Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Sabtu, 24 Agustus 2013

Terpesona di Lapopu (Lapopu Waterfall)

"Dan Sumba tidak hanya menawarkanmu ringkik-ringkik kuda Cendana
Raut-raut keras dan bilah-pilah parang panjang di balik sarung tenun ikat
Walaupun aku harus mengakui pasir putih pantai-pantainya memukau
   tapi jauh di kedalaman hutan
   masih ada sepi yang melingkupi seluruh keindahan di Lapopu
   dimana gemuruh air yang jatuh memaksamu diam dalam pesonanya"


Jauh di kedalaman hutan yang menjadi kawasan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru, gemuruh air dari datang bagian atas bukit memenuhi sungai yang mengalirkan air yang dipenuhi warna tosca. Selain itu adalah sepi, suara derit tiga batang bambu yang membelah sungai yang kami injak hanya kami dengar sendiri. Semuanya luruh dalam suarah gemuruh air terjun Lapopu.
Keindahannya tidak diragukan lagi: tenang mempesona
Beberapa waktu lalu, tiap kali ada penugasan ke Sumba, selalu terbersit keinginan untuk bisa mengunjungi air terjun Lapopu. Hanya saja, informasi lokasi ini sendiri masih simpang siur dari jaraknya yang katanya jauh dan kondisi medan yang katanya sangat berat. Setelah beberapa kali ke Sumba namun keinginan itu terus tertunda, kesempatan itu akhirnya datang juga. Memang Sumba sendiri memiliki banyak lokasi dan event wisata yang bagus-bagus bahkan potensinya luar biasa. Sebagai negeri dengan kebudayaan Megalitikum yang masih hidup, adat dan pantai Sumba adalah hal yang tidak boleh dilewatkan siapapun yang datang ke Sumba. Ringkik-ringkik kuda Cendana yang berlari kencang di tengah lapangan yang dipenuhi manusia dari dua kubu yang saling melemparkan lembing ke arah lawan adalah sebuah ritual yang menarik wisatawan bahkan dari luar negeri untuk menyaksikannya. Dan Pasola ini telah menjadi ajang yang laku dijual sebagai destinasi wisata budaya.

Jembatan darurat untuk menyeberang ke sisi lain sungai.
Kebetulan mas Joni Trisongko, salah seorang fotografer dari Kupang sedang ada acara di Sumba yang waktunya bersamaan dengan penugasanku ke tempat ini sehingga kami membuat janji diantara waktu dia melakukan tugas pemotretan kita akan mengunjungi air terjun Lapopu ini. Sayang hari pertama, langit sore waktu itu tampak gelap sehingga kami memutuskan menunda keesokan harinya.
Hari kedua mas Joni telah selesai melakukan job pemotretan, sehingga kami punya cukup waktu untuk ke air terjun Lapopu. Agar leluasa, kami memutuskan menggunakan sepeda motor di hotel dengan biaya 50ribu per hari. Aku bertiga bareng mas Joni dan Imam naik dua kendaraan. Menurut informasi, jalan paling umum adalah lewat jalur Wanokaka karena memang air terjun Lapopu terletak di desa Lapopu, kecamatan Wanokaka. Hanya aku mencoba jalan alternatif lain yang katanya jauh lebih dekat yaitu lewat kampung Loli Atas. Dari hotel Pelita kami mengambil jalan ke arah Waingapu bukan ke arah Wanokaka. Sebenarnya sudah diberikan petunjuk agar kami setelah sampai ke Loli Atas masuk ke arah kampung Laipraga yang ditandai dengan sebuah pohon besar. Konyolnya karena informasi ini tidak terlalu kami tangkap dengan benar *korek tai telinga pake cangkul* justru akhirnya kami sampai ke kabupaten Sumba Tengah yang memang jaraknya tak begitu jauh dari Sumba Barat. Setelah kehilangan waktu setengah jam akibat perbuatan kami, dengan bertanya beberapa kali ke orang-orang yang kami temui akhirnya kami masuk ke arah yang benar menuju kampung Laipraga. Saran saya memang sebaiknya kalau punya rencana jalan, ajak orang Sumba yang tahu tempat plus jangan segan sering-sering bertanya daripada kesasar karena informasi papan penunjuk jalan masih minim.


Aliran airnya terbelah dipertengahan, tetap menawan walau airnya menyusut
Setelah jalan menanjak sampai ke kampung Laipraga, selanjutnya jalanan terus menurun. Di sinilah kami menuai masalah karena salah satu motor sewaan ternyata rem belakangnya blong sehingga hanya tersisa rem depan untuk pengereman ditambah dengan motor tidak seimbang agak miring, padahal kondisi jalannya jelek sekali. Pada saat turunan karena kondisi medan yang berupa tanah berbatu berlubang-lubang aku memutuskan turun jalan kaki supaya Imam yang yang naik motor sendiri. Namun di jalanan turunan itu Imam harus terjatuh dari motor saat mencoba mengerem motornya. Untuk pada saat jatuh itu motor sudah berhenti betul sehingga Imam tidak terluka. Akhirnya aku berpindah naik di boncengan mas Joni yang motornya masih betul. Perjalanan kami perlambat supaya motor yang dinaiki Imam tidak buat onar lagi. Beberapa kali kami harus bertanya di setiap percabangan karena tidak banyak papan penunjuk arah yang tersedia. sampai kemudian kami sampai di percabangan pertemuan antara jalur Wanokaka. Ternyata di sepanjang jalan itu sudah diaspal namun karena disamping kanan kiri jalan ada perkerasan, jalan dibagian beraspal juga tampak putih berdebu terkena sisa-sisa tanah kapur perkerasan.

Walau jalan cukup lumayan, namun kendaraan tetap kami lajukan pelan karena sisa-sisa tanah membuat kendaraan menjadi licin. Setelah beberapa kilometer akhirnya kami masuk ke kawasan hutan dan tak lama kemudian tampak papan pengumuman dipasang di pinggir jalan yang menunjukkan bahwa 600 meter lagi kami akan sampai di air terjun Lapopu. Saat jalan menurun inilah terjadi musibah kedua, karena jalan menurunnya cukup curam Imam jadi kesulitan mengendalikan kendaraannya padahal setelah tikungan jalan langsung menurun lagi. Mungkin saat itulah dia mengerem lebih kuat sehingga motor menjadi tidak terkendali yang akhirnya membuat Imam terjatuh di atas jalan tanah. Karena sedikit terseret, Imam mengalami beberapa luka lecet. Lumayan perih sih pastinya. Karena masih ada jalan menurun, demi keselamatan kami memutuskan parkir kendaraan di tepi jalan tanpa masuk lagi ke dalam. Beberapa ratus meter akhirnya kami sampai di pos jaga dari TMNT. Tampak beberapa turis dari asia (entah taiwan atau jepang), melapor ke pos jaga sekaligus untuk membayar tiket masuk. Tiket masuk per orang ke kawasan ini ditarik 10ribu rupiah itu untuk wisatawan umum, kalau wisatawan lokal sih cuma seribu rupiah. Katanya kalau untuk wisatawan asing lebih mahal sekitar 100ribu rupiah. Kalau kalian membawa kamera, biaya per kamera dipungut 25ribu. Tapi itu bukan harga mati lho, kalau kalian ramah, baik hati, suka menolong dan tidak sombong itu biaya kamera bisa dinego kok hahahaha... apalagi yang moto just hobi, kan terlalu mahal tuh segitu kecuali yang mau komersil. Kalau gak tanya tanya saja Lukas, petugas polisi hutan yang kami temui.
Sekali-kali narsis untuk bukti otentik dah nyampe sini
Untuk sampai ke air terjun, kami harus menyeberangi sungai setelah berjalan di pinggir beberapa ratus meter. Airnya berwarna hijau kebiruan atau biasa dikenal dengan warna toska. Seperti warna batuan kapur yang yang memendarkan warna kebiruan bercampur dengan warna hijau (entah dari mana, yang pasti bukan lumut karena kalau kita ambil airnya bening sekali) membuat warna airnya menjadi toska. Warna itu akan lebih tampak saat matahari tidak menyinari langsung permukaan airnya (pagi atau sore hari). Ada jembatan darurat yang dibuat masyarakat dari beberapa bambu kalau tidak ingin menyeberang langsung lewat sungai, cukup bersensasi karena ini jembatan darurat sehingga waktu berjalan akan terasa bergoyang-goyang, karena itu kami tidak berani melewati jembatan bertiga sekaligus.
Akhirnya setelah melewati bebatuan pinggir sungai, mata kami disambut air terjun setinggi 62 meter (kata sumber di internet lho, aku belum pernah mengukur sendiri :D). Debit airnya agak berkurang entah karena sekarang musim kemarau atau karena ada pembangkit listrik tenaga air, tapi itu tak mengurangi keindahannya.
Tempatny benar-benar terasa sepi, saat itu hanya kami bertiga yang mampir kesini sehingga kami puas memotret dari segala sisi yang memungkinkan, walau ketiadaan matahari yang telah hilang dibalik pepohonan hutan membuat warna-warna jadi sedikit tenggelam. Hanya saat terakhir kami mau kembali ada sepasang muda-mudi yang datang ke sini tapi itu tidak lama karena waktu kami mau kembali mereka sudah tidak ada disana.


Perjalanan kembali sebenarnya menerbitkan sedikit keraguan dengan kondisi motor kami. Untungnya Lukas, sang polisi hutan berbaik hati mengantar kami untuk mengendarai motor yang blong rem belakangnya. Kelincahannya di atas motor ditunjukkan dengan amannya kami dapat melalui jalan sampai ke daerah Wanokaka. Ternyata Lukas pernah ikut acara Pasola, ajang permainan perang melempar tombak di atas kuda, pantesan jago mengendalikan motor di kondisi begini.
Setelah mampir sebentar untuk beli minuman disebuah warung yang cukup besar di Wanokaka. Kami melanjutkan kembali perjalanan, namun kali ini melalui jalur umum Wanokaka bukan jalur kami datang lewat Loli Atas. Perjalanan memang terasa lebih jauh, dan disepanjang Lukas mengingatkan kami agar tidak berada jauh di belakang kendaraannya karena menurutnya daerah di sini masih agak rawan. Kami kurang tahu maksudnya tapi tak berani menduga-duga, dan memilih mengikuti laju motor Lukas sampai di kota Waikabubak.

Catatan:
(1) Bagi yang ingin mendatangi air terjun Lapopu, kalau mau cepet bisa ambil jalur Loli Atas karena lebih dekat tapi pastikan kendaraannya tidak mengalami masalah karena banyak turunan dengan kondisi jalan yang kurang bagus. Kalau kurang yakin, sebaiknya ambil jalur normal lewat Wanokaka. Lebih jauh sih tapi lebih nyaman dan gak bikin was was...
(2) Jangan malu untuk bertanya karena papan penunjuk memang masih minim daripada kesasar. Malu bertanya tersesat sampai di surga lho :D
(3) Disarankan untuk tidak berjalan sendiri. Kalau masih takut jalan lebih dari dua kendaraan mungkin lebih baik pake guide orang lokal, kalau masih bingung juga bisa hubungi salah satu bro Lukas; ini facebooknya: Lucas Maramba ... hehehe sorry ya bro, facebooknya aku pajang kesini :D
(4) Kalau untuk biaya kamera coba tawar ke penjaga biar bisa dapet korting, kan lumayan apalagi kalau kalian para traveller masing-masing bawa DSLR. Tapi kalau memang moto buat hobi lho ya, kalau motonya untuk dijual lagi ya jangan nawar ya. Syarat nawar ya itu tadi, gak boleh sombong dan harus ramah  hehehe

10 komentar:

  1. tempat ini cantik banget dan pas buat foto-foto neh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sangat cantik mbak... buat camping juga asyik tuh

      Hapus
  2. Wah mas, ke sumbanya Aja udah susah tambah masuk ke pedalaman lagi :) tapi airnya jadi tambah hijau mas kalo pake modus rada slow speed gitu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya pengaruh slowspeed jadi lebih hijau aslinya memang lebih ke toska apalagi kalo ada sinar matahari.... gak papa mbak, sekalian udah susah ditambah susah satu lagi hehehe

      Hapus
  3. Sumpah keren bener, salut ama yg moto. Empat jempol deh :) btw debit nya selalu segitu atau ini lagi kecil ???

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah makasih buat pujiannya *hidung mekar*... ini debit yang kecil karena sudah bukan musim hujan tapi paling nyaman karena kondisi jalan kering.. kalau pas debit besar ada kemungkinan kondisi jalan jadi susah, jembatan darurat juga sering hilang terbawa arus

      Hapus
  4. ikuuuutan jalan-jalan akh....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo der.. aku mpga2 juga bisa nyampe ntb

      Hapus
  5. untungnya perjuangan bermotor membuahkan juga. Lucu ya, malah kalau tidak terkena sinar langsung semakin berwarna airnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya karena sering kali kalo siang terik, sinar matahari malah sering bikin pantulan di air jadi kurang terasa warna aslinya..

      Hapus

Silahkan tinggalkan komentar anda disini. Untuk sementara komentar saya moderasi dulu karena banyak spam yang masuk. Terima kasih sudah berkunjung, salam MLAKU!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya