Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Selasa, 08 April 2014

Jelajah Semau: Perjalanan Tanpa Arah (1)

Pantai Uih Make yang berada di cekungan terjepit karang-karang. Entah ada berapa pantai indah seperti ini di Semau
yang pasti ini salah satu view pantai yang memukau kami. Dan pantai ini masih bersih.
Duduk di belakang motor yang dikendarai Augus, aku merasakan rasa haus yang teramat. Tapi bukan air yang ada di dalam pikiran dan kepalaku juga mungkin yang lain, tapi air dingin atau air kelapa muda yang terus bermain-main menggodaku.
Aku tidak sampai mengigau dan meracau, tadi rasanya otakku tak bisa melepaskan diri dari dua benda itu enyah dari pikiranku. Tapi di sepanjang perjalanan menuju Liman, aku tidak kuasa membuat bibirku diam menyebut dua benda sialan yang bersarang diotakku ini.

Perjalanan Tak Terencanakan
Para mahluk kucel berteduh di dalam perahu
Semuanya tiba-tiba tanpa perencanaan sebelumnya. Berawal dari adanya libur sehari perayaan Nyepi tanggal 1 April yang jatuh hari Senin. Jadi kalau dihitung, ada libur tiga hari. Rupanya liburan ini mau dimanfaatkan Ardi, Imam, sama Ucil buat jalan-jalan dan ngemping. Aku yang biasanya suka jalan sendiri ikut, lumayan kalau bisa jalan bareng temen-temen yang hobinya sama-sama suka jalan. Awalnya sih mereka mau ke Rote. Karena sering kali ke Rote, tiba-tiba aku menawarkan jalan ke pulau Semau. Eh tanpa pertimbangan ba bi bu Ardi mau saja terima tawaranku. Pulau Semau adalah salah satu tempat yang belum pernah aku injak padahal berada tidak jauh dari Kupang. Terus terang, kemungkinan aku sedikit banyak terprovokasi dengan tulisan Tinae Siringoringo di blog dia: Hunting Paradise 8 Pantai dan 2 Kolam di Pulau Semau. Lha kok bisa-bisanya, kita berlima yang mau jalan tinggal bareng di satu kompleks. Aku curiga memang sepertinya para backpacker dan pecinta jalan pada ngumpul semua di kompleks hahaha.
Besoknya pagi-pagi kita bersiap-siap dengan tiga motor. Agak telat sih, apalagi kalau bukan masalah si Imam, Ucil sama August yang emang ditakdirkan susah bangun pagi. Wal hasil, dari rencana jam enam mau jalan jadinya jam tujuh baru bergerak dari kompleks.
Depan dermaga Semau di Hansisi, bawah laut banyak terumbu karang
Dari Kupang, kita mengambil arah ke bawah menyusuri pantai lewat Namosain. Aku sebenarnya sempat salah mau ke arah pelabuhan perikanan di daerah Bolok karena setauku ada kapal pengangkut disana. Untung Ardi ngingetin aku, dan hasil konfirmasiku ke mas Eko emang diarahkan ke Tenau saja.
Masuk ke Tenau kami langsung menuju ke sisi paling Utara yang berbatasan dengan dermaga baru yang belum selesai dibangun. Ada sekitar empat perahu yang sedang merapat. Laut pagi sedang pasang sehingga perahu bisa sampai ke pinggir. Dengan cekatan tiga motor kami telah berpindah ke dalam perahu. Dua perahu lainnya telah berjalan terlebih dahulu mengangkut penumpang lainnya, sepertinya yang satu perahu diambil oleh satu rombongan yang mungkin sedang berjalan-jalan seperti kami. Setelah menunggu beberapa saat di pinggir dermaga kami akhirnya memutuskan masuk ke bagian dalam perahu yang terlindungi karena hawa panas pagi sudah terasa menyengat. 
Tak lama kemudian setelah ada tambahan empat motor lagi, perahu mulai berangkat. Dari Tenau, pulau Semau tampak jelas karena memang tidak terlalu jauh. Makanya biaya menyeberang ke Semau gak mahal, jika kesana sendiri biaya per orang hanya 10ribu saja. Sedang kalau membawa motor dihitung sebesar 50ribu saja itu tidak dihitung lagi penumpangnya (2 orang). Jadi kami membayar 150ribu untuk 3 motor. Laut yang cerah membuat perahu masuk ke pelabuhan batu Hansisi yang berada di cekungan. Memang bukan dermaga betulan tapi lebih mudah untuk menaikturunkan motor.

Perjalanan Tanpa Arah
Suasana pantai Otan, disini ada tempat budidaya kerang mutiara
Turun dari perahu aku dan mulai bertanya ke orang lain pantai yang dekat disini. 
"Kita ke arah mana ya enaknya?", tanyaku.
Ardi: "Pak Beck ajalah, gimana enaknya"
"Lho aku juga gak tahu, aku juga baru pertama kali kesini. Aku cuma tahu dari tulisane si Tinae"
Ardi: "Tak pikir pak Beck pernah kesini."
Dari situlah Ardi baru tahu kalau aku juga belum pernah kesini. Jadi benar-benar perjalanan ini tanpa guide yang tahu lokasi Semau. Sempat salah arah ke arah dermaga Hansisi yang baru, aku akhirnya mendapatkan petunjuk dari salah satu orang tua yang aku temui di pinggir jalan. Dia menyarankan aku menuju ke Kecamatan Semau, dan dari sana bertanya ke orang sekitar arah ke pantai Otan.
Akhirnya kami mengarahkan perjalanan ke Kecamata Semau. FYI, di Semau ini ada dua kecamatan yaitu: Kecamatan Semau dan Semau Selatan. Jalan mulus hanya sedikit saja, sisanya lebih banyak jalan aspal yang telah terkelupas disana-sini dan jalan tanah kapur berwarna putih. Suasana di pulau ini relatif masih sepi, jarak antar rumah masih jauh. Disepanjang jalan menuju kecamatan kami lebih banyak menemukan semak belukar dengan pohon-pohon yang tidak tinggi. Sebenarnya mereka semua lapar, tapi memutuskan diri makan nanti setelah sampai di pantai pertama tujuan kami: Otan. Kami perkirakan jarak ke Kecamatan tidak jauh, tapi karena belum benar-benar tahu kami tetep mencoba bertanya kepada penduduk setempat. GPS (Gunakan Penduduk Setempat) tetep menjadi cara ampuh untuk menjelajahi daerah baru. Jangan terburu-buru pakai alat GPS asli, ada informasi tertentu yang bisa jadi keliru. Misal di map tergambar jalan putih lebar, ternyata itu adalah jalan pasir putih yang sulit dilewati.
Sampai di perempatan setelah lewat kantor camat Semau kami berbelok ke kanan. Hanya saja, kalau yang di kecamatan Semau ini jalan aspalnya sedikit lebih baik. Sekitar setengah jam dari dermaga kami berangkat akhirnya kami sampai di sebuah jalan percabangan yang terpampang jelas desa Otan.
Tapi sebenarnya tidak berhenti di situ, selepas pantai Otan pun kami masih kebingungan yang akhirnya membawa kami bertemu anak-anak SMA yang mengarahkan kami ke pantai Liman. Benar-benar perjalanan kami hanya berbekal informasi-informasi sepenggal.
Tak heran, bahkan besoknya kami harus mengalami perjalanan yang salah arah cukup jauh yang akan aku ceritakan di tulisan kedua.

Pantai Otan, Pasir Putih Memanjang
Rumah apung yang sedang dibuat
Pantai Otan memiliki pasir putih memanjang, karena bersambung dengan beberapa pantai lain. Warna lautnya yang jernih semakin tampak cantik saat suasana terik, karena air laut akan tampak berwarna tosca. Kondisi sampah juga masih minim, kecuali sampah-sampah. Kami sampai di pantai Otan jam 11, panas matahari yang terasa menyengat sekali. Di pantai ini tidak kami temui pohon kelapa. Untungnya banyak tumbuh tanaman pandan laut yang cukup tinggi sehingga bisa menjadi berteduh kami. Ada beberapa perahu berjejer yang ditinggalkan pemiliknya. Kami memilih salah satu yang nyaman untuk berteduh. Nasi bungkus yang berisi nasi kuning buatan istriku menjadi menu pembuka perut yang kosong kami dari pagi. Rasanya nikmat, apalagi karena perut yang sudah kelaparan ditambah sambil menikmati view pantai Otan. 
Cuaca terik, namun keindahan pantai Otan tetap tampak
Di pinggir pantai tampak beberapa orang sedang membuat  sesuatu seperti rumah namun dibagian bawahnya dipasang sejenis pelampung berwarna kuning. Tiang-tiang dan rangka terbuat dari batang bambu yang mereka sambungkan dengan ikatan tanpa paku. Menurut para pekerja, mereka sedang membangun rumah apung untuk mengawasi keramba tempat budidaya kerang mutiara. Katanya sih perusahaan dari kupang yang menggunakan lokasi ini. Jadi lokasi ini hanya digunakan untuk pengembangan kerangnya saja, nanti jika sudah cukup umur baru dipindahkan ke Kupang untuk digunakan dalam budidaya mutiara.
Mungkin karena memang masih mengantuk atau lelah, angin yang bertiup sejuk membuat mata kami mengantuk, satu demi satu jatuh tertidur. Kebetulan ada tempat bersantai dari papan-papan yang diikat dengan tali yang dibuat oleh para pekerja pembudidaya kerang mutiara. Sebenarnya ada beberapa bangunan di pantai Otan namun kondisinya sudah banyak yang rusak dan juga sudah dipenuhi peralatan-peralatan untuk budidaya mutiara seperti bekas-bekas keramba, bola-bola pengapung dan tali-tali.
Sayang ada banyak binatang kecil berwarna putih yang suka beterbangan banyak sekali yang sangat mengganggu tidur siang. Cukup lama juga kami disini, karena cuaca yang sangat terasa menyengat sehingga membuat kami memutuskan jalan setelah lepas jam dua siang.

Kesejukan Pantai Onanbalu
Sekitar jam dua siang, kami bersiap-siap berangkat. Berangkat ke arah mana? Nah itu dia, harus mencoba mengontak beberapa kali ke mas Eko untuk tahu jalur menuju pantai lain setelah dari Otan. Sebenarnya aku diarahkan untuk ke arah pantai yang katanya memiliki warna pasir pink yang berada di daerah Letbaun
Pantai Onanbalu, sayang di pantai ini terdapat satu tempat
yang banyak tumpukan sampah.
Tapi belum seberapa jauh berjalan kami merasakan haus yang cukup kuat. Bukan haus untuk minum karena kami masih punya persediaan tapi tiba-tiba kami menginginkan air dingin atau es membasahi tenggorokan kami. Sialnya lagi, beberapa toko yang kami temui di jalan tidak menjual air/minuman dingin. Karuan saja rasa haus yang kami rasakan makin kuat terasa. Air dari botol yang diminum pun tidak sanggup menghalau rasa haus ini.
Perjalanan terasa melambat karena rasa haus semakin menyengat padahal aku sendiri cuma duduk di belakang motor yang dikendarai. Untung kami menemukan sebuah daerah yang banyak ditumbuhi pepohonan asam dan beberapa pohon yang tinggi sehingga membuat suasana di sekitar pantai terasa sejuk. Kami berhenti sejenak disana dan menggelar kain jas hujan punya Augus untuk jadi alas. Aku sendiri nyaman tiduran tanpa kain terpal karena dibagian banyak banyak ditumbuhi tanaman perdu kecil (bukan rumput)yang biasanya tanda daerah itu cukup air. Dari penduduk yang sedang lewat, kami mendapat informasi kalau daerah ini namanya Onanbalu. Mereka juga menyarankan kami agar terus ke Selatan sampai mendapatkan pertigaan jalan besar untuk mendapatkan arah ke pantai Liman.

Pantai Uih Make, Sebuah Surga Lain
Diantara rasa haus yang mendera kami mendapatkan sebuah view yang tampaknya menarik terhalang pepohonan. Kami memutuskan berhenti untuk memastikan seperti apa tempatnya. Dan sungguh luar biasa saat kami melewati barisan pepohonan kami melihat sebuah pantai berpasir putih yang terjepit diantara batuan karang (lihat foto paling atas).
Keberadaan pantai Uih Make ini layaknya sebuah pantai yang tersembunyi. Kami harus turun diantara bebatuan yang berumput untuk sampai ke bawah. Ucil dan Imam yang paling bersemangat turun ke bawah, tentunya setelah acara narsis (entah siapa diantara empat orang ini yang paling narsis).
Mereka berdua yang masih kecil: Imam dan Ucil
Pantai ini masih bersih, nyaris tidak ada kotoran yang kami temukan. Letaknya yang tersembunyi di antara karang juga menjadi poin plus untuk bisa menjadi pantai yang tersembunyi. Warna-warna tosca air laut mendominasi, khas warna pantai-pantai di sini. Warna pasirnya juga putih dan halus. 
Beberapa saat, kami bermain di pantai ini dan melupakan rasa haus yang sebenarnya masih terus mengerogoti semangat kami. Untung pantai-pantai ini belum banyak tereksplore, setidaknya menghindarkan ekplorasi wisatawan-wisatawan yang cuma bisa menikmati tapi bisa menjaga. Itu pula yang kami tanamkan dalam kelompok kecil ini. Tidak membuat sampah yang kami buat, hal kecil yang jika dilakukan olah setiap wisatawan tentu akan membuat tempat-tempat wisata terjaga tidak kotor.
Selesai dari pantai Uih Make, mungkin sudah sekitar jam tiga lebih sehingga sekarang kami konsentrasi untuk menjangkau pantai Liman yang tidak kami ketahui persis jaraknya. Setiap orang yang kami ketahui selalu bilang masih jauh. Tapi seberapa jauh?
Dan apakah kami harus merindukan air dingin sementara kami makin ragu ada toko yang buka saat waktu makin sore. Keindahan yang kami temui sepanjang perjalanan di pulau Semau berlawanan dengan rasa haus yang makin menyiksa. Keindahan dan rasa haus kami sama maksimalnya.

12 komentar:

  1. Suka banget biru langit nya + pantai nya yg bersih banget

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pantainya masih bersih banget dan masih asli belum dikelola.... cuma gak ada tempat lesehan kayak tempat tujuan mas cumi hahahha

      Hapus
  2. wahhhh suka rumah terapungnya mas bekk...seru tuh nginap di rumah terapung

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha.. aku juga pengen nyoba der.... tau2 hilang dibawa gelombang ke Australia ya

      Hapus
  3. Rumah apungnya mengoda untuk dicoba di tengah laut yang bening, atap langit biru, es kelapa muda, hammock, hmmm ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan lupa diiket ya biar gak tau2 hilang dibawa arus ke Australia... :DD

      Hapus
  4. Warna biru dari langit dan pantainya juara kak... bawa aku kesana dong... :D wuuiih keindahan tiada tara serasa tenggelam dalam warna biru laut dan langitnya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dan yang pasti belum banyak terjamah... ayo, deket kok dari kupang tinggal naik perahu (+motor) :D

      Hapus
    2. Tapi jauh sekali dari ternate kak... dan juga MAHAL BANGET KALAU KE SUMBAWA...

      Hapus
    3. Tenang, tidak ada yang jauh bagi traveller.. yakin suatu saat nanti pasti sampai kok

      Hapus
  5. wah langit nya mantap euuy..langitnya sampe iru begitu..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya karena gak ada polusi udara jadi bener2 cerah

      Hapus

Silahkan tinggalkan komentar anda disini. Untuk sementara komentar saya moderasi dulu karena banyak spam yang masuk. Terima kasih sudah berkunjung, salam MLAKU!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya