Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Sabtu, 31 Oktober 2015

Kopi Senja: Pantai Puru Kambera

Senja di Pantai Cemara Sumba Timur
Bubu, alat untuk menjebak ikan laut di pantai Puru Kambera
Angin dari atas perbukitan mulai menerpa pantai, membuat batang-batang Cemara berayun-ayun menimbulkan suara yang khas. Api di kompor kecil yang kutaruh di bawah cemara ikut bergoyang. Untung ada lubang di bagian bawah pohon cemara sehingga menjadi penghalang langsung angin mengenai kompor. Walaupun jadi lebih lama dari pada biasanya namun air di atas kompor akhirnya mendidih juga. Akhirnya dua gelas yang kami pinjam dari hotel menguarkan harum kopi begitu air panas kami tuangkan. Hmmm.. wangi kopi di tangan kami berpadu sempurna dengan warna lembayung di langit Puru Kambera. Suasana sekitar yang masih sepi menjadi tempat sempurna untuk duduk ngopi sambil memandangi senja. Kadang hal yang menyenangkan dan membahagiakan itu tidak jauh asal kita bersedia menjadi sederhana. Dan disinilah kami menemukannya, dalam sepotong senja dan segelas kopi. Walaupun kopiku dan kopi kesukaan Trysu beda merknya, tapi kopi tetap harum kok.... 

Sore di pantai Cemara Sumba Timur
Bebatuan berlumut di pantai Puru Kambera
Pasir putih dan jajaran pepohonan cemara, itulah view yang khas orang temui di pantai Puru Kambera. Maka tak heran jika banyak juga yang menyebutnya dengan nama Pantai Cemara. Pantai yang terletak sekitar 26 km dari kota Waingapu ini menjadi salah satu destinasi yang dipromosikan oleh Pemda Sumba Timur. Entah kenapa, jika menyebut pulau Sumba maka destinasi wisata yang sering terdengar justru di sekitar daerah Sumba Barat dan Sumba Barat Daya (dua kabupaten ini dulunya satu yaitu Kabupaten Sumba Barat).Mungkin memang efek adanya acara Pasola yang setiap tahun digelar oleh dua kabupaten itu.
Aku pertama kali kesini sudah beberapa tahun yang lalu, mungkin tiga atau empat tahun yang lalu. Waktu itu gak tau sama sekali cuma tanya ke tukang ojek, di mana ada lokasi wisata pantai di dekat sini. Dan dengan ongkos 100ribu untuk nganter bolak-balik, aku dibawa tukang ojek ke tempat ini. Sendiri ke tempat ini pas kebetulan surut sama seperti saat aku kesini baru-baru ini. Dan waktu itu sempet ketemu sama rombongan dokter-dokter yang lagi kerja PTT atau cuma co-ass entah aku lupa, seingetku tiga cowo dan dua cewe...atau... dua cowo tiga cewe ya (satu cowo kaya cewe hihihi)

Milky way di langit Puru Kambera
Galaksi dari pantai Puru Kambera
Akhirnya kesini lagi awal Oktober kemarin bareng Trysu. Oh yang hari pertama sempet ngajak satu temen kantor yang cewe (kebetulan beda penugasan tapi di kota yang sama). Untungnya dapet pinjeman motor jadi kita lebih praktis kemana-mana termasuk ke Purukambera. Dari Kota Waingapu menuju Purukambera pasti akan melewati pantai Londa Lima yang dikenal dengan nama Pantai Kita (karena berada di desa Kita). Pantai Londa Lima merupakan salah satu kawasan wisata yang salah sudutnya dikelola oleh Pemda, dan mungkin menjadi salah satu wisata andalan wisatawan lokal. Tentu saja karena faktor jaraknya yang dekat dengan kota Waingapu. Tapi lupakan tentang pantai Londa Lima. Walaupun berpasir putih, tapi keberadaan sampahnya sungguh mengganggu dan itu terlihat jelas dari pinggir jalan. Entah kenapa, lokasi yang dikelola justru tampak sangat jorok. Dan aku masih bisa melihat keramaian orang-orang berwisata ke tempat itu saat hari-hari libur. Heran aja, sepertinya mereka tidak terganggu dengan segala jenis sampah yang memenuhi seluruh pantai. Malahan mereka kadang menambah sampah. Kata orang dari Dinas Pariwisata, sebagian sampah yang ada di pantai Londa Lima terbawa dari Pelabuhan Waingapu yang memang tampak dari pantai Londa Lima. Jadi untuk pantai Londa Lima untuk sementara ini aku tidak ingin menuliskannya. Mungkin lain kali kalau sudah ada perhatian penuh dari Pemerintah terutama terkait kebersihannya.


Perbukitan di Sumba Timur
Menjelang senja dari perbukitan Puru Kambera
Setelah melewati pantai Londa Lima, nanti kita akan berjalan naik menuju ke perbukitan. Kawasan perbukitan ini saat pagi atau sore bisa menjadi tempat yang menarik untuk didatangi. Bukit di daerah ini sebagian besar adalah bukit karang. Saat aku datang sebagian rerumputan sudah mengering kecoklatan sehingga batu-batu karang berwarna kelam dan kasar tampak memenuhi perbukitan. Namun justru di beberapa titik ada pemandangan kontras yang menarik yaitu pohon gala-gala dan beberapa pohon sejenis yang berbunga saat puncak musim kering. Sempat ketemu dengan pasangan yang sedang dipotret oleh sekelompok orang di salah satu pohon yang dipenuhi bunga, mungkin mereka sedang pemotretan prewedding. Perbukitan ini menjadi salah satu lokasi kuda-kuda dilepaskan untuk mencari makan sendiri. Sayang kuda-kuda ini tidak mudah didekati. Tapi walaupun tanpa ikatan bukan berarti mereka kuda liar lho ya.

Rerumputan di perbukitan kala puncak musim panas
Dari perbukitan barulah perjalanan menurun terus sampai ke arah pantai. Mulai saat ketemu pantai itulah, kawasan pantai itu disebut dengan nama Purukambera. Sayangnya di sisi pantai sebagian besar telah diberikan tanda berupa pagar batu. Jadi tidak mudah mencari daerah terbuka untuk umum yang bisa kita masuki.Biasanya pengunjung memilih turun selepas jembatan di samping satu-satunya hotel yang ada di sana. Hotel Puru Kambera Beach namanya, kalau gak salah. Hotel itu punya ruang terbuka dan sebuah tempat makan yang langsung berada di pantai, cukup romantis untuk digunakan pasangan terutama yang mau ngajak married pasangan. Kalau yang lebih suka wisata koper, hotel ini mungkin tempat yang tepat. Jarak kita memarkir motor dengan pantai cuma tinggal semeter karena memang jalan berada persis di pinggir pantai. Tapi sebaiknya parkir di tepi jalan dan jangan masuk di bawah pepohonan cemara karena pasirnya halus jadi mudah terbenam. Pengalaman pernah setengah mati menarik motor gara-gara roda motor terbenam ke dalam pasir. Pasirnya memang putih, khas warna pasir di wilayah Sumba. Memang pasir putihnya tidak luas, jika sedang surut pun bagian surut lebih sering dipenuhi bebatuan yang sebagian besar telah berlumut. Namun pasir putih di daerah ini memanjang sepanjang jalan yang kita lewati. Dan satu lagi, di sepanjang pasir putih itu banyak berdiri deretan pohon Cemara. Kalau kuat berjalan, panjang pasir putihnya mencapai satu km lebih.


Kuda-kuda di pantai Cemara Sumba Timur
Menghalau kuda pulang di pantai Puru Kambera
Terakhir ke sana aku memilih masuk ke salah satu pagar batu yang berada selepas turunan bukit. Karena belum ada bangunan dan hanya pagar batu jadi masih bebas kita masuki. Tetapi nanti jika sudah ada bangunan pasti kita gak bisa masuk ke sini lagi. Ini efek kalau di pinggir pantai diijinkan bangunan. Setelah masuk bagian belakang yang batunya belum terpasang langsung akan disambut pepohonan cemara dan pasir putih. Beberapa aktivitas nelayan jamak ditemui, bangunan-bangunan dari bambu dan atap daun lontar biasanya menjadi rumah sementara para nelayan saat melaut di sini. Menurut mereka, keberadaan pulau Sumba yang berada di antara lautan lepas (Laut Sabu dan Lautan Hindia) membuat daerah mencari ikan berubah-ubah tergantung musim anginnya. Mereka biasanya menghindari wilayah dari arah angin berasal. Misal musim angin barat, biasanya para nelayan akan memiliki mencari ikan di kawasan Timur yang ombaknya lebih tenang.

Berada di pantai dekat perbukitan memang lautnya lebih menarik, terutama karena saat surut bebatuan yang berlumut tidak sebanyak dibanding yang berada dekat hotel. Dan yang pasti lebih tenang karena kemungkinan jarang yang mendatangi Puru Kambera dari sisi sini. Aku dan Trysu berjalan ke Timur karena semakin mendekati perbukitan semakin tenang. Tetapi sayangnya aku lupa, saat mulai gelap justru angin yang terasa makin kuat. Kemungkinan karena angin dari perbukitan yang bertiup kebawah tidak terhalang. Dari pengalaman itu, aku akhirnya tahu untuk menghindari berada di pantai yang dekat dekat perbukitan karena justru anginnya terasa lebih kencang saat malam. Memasak air yang biasanya tak sampai 10 menit sudah mendidih, sekarang hampir 20 menit baru mendidih padahal aku sudah taruh kompor di dalam barang pohon Cemara yang kebetulan berlubang di bagian bawahnya.

Entah kapan pantai ini masih bisa dinikmati gratis. Para pemilik tanah-tanah yang berpagar batu itu sepertinya adalah sebuah grup/perusahaan. Jika mereka telah membangun, kemungkinan besar mereka akan membatasi akses pengunjung ke lokasi mereka. Sekarang saja melihat pagar-pagar batu itu kita sudah serasa dibatasi, apalagi nanti jika bangunan-bangunan hotel dan sebagainya berdiri di atasnya.

2 komentar:

  1. Wilkyway nya bener2 juara om.. 2 jempol..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih om Agus, masih belum puas sih sebenarnya...

      Hapus

Silahkan tinggalkan komentar anda disini. Untuk sementara komentar saya moderasi dulu karena banyak spam yang masuk. Terima kasih sudah berkunjung, salam MLAKU!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya