Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Senin, 26 Mei 2014

Air Terjun Bekor, Nangahale

Air terjun Bekor, Nangahale
Air terjun yang keluar dari balik bebatuan
Perahu melaju pelan membelah perairan Pangabatang menuju ke Tanjung Darat. Inilah daratan terdekat yang paling mungkin kucapai dengan perahu nelayan kecil seperti ini. Pak Sartono sengaja memutar perahunya supaya memudahkan aku mengambil gambar kondisi perairan yang bening dan dipenuhi koral dan ikan warna-warni. Tak berapa lama perahu kami memasuki kawasan bakau dan mendarat di sebuah cerukan dalam di antara bakau. Saat di laut aku sendiri tidak bisa mengenali dimana kita bisa mendarat karena sepanjang pantai yang tampak adalah bakau saja. Selepas di darat, aku memutuskan naik ojek ke arah Likong.
Air terjun Bekor, Nangahale
Air terjunnya mengalir kecil di musim panas
Sesuai dengan informasi yang aku terima dari salah seorang kerabat pak Sartono yang sekarang bekerja di Dinas Pendidikan di daerah Nangahale terdapat satu air terjun yang menurut mereka menarik. Mereka sendiri tidak tahu nama air terjun itu namun mereka menyebut nama pak Blasius yang biasa menjadi pengantar tamu jika ingin ke air terjun itu. Dan sekarang nama pak Blasius di dusun Likong menjadi arah tujuanku.
Sekitar sepuluh jam di atas motor melintasi jalur jalan yang lebih banyak berupa tanah, akhirnya ojek bisa mencapai jalan raya. Sepuluh menit berikutnya ojek yang aku tumpangin sampai ke daerah Likong. Ingat ya bacangnya Likong bukan Lekong, beda banget gitchuu... *keselek biji duren*.. Berbekal informasi nama Blasius, aku diantar seorang anak kecil masuk ke gang kecil hingga ke sebuah rumah sederhana. Saat menyebutkan namaku, pak Blasius masih tampak kebingungan namun menjadi jelas saat aku menyebutkan nama pak Aswadi yang pernah bekerja menjadi guru di sini. Sayangnya hari Minggu ini beliau sedang ada keperluan keluarga sehingga tidak mungkin mengantarku. Saat aku minta dia menunjukkan arahnya saja, dia katakan kalau jalurnya baru saja dibuka dan tidak mudah untuk dilalui. Dia takut aku tersesat karena belum ada jalan ke sana, baru saja ada jalan dibuka tapi sebatas untuk pekerjaan pembangunan reservoir oleh PDAM yang akan menggunakan air terjun di situ. Untungnya pak Blasius menawarkan agar anaknya Rikardus yang akan membantu mengantarku ke air terjun. Aku setuju karena anaknya juga yang membantu saat ada obeservasi lapangan oleh sebuah tim beberapa kali. Aku sempatkan membeli pisang molen goreng dan minuman karena memang aku belum makan dari pagi selain kue-kue kering saat di Pangabatang.
Air terjun Bekor, Nangahale
Trap-trap air terjunnya cantik apalagi jika pas airnya banyak
Sambil berjalan, aku mendengarkan cerita Rikardus tentang awal mula air terjun ini ditemukan dan kondisi asli ke lokasi itu. Katanya, air terjun ini ditemukan oleh orang kampung Likong Gethe yang sedang gila. Dia lah yang memberitahu penduduk kalau ada air terjun disana. Katanya pulau, orang gila itu akhirnya sembuh. Mereka menamai air terjun ini Bekor (ingat Bekor, jangan salah lagi mengeja Boker... beda bangeetttt). Rikardus sendiri beberapa kali menemani orang-orang yang melakukan survei ke air terjun ini yang katanya mau dibuat sebagai sumber air bersih. Dia juga sering menemani rombongan tamu yang ingin ke air terjun. Dulu katanya hampir tiap minggu dia bisa bolak balik mengantar tamu ke air terjun, namun entah kenapa tahun ini belum ada lagi orang yang mau mengunjungi air terjun ini.
Jalur sungai dengan tebing curam
Dari Likong, Rikardus memilih mengajakku mengunakan jalan potong melalui kebun jagung dan kelapa milik penduduk. Menurutnya jarak dari Likong Gethe (itu nama lengkap kampungnya) ke air terjun Bekor sekitar 4,5 km. Entah apakah itu jarak betul atau kira-kira. Di sini kalau orang sudah mengatakan 1 km kadang-kadang kalau ditempuh 3 km juga belum sampai hahaha jadi jangan senang dulu kalau mendengar jaraknya dekat kecuali sudah mengalaminya sendiri.
Perjalanan sendiri seperti yang aku duga tidak mulus karena harus melewati sungai. Artinya jika musim hujan, air terjun ini sangat sulit dilalui. Di beberapa tempat aku melihat pipa-pipa yang terpasang di sepanjang pinggir sungai tapi masih belum terhubung semuanya. Pemasangan pipa ini juga menguntungkanku karena beberapa jalan jadi tidak terlalu menanjak. Menurut Rikardus, sebelum dibuat jalan ini, kondisi menuju air terjun tergolong jauh lebih sulit. Bahkan ada beberapa titik yang kita harus melewati bukit sambil berjalan merambat karena tidak ada jalan hanya berupa bekas jalan yang kondisinya tanahnya miring. Tak terhitung berapa kali aku dan Rikardus melewati sungai. Untung aliran airnya kecil jadi mudah kami lewati. Namun dari aliran airnya aku justru curiga kalau air terjun Bekor ini seperti air terjunnya umumnya di NTT yang debitnya di waktu musim hujan dan musim kering sangat jauh.
Aliran air terjun yang turun banyak di musim kemarau
Entah berapa jam aku berjalan aku sendiri sudah lupa, bahkan aku tak pernah menengok jam tanganku. Perjalanan yang harus menembus hutan ini melenakanku. Beberapa kali aku harus masuk ke dalam hutan yang katanya merupakan hutan yang hampir tidak pernah dijamah masyarakat. Jalan menuju air terjun memang naik turun bukit, namun arahnya makin menanjak. Di kilometer terakhir kami tidak bisa lagi melewati sungai karena sungai lebih dipenuhi batu-batu besar yang akan sulit untuk dilewati. Untungnya jalan terakhir yang dulunya paling sulit berupa jalan miring dengan bergerak merayapi bukit sudah tidak ada menjadi jalan tanah yang baru dibuat. Tapi kondisi jalan ini hanya bisa dilalui dengan jalan kaki, jika dengan motor trail mungkin masih bisa walau juga tidak mungkin sampai ke air terjun juga.

Sebenarnya sebelum sampai di air terjun kami juga melewati sungai yang mengalir sumber air panas. Sumber air panas ini tidak besar hanya berupa 2 pipa bambu yang menancap di dinding. Air dari bambu ini mengalirkan air panas. Di titik kelokan terakhir juga ada tebing batu kering yang katanya juga kalau musim hujan berubah menjadi air terjun. Artinya jika musim hujan banyak air terjun di daerah ini walau aku gak membayangkan bagaimana bisa kesana jika musim hujan.
Air terjun Bekor, Nangahale
Rikardus duduk di bawah pohon yang tumbang
Dari pinggir sungai tak tampak air terjun hanya terlihat trap-trap air mengalir karena air terjunnya sendiri terhalang oleh pepohonan. Setelah turun melewati sungai dan naik ke atas trap-trap air mengalirnya barulah tampak pemandangan air terjun yang tingginya mungkin sekitar 30 meteran. Dari dinding batu kapur yang ada tampaknya air terjun di sini pada waktu musim hujan cukup lebar, namun saat ini hanya ada 2 titik air terjun itu pun air terjunnya tidak deras sedangkan tiga dinding batu di sekitarnya sudah mengering.
Suasana sekitar air terjun terasa sejuk apalagi pepohonan rindang disekelilingnya. Aku sempat mampir mandi disumber air panasnya. Sekitar jam 2 siang aku sudah kembali ke dusun Likong. Aku hanya berhenti sebentar di batas terakhir hutan untuk sejenak minum dan makan gorengan walaupun sebenarnya kaki sudah terasa kebal.
Dari Likong aku naik ojek dengan biaya 50rebu walaupun setelah sampai tukang ojeknya minta tambah untuk uang bensin karena setelah sampai kota baru sadar kalau ternyata jauh... hahaha ada-ada saja, mereka yang orang asli masak gak tau jarak dari Likong ke kota Maumere. Akhirnya aku tambah uang 7rebu karena cuma itu uang kecil yang tersisa di kantongku.
Sebenarnya pada waktu yang sama, teman-teman dari Mofers Photography juga sedang melakukan perjalanan ke air terjun Murusobe yang jauh lebih besar debitnya dan lebih tinggi. Namun sayang aku memang ingin ke Pangabatang sehingga ajakan ke Murusobe terlewatkan. Tak apalah, yang penting suatu ketika nanti aku juga bisa mampir ke Murusobe.

Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 22 Mei 2014

Kembali ke Pulau Pangabatang

Dua anak pulau Pangabatang menatap matahari terbit

Aku berangkat jam setengah tiga setelah memastikan kalau pak Agus tidak bisa ikut, tentu persoalannya masalah transportasi dan penginapan. Jadilah aku berangkat sendiri. Mempertimbangkan waktu akhirnya aku memilih naik ojek yang setelah tawar menawar sepakat harga 50ribu. Perjalanan dengan ojek lebih cepat sehingga tak sampai 45 menit kemudian aku telah sampai di desa Nangahale. Inilah desa yang terletak di teluk Maumere dan merupakan jarak terdekat untuk menyeberang ke pulau-pulau sekitar, dan menjadi tempat tujuan penduduk pulau untuk ke darat. Nangahale juga menjadi lokasi perumahan yang dibangun pemerintah untuk menampung korban tsunami tahun 1992 dari pulau-pulau sekitar. Sesampai di Nangahale, aku masuk ke dermaga perikanan karena disanalah biasanya perahu penumpang bersandar. Untung hari ini aku masih mendapatkan perahu terakhir yang akan ke pulau Parumaan. Saat kutanya apakah bisa singgah ke pulau Pangabatang, pemilik perahu mengiyakan.
Perkampungan di pulau Parumaan
Aku duduk di belakang tepat di depan kemudi sambil memperhatikan penumpang dibantu pemilik perahu menaikan barang-barang seperti semen, cat, minuman kaleng, makanan kecil, beras dan banyak yang lain. Mungkin itu adalah barang-barang jualan. Cuaca cerah dan lautpun tampak tenang saat perahu mulai melaju meninggalkan desa Nangahale. Aku duduk santai sambil menikmati percakapan yang tak kumengerti, entah mereka menggunakan bahasa setempat atau bahasa lain karena kudengar penduduk pulau kebanyakan adalah pendatang dari Buton, Bajo, Bugis yang tentu juga berbeda bahasanya.
Galaksi Bima Sakti
Semuanya masih biasa sampai cuaca berubah tiba-tiba, awan yang semua hanya mengitari tanah di sekeliling pulau mengepung kami. Warna gelap di depan menutup pandangan kami, menghalangi kami melihat pulau arah tujuan. Rupanya jauh di depan telah terjadi hujan disertai angin kencang yang menciptakan air di lautan menjadi bergelombang agak besar. Terpal yang terpasang tidak bisa menahan kami dari basah karena air hujan datang dari sisi kanan. Segera beberapa perempuan berpindah ke sisi kiri menghindari hujan dan terpaan gelombang, yang justru mengakibatkan perahu menjadi oleng ke kiri. Di tengah angin yang terus menderu, tukang perahu berteriak “Jangan ke kiri.. jangan ke kiri.” Dia memperingatkan kami agar bertahan sisi di kanan. Aku dan berada penumpang terpaksa bertahan di sisi kanan untuk menyeimbangkan perahu. Dadaku berdegup kencang seperti hujan badai ini yang membuat kami sama sekali tidak bisa melihat kedua pulau yang kami tuju. Untungnya hujan kencang ini tidak berlangsung lama, hanya seperempat jam saja. Walaupun hujan badai itu tidak membuat perahu terbalik tapi sukses membuat seisi perahu basah kuyup termasuk barang-barang dagangan yang penumpang bawa. Tukang perahu mengatakan padaku kalau tidak bisa singgah di Pangabatang. Aku mengiyakan saja dengan kondisi seperti ini, di samping kiri, aku hanya melihat pulau Pangabatang samar-sama tertelan badai yang rupanya masih turun di sana  
Suasana pagi di Pangabatang
Setelah seperempat jam terhempas badai, seperempat jam kemudian perahu mulai memasuki perairan pulau Parumaan yang tampak tenang. Rumah-rumah panggung mendominasi penampakan perkampungan ini. Kondisi perairan sedang surut membuat perahu bersandar di bagian rumah penduduk yang lebih landai. Penumpang mulai turun lewat samping perahu tetapi tetap harus loncat ke air karena tidak ada jalan langsung ke darat.
Mas Joko orang Solo yang baru kukenal mengajakku menginap di rumahnya supaya besok pagi aku bisa jalan ke Pangabatang. Sebenarnya bukan rumahnya tapi rumah temannya karena dia sendiri hanya mampir tiga bulan sekali, katanya sih pekerjaannya mengumpulkan besi bekas. Hebat ternyata di pulau-pulau seperti ini, masih bisa mengais rejeki dari besi bekas. Jadi ingat perjalananku pertama empat tahun lalu ke sini dan bertemu seorang pria dari Surabaya yang pekerjaannya mampir ke pulau-pulau untuk mencari rumput laut. Katanya kualitas rumput laut di pulau-pulau seperti ini lebih bagus kualitasnya, ternyata rejeki bisa dari mana saja jika mau berusaha dan mencarinya.
Perahu bersiap meninggalkan Pangabatang
Aku meloncat ke air mendahului mas Joko dan menunggunya di bawah salah satu rumah panggung milih penduduk seperti ini. Sebagian besar rumah di Parumaan berbentuk rumah panggung. Aku sempat berjalan-jalan sebentar menyusuri jalan beton kecil tapi tampaknya tak ada tempat untuk menginap tersendiri. Namun sebenarnya mudah saja kalau ingin menginap karena rata-rata mereka akan dengan senang hati menerima kita menginap di rumahnya. Tapi jika tidak mau bisa juga menginap di mesjid yang ada di tengah kampung.
Saat hujan sudah reda akhirnya aku memutuskan untuk meneruskan perjalanan ke Pangabatang sebuah sebuah perahu kecil bermesin. Bukan perahu penumpang namun hanyalah perahu nelayan biasa untuk mencari ikan, sehingga aku harus bersedia duduk di atas tumpukan jaring. Masih lumayan perahu ini menggunakan motor, 4 tahun lalu saat kesini aku malahan hanya menggunakan perahu lesung yang didayung.
Mesjid kecil di Pangabatang
Pangabatang tidak banyak berubah, hanya ada beberapa rumah baru yang dibangun namun juga ada beberapa rumah yang ditinggal penghuninya. Aku sempat mampir ke rumah pak Ba'ding yang menjadi kepala dusun di kampung Pangabatang ini. Sebagai gambaran, pulau Pangabatang (dari bahasa Bugis yang airnya Pembatas) adalah sebuah pulau kecil dari sederetan pulau di Kabupaten Sikka. Saat ini jumlah rumah yang ada sudah sekitar 60 rumah dengan 85 kepala keluarga, bertambah 20 rumah dari kedatanganku empat tahun lalu yang hanya sekitar 40 rumah. Berbeda dengan desa pusat di Parumaan (bahasan Bugis artinya Perumahan) yang merupakan etnik Bajo, maka di Pangabatang sebagian besar masyarakatnya beretnik Buton. Penduduk hanya menempati sepertiga pulau, dan sisanya adalah kawasan kosong yang belum dihuni. Menurut pak Ba'ding, pulau ini milik seorang haji yang tinggal di pulau Pamana. Pantainya berpasir putih dan lautnya yang bening masih kaya akan terumbu karang yang masih terjaga terutama di perairan antara pulau Pangabatang dan pulau Babi.
Pohon khas di Pangabatang yang sekarang sudah patah batangnya
Dengan pak Ba'ding aku minta ijin akan menginap sehari disini. Meskipun pak Ba'ding menawarkan agar aku menginap di rumahnya aku bersikeras mau menginap di mesjid saja. Seperti biasa juga, begitu melihat aku beberapa anak langsung mengikutiku sehingga bisa menjadi teman mengobrol. Mereka sepertinya antusias sekali setiap melihat orang baru yang datang kesini. Ada sebuah pohon yang khas tumbuh sendiri di pinggir pantai, pohon itu pulalah yang ingin pertama kutuju. Namun sayang pohon itu sekarang sudah tinggal pendek karena batang-batang bagian atasnya sudah patah katanya belum lama ini patahnya. Duduk-duduk di pasir bersama anak-anak aku mengeluarkan satu kotak sosis yang langsung menjadi rebutan dengan mereka. Aku selalu ingat untuk membawa makanan-makanan seperti ini setiap ke pulau, kadang permen atau coklat seperti saat datang kesini pertama kali empat tahun yang lalu. Namun tak berapa lama aku mendengar lamat-lamat suara perempuan yang memanggil anak-anak ini.
View bawah laut Pangabatang (dari perahu berjalan)
Sebenarnya aku juga berencana membuat api unggun di sini, namun sayang karena habis hujan jadi semua kayu-kayu kering yang teronggok di sepanjang pantai menjadi basah tidak bisa digunakan untuk membuat api unggun. Sambil memotret dan ngobrol bareng anak-anak tak terasa langit berubah menjadi gelap. Tak berapa lama selepas azan Maghrib, beberapa pria dewasa menggunakan pakaian gamis mendekati aku, sepertinya mereka habis pulang dari sholat Maghrib berjamaah di mesjid. Mereka meminta aku untuk mampir ke kampung. Mereka juga menyarankan agar aku menginap saja di salah satu rumah mereka karena beberap waktu ini banyak sekali nyamuk yang datang menjelang senja, hal yang tak mereka temui selama ini. Memang aku sendiri merasakan jumlah nyamuk yang sangat banyak saat memotret di pinggir pantai. Dari mereka aku juga baru tahu, saat ini ibu-ibu suka kuatir jika ada tamu dari luar karena sekarang mereka sering melihat berita tentang pencabulan anak-anak. Wah, untung mukaku bukan tampang kriminil karena bisa-bisa aku kena tuduh bisa panjang urusannya.
Terumbu karang di perairan agak dalam
Rupanya pak Sartono punya andil menjelaskan ke penduduk kalau aku ini fotografer (ngaku iya ajalah walau sebenarnya aku biasanya menolak disebut fotografer) sehingga membuat mereka bisa menerima keberadaanku. Pak Sartono menawariku ke rumahnya, sebuah rumah panggung juga untuk bersantap malam. Sebenarnya aku tidak ingin merepotkan mereka namun aku tidak kuasa menolak ketulusan mereka sehingga memutuskan mengiyakan ajakan mereka.
Pak Ba'ding yang rumahnya berseberangan dengan pak Sartono ikut menemani sehingga malam itu kami ngobrol lama tentang banyak hal terutama hal-hal yang berbeda dari yang ketemui empat tahun lalu. Seperti mengapa sekarang masyarakat di sini tidak lagi menanam rumput laut seperti yang mereka lakukan dulu, termasuk suara genset yang tidak lagi terdengar saat menjelang malam. Setahuku dulu di sini adalah sebuah genset umum yang digunakan bersama-sama yang dihidupkan dari jam enam sore Ternyata pak Sartono lah yang mengoperasikan genset itu, namun sekarang tidak beroperasi lagi dan sudah rusak. Masyakat sekarang menggunakan fasilitas penerangan dari PLN yang berupa listrik tenaga surya. Beberapa masyarakat juga memilih memakai genset masing-masing untuk tambahan pemakaian listrik.
Bukit batu yang pernah menyelamatkan penduduk waktu tsunami 1992
Pantas saja suasana sekarang jauh lebih tenang. Kalau dulu setelah selesai acara tivi barulah menjadi tenang karena saat itulah genset dimatikan dan suasana menjadi gelap. Pak Sartono memaksaku supaya menginap di rumahnya karena menurutnya di mesjid pun masih terlalu banyak nyamuk. Aku akhirnya menerima permintaannya namun tetap meminta agar dibolehkan tidur di balai teras. Walaupun hanya teras di rumah panggung, namun lantai bambu membuat suasana rumah tetap enak untuk tidur. Bahkan karena di teras, saat bulan menghilang aku bisa dengan mudah melihat gugusan bintang di galaksi Milky Way. Suasana inilah yang membuat aku selalu rindu melakukan perjalanan ke tempat-tempat seperti ini.
Suasana tenang dan nyaman seperti ini membuatku dengan cepat tertidur. Galaksi bergerak merangkak di langit timur, bunyi malam yang begitu tenang seperti mengayunku pelan dalam buaian mimpi.
Setengah empat pagi aku sudah terbangun dan bersiap turun untuk memotret galaksi karena bulan sekarang sudah menghilang. Sebenarnya aku mau cuci muka namun aku urungkan karena air tidak tersedia banyak disini. Di Pangabatang tidak ada sumber air tawar sehingga masyarakat harus mengambil dari pulau Besar di sebelahnya atau mengambil dari daratan, biasanya jalur paling dekat mengambil ke Tanjung Darat. Terus terang di teras rumah ada beberapa jerigen air namun itu biasanya persediaan untuk seminggu. Untuk mandi dan aktivitas cuci biasanya masyarakat menggunakan sumur yang terletak di tengah pulau yang airnya payau. Letaknya di belakang batu-batu besar yang membelah pulau. Pulau ini terdapat dua bukit batu yang membelah pulau, bukit batu inilah yang menjadi penduduk Pangabatang menyelamatkan diri saat terjadi bencana tsunami. Pak Sartono menceritakan betapa keanehan pernah terjadi saat itu, karena saat bencana tsunami tidak mencapai lebih dari pertengahan bukit padahal saat itu gelombang bahnya tinggi melebihi pohon kelapa. Karena itulah penduduk sering mengadakan syukuran tiap tahun di batu ini. Sayang menurutnya, kebiasaan ini sekarang sudah ditanggalkan dengan alasan syirik. Banyak cerita dari bibir pak Sartono tentang bagaimana kisah mereka saat tsunami 1992 waktu itu.
Memasuki kawasan bakau di Tanjung darat
Karena tak ada perahu yang datang hari ini (menurut mereka memang tidak ada perahu penumpang yang jalan hari Minggu kecuali ada permintaan), pak Sartono menawarkan untuk mengantarkan aku kembali dengan perahunya. Sekitar jam delapan aku kembali ke darat ke Tanjung Darat karena itu jarak terdekat dari pulau ini. Perahu pak Sartono sendiri perahu kecil yang terlalu berisiko kalau harus ke Nangahale. Menurutnya walau kelihatannya tenang namun sebenarnya ada waktu-waktu tertentu arus yang ada di perairan ini sangat kuat dan itu sangat membahayakan.
Aku sebenarnya mau mampir ke pulau Koja Doi dan Koja Gethe karena di sanalah ada jembatan batu yang menghubungkan kedua pulau namun sayang karena tidak ada perahu besar jadi aku harus mengurungkan perjalanan kesana kali ini.
Perjalanan ke Pangabatang kali ini menorehkan banyak kenangan, aku berjanji kalau suatu ketika jika mereka telah membangun pondok di Pangabatang aku akan membantu mempromosikan tempat ini. Aku berharap pariwisata dapat menaikkan taraf hidup mereka, juga masyarakat bisa lebih terbuka dengan pariwisata. Aku juga tentu berharap bahwa pariwisata akan membuat terumbu disini menjadi terjaga.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya