Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Kamis, 19 November 2015

Ada Pulau Pasir di Pantai Meting Doeng

Pulau pasir di pantai Meting Doeng Larantuka
Yudha dan Winner lupa diri di pulau pasir Meting Doeng
Sebuah daratan pasir kecil menyembul saat air laut surut jauh menciptakan pulau kecil berpasir putih yang dikelilingi air laut biru terang, duh asli cakep banget dah. Kalau kamu cewe bawa kursi dan payung trus tiduran pake bikini (mata menyala terang), maka kamu serasa ada di sebuah pulau pribadi yang tidak ada siapapun kecuali dirimu dan samudera yang luas. Dan pulau pasir itu aku temukan dari tempat yang sering kali aku datangi tapi tidak kusadari adanya pulau pasir itu. 

Pantai Meting Doeng, itulah nama yang dikenalkan masyarakat kepadaku. Jika ke Larantuka dengan pesawat, pantai berpasir putih ini yang akan terlihat pertama kali saat perjalanan dari bandara menuju kota Larantuka. Pasir puithnya tidak terlalu luas dan langsung berada di tepi jalan. Dulu di tempat ini pernah dibangun beberapa pondok dan restoran yang cukup bagus. Saat itu restoran ini bisa dibilang tempat yang menjadi favorit untuk menjamu tamu. Sekarang nyaris sudah tidak ada bangunan yang berdiri di tempat ini namun masih ada beberapa bangunan sisa yang tampak sudah hancur dibiarkan begitu saja.

Melewati air menuju pulau pasir Meting Doeng
Meski tidak ada restoran lagi, namun tempat ini tetap menjadi salah satu lokasi penduduk lokal Larantuka berakhir pekan. Minggu sore aku pernah melihat orang tua beserta anak-anaknya berenang atau sekedar bermain di lokasi ini. Dan yang pasti, disinilah salah tempat yang sering digunakan masyarakat untuk mencari ikan saat laut surut. Kata 'meting doeng' sendiri arti katanya adalah surut jauh. Jadi saat surut, perairan yang dangkal di sini bisa sampai ratusan meter makanya tak heran jika kamu melihat orang-orang berdiri memancing atau mencari ikan di tengah laut jauh dari pantai.

Nah saat hari Minggu kemarin aku lagi bingung mau kemana. Ini gara-garanya pas hari Sabtu mau ke pantai Kawaliwu batal padahal sudah full persiapan. Sudah jalan sampai di pertigaan desa Oka pas masuk beberapa ratus meter terhadang dengan jalan yang sedang diperbaiki. Awalnya masih mencoba ikut antrian buat bisa lewat namun karena kendaraan yang menunggu sama sekali tidak bergerak karena kecilnya jalan yang tersisa akhirnya aku memutuskan berbelok balik. Karena itu aku mencoba mengajak Yudha dan Winner untuk sedikit mengendurkan otot-otot ke pantai Meting Doeng. Saat sampai di pantai ternyata aku melihat ada sebuah tonjolan pasir putih di tengah pantai, yang selama ini tidak pernah terperhatikan olehku. Karena penasaran aku dan teman-temanku mencoba berjalan ke sana. 

Berpose di pulau pasir Meting Doeng Larantuka
Foto-foto wajib hukumnya
Pantai saat itu memang lagi surut tapi belum puncak surut. Meski begitu, jauh di tengah laut termasuk beberapa puluh meter dari tonjolan pasir putih itu berdiri orang-orang yang sedang mencari ikan.
Entah karena pengaruh surut yang ekstrim atau juga kebiasaaan masyarakat, keberadaan terumbu di sini hanya tinggal sisa-sisa. Beberapa terumbu yang ada banyak yang posisinya terbalik, artinya ada orang yang sengaja membalik terumbu ini dan kemungkinan besar saat mencari ikan atau kerang. Aku juga pernah melihat cara mencari ikan seperti ini juga di Kupang. Malahan kadang mereka juga membawa racun ikan yang biasa dikenal dengan nama potas. Dengan memberi potas, ikan-ikan yang bersembunyi di karang biasanya akan mabuk sehingga mudah ditangkap. 

Suasana sekitar bukit pasir pantai Meting Doeng Larantuka
Suasana sekitar bukit pasir pantai Meting Doeng
Tapi untuknya sepanjang kami berjalan tidak banyak bulu babi yang durinya jika tertusuk di badan dijamin akan bikin nyeri berhari-hari. Bulu babi ini salah satu tanda untuk mengukur kerusakan ekosistem laut. Makin banyak bulu babi berarti daerah tersebut bisa dibilang sudah rusak ekosistemnya. Bagi yang belum tahu bulu babi, bulu babi itu bentuknya seperti bola namun diseluruh tubuhnya diselimuti duri panjang berwarna hitam pekat. Di bagian atas bahkan durinya bisa tumbuh lebih dari 30 cm, jauh lebih panjang dari ukuran tubuhnya yang bulat pekat. Duri-duri ini walaupun sangat tajam tapi juga sangat getas (mudah patah).

Justru yang banyak aku temukan adalah bintang laut yang ukurannya besar-besar dengan warna yang sangat komplit, dari yang warna kunin biru ungu, sampai kuning terang bercak merah hitam di tengah. Yang berwarna biru pekat yang berbentuk jari-jari panjang pun banyak ditemukan.Beberapa meter sebelum sampai di gundukan pasir putih, kami sempat melewati butiran-butiran putih mengambang entah itu apa namanya aku tak tahu.Yang pasti sih bukan telur ikan apalagi telur orang.

Yudha tiba-tiba narsis abis di pulau pasir Meting Doeng
Gundukan pasir yang berbentuk pulau kecil ini memang cantik walaupun mungkin hanya muncul sebentar saja. Luasnya yang tidak lebih dari dua puluh lima meter persegi ini bisa menjadi lokasi untuk pemotretan, ayo siapa yang berminat foto di sini? Cukup bawa kursi santai dan payung dan dipotret dengan drone dari atas. Lebih keren lagi kalau bawa pohon kelapa sebiji di sini, itu kalau udah kalap mau foto yang bener-bener beda ya silahkan.

Tapi sayangnya aku gak bisa lama di sini karena ternyata air sudah selesai surut sedari siang, artinya sekarang air naik terus. Jika sebelumnya kami menyeberangi pantai ketinggian air masih dibawah lutut, waktu balik sekarang ketinggian sudah sedikit lebih tinggi dari lutut bahkan ada tempat yang tingginya mendekati paha atas. Karuan saja celanaku jadi basah semua, terpaksa saat menyeberang menaikkan semua peralatan elektronik ke atas biar tidak ikutan basah.
Lagi pula matahari juga terasa sangat menyengat, sebentar saja di pulau pasir putih kecil itu sukses membuat kulitku gosong empat tingkat. Untung aku memakai topi sehingga terlindungi bagian leher. Beberapa kali aku kelupaan bawa topi di tempat seperti ini dan berakhir harus merasakan perih beberapa hari pada kulit leher yang terbakar. Kalau kulit di bagian tangan dan kaki sepertinya sudah cukup kebal dengan sinar matahari.
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 16 November 2015

Kopi dan Senja: Pantai Walakiri

Bermain kerjar-kejaran di  Pantai Walakiri
Pasir putih berlekuk-lekuk memanjang, jajaran pohon kelapa, air laut yang bening berwarna biru kehijauan. Tiga alasan itu cukup menjelaskan mengapa pantai Walakiri layak dikunjungi. Kalau gak ada sampah sama sekali, aku rela kasih tunjuk jempol tangan, kalau perlu naikkan jempol kaki juga biar kalian yakin kalau tempat itu potensial banget buat dikembangkan. Dan pastinya, pantai Walakiri tidak jauh dari kota Waingapu plus kondisi jalannya yang udah bagus (ada juga yang jelek tapi lagi ada perbaikan,nanti kalau sudah selesai di jamin ke lokasi ini mulus luuusss..

Suasana menjelang senja di pantai Walakiri
Dan satu lagi, sampahnya belum banyak. Entah kalau setelah ini wisatawan ramai-ramai membuang sampah di sana. Memang sorenya, aku dan Trysu sempat bersihin lokasi dari sampah plastik bekas air minum. Biasalah, sampah dari wisatawan kelas jelata yang cuma pintar datang sok menikmati pantai trus dengan seenak udel (itu pun kalau udelnya masih ada) ke sekitar pantai. Dan gara-gara bersihin sampah itu aku malah justru ketinggalan keong lima jari yang aku dapetin dari sekitar pantai. Pantai Walakiri ini justru menjadi lokasi pamungkas yang baru aku ketahui sehari sebelum balik. Kok bisa? Ya itulah kalau pikirannya muluk-muluk mau ke tempat-tempat yang jauh-jauh seperti pantai Watu Parunu, pantai Tarimbang sama air terjun di kawasan cagar alam Wanggameti, akhirnya justru melewatkan lokasi-lokasi bagus yang ada di sekitar Waingapu. Untungnya saat lokasi lainnya batal, ada usul dari salah satu temen di Dinas Pendapatan buat mengunjungi pantai Walakiri. Padahal kalau udah bingung mau kemana lagi ya ujung-ujungnya nanti ke pantai Puru Kambera lagi. Ya gak bosen juga biarpun udah ulang-ulang ke pantai Puru Kambera, tapi kan sayang kalau ada lokasi lain yang bisa dijelajahi kok cuma kesitu-kesitu lagi.. lagi-lagi kesitu...situ kelagi-lagi.. gila-gila situ ke... mbuh...
 

Asyik bermain di pantai Walakiri
Pokoknya kalau mau ke tempat wisata di daerah Sumba ya begitu.. begitu gimana? Ya gitu itu, musti tanya terus sama penduduk. Pokoknya kalau mulai gak yakin benar apa gak jalannya, mulailah cari penduduk yang kamu temui di jalan untuk cari tahu.. bisa tahu goreng, tahu bacem, apa sajalah. Kok bisa? Ya bisa, gak ada papan petunjuk, jalan juga gak punya tanda khas. Aku saja kalau mau ke tempat ini tetep harus nanya lagi kok.
Akhirnya sekitar jam empat, aku dan Trysu sampai di tempat ini. Lho kok akhirnya trus permulaannya gimana nih. Harus cerita permulaannya gitu ya, gak boleh langsung akhirnya gitu? Bete ah cerita pakai permulaan segala, terlalu mainstream. Permulaannya sama saja kok: dari ketiadaan dan kegelapan pekat lalu buumm!!! terjadi bigbang yang menciptakan jagat dan segala isinya. Halah...


Pohon bakau di pantai Walakiri senja hari
Jalan masuk dari jalan raya gak lebih dari satu kilometer, gak percaya hitung sendiri. Suasana pertama yang kami tangkap ya sejuk karena jajaran pohon kelapa di sepanjang pantai. Aku lewat di samping sebuah bangunan kayu masih tahap konstruksi. Kalau melihat desainnya yang atapnya unik memanjang, kelihatannya bakal dibangun semacam pondokan wisata. Suasana pantai sendiri tampak ramai. Ada rombongan wisatawan entah dari mana (nanti waktu dari ngobrol aku tahu kalau mereka dari Jakarta).

Begitu melewati pepohonan kelapa, barulah tampak pemandangan pasir putih memanjang. Karena sekarang baru surut, pasir putih tampak lebih jauh ke tengah, dan menariknya pasir putih ini tidak berbentuk rata memanjang sepanjang pantai. Ada beberapa titik yang pasir putihnya menjorok ke arah laut. Lekukan-lekukan pasir itu lah yang menjadi tempat bermain banyak orang. Pantai ini rupanya dangkalnya jauh sehingga di sepanjang pantai, air yang tampak berwarna biru cerah kadang kehijauan.


Pasir putih berlekuk-lekuk yang khas di pantai Walakiri
Wih, pokoknya kalau orang bule di kasih pondok di sini pasti demen banget.. Iyalah, aku juga kalau dikasih pondok gratis di sini juga mau.. goblok banget kan nolak gratisan.
Coba jalan-jalan ke arah Timur eh nemu bule cewe sedang berjemur.. sendirian lagi. Eh bukan sendirian ding tapi ada temennya. Gak usah dibahas bule berjemur ah, pakaian dijemur aja juga gak pernah dibahas kok kecuali nanti kalau dijemur musim hujan. Mulai sore mulai tuh pengunjung pada menghilang. Nah itu bedanya kita sama pengunjung umum, justru sore itu yang ditunggu. Sialnya pas saat balik ke tempat semula ternyata cuma pengunjungnya yang balik tapi sampahnya ditinggal. Bukannya di tinggal di tempat sampah tapi di sekitar pantai. Pasti mereka lapar makanya gak fokus jadi lupa tempat sampah. Atau jangan-jangan mereka amnesia sesaat, entahlah.. yang pasti aku dan Trysu akhirnya melakukan kerja bakti sebentar buat bersih-bersih pantai.
 

Pepohonan bakau saat senja
Matahari mulai menghilang di balik pepohonan bakau, karena surut aku mengajak Trysu ke arah batas luar bakau karena aku melihat anakan pohon pakau yang tumbuh unik. Akarnya tampak seperti bakau yang sudah besar namun daunnya sedikit seperti bakau yang baru tumbuh.
Sempet disapa cewe yang kayaknya guide dari rombongan yang masih tersisa. Katanya sebagian rombongan sudah balik tinggal beberapa orang yang masih tinggal. Orangnya ramah dan asyik, sayang aku lupa nanya namanya. Kebiasaan nih, aku gampang banget ngobrol asyik sama orang yang sama sekali baru tapi sering gak nanya hal-hal simpel kaya nama.

Tak lama tuh cewe sempet ikut ke arahku sama ngajak gang-nya, yang ternyata para mak-mak... hahaha bukan mak-mak pake sirih pinang lho, lebih tepatnya cik-cik yang udah mateng.. sebagian mateng pas petik pohon sebagian kematengan dah udah jatuh di pohon hihihihi... Kalau aku sibuk moto pohon bakau berlatar sunset, kalau cewe itu sibuk moto mak-mak pengganti pohon bakau berlatar sunset.
 

Kalau kira-kira aku ikut foto bareng mereka, kira-kira kayak brondong lagi dijepit tante-tante gak ya? Udah gak usah dipikirin, aku sendiri males mikirin kok.
 

Langit mulai gelap, jadi aku dan Trysu mulai deh gelar dagangan nyiapin kompor dan sejenisnya buat masak air. Segelas kopi dan senja.. dan semangkuk mie rebus, oooo... hidup menyenangkan itu simpel kok ternyata. Apalagi tinggal kita berdua, selaksa pantai ini milik pribadi. Pikiran mesum? Gak lah, Trysu itu jelas mahluk cowo kategori asli tanpa campuran.. najis berpikiran mesum sama cowo hueeekk...


Galaksi bimasakti di pantai Walakiri
Dan malemnya, duh lagi-lagi aku bersyukur menikmati malam di tempat-tempat seperti ini. Bintang-bintang jadi kelihatan jelas, bahkan galaksi Bima Sakti begitu jelas terlihat memanjang memotong utara dan selatan. Walau kalah di kamera minimal mata bisa sepuasnya menikmati momen langit seperti ini.
 

Oh iya lupa.. Pantai Walakiri itu terletak di Sumba Timur ya, kira-kira 26km dari kota Waingapu. Arahnya ikuti aja jalan menuju ke Bandara, nanti sampai di sana tinggal beli tiket pulang.. bukan ding, ambil jalan samping bandara ikut terus ke arah timur, itu arahnya sama dengan jalan menuju pantai Watu Parunu. Kalau pakai motor kayak aku paling setengah jam udah nyampai, tapi nanti jalan udah full bagus semua sekitar dua puluh menit juga udah bisa nyampai kok. Patokannya setelah melewati tiga jembatan nanti akan ketemu bangunan sekolah, belok ke arah kiri ya. Cuma kalau ketemu sekolah jangan sok yakin langsung belok kiri takutnya itu sawah nanti malah masuk ke parit. Jangan lupa tanya penduduk untuk memastikan kalau mereka itu penduduk bukan hantu, eh bukan tanya lokasinya...
Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 08 November 2015

Tosca di Pantai Ina Bura

Pemandangan pantai Ina Bura berlatar gunung Ile Boleng

Diapit karang-karang terjal berwarna hitam, pasir putih yang berada di pantai Ina Bura tampak kontras dengan warna hijau tosca dari air laut. Di depan pantai Ina Bura adalah pulau Lembata. Sementara, di belakang pantai Ina Bura tampak gunung Ile Boleng yang mengeluarkan asap. Bukan asap dari kawah gunung tapi dari masyarakat yang membakar pepohonan dan rumput kering di gunung. Ile Boleng adalah satu-satunya gunung yang aktif di pulau Adonara.Ina Bura, artinya arus kuat. Kamu bisa melihatnya jelas saat berdiri di bebatuan karangnya, arus itu berasal dari pertemuan arus yang melewati selat ini. 

Karang-karang di sekitar pantai Ina Bura
Pasir putih di pantai Ina Bura memang tak luas namun letaknya yang terjepit bebatuan karang justru menambah eksotisnya pantai ini. Pantai Ina Bura memang bukanlah semuanya pasir putih saja, ada beberapa karang terjal selain yang mengapit di sekeliling pantai, namun justru itu menguntungkan membuat ombak besar tidak langsung menghantam pantai ini. Namun untuk berenang memang harus lebih hati-hati terutama saat terjadi pergerakan arus air pasang surut. Sama seperti kondisi di selat antara Larantuka-Adonara, pantai Ina Bura juga terletak di selat antara Adonara-Lembata. Yang pernah aku lihat, kadang siang hari tampak pusaran-pusaran air yang cukup ditakuti nelayan karena jika masuk ke perangkap pusaran itu bisa-bisa perahu hilang tenggelam terbawa arus. Tapi jika waktunya tenang, memang bisa jadi lautnya bisa tenang sekali seperti kolam yang nyaris tidak beriak. Saat-saat tenang seperti itulah waktu terbaik untuk dikunjungi.

View Larantuka dari pantai Palo, Adonara Barat
Pantai Ina Bura ini sebenarnya di luar perencanaanku, bahkan aku tidak memiliki preferensi apapun tentang pulau Adonara. Perjalanan ke tempat ini bermula saat aku mau tugas mengecek pekerjaan irigasi dan bendungan di lokasi Waiua Tanah Merah. Waktu itu cuma mikir, sampai di sana pokoknya mau cari salah satu pantai yang bisa dikunjungi
Jam sembilan aku dijemput di hotel sama pak Alfon. Kirain mau ke dermaga pelabuhan Larantuka tapi ternyata di bawa ke dermaga kecil di Pantai Palo. Ternyata ada beberapa lokasi untuk menyeberang ke Adonara. Kalau berangkat dengan rombongan (lebih dari satu motor), maka lokasi penyeberangan biasanya tetep di dermaga Larantuka karena di sana perahunya berukuran besar jadi muat beberapa motor bahkan mobil juga bisa. Cuma karena daya tampungnya lebih banyak jadi harus menunggu jumlah penumpang cukup baru jalan.
Kalau hanya sendiri atau berdua dengan satu motor lebih enak lewat dermaga kecil di Pantai Palo. Satu perahu hanya muat paling banyak dua motor untuk sekali jalan. Sebenarnya bisa lebih sih cuma mereka berbagi penumpang jadi dibatasi sampai dua motor saja, malahan kadang cuma satu motor kalau lagi sepi. Jadi walau pendapatan mereka tidak besar mereka ternyata akur berbagi rejeki gak main mentang-mentang.



Menuju ke pantai Ina Bura
Jarak dari Larantuka ke Adonara Barat paling banter hanya sepuluh menit sudah akan sampai di dermaga Adonara Barat, tepatnya di Pantai Tanah Merah. Keberadaan dermaga ini membantu terutama warga Adonara Barat yang membuat perjalanan dari dan ke Larantuka jadi lebih mudah. Kondisi ini belum lama lho, sebelumnya masyarakat pulau Adonara harus menunggu kapal feri yang hanya singgah sekali dari Larantuka ke Lembata dan singgah di Waiwerang (Adonara Timur). Dermaga-dermaga baru ini memang jadi sangat membantu, waktu aku berangkat barengan sama rombongan orang yang baru selesai menjenguk saudara mereka yang sakit dan rawat inap di RSUD Larantuka. Dengan kondisi sekarang, gampang saja kalau mereka tidak ingin menginap di Larantuka karena perahu-perahu ini selalu tersedia. Sayangnya aku lupa bertanya, perahu ini ada sampai jam berapa. Tapi sepertinya mereka juga tidka masalah kalau kita minta mengantar malam-malam asal penumpangnya cukup.


Sayangnya aku gagal mengecek irigasi di Tanah Merah sehingga aku langsung ke Waiwuring yang masuk Kecamatan Witihama. Melewati Adonara hampir dua jam perjalanan darat menembus jalur tengah pulau Adonara dari ujung Timur ke Barat sukses membayar kulit dan jidatku menjadi hitam. Belum lagi banyak jalan yang sedang dalam kondisi perbaikan sehingga jalan dipenuhi dengan debu. Bahkan jalurnya pun tergolong sulit karena dibeberapa titik jalan ada yang menurun tajam, sempit dan batuannya mudah terlepas. Kondisi jalan seperti ini bagi orang di kota besar pasti cepat menimbulkan stress, tapi beda dengan pak Alfon yang memang aslinya dari Adonara. Menurut pak Alfon, dulu jalur dari Waiwerang ke Tanah Merah bisa dibilang parah banget, itu pun ditambah dengan tidak banyak alternatif kendaraan yang tersedia.
Siang setelah diajak makan dan bersantai di rumah pak Irsyad salah satu penduduk di Waiwuring, barulah waktuku agak longgar. Rencananya aku akan balik dengan menumpang kapal feri lewat pelabuhan Waiwerang yang akan singgah jam dua siang. Perjalanan dari Waiwuring ke Waiwerang sendiri sekitar satu jam, dengan syarat tidak lewat jalan umum tapi by pass melewati perkebunan kelapa. Sebenarnya ada satu lokasi bagus untuk dikunjungi yaitu di Meko, di sana ada pulau pasir yang terjepit di antara dua pulau. Sayang perjalanan ke Meko pasti lama karena kondisi jalannya yang cukup parah, padahal jarak dari Waiwuring ke Meko sebenarnya tidak jauh.

Pak Alfon akhirnya menyarankan aku agar mengunjungi pantai Watotena yang menjadi salah satu daerah tujuan wisata masyarakat lokal Adonara karena setujuan ke arah Waiwuring. Aku sih mengiyakan saja karena memang tidak tahu kondisi Adonara. Apalagi kapal feri ini hanya satu kali saja sehari, jadi sekali kami ketinggalan kapan terpaksa harus menginap sehari di Waiwerang.Balik lagi ke Tanah Merah?? Ogah banget, waktu ke sini aja udah ngeri aja liat jalan rusak menurun seperti itu apalagi nanti kalo ke sana yang artinya jalan naik.
Setelah jalan sekitar satu jam melewati sungai dan perkebunan, pak Alfon justru akhirnya membawa aku ke pantai Ina Bura, bukan pantai Watotena yang dia janjikan semula. Waktu aku tanya lokasi Watotena, dia menunjuk kiri ke arah perbukitan karang yang mengelilingi pantai Ina Bura ini. Jadi, pantai Ina Bura dan pantai Watotena ini letaknya bersebelahan dan hanya dipisahkan dengan tebing perbukitan karang.

Air biru tosca adalah salah satu daya tariknya
Suasana pantai sepi dan juga masih cukup bersih. Setidaknya sampah yang ada di sekitar pantai adalah sampah dedaunan bukan sampah plastik. Ada satu lopo agak besar yang dibangun di pinggir pantai. Pantai ini rupanya belum masuk pengelolaan pemerintah daerah sehingga masih dikelola sendiri oleh desa. Sepertinya pantai-pantai seperti ini lebih baik dikelola sendiri oleh desa, karena cenderung masyarakat yang berjaga cenderung lebih memperhatikan kondisinya. Pengalamanku, kawasan wisata yang dikelola oleh pemerintah daerah justru sering kurang terawat. Banyak hal, salah satunya ya masyarakat jadi kurang aware karena merasa bukan mereka yang punya kewajiban. Tetapi sepertinya tempat ini hanya di jaga di hari Minggu saja. Tadi waktu masuk ke sini ada kayu penghalang jalan cuma tidak ada yang berjaga sama sekali. Untung kami pakai motor sehingga mudah saja lewat dari jalan samping yang sudah terbentuk jalan darurat (mungkin sudah banyak yang lewat jalan ini terutama kalau jalan sedang ditutup begini).

Suasana di pelabuhan Waiwerang
Aku sendiri tidak lama di tempat ini sehingga tidak jadi mampir ke pantai Watotena lagi. Sekitar setengah jam baru lah motor kami sampai ke Waiwerang namun ternyata kapal, dan kapal baru berlayar jam setengah empat. Di atas kapal, aku sempat menikmati makanan kecil yang dijajakan anak-anak kecil yaitu manisan buah kom. Buat yang belum familiar, buah kom itu berasal dari pohon Bidara yang biasanya tumbuh di pinggir pantai. Pohon yang dibagian batang mudanya suka ada duri ini ini buahnya berukuran kecil-kecil yang jika matang berwarna merah dengan rasa manis sepat bertepung. Ternyata buah kom ini kalau dibuat manisan rasanya enak, terutama bagian kulit dan rasa bertepungnya. Murah sih, satu plastik cuma seribu rupiah.
Sebenarnya aku ada saudara yang tinggal di pulau Adonara ini, tepatnya di kampung Lamahala yang tampak jelas dari pinggir pelabuhan Waiwerang. Cuma memang dengan waktu semepet ini, aku jelas tidak dapat mampir ke tempat mereka. Tapi sepertinya lain kali aku harus mencoba lagi ke Adonara karena sepertinya masih banyak tempat menarik lebih banyak daripada yang aku pikirkan.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya