Tulisan dan foto di blog ini bebas didownload, namun untuk penggunaan kembali hanya dibebaskan untuk kepentingan non-komersial dengan mencantumkan alamat sumber tulisan/foto. Hormati karya cipta!.

Selasa, 27 September 2011

Catatan Jakarta

Gelap merambat, bundaran Hotel Indonesia selain tampak lenggang, hanya beberapa orang yang tampak bergerombol sambil duduk main gitar. Mungkin saja mereka anak-anak muda yang lagi istirahat setelah lelah mengamen. Air mancur yang biasanya menampilkan atraksi meliuk-liuk mengikuti irama musik dan cahaya warna-warni juga tidak ada, sekarang pertunjukan air mancur hanya ada saat malam minggu saja. Tapi di jalan seperti biasa masih disesaki kendaraan, gambaran Jakarta yang tak pernah mati hanya sedikit masih lebih lega dibanding sebelum ini. 
Cahaya terang benderang dan hiruk pikuk juga masih mewarnai gedung-gedung di seberang walaupun sudah jauh berkurang, hanya pecinta malam yang masih sanggup bertahan meski jam telah menunjukkan waktu di atas jam 11 malam. Satu-satunya yang masih bertahan bekerja dengan urutan yang tidak berubah dan bergeser adalah beberapa pasang lampu lalu lintas merah-kuning-hijau. Jika di kota-kota kecil macam kotaku lampu-lampu ini telah berganti warna kuning tapi disini warna hijau dan merah tetap dipaksa melek bekerja tanpa henti, atau akan muncul kesemrawutan yang lebih bikin mereka stress. Tapi rupanya kelenggangan tidak beranjak lama, beberapa pasang muda mudi mulai datang memenuhi tempat ini. Ada yang sedang memotret, mungkin mereka dari luar kota yang ingin menjadikan foto kenangan. Wanita-wanita dengan baju bertali tanpa lengan seperti menantang dingin duduk bercengkerama dengan taburan asap-asap disela kata-kata yang mereka keluarkan.
Jakarta memang bersolek luar biasa, rasanya tak cukup gedung hari ini, besok lusa ada saja gedung yang berdiri. Bahkan berapapun watt listrik ditambah tak pernah cukup memuaskan kemegahan Jakarta. Dan seperti sebuah cahaya bagi kunang-kunang, Jakarta telah menjadi magnet bagi banyak orang untuk mengadu nasib di kota yang katanya sangat keras ini. Yang menang dan maka akan tersedia kubus-kubus terang bercahaya warna-warni. Yang kalah? entah kalah ataukah baru memulai, tapi bisa kau layangkan pandangan di pinggir-pinggir jembatan, seperti ada refleksi berkebalikan yang sempurna. 
Aku teringat pemain Gambang Kromong yang beberapa hari ini beraksi di lobby hotel bintang empat di kawasan Kebon Sirih yang aku tempati beberapa hari ini. Memainkan musik pengiring lalu lalangnya orang keluar masuk. Mata-mata tua yang bermain musik ini, apakah dibenaknya dengan semua tempat ini? Para penghibur ini hanya mengais sedikit dari yang dapat mereka ambil. Aku tak tahu dimana dia tinggal, mungkin masih di sini atau bisa juga sudah di pinggiran kota.

Mengaca pada lantai pualam dan dinding-dinding kaca
aku terpatri pada kemegahan dan gemerlap cahaya ribuan watt
            aku menatapmu dari balik kaca stasiun busway yang sesak

Kotak-kotak kaca saling bertumpuk laksana kubus dan semuanya cepat
saling berderap, saling menderu, saling berpacu serba bergairah untuk
yang bernama uang dan sedikit kesenangan
          aku berdiri memunggungimu sembari meremas uang seribu yang telah lecek

Ratusan menu terhidang harum tersebar, membakar selera siapa saya yang lapar
dahaga pun tersiap puluhan minuman serba warna, semuanya ada di tempat sama: hotel dan restoran
         aku masih menikmati nasi uduk teh Neni waktu semua itu menyapaku

Aku melihat kolong jembatan dan pencakar langit, aku melihat kursi-kursi di etalase dan di pinggir jembatan
aku melihat yang membuang makanan lezat dan yang mengais sampah makanan basi
        refleksimu sungguh membuatku ragu, inikah atau itukah

Aku tak hendak mengerti dirimu, tidak sama sekali... karena aku hanya singgah disini
       aku bisa mencintai siapa saja tapi bukan dirimu yang sungguh tak kumengerti
       engkau adalah pergulatan zaman yang terburuk namun diperebutkan

Maka biarkan aku menyingkir, dan melihatmu hanya sesekali

(Djakarta, September 21, 2011)

Baca keseluruhan artikel...

Minggu, 18 September 2011

Tanjung Bastian, Menyusuri Laut Utara Timor

Tanjung Bastian sesaat setelah matahari terbenam berlatar perbukitan
Berada di pantai utara pulau Timor, Tanjung Bastian yang masuk dalam wilayah Wini merupakan salah satu tempat wisata yang mulai dikembangkan Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Utara. Tak banyak tempat wisata yang diandalkan bagi daerah ini, maka melihat lokasinya Tanjung Bastian ini memang punya kans yang lebih besar bagi daerah ini bagi pemasukan kas daerah sekaligus mengembangkan potensi wisatanya. Dari kota kecamatan Wini, lokasi Tanjung Bastian ini berjarak sekitar 5 kilometer ke arah Timur. 

Foto bersama tentara perbatasan di areal perbatasan TTU - Oecussi
Sekedar informasi bagi yang belum familiar, Wini ini adalah kecamatan dari Kabupaten Timor Tengah Utara yang berbatasan langsung dengan distrik Oecussi yang merupakan daerah kantung yang menjadi salah satu provinsi negara Timor Leste. 

Keberadaan distrik Oecussi yang terpisah dari daerah Timor Leste lain jelas merupakan keuntungan tersendiri bagi Wini yang menjadi tempat keluar masuknya arus lalu lintas orang dan barang dari dan ke Oecussi. Beberapa kali sebenarnya aku pernah di tugaskan ke Timor Tengah Utara ini, hanya baru sekitar setahun lalu aku sempat singgah melihat Tanjung Bastian. Itupun sebenarnya hanya singgah sementara di antara waktu tugas sehingga hanya sempat duduk untuk makan siang. Baru pada kesempatan kedua minggu lalu aku bersama seorang teman sempat mengunjungi secara khusus Tanjung Bastian. 

Perbukitan di daerah Wini
Dengan menggunakan sebuah motor, kami berangkat dari Kefamenanu sekitar jam tiga sore dengan perkiraan jalan yang kami tempuh akan memakan waktu satu jam untuk sampai ke Tanjung Bastian sesuai dengan informasi yang kami terima dari orang-orang yang pernah kesini. Namun ternyata jauhnya perjalanan tidak seperti yang kami harapkan, lokasi jalan yang melewati banyak perbukitan sehingga jalan banyak berlika-liku dan ruas jalan yang tergolong sempit mengakibatkan kami tak bisa melajukan motor apalagi jika berpapasan dengan kendaraan roda empat. 

Lahan perbukitan yang dibakar warga
Perjalanan kami juga kadang terganggu oleh asap-asap yang bertiup ke arah kami dari perbukitan-perbukitan yang mulai dibakar warga. Bulan-bulan kering begini memang sudah menjadi kebiasaan masyarakat membakar lahan-lahan. Sebagai masyarakat yang banyak mengandalkan dari peternakan, pembakaran lahan ini dimaksudkan agar rumput-rumput kering bersih sehingga nanti waktu musim hujan akan menumbuhkan lebih cepat rumput-rumput baru yang hijau. 
Awalnya aku pikir pembakaran lahan ini seperti di daerah Jawa atau Sumatera yang biasanya untuk kebutuhan pembukaan lahan baru (berladang). 

Walaupun entah disadari atau tidak pembakaran lahan yang sudah menjadi kebiasaan ini mengakibatkan perbukitan tidak pernah menjadi hijau sehingga tanah kurang dapat menahan air hujan. Kondisi yang nyaris sama ditemui di banyak tempat di pulau Timor ini menguatkan stereotif daerah Timor sebagai daerah yang sulit air.

Di daerah mulai mendekat ke Wini, kami melihat daerah perbukitan berbatu yang terjal yang mengapit jalan dan perkampungan kami melintas. Menurut penduduk, perbukitan sisi barat berbatasan dengan Timor Leste. Perbukitan-perbukitan yang menjulang di sepanjang jalan ini memberi hiburan setelah kami berpanas-panas di perbukitan yang kering dan terbakar.
Ternyata aku mulai memasuki daerah Wini lebih kurang satu setengah jam, cukup terlambat namun tidak cukup terlambat untuk mendapatkan matahari terbenam dari Tanjung Bastian.

Lokasi pacuan kuda Tanjung Bastian
Dengan keberadaanya sebagai tanjung, matahari terbenam dan metahari terbenam bisa dilihat langsung dari tempat.

Memasuki pintu masuk Tanjung Bastian yang sepi kami melihat sebuah lintasan besar melingkar yang dipagari kayu bercat putih. 

Di sebelah selatan pacuan terdapat sebuah panggung untuk penonton. Lintasan ini adalah arena pacuan kuda (Tanjung Bastian Horse Racing Track) yang telah rutin digunakan sebagai lokasi kejuaraan pacuan kuda. 

Setidaknya setahun ada tiga sampai empat lomba pacuan kuda yang diadakan di tempat ini. Dari informasi staf daerah, pacuan kuda terakhir yang diadakan sekitas bulan Juli kemarin.

Sayang aku datang tidak tepat saat pacuan kuda berlangsung. Lintasan pacuan kuda yang sepi ini sekarang hanya dihuni beberapa ekor sapi warga yang merumput.
Pantai yang berpasir putih kekuningan ini banyak ditumbuhi tanaman perdu berduri dan pohon asam. Tampatnya cukup rindang karena pohon peneduh ini tumbuh cukup banyak. Beberapa bangunan semacam cottage telah dibangun di sepanjang jalur pantai, walaupun lebih sering terisi saat ada acara semacam lomba pacuan kuda saja.



Dari Tanjung Bastian kontur perbukitan yang kami temui dari perjalanan itu tampak dari sini, sebuah gabungan pemandangan yang cukup menarik mata. Disepanjang tanjung pantai ini banyak tumbuh pohon bakau. Berlatar senja, puluhan bangau putih tampak turun memenuhi karang-karang sepanjang bakau. Sore itu laut sedang surut, aku baru menyadari saat melihat sesaat setelah matahari terbenam, bulan yang nyaris bulat juga muncul dari ufuk timur.
Baca keseluruhan artikel...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Tulisan Lainnya