasi favorit untuk dibadikan.

Sambil minum kopi panas yang aku bawa dalam termos kecil, aku, Imam dan pak Sulih duduk di salah satu bunker menikmati langit senja yang masih pucat. Sekarang tempat ini tak sesepi dulu. Tiap sudut kamu akan temui orang-orang yang duduk sekedar saling bercerita sambil menunggu matahari tenggelam atau sekedar narsis untuk dibagikan di medsos. Di depan kami ada tiga cewek satu cowok yang dari tadi tidak lepas dari smartphone yang dijepretkan.

Memang pada bulan-bulan hujan sampai dengan nanti pertengahan tahun, penampakan bukit ini sedap dipandang dengan view padang rumput yang menghijau. Penampakan rerumputan yang meninggi menutupi kondisi tanah perbukitan yang sebenarnya lebih didominasi batuan karang yang telah menghitam. Cobalah datang pada selepas tengah tahun sekitar bukan September sampai nanti musim penghujan, makan bukit ini akan tampak tak ubahnya sebuah padang batu karang yang semuanya tampak menghitam terutama saat dilihat dari atas pesawat.

Tapi saat rerumputan menghijau seperti sekarang, perbukitan ini berubah menjadi padang sabana yang cantik. Rerumputan rebah mengikuti arah angin, satu dua pepohonan menghijau. Dan lebih istimewa lagi, bukit ini juga bisa untuk menikmati matahari tenggelam. Terutama jika matahari tenggelam dari pantai sudah membuatmu bosan. Dari puncak bukit, laut tampak jelas sehingga matahari kekuningan yang tenggelam di horison laut sisi barat Kupang dapat jelas terlihat.

Bunker Peninggalan Jepang
Masyarakat sekitar awalnya menyebutkan kalau lokasi ini ada gua Jepang. Berawal dari cerita itu aku mencoba mencari tahu keberadaan gua-gua Jepang yang katanya banyak tersebar banyak juga di dalam lokasi bandara El-Tari Kupang. Tapi justru yang aku banyak lihat mereka bukan berupa lubang gua yang tembus di antara perbukitan melainkan bangunan-bangunan persegi. Sebagian besar bangunan tertanam  dalam tanah, hanya ada sedikit tonjolan setinggi lutut.

Apakah bangunan-bangunan ini terhubung satu sama lain sebagaimana gua-gua Jepang itu? Aku tidak yakin tapi dari satu dua gua Jepang yang pernah aku masuki, bangunan itu hanya bangunan persegi dengan jalan masuk kecil dan beberapa jendela kecil. Jadi menurutku, bangunan ini lebih pas disebut bunker Jepang. Ya bunker, sebatas tempat yang digunakan sebagai tempat persembunyian saja. Selanjutnya aku akan menyebut bangunan ini dengan nama bunker bukan gua sebagaimana masyarakat sekitar menyebutnya.


Bunker peninggalan Jepang ini ukurannya bermacam-macam dari yang terkecil seukuran kurang lebih enam meter persegi sampai ada yang berukuran besar sekitar lima belas meter persegi. Bunker ini rata-rata memiliki ketebalan antara dua puluh sampai tiga puluh centimeter. Ada jalan masuk yang rata-rata ukurannya kecil yang untuk masuk harus menundukkan badan karena tidak lebih dari satu setengah meter. Bahkan ada beberapa pintu yang lebih kecil dari itu. entah memang ukurannya yang memang sekecil itu ataukah karena tertimbun lama. Bunker-bunker ini memang sudah tidak terawat lagi, untungnya dengan konstruksinya yang kokoh membuat bunker-bunker sebagian besar tetap utuh.

Jadi jangan berharap akan menemukan gua Jepang sebagaimana gua Jepang di Jawa sebagaimana yang pernah aku lihat di perbukitan sekitar pantai Pangandaran dan di Taman Hutan Raya Juanda di Bandung. Gua-gua di sana biasanya dibentuk dengan membuat lubang-lubang kecil yang seukuran tubuh orang Jepang disekitar bukit. Gua-gua ini terhubung satu sama lain sehingga selain bisa untuk tempat persembunyian juga bisa digunakan untuk tempat melarikan diri.

Di salah satu bukit ada bangunan segi delapan. Agak sulit menemukannya, selain karena terletak di atas bukit, bangunan ini juga bentuk rata tanpa tonjolan. Bangunan ini berbeda dengan bunker lainnya di sekitarnya. Karena tidak ada lubang sama sekali, mungkin sekali ini bangunan ini dulunya digunakan sebagai landasan untuk menempatkan meriam mereka.

Yang disayangkan tentu saja sampah yang rata-rata tampak berserakan di sekitar bunker. Ini pasti ulang pengunjung yang datang bawa makanan dan malas membawa kembali sisa sampah mereka. Namun yang mengagetkan, aku pernah melihat di pintu masuk bunker bukan menemukan sampah plastik atau kertas tapi celana dalam dan beha. Serius? Dua rius malah. Denger-denger tempat ini dulu pernah dilarang dikunjungi malam hari karena disinyalir menjadi tempat untuk melakukan perbuatan mesum. Bunker-bunker ini memang lokasi yang cukup tersembunyi dari pandangan.

Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya