Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Minggu, 20 November 2011

Kampung Kambajawa Deri

Dari balik kaca ruangan kantor, aku memandang hujan di luar yang tumpah dari langit begitu lebatnya. Langit gelap menandakan bahwa hujan kali ini hampir merata diseluruh tempat. Menurut Enos, hampir tiap hari hujan turun mengguyur Sumba Tengah sejak dari bulan Oktober. Padahal perjalananku dari Waingapu ke Waibakul aku banyak menemui padang-padang dan perbukitan savana yang masih kering, menandakan bahwa hujan belum juga turun.


Suasana di kota Sumba Tengah masih terasa suasana perkampungan, kota yang masih banyak dikelilingi persawahan ini terasa menyenangkan. Pagi hari selalu dimulai dari kabut tebal yang secara pelahan naik seiring naiknya matahari. Masih mudah menemui rumah-rumah asli Sumba dan batu-batu kubur, namun sayangnya sebagian rumah-rumah itu sudah banyak yang telah dimodifikasi seperti atapnya yang sebagian besar sudah menggunakan seng bukan alang-alang, batu-batu kubur dari beton yang telah dikeramik bukan dari batu asli yang dipotong. Sebenarnya ada beberapa perkampungan yang suasananya masih asli namun sayang lokasi agak jauh dan agak sulit ditempuh jika masih sering hujan seperti ini.


Untungnya Enos yang tiap pagi rajin mengantarku mengatakan kalau perkampungan dari neneknya yang berada di daerah Deri tidak jauh dari kota sekitar sepuluh kilometer saja. Bahkan para penghuni di daerah itu masih erat memegang kepercayaan Marapu. Informasi yang tidak bisa ditolak, apalagi menurut kabar di lokasi ini pernah digunakan untuk syuting Etnic Runaway. Hari ketiga aku, teman dan Enos menjelang sore sudah jalan menuju ke lokasi, beberapa kilometer setelah percabangan kompleks Kantor Bupati, Enos membelokkan mobil ke kanan masuk ke jalan agak kecil. Jalan menanjak dan berliuk-liuk langsung menhadang kami, untunglah walau jalan tidak beraspal namun kondisi jalan yang disusun dari batu kapur masih bagus dan tidak terpengaruh kondisi hujan sehingga dengan mudah Enos meliuk-liukkan mengikuti kontur jalan yang terus menanjak menerobos diantara hutan kebun milik penduduk.


Suasana saat ini memang kurang menentu, kabut datang dan pergi dengan cepat. Namun menjelang di ujung jalan cuaca kembali terang walau masih mendung rata di langit. Kami berhenti tepat di samping sebuat kubur batu besar yang masih terdapat sebuah karangan bunga yang masih baru. Tampaknya ada yang baru dimakamkan di dalam kubur baru yang sudah tampak tua ini. Kubur batu megalitik ini dibuat dari 2 buah baru utama, batu pertama berupa batu kotak yang tengahnya dilubangi sebagai tempat untuk jenazah, sedangkan batu kedua berupa batu persegi berbentuk plat untuk penutup. Satu batu kubur ini bisa digunakan untuk memakamkan beberapa kali namun mengikuti hirarki hubungan kekeluargaan tertentu. 


Suasana perkampungan yang rindang yang dipenuhi pohon-pohon besar begitu tampak damai. Desain arsitektur khas rumah sumba juga menarik dan nyaman. Rumah berbahan kayu dengan atap rumbia ini dibangun dengan konsep tiga tingkat. Tingkat pertama digunakan untuk gudang menyimpan perkakas dan tempat tinggal hewan piaraan, tingkat kedua digunakan untuk tempat tinggal penghuni rumah, sedangkan tingkat ketiga digunakan untuk menyimpan persediaan pangan. Dengan konsep ini, bangunan tingkat kedua yang merupakan hunian manusia dibangun dengan kontur bertingkat. Bagian depan dibangun agak rendah agar orang bisa mauk ke rumah sekaligus sebagai beranda tamu. Di bagian samping rumah depan dibangun bale-bale yang bisa digunakan untuk tempat bersantai atau tiduran. Masuk ke bagian dalam dibuat lebih tinggi dari bagian depan, disini aktivitas dalam seperti ruang tidur dan sebagainya berada. Yang unik adalah dapur yang berada ditengah-tengah rumah yang dengan tingkat paling tinggi, jadi dapur adalah akses utama para penghuni. Biasanya dapur ini dilapisi tanah atau pasir dibagian bawah. Jika dinding bangunan itu dari kayu maka dapur biasanya boleh dibangun di luar rumah. Dan itulah aktivitas yang sedang ada bagian paling depan perkampungan, sebuah bangunan untuk dapur sedang dibangun secara gotong royong.   Membangun rumah juga tidak sembarangan, karena rumah dibangun bersama-sama dengan warga kampung ada beberapa perayaan yang harus dilakukan. Seorang bapak tua pemilik rumah sedang asyik membuat tali yang berasal dari rotan yang akan digunakan sebagai ikat antar kayu dan atap.


Enos yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan kampung ini mengajakku masuk lebih ke dalam, melewati jalan batu kami masuk ke dalam dan disambut aktivitas beberapa penghuni kampung. Seorang kakek tampak asik memukul-mukulkan sebuah alat penjepit dan hasil dari benda yang pecah dari pukulan itu dipilah oleh seorang nenek, ternyata mereka sedang membuka biji kemiri. Pohon-pohon kemiri memang banyak tumbuh di hutan-hutan adat kampung ini dan ini menjadi tambahan pendapatan mereka selain mereka juga berkebun dan memelihara ternak. Namun untuk ternak seperti kerbau, sapi atau babi sering tidak mereka jual karena lebih sering dipersiapkan untuk kegiatan upacara-upacara adat seperti perkawinan atau kematian yang sering membutuhkan korban dalam jumlah besar. Tentu saja yang menjadi ternak favorit mereka adalah kerbau apalagi jantan yang memiliki tanduk panjang.

Enos menunjuk sebuah bangunan paling tinggi yang dinaman rumah kilat, Bangunan berpondasi batu kapur dengan ukiran ini digunakan sebagai upacara memanggil kilat. Menurut cerita, jika ada warga atau permintaan orang lain yang kehilangan barang atau ternak maka mereka akan melakukan persembahan dan upacara di rumah kilat dan meminta bantuan Marapu  untuk menyambar kilat orang yang telah mencuri tersebut. Aku hanya bisa mengamati di dekat rumah kilat itu karena ada undakan tangga batas yang tidak dapat dilewati oleh orang luar.  


Di depan bagian bawah undakan terdapat sebuah kayu yang diukir dan dibagian atas dibuat bercabang. Konon kayu ini dibuat untuk meletakkan kepala manusia yang mereka tebas baik karena kasus pencurian atau peperangan antar kampung. Walaupun konon, tapi kejadian itu bukan berarti tidak terjadi lagi. Jika ada warga kampung lain yang terpergok mencuri ternak maka kasus penebasan dapat terulang kembali karena kasus-kasus pencurian ini juga masih  terjadi. Menurunnya kasus pencurian sekarang ini juga salah satunya sumpah antar kampung bahwa kasus pembunuhan akibat kasus pencurian tidak akan membawa dendam di antara mereka.


Saya masih ingat tahun 2010 sewaktu saya melintasi daerah ini dari Waingapu menuju Waikabubak. Waktu itu karena aku tunggu orang yang menjemput ternyata tidak muncul, dan baru muncul menjelang sore. Saat aku meminta jalan langsung dia menawarkan untuk berjalan esok harinya untuk menghindari jalan malam, karena menurutnya jalur antara Anakalang-Waikabubak di sekitar kawasan hutan sangat rawan pencurian biasanya dengan memasang balok-balok kayu penghalang kendaraan.


Enos mengajakku sampai ke belakang dimana terdapat satu bangunan tunggal yang diberi nama tiang delapan. Itulah induk rumah dari semua rumah itu dan menjadi rumah paling sakral yang tidak boleh dimasuki sembarang orang kecuali warga kampung. Biasanya tamu-tamu asing dari pemilik rumah tiang delapan ini diterima di rumah lain. Ada batas baru yang disusun sebagai batas yang tidak boleh dilanggar oleh orang luar bahkan oleh Enos sendiri. Menurutnya, semenjak dia memeluk agama Kristiani maka keluarganya keluar dari kampung ini karena disini masih erat dengan keyakinan Marapu. Listrik belum sampai di kampung ini namun sudah ada beberapa rumah yang memiliki panel tenaga surya kecil yang digunakan untuk menyalakan barang-barang elektronik mereka seperti handphone atau televisi.
Kabut kembali datang dan kali ini lebih tebal membuat kami harus segera kembali. Di perjalanan turun kami menemui salah satu penduduk kampung sedang mengiring kerbau-kerbau kembali yang dinaiki olah beberapa anak kecil. Dengan mata bercahaya dan senyum lebar mereka melambai-lambaikan tangan ke arahku. Sungguh suasana damai dan sederhana dan masih begitu dekat dengan alam. Semoga perkembangan zaman tidak menggilas mereka dan tetap menjadikan mereka orang-orang yang bersahabat dengan alam, sebuah hubungan harmoni yang menjadi tanah Sumba ini masih begitu damai dan dipenuhi mistis alam.

2 komentar:

  1. keren foto2nya keren liputannya .. 20 jempol deh buat Mas Baktiar :D

    BalasHapus
  2. Makasih mbak Susi..... lebih asyik lagi kalau langsung dikunjungi hahahaha

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan komentar anda disini. Untuk sementara komentar saya moderasi dulu karena banyak spam yang masuk. Terima kasih sudah berkunjung, salam MLAKU!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya