Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Jumat, 30 Desember 2011

Tanah Lot, Uluwatu dan Dream Land

Lebih dari setahun lalu perjalanan ini aku lakukan, menurut catatan album foto yang aku buat perjalanan ini aku lakukan pada tanggal 3-4 November 2010. Awalnya aku pikir sudah menuliskan perjalanan ini ternyata setelah aku telusuri di blog tidak ada, rupanya perjalanan yang ini terlewatkan.
Bali... bukanlah hal asing bagi orang Indonesia bahkan orang dari luar pun lebih mengenal Bali dibanding Indonesia sendiri. Mungkin itu pula yang membuat aku agak ragu menuliskan tempat ini, karena banyak orang yang sudah mengenalnya bahkan mungkin lebih tahu daripada aku yang cuma mampir tak lebih dari seminggu.
Kalau bukan karena bareng teman dari Bali, belum tentu aku sampai ke tempat-tempat ini. Nyoman yang kebetulan mendapatkan penugasan tugas bareng aku ke Denpasar. sebagai orang Bali yang tentu mengenal baik seluk beluk Bali, Nyoman dengan mudah bisa mencarikan waktu yang tepat untuk berjalan-jalan tanpa harus menggangu penugasan.
Dalam waktu dua hari perjalanan, aku sempat mengunjungi tiga lokasi yang cukup dikenal. Bukan kesempatan yang buruk mengingat waktu itu di Bali sendiri hujan sudah turun.


Pura Tanah Lot
Rabu sore, sepeda motor yang aku naiki bersama Nyoman meliuk-liuk menerobos kesesakan jalan Denpasar menuju ke arah Tabanan. Untung kami menggunakan motor karena mobil-mobil tampaknya harus rela bergerak pelan-pelan seperti gerakan naga yang malas.
Setelah sekitar 40 menit duduk di atas jok motor, akhirnya aku bisa bernafas lega setelah sampai. Sedikit terkejut karena di depan lokasi parkir aku sendiri nyaris tidak bisa mengenali lagi. Bangunan tempat pedagang pakaian, minuman dan cindera mata memenuhi sepanjang areal perparkiran. Lagi-lagi keberadaan Nyoman sangat membantu, dengan lincah dia mengajakku menelusup di antara bangunan para pedagang. 
Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore lewat 30, namun cuaca yang agak mendung membuat suasana terasa temaram waktu aku sampai di Pura Penyawang. Dari samping Pura tampak view Pura Tanah Lot yang saat itu airnya sedang naik agak tinggi sehingga ora tidak bisa sampai ke sana.
Sebenarnya yang dimaksud Pura Tanah Lot adalah Pura yang berdiri sendiri di atas batu karang yang terpisah sendiri. Sedangkan kawasan wisata Pura Tanah Lot sendiri terdiri beberapa pura, salah satunya ya Pura Penyawang yang berada di bibir pantai.
Ada juga Pura Jero Kandang yang menurut kepercayaan digunakan untuk masyarakat yang ingin berdoa bagi tanaman atau binatangnya. Atau Pura Enjung Galuh yang letaknya di puncak bukit karang sebelah kanan dari Pura Tanah Lot, yang menurut informasi digunakan sembahyang masyarakat yang menginginkan kekayaan/kesejahteraan.
Sayang waktunya tidak tepat untuk turun ke bawah, padahal aku sudah mendengar tentang keberadaan gua-gua yang ada dibagian bawah Pura Tanah Lot yang dipenuhi dengan ular laut yang sangat beracun. Ular laut yang berbentuk tipis dengan warna hitam berstrip kuning ini dipercayai sebagai penjaga Pura Tanah Lot dari roh jahat dan penganggu.
Waktu memotret Pura Tanah Lot dari bagian atas aku bertemu dengan Alex, orang Bali peranakan China yang saat itu sedang jalan-jalan. Dia menyapaku lebih dulu, dan dari perkenalan baru kutahu kalau dia tertarik dengan kamera Fuji S200 EXR yang aku bawa karena dia juga sedang memegang kamera Fuji HS10 EBC. Alex agak surprise dengan beberapa peralatan yang aku bawa, karena menurutnya selama ini kamera seperti itu tidak bisa ditambah apa-apa lagi. Beberapa kali dia minta aku memotret dengan menggunakan memori dia, juga dia sempat meminjam beberapa filter yang aku bawa. Dari Alex aku diajak ke sisi selatan dari Pura Tanah Lot, rupanya dia mengajakku ke arah Nirwana Resort. Dari sini memang aku mendapatkan view yang cukup berbeda walaupun jaraknya agak jauh dari Pura Tanah Lot.


Legian, Ground Zero dan Pantai Kuta
Malam setelah dari Pura Tanah Lot aku dan Nyoman sempat berjalan-jalan memutari kawasan Legian. Awalnya memang sekedar mau mengunjungi Monumen Bom Bali yang terletak di daerah Ground Zero. Monumen yang biasa disebut dengan Monumen Bom Bali, didirikan di bekas tanah yang pernah menjadi pusat ledakan bom Bali. Di monumen itu tertulis daftar nama-nama orang yang tewas menjadi korban ledakan. Tampak beberapa bunga-bunga segar yang diletakkan di depan monumen yang ditaruh orang-orang yang mengunjungi tempat ini sebagai tanda ikut berduka.
Sekarang kawasan ini sudah tampak ramai kembali, tidak seperti beberapa tahun sebelumnya paska peledakan yang nyaris meruntuhkan kebesaran Bali sebagai daerah destinasi wisata. Tapi tentu saja keramaiannya belum pulih benar. Kawasan ini hampir dipenuhi klub dan cafe yang bertebaran di sepanjang jalan berhimpitan dengan beberapa bangunan kecil yang menjajakan souvenir dan cendera mata khas Bali. Aku sendiri nyaris bingung apakah sekarang masih di Indonesia atau tidak, karena kawasan Legian sudah lebih didominasi bule, suasana hingar bingar dan dentuman musik terdengar memekakkan telinga.
Di pertigaan jalan menuju Pantai Kuta, beberapa orang mendatangi aku dan Nyoman dan menawarkan sesuatu. Aku tidak terlalu mengerti maksudnya, dari Nyoman kutahu kalau mereka menawarkan barang-barang haram semacam heroin, ekstasi dan sejenisnya. Rupanya di kawasan Legian ini transaksi seperti ini hal yang biasa, istilahnya illegal namun secara terselubung dibiarkan. Menurut informasi, transaksi seperti dibiarkan salah satunya untuk mendongkrak pariwisata entah benar atau tidak, namun jangan coba-coba bertransaksi di luar kawasan ini.
Berbeda dengan kawasan Legian, Pantai Kuta justru malam ini terasa sangat tenang. Musik hanya sayup-sayup terdengar dari Planet Hollywood di seberang jalan. 
Kesanku tentang kawasan Legian ini bukanlah kawasan menarik, terutama backpacker yang menyukai keunikan dan keindahan Bali. Disini justru serasa didamparkan pada wajah asing di tanah Indonesia.


Pura Uluwatu dan Pantai Dreamland

Setelah esoknya dari Pura Tanah Lot, hari Kamis kami memiliki waktu lebih longgar karena siang sudah dilakukan penutupan acara. Karena setelah hari ini kami harus membiayai biaya penginapan kami sendiri, aku memutuskan untuk berpindah hotel. Selain faktor tarif hotel yang terlalu tinggi aku juga memikirkan faktor kemudahan untuk bergerak.
Siang setelah meletakkan tas bawaan di hotel, aku dan Nyoman kembali meluncur. Kali ini arah tujuanku adalah ke Dreamland. Searah dengan pantai Dreamland dan masih berada di lokasi Jimbaran, karena masih agak siang aku memutuskan meneruskan perjalanan ke daerah Uluwatu.

Aku sampai di Pura Luhur Uluwatu selepas lewat jam dua siang, suasana terasa sepi. Hanya ada beberapa pengunjung yang sedang sibuk dipakaikan selendang. Katanya, semua orang yang masuk ke dalam pura harus menggunakan selendang sehingga aku pun ikut memakainya. Begitu masuk pertama ke dalam, serombongan monyet menyambut mataku tapi mereka tidak mengganggu hanya melihat kami dari pinggir beton pembatas. Sekali dua melintas monyet yang sedang menggendong anaknya.
Pura Luhur Uluwatu didirikan di atas karang yang sangat tinggi. Dari pinggir pagar, tampak deburan ombak pantai Selatan yang keras menghantam batu-batu karang jauh di bawah. Karena tertarik view yang menarik, aku nekad saja keluar dari pagar. Nyoman geleng-geleng saja dengan tingkahku, apalagi penjaga pura juga membiarkanku cuma mengatakan kalau berani keluar pagar risiko ditanggung sendiri.
Sebenarnya cukup bikin ngeri juga berdiri di tepi tebing karang yang begitu tinggi, apalagi karang ini berupa rekahan yang aku tidak tahu bisa terlepas atau tidak. Menelusuri sisi samping tebing kami sampai di bagian terakhir pura, ada sebuah warung tenda kecil, sebuah kebetulan saat kami sudah merasa demikian kehausan. Maklum kami kelupaan membawa bekal padahal tidak ada pedagang di depan pura.
Setelah mulai sore, aku dan Nyoman meluncur ke arah Pantai Dreamland. Ternyata untuk ke Dreamland kami harus masuk ke arah resort yang dibangun dengan meratakan perbukitan di sini. Perjalanan menjadi mudah, karena informasi awal bahwa untuk ke Dreamland kita harus berjalan kaki menaiki bukit yang cukup lama.
Pantai Dreamland memang indah, pasir putih membentang di sepanjang pantai. Sayang pada bulan-bulan ini ombak tidak terlalu besar padahal salah satu yang menarik disini adalah ombaknya yang besar sehingga pantai Dreamland salah satu favorit untuk surfing. Sayang ada bangunan hotel dan club yang berdiri di pinggir pantai dengan jarak sangat dekat. 
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 29 Desember 2011

Ritual Adu Fisik Ala Nagekeo

Pertarungan fisik selalu selalu diidentikan dengan simbol keperkasaan seseorang. Mungkin jika ada yang kalah , lantas berdarah-darah, semua orang mencemoohkannya. Atau jika sang pemenang mengangkat kedua tangan sebagai tanda kemenangan, sontak yang menonton langsung bertepuk tangan, semuanya larut dalam suasana saling cibir, atau saling mengangungkan sang jagoan. Cerita selanjutnya bisa jadi yang kalah akan menyimpan dendam yang teramat sangat, atau sebaliknya malah penonton yang saling bertarung.
Namun,cerita seperti itu tidak akan terjadi jika sang jagoan berlaga dalam arena “Etu”, tinju adat di masyarakat Nagekeo, sebuah kabupaten baru mekaran dari kabupaten Ngada pada tahun 2006 silam. Bagi masyarakat suku Nagekeo yang berada tepat ditengah pulau Flores - Nusa Tenggara Timur ini, etu  adalah simbol keakrabaan dan persaudaraan.
Etu  adalah kesenian tradisional yang memperagakan adu ketangkasan antara para pria dewasa diwilayah persekutuan adat Nagekeo dan sekitarnya. Permainan adu ketangkasan ini selain merupakan arena pentas kesenian tetapi juga merupakan ritual adat untuk melengkapi siklus kehidupan masyarakat adat Nagekeo.
Menurut salah satu pemuka adat Nagekeo dikampung Boawae, Cyrilus Bau Engo, etu telah dipentaskan sejak puluhan tahun silam secara turun temurun. Namun, tidak ada satu sumber pun yang menyebutkan secara pasti sejak kapan etu mulai dipentaskan. Diperkirakan, kegiatan ini mulai dipentaskan sejak masyarakat persekutuan adat tidak lagi terlibat dalam perang antar suku (papa wika). Ada versi yang menerangkan bahwa kegiatan ini dibuat sebagai salah satu persembahan darah kepada bumi (ibu pertiwi), sehingga bukan hal yang baru jika ada petinju yang keluar dari arena dengan wajah lebam bardarah-darah. Diyakini oleh mereka, luka yang diderita akan segera sembuh jika di sentuh oleh tabib kampung.
Jika dikaitkan dengan kelender adat, etu biasa dipentaskan pada musim kemarau, atau pada masa senggang sesudah panen. Selama masa itu, etu dipentaskan pada beberapa kampung adat yang memiliki adat tinju yang dipegang salah satu suku yang mendiami kampung tersebut dan biasa disebut “moi buku ‘etu” (pemegang adat tinju). Giliran antar kampung ditentukan waktunya sesui perhitungan yang mendasarkan pada peredaran bulan sehingga etu selalu dipentaskan pada saat bulan purnama.
Para petarung akan memasuki sebuah arena ditengah kampung yang disebut “kisa nata”. Arena ini dibatasi oleh pagar dari tonggak kayu yang dirangkaikan dengan tali sehingga menjadi semacam ring tinju berlantai tanah yang dalam bahasa adat disebut “mada”  Mada membujur sesuai dengan tata letak kampung adat. Penonton yang menyaksikan etu berdiri diluar mada. Jangan berharap perempuan ada didalam mada, karena sudah tentu itu adalah hal yang “pamali” bagi sang petinju.
Jelang beberapa hari pada saat bulan terang sebelum tinju, digelarkan kegiatan pemanasan dan ajang latihan bagi petinju – petinju pemula, sekaligus pengumuman bahwa di kampung tersebut akan digelarkan etu. Selanjutnya, malam menjelang etu dipentaskan, seluruh masyrakat adat menggelar tarian dan nyanyian.  Rangkaian kegiatan ini adalah ungkapan yang menggambarkan tentang budidaya tanam padi sejak kerinduan menantikan kedatangan hujan sampai saat panen.  Menariknya, dalam tradisi ini , kaum muda mudi dapat menjadikannya sebagi ajang perkenalan. Sang pemuda akan melempar pantunnya, yang kemudian akan dibalas oleh sang pemudi. Sepanjang malam, kaum tua dan muda akan larut dalam tarian dan nyanyian.
Pagi – pagi sekali, pemegang adat tinju dan seluruh anggota suku yang laki – laki pergi ke “loka lanu” yaitu tempat berkumpul untuk menyampaikan persembahan kepada Tuhan dan para leluhur sambil memohon keselamatan bagi para petinju, sehingga para petinju yang terluka cepat sembuh dan dalam kenyataannya, luka karena bertinju adat, paling lama tiga hari sudah sembuh. Sesudah upacara persembahan dan doa di loka lanu mereka akan menuju kampung sambil menyanyi dan menari. Sampai dikampung akan melakukan semacam seremoni pembukaan dengan pura – pura bertinju dengan seseorang sebagai tanda bahwa acara tinju dapat dimulai.
Para penonton mulai berdatangan. Tidak sampai satu jam, arena etu sudah dipadati para penonton dari berbagai penjuru kampung. Ada juga yang datang dari luar kampung. Kebanyakan dari mereka memakai sarung adat, sedangkan kaum lelaki mengenakan ikat kepala. Disini, penonton tidak perlu ragu kemana harus mencari pengganjal perut jika lapar. Hidangan cuma-cuma akan diberkan kepada siapapun yang datang. Masayrakat adat di sekitar kampung akan menjemput dan mengajak kita menikmati makanan yang telah disiapkan disetiap rumah.
Kedua petinju pun mulai diperhadapkan oleh “Moi Seka”. Orang inilah yang akan bertindak sebagai wasit, sekaligus juri. Tidak seperti petinju yang kebanyakan kita tonton, disini para petinju akan dipasang kain pengalas dada, ikat pinggang dari kain, dan ikat kepala. Yang terakhir adalah alat meninju lawan atau dalam bahasa setempat disebut “Keppo”. Tidak seperti sarung tinju para profesional, alat gebuk ini berupa tali ijuk yang dipilin kecil-kecil, selanjutnya digumpal kira-kira pas dalam genggaman. Permukaan keppo kasar, siapapun yang terkena pukulan benda ini pasti akan berdarah.
Penonton semakin tidak sabar menjejal di sekitar arena. Dari ujung arena, sang petinju mulai kelihatan. Petinju ini akan dikawal oleh seorang “Moi sike”. Dia  berfungsi menjaga agar petinju tidak jatuh dan kadang kala bisa membantu menangkis pukulan yang diarahkan ke arah perut petinju. Orang ini harus lincah mengikuti gerak gerik petinju ketika menyerang maupun menghindari pukulan lawan. Moi sike harus maju dan mundur seirama dengan petinju.
Kedua petinju mulai merengsek maju ketika wasit menepuk tangan. Satu dua pukulan mulai dilontarkan, jauh dari kesan seorang petinju profesional. Moi sike terlihat kerepotan menarik kain pinggang masing-masing petinju ketika mereka mulai terbakar emosi. Sebuah pukulan telak berhasil didaratkan salah satu petinju di wajah lawan. Wasit langsung memisahkan keduanya. Petinju yang berhasil mendaratkan bogem mentahnya terlihat bangga, sambil melompat-lompat kegirangan, sesekali menepuk dada. Pihak lawan tak puas. Pertarungan kembali dilajutkan. Jual beli pukulan terjadi. Pelukan, saling tarik, menambah panas suasana. Teriakan penonton semakin membakar emosi sang petarung. Wasit pun tidak mau ambil resiko, pertandingan pun diakhiri. 

Seorang petinju dinyatakan sebagai pemenang. Kedua petinju di giring oleh sang wasit. Disini jelas kelihatan semuanya akan berakhir dengan perdamaian. Kedua petinju saling berpelukan. Luka dan darah di wajah ternyata bukan pemicu dendam di luar pertandingan. Sorak penonton mengiring sang jagoan keluar dari arena.”Kami bertinju untuk berdamai”, ujar sang petinju sambil melambaikan tangannya kepada penonton.
Pertarungan berikutnya mulai dipersiapkan. “Mosa laki” mulai melirik para pemuda di masing-masing kubu petinju.. Mereka ini ibarat “promotor” yang mencari para petinju yang ingin mengadu ketangkasan sebagai petinju adat di tengah arena. Biasanya ada jago tinju dari masing-masing kampung. Kejelian para mosalaki lah yang mempertemukan mereka di tengah arena. Caranya macam- macam, mulai dengan membujuk secara baik-baik, memanas-manasi bahkan kadang-kadang dipaksa dan diseret  ke “ring”.
Pada saat mosa laki sedang mencari petinju dan para pembantu menyiapkan petinju untuk tampil di arena, masyarakat dihibur dengan kesenian “melo ‘etu”. Ini adalah kesenian rakyat yang terdiri dari tarian dan nyanyian diiringi tetabuhan dari sebatang bambu yang diletakan didepan sekelompok penyanyi lagu adat sambil memukul – mukulnya dengan batang kayu. Mereka akan bernyanyi bersahut – sahutan dengan seorang penari yang berfungsi sebagai solois dan dirigen . Syair lagu berisikan kata – kata pujian dan nasihat bagi para petinju. Pada saat petinju sedang bertinju, rombongan melo etu  beristirahat. 
Kegiatan tinju dan melo etu akan terus digelarkan secara bergantian sampai tidak ada lagi petinju yang mau bertinju. Hari menjelang senja, sesepuh adat menyiramkan satu tempurung air ke tengah-tengah arena sebagai tanda orang harus bubar dan kembali ke kampung masing-masing untuk nonton lagi ke kampung-kampung lain yang ada adat tinju sesuai giliran waktu yang sudah ditentukan sesuai peredaan bulan.


Selamat Menyaksikan!


Terimakasih buat warga kampung Boawae dan Bapak Cyrilus Bau Engo atas semua informasi dan penjelasannya mengenai "ETU".


Seluruh isi tulisan dan photo telah mendapatkan persetujuan dari pihak penyelenggara ETU untuk di publikasikan. Foto-foto diambil oleh Yanto Mana Tappi pada bulan Oktober 2011 saat ETU dikampung Boawae-Kabupaten Nagekeo-Nusa Tenggara Timur 
Baca keseluruhan artikel...

Rabu, 28 Desember 2011

"Sorongi'is" Ritual Pendewasaan Perempuan Suku Nagekeo




Menjadi seseorang yang dikatakan dewasa memang diperlukan sebuah proses yang panjang, entah itu dimulai dari proses meningkatnya usia sampai sikap dan cara berpikir. Sama halnya di Kabupaten Nagekeo, kedewasaan seorang perempuan harus melalui sebuah proses adat. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat suku Dhawe di Kabupaten Nagekeo. Proses pendewasaan seorang perempuan harus melalui sebuah ritual potong gigi, yang dalam bahasa setempat ritual adat ini disebut  “Sorongi’is”. Uniknya, ritual ini biasa dilakukan pada rentang usia pra remaja atau remaja, tergantung pada kemampuan orang tua anak. Ritual ini sebagai salah satu pelengkap dalam proses menuju jenjang pernikahan.

Dua orang anak perempuan berbusana adat nampak tengah berbaring di apit oleh sang nenek. Tidak lama kemudian, seorang bapak yang ditunjuk sebagai petugas potong gigi mendekat dan memegang rahang sang anak sambil memintanya untuk membuka mulut. Sebuah batu asah kecil langsung ditancapkan ke gigi sang anak. Kontan saja wajah sang anak meringis dan mengeluarkan rintihan menahan ngilu ketika batu asah tersebut di gosok berulang-ulang kali.

Setelah dirasa permukaan gigi telah rata, sang anak kemudian diserahkan ke salah satu ibu untuk diobati. Disini pengobatan hanya mengandalkan ramuan ala kampung berupa buah pinang yang masih mentah. Sang anak diharuskan mengunyah buah pinang tersebut beberapa kali sekedar menghilangkan rasa ngilu.

Inilah puncak dari semua rangkaian pendewasaan perempuan di suku Dhawe Kabupaten Nagekeo. Ritual Sorongi’is mengandung makna bahwa anak tersebut telah dewasa dalam hukum adat. Seperti yang di tuturkan Donatus Dua, salah satu tetua adat suku Dhawe, suatu saat jika sampai pada usia siap pinang, hukum adat sudah  merestui jika ada lelaki yang datang meminang,
Sebelum menuju ritual Sorongi’is, pihak keluarga harus menjalani beberapa rangkaian acara adat. Malam sebelumnya, pihak keluarga maupun undangan akan melaksanakan tandak. Mereka mulai menari,  bernyanyi dan berpantun mengelilingi api unggun sambil berpegang tangan.

Syair-syair dalam irama tandak mengisahkan tentang arwah nenek moyang dan sejumlah ajaran-ajaran adat dalam kehidupan. Sesekali di selingi dengan pantun yang diucapkan secara berbalasan dari kaum perempuan dan laki-laki. Isi pantun kadang bernada humor, yang mengundang gelak tawa dari para penonton. Untuk menambah semangat, seorang petugas akan terus menghidangkan sirih pinang dan moke, minuman khas Nagekeo kepada para peserta tandak. Dalam bahasa setempat, acara tandak ini disebut “Wai Sekutu”.

Tidak lama kemudian, anak yang akan potong gigi diboyong oleh orang tuanya untuk disertakan dalam tandak. Disini sang anak harus menggunakan busana adat dan menutup mulutnya dengan selempang. Selama mengikuti proses ini, anak tersebut senantiasa mendapatkan pengawasan dari pihak keluarga untuk tidak berkomunikasi secara langsung dengan siapa saja. Dalam acara tandak, sang anak hanya diberikan kesempatan lima kali berputar mengelilingi api unggun bersama peserta tandak yang lain. Kemudian kembali diboyong ke kamar untuk beristirahat. Acara tandak berlangsung non stop semalam suntuk. Seiring mentari terbit,  acara tandak pun bubar. 

Sebelum menuju acara potong gigi, pihak keluarga harus melaksanakan sebuah ritual lagi yaitu, mengantar sesajian kepada leluhur. Sesajian biasanya terdiri dari nasi, daging, sirih pinang dan moke. Sesajian ini sebagai bentuk ucapan syukur kepada leluhur sekaligus memohon berkat untuk penyelenggaraan acara.

Ketika tiba sampai puncak acara, sang anak dituntun keluar rumah oleh orang tuanya. Proses potong gigi harus dilaksanakan dirumah tetangga yang masih memiliki hubungan keluarga. Namun, sebelum rombongan menuju rumah tetangga, terlebih dahulu anak diberkati dengan sapaan adat oleh salah satu tetua adat. Sapaan adat diikuti dengan percikan beras sebanyak lima kali ke arah anak. Ritual pemberkataan ini di sebut “Resa Kuras”. Setelah itu, sang anak akan diayun oleh ayahnya sebanyak lima kali di atas seekor babi yang diletakan di depan rumah. Pada hitungan yang kelima,  anak tersebut diayun melewati babi dan siap berjalan menuju rumah tetangga tempat dilaksanakannya ritual potong gigi. Di rumah tersebut sudah menanti petugas potong gigi yang telah siap dengan sebuah batu asah kecil. Petugas ini harus berasal dari anggota keluarga.
 Salah satu petugas pencatat bingkisan dari sanak keluarga

Seluruh rangkaian acara ini boleh dibilang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Biasanya jauh-jauh hari pihak keluarga sudah menyiapkan segala kebutuhan acara, mulai dari hewan sapi, kerbau, babi dan kambing yang siap di korbankan untuk makan bersama. Bagi orang tua anak, persiapan acara ini mungkin bisa tertolong dengan bingkisan-bingkisan yang dibawa oleh para undangan. Namun, pihak orang tua pun harus memikirkan untuk bagaimana membalas kembali bingkisan-bingkisan tersebut. Karena sudah menjadi tradisi,  pihak keluarga selaku undangan yang membawa bingkisan berupa tikar, bantal ataupun beras akan menerima balasan berupa kambing ataupun babi. Sebaliknya, yang membawa bingkisan babi ataupun kambing akan menerima balasan tikar ataupun beras.

Bagaimanapun, dibalik semua proses Sorongi’is ini, terselip perasaan lega dan bangga. Setidaknya, tanggung jawab orangtua dalam hukum adat telah dilaksanakan,  walaupun secara ekonomis  biaya yang dikeluarkan cukup besar.

 Bermain kartu adalah salah satu menjalin keakraban.

Terimaksih buat warga suku Dhawe,dan khususnya keluarga besar Bapak Vinsen Dhoma yang telah berkenan mengijinkan saya untuk meliput secara langsung ritual Sorongi’is kedua puterinya.

Semua tulisan dan foto hasil liputan Yanto Mana Tappi,dan telah mendapat persetujuan dari pihak suku Dhawe untuk diterbitkan,
Baca keseluruhan artikel...

Senin, 19 Desember 2011

Senja Bulan Desember di Labuan Bajo

Mendung kelam dan gerimis di atas langit Labuan Bajo
Dua kali aku mendapatkan penugasan ke Labuan Bajo jatuhnya kok pas selalu akhir tahun. Tahun 2010 kemarin, penugasan terakhir bulan Desember juga penugasan sekarang. Akibatnya rencana ke pulau Komodo masih menjadi sekedar angan, apalagi kalau bukan masalah arus laut yang lumayan kuat di selat Sape. Itu pertama, yang kedua ya masalah langit yang sering mendung yang imbasnya rencana jalan-jalan sering berubah jadwal semau-maunya.
View dari teras hotel Puncak Waringin
Karena masalah itu pula makanya untuk penugasan kedua ini aku memilih menginap di hotel Puncak Waringin. Hotel yang dimiliki oleh Pemda setempat namun pengelolaannya oleh pihak swasta. Sebuatan Puncak Waringin sendiri dulunya ada karena di daerah itu ada gundukan bukit yang agak tinggi dan berdiri satu pohon Beringin besar yang setiap sore ramai dikunjungi wisatawan untuk melihat senja. Sekarang ini pun pohon Beringin itu masih gagah berdiri tapi masih kalah tinggi dengan bangunan berbentuk persegi enam yang awalnya digunakan untuk resto. Entah karena desain bangunan yang kurang menarik atau pelayanannya, sekarang bangunan itu hanya digunakan sebagai aula saja.
Padahal view Labuan Bajo menarik sekali dari puncak ini. Dari Puncak ini akan tampak kawasan kota Labuan Bajo bagian bawah dan dermaga yang dipenuhi perahu-perahu berbentuk pinisi serta perahu-perahu kecil yang disewakan masyarakat untuk berangkat ke pulau-pulau di sekitar Labuan Bajo. 
Senja masih bisa mengintip di antara mendung kelam
Pulau-pulau terhampar di sepanjang pantai Labuan Bajo, saling menutupi sehingga kawasan pantai Labuan Bajo ini berombak tenang. Paduan view ini sangat menawan, entah lokasi mana aku bisa menemukan view yang luar biasa seperti ini. Padahal kota ini belumlah bersolek sebagaimana sebuah kota pariwisata, geliatnya pun baru terasa belakangan ini termasuk upaya pemerintah untuk menghidupkan Labuan Bajo. Salah satunya menjadikan Labuan Bajo sebagai satu-satunya gerbang untuk masuk ke pulau Komodo, hal ini menjadikan perahu-perahu pinisi dari Bali maupun dari Lombok harus singgah ke Labuan Bajo dan tidak bisa langsung singgah ke pulau Komodo. Namun tidak bisa dipungkiri, geliat kota yang memiliki pulau Komodo ini sedemikian terasa, berdirinya beberapa hotel berbintang empat menunjukkan bahwa ke depan Labuan Bajo akan terus tumbuh menjadi kota industri pariwisata.
Hampir tiga hari yang setiap hari selalu ada hujan aku harus rela duduk manis di teras depan kamar menikmati langit Labuan Bajo yang kelam kala senja merangkak. Acara jalan-jalan juga harus di tunda karena langit tak pernah memberitahu kapan hujan akan datang.
View senja di pantai Bidadari yang berpasir putih
Masih untung pada hari pertama aku sempatkan untuk acara jalan. Karena tidak banyak acara selain setting untuk acara besoknya akhirnya aku berdua dengan teman merencanakan perjalanan ke pulau Bidadari untuk sekedar snorkling. Dengan menggunakan perahu milik pak Arman, kami berangkat sekitar pukul empat sore. Waktu perahu mulai menderu meninggalkan dermaga langit di atas tampak kelam, itu pula salah alasan pak David yang rencananya mau bersama kami membatalkan ikut.
Setengah jam perahu kami sampai ke pulau Bidadari, pulau yang setengahnya sudah dimiliki (sementara) oleh seorang bule. Kalau tidak salah namanya Mr. Ernest, seorang bule yang agak bawel kalau menyangkut kebersihan di wilayah pantai Bidadari. Jangan bakar ikan sembarangan apalagi buang sampah sembarangan kalau tidak ingin melihat dia murka. Tapi sayangnya masih ada orang-orang yang tidak menghargai kebersihan dan membuang sampah seenaknya.
Di atas perahu meninggalkan pulau Bidadari menjelang senja
Ternyata di pulau Bidadari arus laut sedang kuat sehingga pak Arman meminta kami snorkling di sisi Utara pulau yang agak menjorok ke dalam dan tidak terlalu dalam. Di beberapa titik apalagi yang sebelah Selatan dan Barat memang lautnya miring agak curam.
Walaupun matahari terhalang awan, kami masih bisa berdecak melihat gugusan terumbu karang dan ikan-ikan karang berwarna-warni berukuran besar. Cukup besar sampai aku dan teman ngiler ingin menangkap satu untuk dibakar hahahaha. Apalagi kalau ada sinar matahari, maka terumbu karang makin tampak cemerlang dan indah. Sayang sekali lagi aku hanya bisa menikmati dengan mata saja, kamera Canon D10 yang aku punya sudah rusak saat snorkling di Tenau dulu gara-gara kecerobohanku sendiri. Jam enam lewat baru perahu kami kembali ke Labuan Bajo. Pak Arman sengaja membelokkan perahu ke arah dalam menyusuri Labuan Bajo dari sisi utara melewati pantai Binongko. Di beberapa titik tampak cahaya-cahaya hidup dari balik rerimbunan perbukitan, itulah cafe-cafe yang berdiri di sepanjang bukit di daerah Binongko yang terjal. Perbukitan ini justru memiliki nilai jual karena dari bukit-bukit itu bisa menikmati pemandangan senja berlatar pulau-pulau yang juga tak kalah eksotisnya.
Setelah itu nyaris aku berdua dengan teman lebih sering membenamkan diri di hotel, sesekali turun menikmati dan memotret senja yang kelam dari aula Puncak Waringin.
Hari terakhir sebelum berangkat, bertiga aku, Kadek dan pak Joko pagi-pagi sekali menyempatkan jalan kaki ke pantai Binongko, rencananya mau mampir saja ke dermaga pendinginan ikan.
View dermaga pendinginan ikan pagi hari
Jam enam pagi kami berjalan kaki turun ke bawah sampai ke pertigaan lalu naik ke atas arah ke Binongko. Jika dulu yang aku kenal di kawasan Binongko adalah sebuah hotel resto bernama Golo Hill Top, maka sekarang ini sudah mulai banyak berdiri cafe-cafe dan hotel di sepanjang kawasan ini bahkan sebagian dibagian di kemiringan bukit yang terjal. Selain di jalur ini di bagian atas juga tampak jalur yang baru dibangun pemerintah, tentu jalur baru itu akan makin diminati investor karena bisa mendapatkan view senja yang lebih indah. Setelah melewati sebuah bangunan yang menjadi tempat rekreasi penyandang cacat, kami sampai ke dermaga pendinginan ikan.
Sedikit cerita tentang bangunan rekreasi untuk orang cacat yang dibangunan oleh SVD di Cancar ini, aku pernah mendatanginya sekali waktu saat mengantarkan bu Emil, seorang teman yang bekerja di Kemetrian PDT waktu kesasar di tempat ini. Mungkin aku lain kali bisa cerita tentang perjalananku dengan bu Emil tapi singkatnya saat ke mau ke dermaga ini pula bu Emil minta aku mampir ke sana. Bisa di tebak, sepanjang ngobrol-ngobrol dengan beberapa anak-anak yang kebetulan sedang tinggal di situ bu Emil harus menahan diri untuk tidak meneteskan air mata. Yah, namanya juga ibu-ibu, bawaannya mau mewek saja kalau ada gambar mengharukan seperti ini.
Menikmati pagi di ujung dermaga
Kembali ke perjalanan kami, ternyata begitu sampai di sana dermaga pendinginan ikan tinggal sebaris dermaga, dua cabang dermaga yang tahun kemarin masih ada sekarang sudah karam. Dermaga yang sekarang tersisa ini pun di beberapa tempat tampak sudah rusak, ada beberapa paku yang masih baru menunjuukan bahwa ada papan-papan yang baru saja diperbaiki. Di dermaga pagi itu nyaris tidak ada kegiatan satu pun karena memang dermaga ini sudah tidak digunakan untuk pendinginan ikan lagi, dan hanya digunakan untuk nelayan-nelayan mendaratkan perahu setelah menjala atau memancing. Mesin-mesin besar yang biasanya menderu untuk menciptakan es batu sudah lama tidak digunakan, namun pekerja di pabrik itu sebagian masih tinggal di sana untuk menjaga mesin-mesin itu.
Karena ada mereka pula, aku beruntung bisa mengisi perut yang kosong sedari pagi. Sebuah minuman serela panas menghangatkan perut kami pagi itu.
Masih tertinggal di otakku untuk ke sini lagi lain waktu. Masih banyak tempat yang harus aku kunjungi. Ada air terjun Cunca Wulang yang jaraknya satu jam perjalanan kendaraan dan satu jam jalan kaki, atau ke perkampungan adat Wae Rebo yang ada jauh di ujung selatan pulau. Masih ada pantai merah yang berpasir merah yang sebagian bule menyebutnya dengan nama Pink Beach, atau ke pulau-pulau seantero Manggarai Barat yang begitu mempesona dengan pasir putih dan terumbu karannya seperti pulau Saporo, pulau Kanawa, pulau Seraya Kecil, dan banyak yang lain. Dan tentu saja tak pernah hilang dari ingatanku adalah untuk mengunjungi langsung pulau para melata prasejarah yang masih hidup sampai sekaran, apalagi kalau bukan pulau Komodo.


Thanks buat teman-teman yang ikut dalam perjalanan ini:

  1. Arman Armansyah
  2. Joko Mulyono
  3. Kadek Maharta Kusuma
Baca keseluruhan artikel...

Sabtu, 17 Desember 2011

Komodo: Jejak Prasejarah Hidup

Tiga komodo bermalas-malasan di bawah dapur
Semenjak namanya Pulau Komodo didaftarkan untuk ikut dalam pemilihan New 7 Wonders, pemerintah Indonesia mulai mendengungkan tentang binatang yang masih menyimpan sisi prasejarah dalam berbagai kesempatan. Salah satu yang bisa dilihat adalah munculnya Komodo sebagai ikon binatang dalam perayaan Sea Games XXVI di Palembang. Media pun tak luput ikut aktif dalam euforia mengkampanyekan Komodo walaupun keberadaan lembaga penyelenggara ini  menuai  kontroversi.
Terlepas dari semua itu, sebagai orang yang cukup lama tinggal di Nusa Tenggara Timur, rasanya kurang lengkap kalau tidak langsung melihat bentuk Komodo dan hanya puas memandangi patung Komodo di Bandara Eltari Kupang atau yang berdiri galak di tengah jalan.
Kesempatan itu datang saat sebuah penugasan yang mengharuskan penulis ke Manggarai Barat. Manggarai Barat ini kabupaten yang memiliki pulau Komodo. Sekitar bulan Desember tahun lalu, penulis dan dua orang rekan menjejakkan kaki di Labuan Bajo, ibu kota dari Kabupaten Manggarai Barat.
Dari Kupang, pesawat yang sedianya berangkat jam dua siang harus lagi-lagi mengalami penundaan sehingga keberangkatan menjadi molor hampir dua jam. Kondisi yang harus dimaklumi jika anda tinggal di wilayah timur Indonesia yang masih minim penerbangan. Walhasil, kami harus berangkat jam empat lewat. Namun keterlambatannya ini juga menjadi berkah tersendiri, karena penulis jadi bisa melihat senja berona jingga dengan gulungan awan-awan yang begitu mempesona di langit barat. Jam lima lewat pesawat mendarat di kabupaten yang berada di paling ujung pulau Flores.
Labuan Bajo berdasarkan foto Google Maps
Sebagai pintu gerbang menuju ke pulau para binatang prasejarah, Manggarai Barat sendiri menyimpan potensi besar bagi pengembangan sebagai daerah destinasi wisata baik yang berkelas lokal maupun kelas mancanegara. Dari daratan Flores saja, beberapa daerah menawarkan pesona alam seperti gua alam Batu Cermin, gua alam Batu Susun, Liang Dara dan Liang Rodak yang semuanya berlokasi di Kecamatan Komodo. Juga terdapat danau Sano Nggoang yang berlokasi di Kecamatan Sano Nggoang. Danau yang tercipta akibat letusan gunung berapi ini (danau vulkanik-red) memiliki kadar belerang yang tinggi. Di sini, juga terdapat sumber air panas yang menurut versi Kepala Bappeda suhunya mencapai lebih dari 60 derajat. Namun tetap, bagian yang menarik perhatian wisatawan mancanegara adalah pantai-pantai berpasir putih, terumbu karang, dan binatang melata komodo yang bernama latin Varanus Komodoensis Ouwen.
Di antara waktu penugasan akhirnya kami mendapatkan saat yang tepat untuk bisa melihat langsung Komodo di habitatnya. Namun terbentur oleh kondisi cuaca di bulan Desember yang nyaris setiap hari turun hujan, sehingga dikhawatirkan laut sering terjadi badai. Akhirnya seorang teman yang juga memiliki usaha penyewaan kapal menawarkan inisiatif mengunjungi pulau Rinca. Menurutnya, pulau Rinca lokasinya lebih mudah dikunjungi dengan jarak yang hanya setengah jarak dari Labuan Bajo ke pulau Komodo. Usulan ini akhirnya kami terima, bahkan teman kami menawarkan sebuah perahu yang dia miliki untuk kami gunakan.
Bertepatan dua hari sebelum keberangkatan, Kepala Kantor juga datang untuk menghadiri acara penandatanganan MOU antara Kepala Perwakilan BPKP Provinsi NTT dengan Bupati Manggarai Barat.
Di anjungan perahu 'Sibanaha'
Pada hari H, pagi-pagi sekali pak Arman yang merupakan pemilik kapal membangunkanku untuk bersiap-siap. Rupanya pagi-pagi sekali dia sudah mempersiapkan perbekalan untuk di kapal. Setelah semua perbekalan beres, kami kemudian menjemput Pak Bonardo yang kebetulan menginap di hotel Jayakarta. Sedikit informasi, walaupun hanya merupakan salah satu kabupaten di Provinsi NTT namun Manggarai Barat memiliki hotel dan penginapan yang lebih banyak dibanding ibukota NTT sendiri, Kupang. Bahkan di Manggarai Barat ini, saat kunjungan kami telah ada dua hotel berbintang empat yang bahkan belum ada kelas hotel seperti itu di NTT. Hal ini menunjukkan bahwa Manggarai Barat memiliki potensi wisata luar biasa yang sudah mulai dilirik pengusaha.
Kami sedikit terkejut setelah sampai di pelabuhan tempat bersandar kapal, karena perahu yang akan kami pakai ternyata bukanlah perahu biasa. Melihat ukurannya, aku lebih suka menyebutnya sebagai kapal kecil dibanding sebuah perahu. Sebuah kapal pinisi dalam versi kecil dengan dua kamar tidur. Tulisan ‘Sibanaha’ tertulis mentereng di sisi kapal. Di samping geladak yang cukup luas juga terdapat dua buah tempat tidur santi untuk berjemur.
Air tenang bagai cermin raksasa
Jam delapan, kapal pinisi yang kami naiki mulai meluncur ke arah selatan dengan kecepatan yang tidak terlalu cepat. Dengan perahu sebesar ini, ombak menjadi tidak terasa. Apalagi pada saat ini laut pagi sedang tenang sekali seperti biasanya sehingga kami nyaris bagai merasakan membelah udara kosong. Sedikit guncangan kami rasakan saat perahu melewati Loh Liang yang merupakan selat antara pulau Flores dan pulau Rinca.
Namun rupanya ada gangguan di salah satu mesin kapal yang membuat kapal hanya berjalan dengan satu mesin saja. Wal hasil, perjalanan dari Labuan Bajo ke pulau Rinca yang seharusnya cukup ditempuh dalam waktu dua jam saja harus ditempuh dalam waktu empat jam.
Jam dua belas, kami memasuki teluk ke dalam hingga bertemu sebuah dermaga kecil yang bertuliskan ‘Welcome to Komodo National Park Loh Buaya’. Disinilah dermaga pendaratan untuk perahu yang akan ke Rinca berakhir. Dari samping kapal kami melihat dua buah kano panjang berbahan fiber yang dinaiki masing-masing dua turis asing meluncur ke arah bakau. Dari informasi, memang selain untuk melihat Komodo, sering kawasan pulau Rinca ini digunakan wisatawan terutama wisatawan asing untuk melakukan kegiatan kano menyusuri pulau karena di beberapa titik di pulau Rinca memiliki view pantai dan kawasan terumbu karang yang indah.
Monyet menjadi mangsa bagi anak komodo yang masih kecil
Begitu menginjakkan kaki di lantai dermaga maka mata kami langsung disambut oleh kedatangan segerombolan monyet yang datang bergelantungan di pohon-pohon bakau. Mereka tampaknya telah familiar dengan wisatawan yang datang kemari walau pun tidak mau didekati.
Dari dermaga kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju ke pos pemantauan yang tidak berada jauh dari dermaga. Saat dalam perjalanan, kami sempat melihat kerbau dan beberapa burung endemik melintas. Menurut informasi, kerbau ini termasuk kerbau liar karena di kawasan ini tidak terdapat penduduk yang tinggal kecuali petugas pengelola cagar.
Pulau Rinca ini masih masuk dalam kawasan Taman Nasional Komodo sehingga walau terletak di kabupaten Manggarai Barat namun dalam pengelolaannya masih oleh pemerintah pusat.
Dermaga Loh Buaya pintu masuk ke pulau Rinca
Kami sampai di pos pemantauan, di sini berdiri beberapa bangunan termasuk tempat untuk bersantai. Terlihat ada dua ekor komodo yang berukuran agak kecil melintas dari sisi semak-semak di samping kami. Bahkan aku menemukan seorang anak komodo yang masih kecil bersembunyi di antara tumpukan bahan bangunan untuk memperbaiki pos pemantauan. Komodo kecil dengan kulit berwarna cerah dan motif hitam ini merangkak dengan cepat menjauhi saat aku mencoba mendekati untuk mengambil gambarnya. Dari petugas jaga, aku mendapatkan gambaran bahwa komodo-komodo yang masih kecil sampai berumur 3-4 tahun masih lincah bahkan masih dapat memanjat ke pepohonan. Berbeda sekali dengan yang sudah dewasa, di samping kulitnya yang tebal berubah menjadi satu warna saja, Komodo dewasa juga tidak lincah lagi seperti Komodo kecil. Bahkan Komodo dewasa terkesan sangat malas sekali.
Dari sini, kami dibantu olah seorang petugas jaga yang memegang tongkat bercabang masuk lebih ke dalam. Tongkat bercabang ini digunakan untuk menghalau Komodo yang mencoba mendekat.
Tengkorak sisa mangsa komodo yang dikumpulkan
Beberapa meter dari pos jaga kami ditunjukkan sebuah kayu-kayu panjang yang dipanjang berjajar dengan hiasan tengkorak-tengkorak binatang berbagai ukuran. Tengkorak-tengkorak ini ternyata dikumpulkan oleh petugas jaga dari binatang-binatang liar yang dimangsa oleh Komodo. Selain tulang kerbau yang masih lengkap dengan tanduknya juga terdapat tengkorak rusa liar, juga beberapa tengkorak kecil yang rupanya adalah tengkorak monyet.
Di bagian bawah rumah panggung yang menjadi tempat memasak ternyata sudah ada beberapa ekor komodo yang sedang diam bermalas-malasan di bawah kolong. Binatang yang mirip dengan kadal ini tabiatnya memang seperti binatang melata ulat atau buaya yang menghabiskan umurnya dengan bermalas-malasan. Jika sedang bermalas-malasan seperti ini, tak ubahnya kita seperti sedang melihat sebuah patung, nyaris tanpa gerakan sedikit pun. Hanya matanya yang kadang bergerak yang menandakan bahwa kita tidak sedang berhadapan dengan patung. Hanya sekali-kali satu atau dua ekor komodo menggerakan badan.

Anak komodo mengintip di balik semak
Anak komodo di rerumputan
Komodo remaja di antara atap ilalang
Liur yang mengering pada komodo dewasa
Namun jangan mengira dibalik kemalasan sikapnya ini Komodo tidak berbahaya. Jika jarak memungkinkan, dalam sekejap Komodo dapat merubah posisinya dan berlari mengejar mangsanya dalam kecepatan mencapai 20 km per jam. Karena itu sejak awal petugas jaga mewanti-wanti agar kami menjaga jarak dari komodo setidaknya tiga meter. Aku sendiri sempat mendekat hingga jarak satu setengah meter untuk dapat memotret binatang pemalas ini.
Kebiasaan Komodo yaitu berpura-pura tidur dekat genangan air. Ketika ada rusa atau babi hutan yang minum di genangan air tersebut, saat itu lah komodo beraksi.  Dengan kecepatan lari dan ekornya inilah, Komodo akan memukul roboh mangsanya. Gigitan komodo juga memiliki daya bunuh luar biasa, karena dalam air liur komodo sering kali bercampur sedikit darah karena giginya hampir seluruhnya dilapisi jaringan gingiva dan jaringan ini tercabik selama makan. Kondisi ini menciptakan lingkungan pertumbuhan yang ideal untuk bakteri mematikan yang hidup di mulut mereka.
Dengan lehernya yang besar, memangsa seekor babi hutan cukup hanya dalam hitungan menit karena komodo dengan mudah menelannya saja. Perut seekor komodo yang berumur lebih dari 25 tahun, mampu menampung daging seberat 30 kg. Dengan kondisi demikian, komodo bisa bertahan tidak berburu lagi hingga 1 bulan lebih.
Komodo memiliki lidah yang panjang, berwarna kuning dan bercabang. Komodo jantan lebih besar daripada komodo betina, dengan warna kulit dari abu-abu gelap sampai merah batu bata, sementara komodo betina lebih berwarna hijau buah zaitun, dan memiliki potongan kecil kuning pada tenggorokannya
Berat komodo betina dewasa yang berumur 25 tahun lebih yaitu sekitar 65 – 70Kg. Adapun komodo jantan dengan usia yang sama memiliki tubuh yang lebih berat yaitu 100 – 110 Kg dengan panjang bisa mencapai 3,8 m.  Usia komodo rata-rata bisa mencapai 50 – 60 tahun.
Komodo berkembang biak dengan bertelur dengan jumlah hingga 20-30 butir sekali bertelur. Sebelum bertelur, induk Komodo membuat gundukan tanah di bawah pohon. Lubang-lubang tersebut dibuat lebih banyak dari telurnya dengan tujuan untuk mengecoh komodo lain agar tidak mudah menemukan telur. Komodo adalah binatang yang bersifat kanibal, yaitu bisa memangsa jenisnya sendiri terutama jika ukurannya lebih kecil. Bahkan dari sekian banyak telur tersebut akhirnya sebagian besar dimakan oleh induknya sendiri dan hanya tersisa rata-rata 5 – 7 butir telur hingga nanti menetas.
Menurut informasi, Komodo ini jumlahnya mengalami penurunan terus menerus, hal ini diakibatnya terjadi persaingan perebutan makanan dengan manusia yang sering melakukan pencurian kayu atau perburuan liar di kawasan Taman Nasional.
Dua jam kemudian kami memutuskan kembali. Karena kapal kami mengalami masalah, kami berpindah ke sebuah perahu biasa yang juga dimiliki oleh teman kami ini. Dalam perjalanan kembali ke Labuan Bajo, perahu kami sempat singgah ke pulau Kambing yang memiliki hamparan pasir putih. Di sana, kami menyempatkan berenang dan bermain snorkling.
Perjalanan hari ini bukanlah berarti kami telah menuntaskan keinginan, masih terbersih harapan suatu ketika bisa benar-benar menginjakkan kaki di tanah langsung para melata prasejarah ini di Pulau Komodo, apalagi informasi tentang beberapa spot pantai dan terumbu karangnya yang juga sangat menawan makin menguatkan kami untuk sampai ke pulau di ujung Provinsi NTT ini.
Baca keseluruhan artikel...

Kamis, 08 Desember 2011

Senja di Pelabuhan Ende

Ke Kota Ende. Untuk beberapa urusan. Urusan kantor dan urusan cinta hehehe...
Setelah satu urusan rampung, aku berpikir untuk mencari ‘bahan’ untuk di potret. Beruhubung urusannya berlanjut esok hari. Sekitar jam 4 sore aku memulai ‘pencarianku’. Keliling kota ende yang kecil. Beberapa bibir pantia ku kunjungi untuk medapatkan ‘titik’ terbaik. Cuaca yang kurang mendukung sedikit mengganggu pencarianku.

Setelah berkeliling beberapa saat, perut mulai menunjukan gejala butuh ‘asupan’ logistik hehehehe... Bakso kotak menjadi pilihan untuk ‘merawat’ perutku ini. Semangkok bakso dan segelas teh hangat, plus sebatang dji sam soe memberikanku kekuatan lagi untuk melanjutkan pencarianku.

Mentok. Kalimat yang saat itu bermain di kepalaku. Atau aku yang kurang feel akibat kondisi cuaca. Dermaga Pelabuhan Ende akhirnya menjadi tujuan akhir untuk nongkrong. Sambil merokok tentunya. Menonton kecerian generasi penerus kota ende yang asik bermain sepeda di dermaga, loncat dari dermaga dan berenang ke tepian. Sungguh asik.
Setengah jam berlalu. Mendadak terjadi perubahan warna langit. Sebelumnya datar dan gelap, menjadi kemerahan dalam gulungan awan. Langit memang susah diprediksi keadaannya. Dan ini kesempatan yang tidak kusia-siakan tentunya.

Setengah jam mengabadikan senja di Pelabuhan Ende. Seadanya. Sesuai kemampuan... di bantu gradual ND dan grad-tobbacco TIAN YA...

Sebatang dji sam soe mengakhiri semuanya. Sambil menatap langit indah yang perlahan diselimuti malam. Pelabuhan Ende perlahan menjadi sepi. Tinggal riak ombak dan alunan suara musik melayu dari kapal barang yang sandar di dermaga. Saatnya pulang ke rumah.


------>Ende, 6 Desember 2011
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya