Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Kamis, 06 Oktober 2016

Dieng: Mengitari Telaga Warna

Telaga Warna Dieng
Siapa yang tidak betah berlama-lama di telaga Warna?
Sepiring jamur goreng dan kentang goreng yang baru selesai ditiriskan menerbitkan air liurku. Tak butuh waktu lama bagiku menyelesaikan kedua makanan itu. Harga seporsi hanya lima ribu rupiah untuk sepiring jamur sangat murah menurutku. Apalagi jamur-jamur masih segar sebagaimana kentang gorengnya. Sayang tak ada 'Purwaceng' yang begitu identik dengan bumi Dieng. Tapi kopi panas mampu menggantikan 'Purwaceng' menikmati pemandangan telaga yang keren tiada duanya. Aku mereguk kopi pelan-pelan sambil membiarkan seluruh panca inderaku menangkap kesan seluruh lanskap tanah ini.

Beberapa orang berlalu lalang tapi tak terlalu ramai, itulah untungnya mengunjungi tempat-tempat wisata yang sudah sangat terkenal di saat bukan hari libur. Ibu penjual yang masih mudah itu sendiri bertutur jika hari-hari seperti ini sepi bahkan rumah makan dan penjaja makanan juga tidak banyak. Berbeda pada hari libur, telaga warna ini sangat penuh dengan wisatawan.Untung ibu muda yang aku lupa menanyakan namanya masih berjualan di hari seperti ini, sehingga aku bisa menikmati jamur goreng yang nikmat.

Telaga Warna dan Telaga Pengilon

Jembatan kayu di telaga Warna Dieng
Telaga Warna dalam kesunyian pagi
Negeri di atas awan ini menyimpan sejuta pesona dan lokasi-lokasi yang tak habis dieksplorasi sehari dan Telaga Warna ini salah satunya. Telaga warna telah menjadi bagian tak terpisahkan dari legenda yang melingkupi Dieng itu sendiri berdiri.
Jika kamu menyempatkan ke telaga warna, cobalah untuk mengitarinya. Jangan hanya mencari spot mojok seperti yang aku lihat dari pasangan-pasangan yang datang. Yang mojok pasti tidak penting lokasinya tapi kita berduanya, halah. Ciee.. ciee.. ada yang ngiri cuma jalan sendiri #keplakkepalapakesendal.


View salah satu sudut telaga Warna
Batas akhir jalan di telaga Warna
Anyway by the way, pengalaman aku selama ini orang Indonesia itu lebih suka milihnya trek yang gampang. Kayak dulu pas di pulau Komodo, gak ada orang Indonesia yang ngambil trek adventure cuma para bule yang mau ambil trek adventure. Sebagian besar ambil short trek termasuk aku #kelakuansama... ampuunn kaka, itu karena aku bareng my big bos yang agak bulat di depan jadi kalo ambil medium trek nanti ujung-ujungnya aku yang disuruh gendong hihihihi #jurusberkelit.

Kalau dari pintu masuk, sebagian besar langsung ke kanan ke arah bangunan terbuka atau sekalian lanjut ke batu pandang. Aku yang sendiri dan gak punya guide awalnya juga bingung tapi karena niatnya mau keliling jadi pilih belok kiri. Biasalah, biar dikira anti mainstream. Ternyata setelah seratusan meter jalan beton ke kiri abis dan berganti jalan tanah. Tidak ada yang lewat karena ada tumpukan tanah merah menutupi jalan, sepertinya longsoran baru.

Taman bunga di telaga Warna Dieng
Taman bunga di telaga Warna
Padahal jika mau melewati longsoran dan masuk ke jalan kecil nanti bakal ketemu sebuah bangunan kecil dan ada jembatan kayu kecil beberapa meter ke tengah danau. View dari lokasi ini tidak kalah ikonik dibandingkan melihat dari batu pandang. Aku beruntung karena cuma sendiri di jembatan kayu, jadi bisa agak lama bersantai. Apalagi saat ini cuaca jauh lebih cerah dibanding kemarin. Hawa dingin sudah jauh berkurang, cuaca juga jauh lebih terang dibanding kemarin yang hampir dipenuhi kabut dan hujan seharian. Warna hijau telaga warna memang sepertinya berasal dari belerang, aku masih bisa sama mencium bau belerang diairnya. Dalam kondisi seperti ini, telaga warna juara banget. Telaga hijau terang yang airnya tenang, duduk sendirian di jembatan kayu dengan angin sepoi-sepoi.. yang kurang cuma kopi.. hah!! Kopi mana kopiii!!!  sialan, suasana begini tanpa kopi memang rasanya kurang.

Waktu menyusuri jalan kecil sempat bertemu salah seorang penduduk naik motor bebek dengan kaki bersepatu bot, mungkin dari kebun. Waktu aku bertanya arah malah menawariku mampir ke desanya. Rupanya desanya masuk desa wisata, aku lupa namanya. Udah aku ubek-ubek semua koleksi foto gak nemu satupun foto papan petunjuk padahal aku inget banget waktu itu sempat memfotonya. Ah, sudahlah. 

View telaga Pengilon Dieng
View salah satu sudut telaga Pengilon, Dieng
Memutari telaga Warna ternyata juga harus memutari telaga Pengilon. Telaga yang warnanya berbeda dengan telaga Warna ini memang terpisah namun tidak benar-benar terputus ada sedikit bagian yang masih sedikit terhubung walaupun lebih banyak ditumbuhi rumput tinggi, namun tetap tidak bisa dilewati. Ada sisa jembatan yang dulu pernah dibangun tapi sekarang sudah rusak. Itu juga mungkin salah satu alasan kebun bunga kelihatannya sepi, mungkin karena jarak yang harus ditempuh jadi jauh tanpa jembatan itu.

Berbeda dengan telaga Warna yang berwarna hijau kadang tosca (tergantung terang dan posisi cahaya matahari), telaga Pengilon ini warnanya cenderung pucat gelap. Tanahnya yang lebih terasa berlumpur sempat sukses membenamkan salah satu kakiku ke dalamnya. Warna gelap inilah yang jika airnya sedang tenang dengan mudah akan menciptakan bayangan layaknya kaca.

Bukit Sidengkeng 
Penampakang telaga Warna dan telaga Pengilon dari bukit Batu Pandang
Nama itu yang tertera di papan petunjuk, tapi akan lebih dikenal dengan nama kerennya bukit Batu Pandang dan Batu Ratapan Angin. Dari atas bukit ini memang tempat yang paling pas untuk melihat jelas kedua telaga.
Ternyata untuk naik ke bukit Sidengkeng harus membayar karcis retribusi lagi. Rupanya lokasi bukit ini dikelola sendiri oleh desa (BUM Desa), berbeda dengan retribusi di pintu masuk telaga Warna yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Wonosobo. Seingatku tiket masuknya 20ribu. Untung waktu itu masih cukup sepi sehingga aku bisa berlama-lama di tempat itu.

Ada satu batu menonjol dan sebuah bangunan berdiri untuk melihat kedua telaga. Aku membayangkan jika sedang ramai tentu akan sulit untuk berlama-lama di sini kecuali kamu mau dipelototi sama pengunjung lain. Ya, risiko lokasi pandang yang terbatas.
Di bagian samping ada jembatan merah putih yang biasanya jadi lokasi favorit uji nyali karena kayunya tidak rapat dan hanya terikat pada tali. Sayang aku sendiri tidak mencoba kesana, sayang sih udah keluar duit cuma nongkrong di batu pandang doang. Katanya sih hari begini gak ada yang jaga jadi belum bisa dipakai.

Gua-gua Tempat Persemedian
Jalan menuju ke gua-gua semedi
Nah ternyata di bagian tengah daratan pemisah antara telaga Warna dan telaga Pengilon itulah terdapat beberapa gua yang dulu katanya sering digunakan untuk bersemedi. Ada tiga gua di sana: gua Jaran, gua Semar dan gua Sumur. Gua-gua ini menyimpan cerita mistis sendiri-sendiri.
Yang pertama gua Jaran (kuda), yang katanya menjadi tempat pertapaan Resi Kendalisodo. Di sini ada legenda yang menceritakan bahwa pada suatu hari saat hujan sangat deras ada seekor kuda yang kebingungan mencari tempat berteduh. Dia berlari kesana kemari sampai akhirnya menemukan lubang besar lalu masuk ke dalamnya, Anehnya saat keluar keesokan harinya sudah dalam keadaan bunting. Dari legenda itu sekarang ada sebagian orang percaya bahwa gua ini bisa membantu wanita yang ingin mempunyai keturunan dengan cara bersemedi di tempat ini. Entah kalau yang bersemedi laki-laki, mungkin jadi bunting juga. #dikeplakpenjagadanau

Kalau gua Sumur ini di dalamnya ada kolam kecil yang airnya sangat jernih dan dingin. Air ini dikenal dengan nama Tirta Prawitasari. Air ini sering dimanfaatkan umat Hindu dari pulau Bali untuk upacara Muspe atau Mabakti. Gua ini yang punya kaitan erat dengan keberadaan telaga Warna dan telaga Pengilon. Suasana di tempat yang dipenuhi rerimbunan pepohonan ini terasa mistis. Andai saja ada kabut tipis turun, pasti tempat ini akan terasa lebih mistis.

Sayang aku tidak bisa masuk ke dalam karena pintu masuknya masih digembok. Nah ini ruginya saat datang di waktu sepi seperti ini. Di satu sisi memang jadi bebas menikmati tanpa melihat hiruk pikuk orang berlalu lalang, jeleknya kadang-kadang penjaga lokasi juga enggan datang. Mungkin juga gajinya kurang.
Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 05 Oktober 2016

Bima Sakti di Langit Puru (2)

Penampakan galaksi Bima Sakti di atas batuan pantai Etiko'u

Gemeretak kayu kering terbakar melimpahkan api ke atas seakan ingin menerangi malam yang dihiasi miliaran bintang. Tak berapa lama api unggun kembali mengecil, nyaris tak ada suara. Saat seperti ini, bunyi-bunyian malam menjadi begitu nyaring di telinga.Suara-suara itu serasa gelombang hipnosis yang mengajak mata untuk terpejam dan melabuhkan mimpi segera.
Kain hammock bergoyang pelan diterpa angin malam, begitu halus yang membuat kami semakin sulit bertahan Tak ada angin yang kencang seperti beberapa minggu kemarin. Kicau kami seperti bertemu lelah, aku tak bisa menghitung lagi berapa orang yang masih bertahan memicingkan mata saat ini.

Di antara kantuk yang menyerang aku mendengar suara pelan dibelakang. Di kegelapan ke arah pepohonan bakau, aku melihat bayangan hitam dengan langkah terseret pelan. Di tangannya seperti menyeret ranting pohon yang agak besar. Tak berapa lama kemudian api unggun kembali menyala besar. Aku hanya menebak-nebak, mungkin mas Eko yang masih bertahan selarut ini. Atau Imam, entahlah. Mataku tak bisa bertahan lagi dan entah menit ke berapa hilanglah aku dalam pesona malam pantai Puru yang saat ini langitnya dipenuhi hamparan miliaran bintang yang bertabur membentuk awan putih.

Rencana Perburuan Bima Sakti di Pantai Selatan
Bulan Agustus tiba-tiba menciptakan kehebohan fotografer yang lagi getol dengan foto-foto malam. Di beberapa media memberitakan tentang keberadaan galaksi kita Bima Sakti yang kemunculan di langit diklaim paling terang.
Berita ini dan ini segera menjadi berita yang paling banyak di-share para fotografer dan para astronom amatir, mengalahkan berita macam Syahrini dengan gaya makin dikuti para alayer atau berita Arcandra Tahar yang ternyata diketahui punya dwi kewarganegaraan. Beneran paling banyak di-share? Ya setidaknya begitulah yang muncul di linimasa facebookku.

Apalagi tanggal 6 Agustus adalah saat bulan baru sehingga penampakan galaksi Bima Sakti akan makin terlihat terang benderang. Maka ajakan-ajakan banyak terlontar di medsos untuk berburu Bima Sakti. Masing-masing tentu menawarkan spot andalan. Bagi teman-teman yang mau berburu Bima Sakti tapi gak ingin jauh-jauh menjadikan jalur 40 untuk ajang berburu.
Aku dan mas Eko sempat berdiskusi panjang. Awalnya aku ingin mencoba peruntungan di pantai Oebali yang sepertinya punya spot menarik. Namun akhirnya setelah menimbang beberapa suara teman yang mau ikut kita mengubah lokasi perburuan ke pantai kawasan Puru.

Kencing rame-rame tidak pada tempatnya
Berenam, aku sendiri, mas Eko (ketua-an Tapaleuk Ukur Kaki), dua dokter gigi kesasar: Welly Manurung dan Lamser Hutasoit, Adisti dan Imam. Kami sempat kelabakan dengan persiapan. Tenda yang kami siapkan ternyata kebanyakan tapi justru kompor yang lupa tidak ada yang bawa. Untung sudah ketahuan waktu ngumpul di rumah mas Eko, titik kumpul untuk jalan.
Sementara sekarang sudah jam 2, kembali untuk mengambil kompor di rumahku jelas akan memakan waktu karena kami masih berharap dapat melihat senja di Puru. Karena cuma aku sama mas Eko yang pernah ke sana, akhirnya mas Eko memutuskan aku yang akan memandu perjalanan ke Puru, sedangkan mas Eko yang kebagian ambil kompor di rumah.

Kami baru sampai ke Puru hampir jam enam sore karena perubahan arah jalan. Seperti yang aku kuatirkan di awal, jalan ke Puru ternyata sedang ada perbaikan sehingga harus menggunakan jalan alternatif yang selain jaraknya lebih jauh karena memutar juga kondisi jalannya lebih parah. Setidaknya ada tiga turunan yang harus hati-hati betul karena batuannya mudah terlepas karena bercampur pasir.
Di antara kami berenam, Adisti adalah satu-satunya cewek dan mukanya paling imut lebih mirip anak-anak. Mungkin alasan itulah kenapa mas Eko jadi terpanggil jiwa kebapakannya. Dia yang paling banyak menjaga terutama saat motor harus menuruni medan yang jelek itu.

Malam Bertabur Bintang
Sampai di lokasi masih sempat bertemu Frengki, namun sayang dia dan Juan saat itu sedang ada kesibukan di luar jadi tidak bisa menemani kami. Dia cuma bilang nanti malam kalau sudah selesai kesibukan baru mampir ke lopo tempat kami menginap. Lokasi sudah sepi hanya satu rombongan mobil yang tersisa tepat mau kembali saat kami sampai. Langit sudah mendekati gelap sehingga kami gagal melihat senja hari ini. Untuk alasan kemudahan, kami menggunakan lopo yang biasa kami pakai sebelumnya.

Malam sekitar jam tujuh setelah selesai urusan perut beres. Membereskan urusan perut gelandangan seperti ini gampang cukup diganjal dengan mie rebus. Kelar ukuran perut, mulailah persiapan memotret Bima Sakti dimulai. Welly dari awal saja sudah agak histeris nunjuk-nunjuk ke langit padahal tidak usah nunjuk ke langit juga kita semua bisa melihat. Aku lihat kadang-kadang itu anak agak gila kalau sudah malam, mungkin dia berpikir bisa berubah menjadi Werewolf kalau ada bulan. Eh bulan tidak ada ding kan bulan baru.

Langit yang cerah memang membuat galaksi Bima Sakti terlihat lebih terang, apalagi pantai Etikou saat seperti ini benar-benar gelap gulita. Miliaran bintang begitu jauh hingga hanya menyisakan bentuk selayaknya awan putih di kegelapan melintang miring memanjang dari utara sampai ke selatan.

Semakin malam semakin terang penampakan galaksi Bima Sakti. Pantai Snaituka menjadi lokasi yang paling tepat untuk mendapatkan gambar Bima Sakti yang menarik karena di antara batu karang terdapat beberapa pohon Santigi yang membonsai. Lagi-lagi mas Eko harus kerepotan dengan Welly yang tiba-tiba kesurupan ulang karena kameranya gak mau diajak kerjasama. Gegara ISO sudah diset ke 3200 eh tetep saja hasil jepretannya ISO ke angka 640, kadang 800 pokoknya semau-maunya itu kamera.
Mungkin itu karma karena waktu mencabut gigi anak-anak malah bikin anak-anak histeris ketakutan. Tapi mana dia akan percaya akan karma. Satu-satunya karma yang dia percayai adalah tidak bisa menikah dengan pramugari. Padahal kalau dia mau menikah dengan pramugara mungkin sudah lama punya anak (anak setan).

Pantai Tubuafu, sebelah barat pantai Etiko'u
Sebenarnya lokasi pantai ketiga paling menjanjikan untuk memotret Bima Sakti, sayang kondisi jalannya yang melewati karang-karang terjal akan sulit dilewati saat malam. Aku dan mas Eko berencana untuk nge-camping di pantai itu suatu hari nanti. Pantai itu akan aku tulis sendiri nanti.

Jam sebelas malam mungkin juga kurang aku sudah tepar di atas hammock. Sedang nikmat-nikmatnya aku bermimpi lagi hihihi sama pramugari harus terbangun mendengar suara mendesah eh.. suara ribut. Sekitar jam tiga pagi aku mendengar keributan mas Eko dan Welly. Mas Eko rupanya membangunkan Welly mengajak untuk memotret galaksi karena sekarang galaksi Bima Sakti sedang mendekati horison barat. Aku dan Welly yang sebenarnya masih mengantuk langsung semangat empat lima bangun dan langsung kokang senjata untuk dapat meng-capture dalam kondisi begini. Welly bahkan sudah menghilang dulu naik ke daerah karang yang berdiri satu buah lopo. Tapi kampretnya ternyata ada awan gelap yang menghalangi penampakan Bima Sakti di ujung horison. Ternyata sudah dari jam setengah dua penampangan Bima Sakti mulai rata horison. Mas Eko bangunkan aku sama Welly setelah dia kehabisan batere. Jadi giliran dia untuk tidur tapi kita disuruh bangun. Uasyeemmm, pantesan besok pagi-nya dia ngakak-ngakak sukses.  

Sumber berita:
  1. Fenomena Langit Bulan Agustus 2016
  2. Ingin Lihat Galaksi Bima Sakti? Ayo, Matikan Lampu 6 Agustus
  3. Peristiwa Astronomi Bulan Agustus 2016
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya